Jumat, 31 Mei 2019

Ucapan “Minal Aidin wal Faizin - Mohon Maaf Lahir Batin” Bukan Bid’ah


Sentilan-Sentilun Ramadhan

Oleh: Muhammad Jamhuri



“Ustadz, saya baca broadcast di WA, katanya mengucapkan kata “Minal Aidin wal Faizin-Mohon Maaf Lahir Batin” di hari raya itu adalah perbuatan bid’ah. Apa betul, ustadz?” Tanya jamaah peserta i’tikaf.

“Kalau perbuatan itu dianggap bid’ah saja, maka jawabannya ‘iya’. Sama dengan protes sahabat-sahabat kepada Umar bin Khattab saat beliau mengumpulkan taraweh dengan berjamaah yang belum pernah dilakukan Nabi saw dan Abu Bakar sebelumnya, “Bukankah ini perbuatan bid;ah?”. Umar menjawab, “Ini bid’ah yang baik”. Bahasa arabnya “Ni’matul bid’ah hadzihi”. Malah kalau diartikan letterlooknya “Sebaik-baik bid’ah, ya inilah”. Jadi ada bid’ah yang bukan sekedar baik tuh, tapi sebaik-sebaik, lebih baik dari yang baik. Ya kan?. Apa itu? Ya..dalam contoh ini shalat taraweh berjamaah yang “dibuat-buat” Umar bin Khattab.” Jawab ustadz santai..

“Tapi kan ustadz, bukankah Rasulullah saw telah mengajarkan ucapan yang sesuai dengan sunnah, yaitu “Taqabbalallahu Minna wa Minkum?” Sanggah jamaah.

“Nah, itu yang terbaik. Apa saja yang datang dari Nabi saw itu yang terbaik. Amalkan dengan rasa semangat dan kecintaan...” Jawab ustadz menyarankan.

“Kalau begitu, ustadz setuju yang mana, ucapan “taqabbalallahu Minna wa Minkum?” atau “Minal Aidin wal Faizin-Mohon Maaf Lahir Batin”? Tanya jamaah minta kepastian.

“Saya gak setuju dengan yang pertama” Jawab ustadz santai..

“Lho?, kan yang pertama itu ucapan dari Nabi, ustadz? Kok ustadz malah gak setuju?” protes jamaah.

“Bukan, Saya gak setuju yang pertama itu, maksudnya, isi statemen dalam pertanyaan Bapak, bahwa mengucapkan kata “Minal Aidin wal Faizin-Mohon Maaf Lahir Batin” itu adalah perbuatan bid’ah. Jika bid’ah itu diartikan sebagai bid’ah yang sesat. Saya gak setuju” . Jawab ustadz.

“Maksud ustadz,?” Tanya jamaah penasaran

“Begini, Ucapan “Minal Aidin wal Faizin-Mohon Maaf Lahir Batin” itu adalah kearifan lokal, bukan mau merubah apalagi menyaingi apa yang disunnahkan Nabi saw. Ucapan ini sudah enak terdengar di telinga orang Indonesia dan mereka memahami maksudnya, ehm..walaupun belum semua masyarakat tahu makna bagian pertama ucapan itu, yakni “minal aidin wal faizin”. Jadi, kearifan lokal jangan dibenturkan dengan sunnah dan bid’ah. Sebagai contoh, khutbah idul fitri atau khutbah idul adha, hampir semua khatib di Tanah Air, selain bacaan rukun khutbah, mereka menggunakan bahasa Indonesia bahkan bahasa daerah untuk menyampaikan pesan-pesan khutbahnya kepada masyarakat. Lalu apakah khutbah dengan bahasa Indonesia atau daerah itu kita sebut bid’ah?. Nggak Kan?, baik Rasulullah saw maupun sahabat dan Tabi’in belum pernah mencontohkan khutbah pakai bahasa selain bahasa Arab kan? . Khutbah kan juga ibadah lho..? Lalu kenapa para ulama membolehkan khutbah dengan bahasa lokal? Karena agar pesan-pesan kebaikan itu sampai kepada jamaah dan masyarakat. Itulah yang saya katakan “kearifan lokal”.
Nah, pada saat kita mengucapkan “Mohon Maaf Lahir Batin” maka pesan ucapan kita sampai kepada orang yang kita ajak bicara. Itu kira-kira” Jelas ustadz

