Rabu, 14 September 2011

Seluruh Potensi Kita Hanya Untuk Allah


Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam (QS: al-An’am:  162)



Rasulullah saw bersabda, “Islam dibangun di atas lima lamdasan: Bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu” (HR Bukhori Muslim).
Dari hadits tersebut, ulama mengklasifikasi ibadah dalam empat bentuk;
Pertama, ibadah hati dan dzikir, berupa keyakinan dan ucapan. Ibadah ini dsimbolkan dalam rukun Islam pertama yakni dua kalimat syahadat. Ibadah ini menunjukkan keyakinan, ideologi, serta visi dan misi hidup kita. Adapun selain dua kalimat syahadat, ada pula ibadah zikir lainnya, seperti istighfar (visi bahwa kita selaku hamba punya kesalahan dan harus selalu mohon ampun), tasbih (keyakinan akan kemahasucian Allah), takbir (pengakuan akan kemahabesaran Allah), tahmid (keyakinan bahwa pujian hakiki hanya milik Allah) dan lain sebagainya. Semakin kita baca berulang, semakin kita merendah diri di hadapan Allah.
Kedua, ibadah fisik. Dalam ibadah ibadah ini seluruh fisik kita diserahkan kepada Allah, baik berupa anggota tubuh maupun panca imdera kita. Ibadah jenis ini disimbolkan dengan shalat. Dalam shalat,  seluruh fisik kita tundukkan di hadapan Allah swt. Shalat yang fardhu ada lima waktu dalam sehari semalam. Akan tetapi shalat sunnah memiliki ragam yang banyak. Dalam ibadah ini ada suatu pesan bahwa hendaknya kita menempatkan segala anggota tubuh dan panca indera kita serta seluruh fisik kita untuk diabdikan kepada Allah SWT. Mata yang  kita miliki hanya kita gunakan untuk sesuatu yang mendatangkan ridho Allah, begitu juga tangan, kaki, telinga, dan lainnya.
Ketiga, ibadah harta. Bentuk ibadah ini disimbolkan dengan zakat. Zakat merupakan harta tertentu yang kita miliki yang harus kita keluarkan untuk diberikan kepada golongan tertentu. Yang disebut dengan harta adalah segala kekayaan yang kita miliki . Akan tetapi dalam zakat. Hanya harta tertentu yang memenuhi kriteria yang harus dikeluarkan zakatnya. Tidak semuanya. Akan tetapi ibadah harta dalam bentuk infak dan sedekah dibolehkan mengeluarkan hartanya untuk ibadah, meskipun harta tersebut tidak memenuhi kriteria yang terdapat pada zakat,  model ibadah harta ini memberi pesan kepada kita, bahwa segala potensi kekayaan yang kita miliki hendaknya diarahkan untuk diabdikan pada Allah SWT. Jadi bukan hanya fisik dan tubuh kita saja yang harus kita serahkan pada Allah agar bernilai ibadah, akan tetapi segala potensi harta yang kita miliki hendaknya juga digunakan pada jalan yang dapat mendatangkan keridhoan Allah SWT.
Keempat, ibadah hasrat, syahwat, keinginan dan cita-cita. Ibadah dalam bentuk ini disimbolkan dalam bentuk ibadah puasa. Dalam ibadah ini segala keinginan dan hasrat serta syahwat harus kita kendalikan agar mendapat keridhoan Allah swt.
Puasa yang wajib terdapat pada bulan Ramadhan, sedangkan puasa sunnah banyak pula ragamnya. Intinya, model ibadah ini memberi pesan kepada kita agar segala keinginan, hasrat, syahwat bahkan cita-cita harus kita arahkan sesuai dengan hukum Allah swt serta kita jadikan sebagai bagian yang dapat mendatangkan keridhoan Allah swt.  Oleh karena itu, Allah mensyari’atkan nikah dan melarang zina, agar syahwat itu dapat disalurkan sesuai hukum Allah dan bernilai ibadah yang mendatangkan keridhoan Allah swt.
Itulah empat bentuk ibadah dalam Islam yang dismbolkan dengan dua kalimat syahadat (ibadah keyakinan dan zikir), shalat (iabdah fisik), zakat (ibadah harta) dan puasa (ibadah hasrat, syhawat, keinginan dan cita-cita). Lalu, bagaimana dengan ibadah haji? Ibadah ini sebenarnya mencakup empat ibadah tadi. Sebab, dalam ibadah haji terdapat ibadah keyakinan dan zikir berupa bacaan talbiyah, Juga terdapat ibadah fisik berupa thawaf dan sa’i. Ada pula ibadah harta, karena untuk berangkat ke Makkah harus dengan biaya perjalanan ibadah haji (BPIH), dan dalam haji pun terdapat ibadah menahan syahwat dan hasrat karena selama masih ihrom dilarang melakukan hal-hal yang dilarang yang salah satunya bergaul suami -isteri.
Itulah sebabnya ketika Allah menyebutkan bahwa bulan sabit itu diperuntukkan untuk haji tanpa menyebut ibadah lainnya padahal ibadah lain pun terkait dengan waktu, karena  ibadah haji mencakup empat bentuk ibadah tersebut. Allah berfirman “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS: al-Baqarah 189)
Dari uraian di atas, jelaslah, bahwa seluruh diri dan potensi yang kita miliki hendaknya kita abdikan untuk Allah swt, sesuai dengan  bacaan yang kita baca saat shalat, ““Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam “ (QS: al-An’am:  162)
Serta sesuai dengan firman Allah swt yang artinya, “ Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56).)I(

Muhammad Jamhuri

Minggu, 04 September 2011

Ternyata Kita Bisa Hidup Dengan Syariat

Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur  (QS: al-Baqarah:  185)

