Rabu, 06 Januari 2010

Saatnya Hidupkan Kalender Islam

"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri" (QS. At-Taubah: 36)

Menurut ulama ahli tafsir, yang dimaksud dengan empat bulan haram adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab.

Dalam ayat lain ketika Allah mewajibkan kaum muslimin berpuasa, Allah menyebut bulan Ramadhan sebagai bulan puasa, serta ramadhan adalah bulan diturunkannya al-Qur’an (al-Baqarah 183-185).

Allah dan rasul-Nya tidak pernah menyebut bulan Januari atau Desember dalam penggunaan nama-nama bulan dalam putaran setahunnya, apalagi menggunakan bulan-bulan tersebut sebagai bulan-bulan pelaksanaan ibadah. Sebaliknya, Allah dan rasul-Nya menggunakan bulan qomariyah, yakni Muharram hingga Dzulhijjah sebagai nama-nama bulan dalam putara setahun. Bahkan beberapa ibadah dikaitkan dengan bulan-bulan tersebut, dan bukan denga bulan Januari atau Desember.
Oleh karena itu, meskipun tidak ada larangan menggunakan putaran tahun Miladiyah, namun alangkah lebih baiknya kita sebagai muslim menghidupkan tahun hijriyyah, mengapa ?

Pertama, Karena kalender hijriyyah adalah kalender yang ditetapkan oleh sahabat Umar bin Khattab ra, dan disetujui oleh para sahabat lainnya. Kalender hijriyyah telah ditetapkan oleh sebaik-baik generasi umat Islam, karena tidak ada generasi umat islam terbaik setelah Rasulullah saw, melainkan generasi para sahabat radhiyallah ‘anhum. Mengikuti apa yang telah ditetapkan dan dilaksanakan para sahabat adalah sunnah dan diperintahkan oleh Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Hendaklah kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah khulafaurasyidin, gigitlah erat-erat dengan gerahammu” (al-Hadits). Dengan demikian, menghidupkan kalender hijriyyah adalah perintah rasulullah saw karena beliau memerintahkan kita untuk berpegang teguh kepada sunnah para khulafaur Rasyidin.

Kedua, tidak ada satu ibadah pun dalam Islam yang dikaitkan dengan bulan Januari atau Desember. Sebaliknya Allah dan rasul-Nya mengaitkan pelaksanaan sebagian ibadah dengan bulan-bulan Hijriyyah. Sebut saja misalnya ibadah puasa di bulan Ramadhan, ibadah haji di bulan Dzulhijjah, ibadah puasa sunnah enam hari di bulan Syawwal, ibadah sunnah puasa tasu’a dan “asyura di bulan Muharram, ibadah puasa sunnah ayyamul bidh di setiap tanggal 13, 14, 15 bulan-bulan hijriyyah, puasa sunnah di bulan Sya’ban, penetapan idul fitri di bulan Syawal dan lain sebagainya. Pernahkah kita mendengar Allah mewajibkan ibadah haji di bulan Desember, puasa di bulan Januari, atau puasa sunnah di bulan Maret? Tidakkah kita bangga menghidupkan kalender hijriyyah karena kalender itu telah ditetapkan Allah dan rasul-nya dalam pelaksanaan ibadah

Ketiga, dalam urutan hari kita sering menggunakan kata “Minggu” pengganti “Ahad”, padahal kata “minggu” diambil dari nama seorang pendeta kristen bernama “Deminggos”. Selain itu, suatu kerancuan jika hitungan bilangan dimulai dari angka dua (isnain/senin). Hitungan biasanya dimulai dengan angka satu (ahad). Karena itu sebaiknya kita hidupkan kata “ahad’ sebagai kata pengganti kata “minggu”. Sehingga dalam urutan hitunganpun menjadi sesuai, yakni ahad (satu), senin/isnain (dua), selasa (tsalasa) (tiga), rabu/arba’a (empat), kamis/khamis (lima)

Keempat, kalender hijriyyah yang perhitungannya dimulai dari peristiwa hijrahnya Nabi saw dan umat Islam, adalah ketetapan melalui musyawarah panjang di antara sahabat. Sebab dalam penentuan awal kalender tersebut ada sahabat yang mengusulkan dimulai dari peristiwa bersejarah lainnya. Akan tetapi keputusan terakhir dan yang disepakati adalah terhitung dari peristiwa hijrah Nabi saw. Sedangkan tahun Miladiyah atau Masehi dimulai dari kelahiran Nabi Isa as (Yesus Kristus). Penentuan awal perhitungan kalender Islam yang dimuali dari peristiwa hijrah tersebut menunjukkan bahwa para sahabat tidak gegabah dalam menentukan awal perhitungan tahun hijriyah. Hal itu tidak lain agar umat islam menyelami peristiwa hijrah tersebut serta mengambil ibrah dan pelajaran darinya. Di sana terdapat perjuangan, kesabaran, lurusnya niat, serta optmistis dalam menghadapi persoalan. Jika umat Islam melupakan kalender hijrah, maka dikhawatirkan akan melupakan peristiwa hijrah yang penuh nilai-nilai luhur tersebut.

Itulah beberapa konsideran mengapa kita harus menghidupkan kalender hijriyyah. Oleh sebab itu, mulailah dari kita untuk mengingat di setiap harinya, tanggal berapa hijriyyah-kah kita di hari ini? Lalu kita ajarkan dan ingatkan isteri dan anak kita, kemudian keluarga kita.

Dalam surat menyurat, usahakan menulis tanggal hijriyyah di atas tanggal miladiyah atau disampingnya, jika kita memang belum sanggup hanya menulis tanggal hijriyyah saja dalam surat menyurat tersebut.

Dalam mencetak kalender yayasan atau sekolah atau perusahaan, usahakan mengganti kata “minggu” dengan “ahad”, menyamakan besar tanggal hijriyyah dengan tanggal miladiyah, mewarnai hari-hari puasa sunnah, selain hari besar islam, dengan warna-warna tertentu sambil ditulis penjelasan dibawahnya tentang tanggal-tanggal tersebut. Misalnya shaum ayyamul bidh, shaum tasu’a dan ayura, dan lain sebagainya. Semoga kita termasuk umat yang menjaga sunnah Rasul saw dan para sahabat. Amin. ##