“Tapi kan, kata “Minal Aidin Wal Faizin” juga bahasa Arab, ustadz? Tidak semua masyarakat Indonesia mengerti artinya? Bahkan ada yang salah kaprah, makna “minal aidin wal faizin” diartikan “Mohon Maaf lahir batin” padahal kan artinya “Semoga menjadi orang yang kembali dan beruntung”? Bukankah ini perlu diluruskan, ustasz?” . Sanggah Jamaah

“Nah...itu, bapak ngerti bahasa Arab...hehehe..jangan-jangan bapak juga seorang ustadz nih..? atau setidaknya pernah nyentren di pesantren nih....iya kan?” Tanya ustadz bercanda.

“Ah pak ustadz......Memang sih pak ustadz, saya pernah ikut pesantren.” Jawab Jamaah

“di Pesantren mana..?”. Tanya ustadz

”di Pesantren KILAT..!” Jawab Jamaah santai

“Astagfirullah...untung gak kesamber geledek saya.  Kirain pesantren beneran gitu.”. Sahut ustadz

“Jadi, gimana dong ustadz, jawaban pertanyaan saya tadi..?” Jamaah mengalihkan pembicaraan

“Itulah hebatnya orang Indonesia. Saking semangatnya mau menyebarkan dan mensyiarkan bahasa Arab, banyak “moment” yang tidak ada di Arab dan menjadi ciri khas Indoensia lalu di arab-arabkan, dan itu positif untuk pengembangan bahasa Arab. Setidaknya secara vocabulary. Contoh: kata”Halal bi Halal”. Kata ini Cuma ada di Indonesia, pahadal itu bahasa Arab. Dan di Arab sendiri gak ada istilah “Halal bi Halal”. Tapi baik kan isi acaranya? Saling silaturrahmi dan saling memaafkan?. Terus contoh lain. Di Toilet-toilet masjid bahkan di Pom Bensi (SPBU), ada toilet khusus pria dan toilet khusus wanita, namun tulisannya “IKHWAN” untuk toilet pria dan “AKHWAT” untuk toilet wanita. Nah, ini kan hal positif? Masyarakat jadi ngerti dan kenal bahasa Arab?. Begitu juga dengan kata “Minal Aidin wal Faizin” yang berarti “Semoga kembali (kepada fitroh) dan menjadi orang yang beruntung”. Kata ini gak pernah ada dan gak dipergunakan oleh orang-orang Arab, -kebetulan saya pernah tinggal 6 tahun lho di Arab - tapi kata itu dipake oleh orang Indonesia yang semangat “meng-arabkan” Imdonesia. Jadi, ini adalah kearifan lokal yang disemangati oleh bahasa al-quran. Karena itu, ini bukan bid’ah yang disesatkan itu.” Jelas ustadz panjang lebar.

“Tapi, kok masyarakat sering memahami kata “Minal Aidin wal Faizin” dengan makna “Mohon maaf lahir batin, Ustadz?” Sanggah jamaah.

“Gini, kesalahan anggapan makna itu ada. Cuma saya melihat begini... Suatu kata bisa dikatakan indah kalau akhiran-nya antara kata-kata atau kalimat itu sama. Sehingga kata dan kalimat itu bisa bernilai puitis, indah dan enak di dengar. Nah. Pada kalimat “Minal Aidin wal Faizin” itu kan berakhir dengan huruf “I” dan “N” sehingga berbunyi “IN”. Kemudian kata “Mohon maaf lahir batin” pun diakhir dengan “I” dan “N” yang juga berbunyi “IN”. Karena kedua kata berakhiran sama, maka enak didengar. Kalau kalimat “Minal Aidin wal Faizin” kita terjemahkan apa adanya, sepertinya agak sulit membuat kata puitis yang enak didengar.
Belum lagi maksud si pengucap ucapan idul fitri ingin mengumpulkan dua hubungan dalam pergaulan, yakni hubungan dengan Allah berupa doa “Minal Aidin wal Faizin”, juga hubungan sesama manusia berupa permohon maaf “Mohon maaf lahir dan batin”.
Jadi, menurut saya...ini adalah kekayaan dan kearifan lokal yang disemangati oleh ghiroh agamis. Bayangkan kalau disemangati oleh sekuler...apa jadinya?. Jadi, yang namanya budaya, baik-buruknya, dilatar belakangi oleh ‘civilazation dan culture”. Dan alhamdulillah kultur masyarakat kita banyak dilatar belakangi oleh ajaran agama Islam.” Jelas ustadz panjang lebar