 Ayat di atas sudah sering kita dengar pada bulan Ramadhan lalu. Ya, ayat ini berisi agar kita menyempurnakan bilangan puasa Ramadhan kita, serta perintah bersyukur atas hidayah yang Allah telah berikan berupa syariat ini, seraya bertakbir mengagungkan asma Allah di hari ied seusai berpuasa Ramadhan.
Perintah bersyukur atas hidayah dan petunjuk Allah berupa syariat puasa dan lainnya, menunjukkan bahwa betapa syariat ini begitu sempurna. Tidak ada ajaran lain yang begitu sempurna selain ajaran syariat Islam. Salah satunya adalah berpuasa Ramadhan.
Dalam Ramadhan, betapa banyak dimensi  manfaat  yang kita dapatkan. Di sana ada dimensi sprtual, dimensi menahan emosianal, dimensi kejiwaan, dimensi sosial, dimensi kehidupan beragama (tadayun sya’bi), bahkan dimensi ekonomi. Hampir semua kelompok masyarakat diuntungkan dengan datangnya bulan Ramadhan. Bahkan masyarakat non muslim selkalipun banyak diuntungkan dengan datangnya Ramadhan terutama dari sisi manfaat ekonomi. Inilah salah satu manfaat syariat Islam ditegakkan yang mengandung rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).
Dalam Ramadhan pun, disadari atau tidak, kita telah melakukan revolusi menghidupkan dan menerapkan sebagian dari syariat Islam. Bahkan kita telah merevolusi kebiasaan-kebiasaan kita yang sebelumnya berbeda dengan kebiasaan yang kita rasakan di bulan Ramadhan. Jika di luar Ramadhan kita tidak pernah bangun sebelum subuh, jarang membaca al-Quran, jarang menunggu waktu shalat, jarang melakukan ibadah sunnah, jarang shalat berjamaah di masjid, dan tidak pernah empatii kepada sessama. Akan tetapi selama Ramadhan kebiasaan itu bisa kita ubah seratuis delapan  puluh derajat. Kita bangun sahur, rajin membaca al-Quran, suka menunggu datangnya waktu shalat, mengamalkan amalan sunnah, shalat berjamaah di masjid,, dan empati serta peduli kepada sesama.
Hal ini membuktikan bahwa kita mampu melakukan revolusi diri untuk hidup sesuai dengan syariah, sesuai dengan yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Dan betapa kenikmatan yang kita rasakan saat kita, keluarga kita, masyarakat kita, dan bangsa kita, bersama-sama secara kolektif melakukan kebiasaan baik itu  yang sesuai dengan syariat.
Alangkah indah jika kebiasaan baik yang dianjurkan dan diperintah oleh syariah itu terus dapat kita lanjutkan pasca Ramadhan.; Bukankah fungsi dari ibadah puasa yang kita lakukan di bulan Ramadhan lalu adalah agar kita selalu bertaqwa? (la’allakum tattaqun)? Disini, sengaja Allah SWT menggunakan kata tattaqun dengan fi’il mudhori’ (present continius tense) pada ayat itu, karena fi’il mudhori’ mengandung pesan makna  lil istimror (kontinyuitas, berkesinambungan). Kebiasaan baik yang sesuai dengan syariah itu bukan hanya dilakukan di bulan Ramadhan saja, namun juga dilanjutkan pasca Ramadhan. Bukankah al-Quran yang kita baca di bulan Ramadhan sama dengan al-Quran di bulan lain? Bukankah shalat fardhu berjamaah yang kita lakukan di bulan Ramadhan sama dengan shalat yang kita lakukan di bulan lain? Bukankah perintah sedekah di bulan Ramadhan juga diperintahkan di bulan lain? Lalu mengapa kita meninggalkan tilawah al-Quran setelah Ramadhan berlalu? Mengapa kita meninggalkan shalat berjamaah di masjid  setelah Ramadhan berlalu? Mengapa kita jarang bersedekah setelah Ramadhan berlalu? Bukankah Tuhan yang kita patuhi di bulan Ramdhan adalah juga Tuhan yang harrus kita patuhi di bulan lain? Bukan Nabi yang memerintahkan kebajikan di bulan Ramdhan adalah Nabi yang memerintahkan kebaikan disetiap saat? Rasulullah saw bersabda, “Bertaqwalah kamu dimanapun kamu berada”.
Jika selama bulan Ramadhan, kita, keluarga kita, masyarakat kita dan bangsa kita telah  menghadirkan syariat Islam yang indah dan menjadi rahmatan lil ‘alamijn bagi semua, mengapa kita tidak hidupkan syariat Islam itu setelah Ramadhan? Sehingga fungsi rahmatan lil’alamin itu bukan hanya terasa selama sebulan saja, namun sepanjang tahun, bahkan sepanjang hayat.
Tidak usah dahulu kita dirasuki oleh kengerian sebagian orang dengan bahaya syariat Islam.  Kita hadirkan saja syariat Islam secara konsekkuen semampu yang bisa kita lakukan, maka setiap orang akan rindu diterapkannya syariat Islam yang rahmatan lil alamain. Dan tidak usah kita merasa pesimis dapat menerapkan syariat Islam secara kolektif dalam lingkup bangsa dan Negara. Pengalaman selama Ramadhan telah menunjukkan bangsa ini mampu menghadirkan kebiasaan baik selama Ramadhan, dan setiap kita telah melakukan revoluisi kebiasan diri, dari yang kurang baik menjadi lebih baik lagi. Dengan demikian sebenarnya Ternya kita Mampu Hidup dengan Syariat.#

.(Muhammad Jamhuri)