“Oh ya.. satu hal lagi kearifan lokal kita.... Yaitu budaya memasak ketupat di setiap Idul Fitri. Bahkan, Kepolisiam saja menamai “Operasi Lebarannya” dengan istilah “Operasi Ketupat”. Dikarenakan lebaran atau idul fitri identik dengan suguhan masakan ketupat. Ini juga kan..kearifan lokal? Coba deh.. di Arab sana, ada gak ketupat sebagai makanan khas idul fitri mereka? Ada gak ketupat di zaman Nabi dan para sahabat? Gak kan? Lalu apa kita bilang ketupat di idul fitri itu bidah  yang sesat?...gak kan? Nah, itulah kearifan lokal.” Tambah ustadz

“Dengan penjelasan tentang kelebihan ucapan “minal aidin wal faizin-mohon maaf lahir batin” tadi, berarti pak ustadz setuju kalau ucapan itu lebih baik dari ucapan “Taqabbalallahu Minna wa minkum?” Tanya ustadz penasaran.

“Kan sudah saya sampaikan di awal, bahwa , itu yang terbaik. Apa saja yang datang dari Nabi saw itu yang terbaik. Amalkan dengan rasa semangat dan kecintaan...Jikapun saya jelaskan panjang lebar tentang ucapan “Minal Aidin wal-faizin-mohon maaf lahir batin” untuk menjelaskan bahwa in adalah kearifan dan khazanah lokal yang tidak perlu dibenturkan dengan sunnah-bid’ah. Jadi tetap.. apa yang datang dari Nabi, ambillah! (wa maaa ataakumu al-rasul fa khuzhuuhu, apa yang didatangkan Rasul padamu ambillah !).. tetapi yang tidak dilarang nabi saw serta baik jangan dicegah dan dilarang... karena ayatnya hanya yang dilarang Nabi yang harus dicegah (wa maa nahaakum ‘anhu fantahuuu..), adapaun kearifan yang tidak ada nash yang melarangnya, lalu ia baik dan tidak melanggar agama...tidak usah disebut sesat...Gitu luh...
Selain itu dalam ucapan “Taqabbalallhu Minna wa minkum” juga mengandung dua hubungan vertikal dan horizantal..karena kita pun mendoakan saudara kita.
Usul saya, saat bersalaman di idul fitri nanti, ucapkan tahniah yang diajarkan Nabi, kemudian karena tidak semua orang paham maknanya, silakan tambahin dengan tahniah kearifan lokal. Dan jika Bapak merasa terlalu panjang, ya ucapkan saja tahniah yang diajarkan Nabi. Namun kaalu ada yang mengucapkan tahniah lokal, jangan dituduh ahli bid’ah.....gitu aja repott”  Jelas ustadz.

“Alhamdulillah... jadi jelas ustadz, malam ini saya dapat pencerahan..” Ujar jamaah

“Itulah manfaat dari kita beri’tikaf. Dalam itikaf kita dapat beribadah, dapat ruhiyah, dapat ilmiyah, dapat ukhuwah, dan ayam serta kuwah.....he..he..  Oh ya..ngomong-ngomong Bapak itikafnya full kan sepuluh hari..?” Tanya ustad

“He..he.. maaf pak ustadz,...saya iktikafnya malam doang...kalau siang saya masih harus masuk kantor.” Jawab ustadz

“ini..ni..nih... yang namanya “Itikaf ala kalong alias kampret”, malam nampak- siang gak nampak. Tahun depan niatkan dan ‘azamkan ya itikaf sepuluh hari?, itikaf ala Nabi...jangan itikaf ala kampret melulu...” ujar ustadz menasehati.

Kan, Kearifan lokal, pak ustadz..he..he....i’tikafnya malam doing..hehe,,” Jawab jamaah

“Ha..ha... kampret lokal itu mah..! Ya sudah sana,, tilawah....saya juga mau tadarus nih....” Kata Ustadz.

“Daripada  ceboooong…pak ustadz?hehe” Jamaah menimpali..

“Huss…udah….sana tilawah…” Ustad menutup percakapan.






Kamis, 30 Mei 2019

Mengapa Makan Saat Buka Puasa Lebih Nikmat?


Sentilan-Sentilun Ramadhan

Oleh: Muhammad Jamhuri
 
“Pak ustadz, kenapa ya makan saat buka puasa terasa lebih nikmat, dibanding makan biasa?” Tanya jamaah saat acara bukber.

“Ini nanya atau curhat nih?” Ustadz balik bertanya.

“Ini pertanyaan ustadz, apa sih hikmahnya?” Tanya jamaah

“Kalau ditanya kenapa makan saat buka puasa itu lebih nikmat?, maka jawabannya bisa macam-macam. Boleh jadi karena seharian kita tidak makan dan minum, sehingga pada saat berbuka puasa maka makanan terasa enak. Bisa juga karena saat berbuka puasa, menu makanannya special dibanding saat suasana selain buka puasa.” Jawab ustadz

“Oh ya benar, tapi mungkin ada hikmah lain pak ustadz? Kan katanya ada hadist mengatakan, “bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan. Pertama bahagia saat berbuka puasa, dan bahagia saat bertemu dengan Tuhannya.” Maksud hadist itu apa ustadz.?” Tanya jamaah lagi penasaran.
“Nah.... pertanyaannya bagus nih. Begini, karena puncak kebahagiaan itu hanya ada setelah melewati perjuangan.” Tegas ustadz singkat.

“Maksudnya...?” Tanya jamaah penasaran.

“Saya tanya, mana yang lebih nikmat antara saat buka puasa dengan santap sahur?” Tanya ustadz.
“Mmmmmm...(sambil mikir membandingkan). Santap sahur memang nikmat, tapi masih lebih nikmat santap buka puasa, pak ustadz.” Jawab jamaah.

“Nah..mengapa demikian? Karena saat berbuka puasa kita telah melewati perjuangan. Yaitu perjuangan melawan hawa nafsu. Kita tidak makan dan minum. Pada saat kita telah melewati perjuangan itu dengan baik, maka kita akan merasa puas dan bahagia. Dan kebahagiaan itu bukan hanya enak di tenggorokan atau lidah kita, tapi kebahagiaan itu menyerap sampai ke batin kita. Itulah sebabnya, kenikmatan berbuka puasa hanya dirasakan oleh oleh orang yang melewati ujian dan perjuangan. Coba tanyakan kepada yang hadir dalam acara bukber ini. Nah, di sana hadir tuh orang yang tidak sedang berpuasa. Apakah mereka merasakan kenikmatan yang dirasa oleh orang yang sedang berpuasa? Pasti tidak. Padahal menunya sama, porsinya sama. Namun kebahagiaan dan kenikmatan dia hanya sampai mulut dan tenggorokan. Namun bagi orang yang berpuasa, rasa nikmat dan bahagia menyerap sampai ke dalam batin. Intinya, PUNCAK KENIKMATAN ITU ADA PADA PASCA MELEWATI PERJUANGAN. Itulah rahasia hadits tadi. Belum lagi kebahagiaan saat bertemu dengan Allah.” Ustadz menjelaskan panjang lebar .

“Lalu, yang dimaksud dengan bahagia saat bertemu dengan Tuhannya, apa pak ustadz?” Tanya jamaah lagi.

“Begini, satu-satunya ibadah yang amalannya tidak terlihat orang lain adalah puasa. Iya kan? Coba deh kalau kita shalat, masih kelihatan orang kan? Apalagi ibadah haji? Iya gak?. Nah oleh sebab itu dalam hadits Qudsi Allah swt menyatakan bahwa ibadah puasa spesial untuk-Ku, dan aku senidiri yang urus balasannya. Ini menunjukkan keagungan ibadah puasa ini. Nah, jika Bapak disuruh secara rahasia oleh atasan bapak untuk melakukan tugas, lalu cuma bapak dan atasan yang tahu tentang misi rahasia itu, kemudian bapak melaksanakannya dengan baik. Kira-kira apa yang bapak dapatkan dari atasan bapak? Pasti sesuatu yang istimewa kan?dan bagaimana perasaan bapak saat menerima hadiah atau imbalan yang istemewa itu? Pasti bahagia dong..? Nah...begitu juga dengan orang yang berpuasa, dia dengan segala kepatuhannya melaksanakan tugas rahasia dari tuhannya, maka saat bertemu dengan Allah Sang Pencipta Alam pastinya orang itu akan bahagia, terlebih mendapat balasan dari Tuhannya yang Maha Pengasih dan Penyayang itu. “ Ustadz menerangkan panjang lebar..

“Pak ustdaz, sudah iqomat tuh..Yuk kita shalat maghrib. Oh ya pak ustadz, sering-sering ngundang bukber lagi ya?, buka puasanya nambah satu lagi hikmahnya.” Ujar jamaah sebelum sambil menju masjid.

“Apa tuh? nambah satu lagi hikmahnya,” Tanya ustadz

“Gratiistiiiiiiiiiis….pak ustadz”..seloroh sambil jalan ke masjid.


Rabu, 29 Mei 2019

Bolot : Orang Yang Gak Puasa Gak Boleh Ikut Lebaran


Sentilan-Sentilun Ramadhan

Oleh: Muhammad Jamhuri
“Pak ustadz, apa benar orang yang tidak berpuasa  itu tidak boleh ikut lebaran?” Tanya seorang peserta itikaf

“Boleh” Jawab ustadz tenang.

“Lho? Waktu saya kecil, orang tua saya dan guru saya bilang, orang yang gak puasa gak boleh ikut lebaran?” Tanya jamaah penasaran.

“Boleh !, wong jangankan orang yang gak puasa, orang Cina, orang kafir aja pada ikut lebaran kok?, iya toh?” ustadz meyakinkan. “Bahkan, yang memanfaatkan dan merayakan lebaran justru orang-orang kafir”. Tambah ustadz

“Maksud pak ustadz?” Jamaah tanya lagi penasaran.

“Lha, adanya ramadhan dan lebaran, yang paling merayakan keuntungan siapa? Mayoritas orang kafir kan? Yang punya pabrik kecap siapa? Pabrik sirop? Garmen? Mall-mall?mini market? Kan mayoritas pemiliknya orang kafir? Dan dagangan mereka laku keras kan?” Ustdaz mencoba meyakinkan.

“Hmm..iya sih....Tapi ustadz, bukan itu maksud saya, nanti di hari lebaran itu lho, yang boleh merayakan lebaran hanya yang berpuasa kan?” kata jamaah minta penegasan.

“Tetap.......saat lebaran juga orang kafir boleh  merayakan, bahkan mereka paling lama merayakannya. Buktinya, sebelum lebaran mereka sudah berliburan dan berlebaran  jalan-jalan dan tamasya ke luar negeri menikmati keuntungan selama ramadhan. Kalau kita yang muslim, paling kuat jalan-jalan ke kuburan, ziarah”  Ustadz menyanggah sekaligus menegaskan bahwa lebaran itu milik semua.

“Kalau semua boleh merayakan lebaran, kalau gitu apa dong keistimewaan orang yang berpuasa? Kalau yang ikut lebaran boleh siapa saja, apa gunanya kita berpuasa kalau begitu?” Tanya jamaah pasrah dengan wajah yang nampak muram

“Begini, harus dibedakan dulu antara” Lebaran” dan “Idul Fitri”. Lebaran itu adalah tradisi yang bisa dilakukan siapa saja, baik orang yang puasa atau yang tidak puasa, baik  muslim maupun kafir. Tapi yang namanya “idul fitri” adalah kembali kepada kesucian, setelah dosa-dosanya diampuni dan amal ibadahnya diterima Allah swt.  Seseorang menjadi seperti seorang bayi yang kembali kepada kesucian. Nah, idul fitri dalam makna inilah hanya dapat dirayakan dan dirasakan oleh orang yang beribadah dengan baik selama bulan Ramadhan. Sedangkan orang yang tidak berpuasa tanpa uzur, apalagi dia kafir, mereka tidak merasakan dan merayakan idul fitri.” Jelas ustadz panjang lebar.

“Nah..itu tuh  maksud pertanyaan saya tadi pak ustadz” Tutur jamaah sambil mulai tersenyum.

“Harusnya dari awal pertanyaan bapak tuh begini, ‘orang yang gak puasa bisa ikut idul fitri gak?. Gitu, pak” Ustadz meluruskan.

“Kan dari awal juga saya tanya begitu ustadz..?” ujar jamaah mengeles.

“Maaf,  bapak pernah menyaksikan aksi pelawak bernama BOLOT gak?” kini ustadz yang bertanya.

“Pernah, pak ustadz.” Jawab jamaah, “Memang kenapa, pak ustadz..” tanya lagi

“Nanti malam, ada acara Opera Van Java,  kata iklan TV,  Bolot akan menjadi bintang tamu..” Ustadz memberi informasi

“Terus?” tanya jamaah.

“Tonton sampai abis ya?  Dan perhatiin, dia ngomong “lebaran” atau “idul fitri”?

“Baik ustadz....” jawab jamaah..

“Lha...bukannya bapak sedang  i’tikaf?kok mau nonton TV? ” Tanya ustadz.

“Oh iya, saya bolot eh lupa amat ya?” jawabnya..



Selasa, 28 Mei 2019

Zakat Fitrah Dengan Uang di Zaman Now Lebih Afdhal, Begini Ceritanya



Sentilan-Sentilun Ramadhan

Oleh: Muhammad Jamhuri

“Ustadz, saya mau tanya nih, katanya kalau kita mau bayar zakat fitrah nggak boleh pake uang, harus pake beras. Apa betul begitu ustadz?” Tanya jamaah.

“Kata siapa?” Ustaz balik bertanya.

“Yaa...kan sekarang banyak share-share broadcast, ustadz, saya juga dapat dari bradcast masalah zakat fitrah ini, ustadz”.Jawab jamaah

“Lalu, selama ini, bapak kalau bayar zakat fitrah, pake apa?” Ustdaz balik tanya lagi

“Pake uang ustadz. ..mungkin sejak saya lahir juga, dibayarin zakatnya oleh orang tua pake uang. Makanya saya jadi ragu nih setelah baca di medsos itu. Nah, sekalian dah nanya juga, kalau seandainya bertahun-tahun bayar fitrah saya pake uang dan jika itu tidak sah, bagaimana dong ustadz cara membayarnya?”  Tanya jamaah.

“Ribet amat sih pak?. Nih, biar bapak tenang saya keluarin jawabannya, zakat fitrah pake uang itu hukumnya sah, bahkan di zaman sekarang boleh disebut lebih afdhal dari pada beras.” Jelas ustadz santai.

“Hah..? kok bisa gitu ustadz?. Padahal yang saya baca di medsos itu, hadits-hadits Nabi menjelaskan bahwa zakat fitrah dibayar dengan BERAS, juga para sahabat bayar zakat fitrahnya dengan BERAS. Malahan tiga mazhab fiqih juga berpendapat yang sama, kok bisa ustadz mengatakan bahwa bayar zakat fitrah dengan uang lebih afdhol?” Tanya jamaah protes.

“Ntar..ntar...saya koreksi dulu ya? Nabi, sahabat, tabiin dan para ulama mazhab gak pernah menyuruh kita membayar zakat fitrah dengan BERAS. Yang ada adalah MAKANAN POKOK!”. Jelas ustadz memotong pembicaraan jamaah.

“Oh iya ustadz, maksud saya itu..makanan pokok” Ujar jamaah meralat sambil cengengesan.

“Begini. Dari dulu sampai sekarang, para ulama berselisih pendapat tentang penyikapan pada suatu nash atau teks dalil. Ada yang melihat pesan yang tersirat (mafhum), ada juga yang melihat pada yang tersurat (mantuq). Contoh..: Baru aja selesai perang Khandaq, Nabi saw langsung menyuruh sahabat segera berangkat ke kampung Bani Quraizhah untuk memberi pelajaran kepada mereka karena telah berkhianat pada perang tersebut. Nabi saw berpesan, “Jangan kalian shalat ashar, hingga kalian tiba di Bani Quraizhah”. Nah, sebagian sahabat ada yang memahami pesan Nabi saw itu secara mantuq (tersurat). Sehingga mereka tidak shalat ashar sebelum tiba di sana, sekalipun di jalan sudah masuk waktu ashar. Namun sebagian sahabat memahaminya secara tersirat (mafhum). Pesan tersiratnya adalah “Usahakan datang ke sana sebelum masuk waktu shalat ashar”. Sehingga saat di perjalanan masuk waktu ashar, mereka langsung melaksanakan shalat tepat waktu.”
“Demikian juga, saat menyikapi hadist tentang barang ribawi  yang diriwayatkan Abbdullah bin Shamit yang menyebut bahwa barang ribawi itu ada 6: emas, perak, kurma, gandum, tepung, dan garam. Imam Daud Azh-Zhahiry menyikapinya dengan mantuq (tersurat) sehingga beliau tidak memasukkan fulus (uang kertas atau logam yang non emas perak) masuk dalam kategori barang ribawi. Sementara ulama lain memahaminya secara mafhum (tersirat) bahwa penyebutan emas dan perak adalah perwakilan dari segala macam uang dan mata uangnya, apapun bahan bakunya..sehingga jika ada pembungaan (tambahan) pada fulus (uang kertas) pun  maka berlaku hukum riba. Bayangkan, jika kita hanya memahaminya secara mantuq (tersurat) maka tidak berlaku riba pada fulus (uang kertas), meskipun ada pembungaan.”

“Demikian juga perdebatan ulama tentang wudhu, apakah dia ibadah mahdhah (ritual) atau ibadah untuk nazhofah (kebersihan)? Perbedaan itu masih terjadi.”
Perbedaan-perbedaan itu sebenarnya memberi rahmat dan kegunaan bagi kondisi zaman yang kita hadapi. Oleh sebab itu, permasalahan apakah zakat fitrah dibayar dengan  makanan pokok atau uang, tidak lepas dari perbedaan sudut pandang mantuq atau mafhum ?” Ustadz menjelaskan panjang lebar.

“Aduh...saya kok tambah pusing ustazd. Coba langsung saja jelaskan, mengapa ustadz mengatakan membayar zakat fitrah dengan uang untuk zaman sekarang ini lebih afdhol?” Pinta jamaah.

“Nah, ditinjau dari mafhum kegunaan dan tujuan zakat fitrah serta hikmahnya, maka boleh dikatakan –untuk zaman sekarang- membayar zakat fitrah dengan uang adalah lebih utama , dengan alasan sebagai berikut:

Pertama, di antara hikmah adanya  zakat fitrah adalah agar orang fakir miskin di hari Idul Fitri semua berbahagia dengan tersedianya makanan di hari itu. Nah, zaman sekarang, yang dimakan fakir miskin dan kebutuhan mereka bukan hanya dapat makan makanan pokok saja di hari itu, tapi juga perlu lauk-pauknya, sayurnya dan makanan lainnya. Nah kalau mereka hanya mendapat makanan pokok, maka mereka tidak bisa membeli lauk-pauknya. Sedangkan jika mereka mendapat zakat fitrahnya berupa uang, mereka dapat membeli beras, lauk-pauk, sayur mayur bahkan bisa beli pembungkus ketupat. Nah disinilah lebih utama zakat fitrah dengan uang.

Kedua, pada beberapa negara kaya dan yang penduduknya minim fakir miskin, sementara kesadaran membayar zakat itu tinggi, maka pada saat tidak ditemukan fakir miskin di sana, mereka akan mendistribusikan zakatnya ke negara lain. Jika berupa makanan pokok, maka mereka akan terkendala waktu. Jangan lupa, kewajiban zakat fitrah adalah pada saat malam takbiran, dan sebagian orang hanya akan membayar zakat fitrahnya di malam takbiran itu karena itulah wakt al-wujub (waktu wajibnya fitrah). Pendistribusian zakat berupa makanan pokok ini akan memakan biaya transportasi lagi. Selain juga waktu tempuh akan lama, dan bisa melewati hari idul fitri sehingga kehilangan hikmah diwajibkannya zakat fitrah yang harus didistribusikan sebelum idul fitri. Sedangkan jika zakat fitrah berupa uang, maka dengan sangat mudah kita transfer ke mana pun. Dan membayar zakat fitrah dengan uang dalam kondisi pendistribusian ke negara-negara yang terkena musibah atau konflik akan terasa terlihat lebih utama karena mereka memerlukan bantuan dengan cepat.

Ketiga, mungkin orang akan berkata, yang penting bayar dengan makanan pokok, nanti kan untuk kebutuhan lain, fakir miskin itu bisa menjual berasnya lalu dibelikan kebutuhan lauk pauk.? Atas alasan ini, saya punya pengalaman saat kuliah di Arab saudi. Orang Saudi, rame-rame membayar zakat fitrahnya di malam idul fitri karena itulah wakt-al-wujub nya. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan konsumen membeli paket zakat fitrah, banyak dijumpai orang-orang menjual beras paket zakat fitrah menjajakan nya di jalan-jalan. Nah, disamping penjual paket zakat fitrah itu, beberapa orang miskin takroni (negro) duduk siap menerima zakat fitrah. Lalu saya lihat orang Saudi dalam mobil membeli paket zakat fitrah itu dengan harga  15 real, lalu mobil maju sedikit menghampiri orang misikin dan langsung menyerahkan zakat fitrah tadi ke orang miskin itu, kemudian datang lagi pengendara mobil lain, membeli paket zakat dan meyerahkan kepada orang miskin negro lagi seperti orang pertama. Nah, saya ketawa, pada saat pengendara itu menjauh meninggalkan mereka, si miskin yang menerima zakat tadi, menjual kembali paket zakat itu kepada penjual paket zakat dengan harga 10 real. Sampai sini, bapak bisa bayangkan kan ketidak efektifan zakat berupa bahan pokok. Andai saja, muzakki itu memberi zakat fitrah kepada si miskin seharga paket beras fitrah dalam bentuk uang, , pasti dia mendapat zakatnya 15 real perkepala, dan tidak repot-repot lagi harus menjual kepada penjaja paket zakat tadi.” Ujar ustadz menjelaskan panjang lebar

“Hmmm..iya juga ya ustadz...? jadi kalau kita bayar zakat fitrah dengan beras atau makanan pokok tidak sah ustazd? Karena kan pake uang -kata ustadz- lebih afdol?” Tanya jamaah membandingkan.

“Tidak...tetap saja membayar zakat dengan beras atau makanan pokok pun sah. Karena afdoliyah (keutamaan) itu tidak menafikan sah-nya cara lain jika memenuhi syarat.” Jelas ustadz singkat.

“Terus, orang yang menyebarkan broadcast zakat fitrah tidak sah dengan uang itu, tidak benar, ustadz?” Tanya jamaah memastikan.

“Memangnya, bapak kenal dengan orang yang menyebarkan broadcast itu?” Ustadz balik bertanya

“Kenal sih utadz, teman sekantor  dan masih tetangga saya, bahkan teman main saya waktu kecil.” Jawab jamaah singkat

“Coba tanya ke teman bapak itu, waktu dia masih anak kecil dan remaja dulu, hingga dia belum baca broadcast itu, dulu orang tua dia dan dia, bayar zakatnya pake beras apa uang?” Tanya Ustadz memohon.

“Seinget saya...sama dengan saya pak ustadz, orang tuanya juga bayar zakat fitrah dia ke guru ngajinya pake uang, bukan beras...dulu kan dia satu pengajian di kampung dengan saya.” Jawab jamah

“Nah, terus, kalo gitu, yang dulu-dulu gak sah dong? Terus kalo mau dirapel  atau diakumulasi bayar sekarang dengan beras, sudah lambat dong? Kan zakat fitrah itu harus dikeluarkan sebelum bubar shalat idul fitri di tahun itu? Lha, dia udah 30 tahun , berarti udah kelewatan 30 idul fitri dong?” Ujar ustadz ngajak berpikir.

“Iya ustadz,memang enakan ikut pendapat ustadz, lebih menenangkan dan menentramkan. Istilah kantor pajak-mya ‘Menyelsaikan Masalah Tanpa Masalah’..”Ujar jamaah..

“Ciee...bapak bisa aja ahh.....ini bukan pendapat saya, saya cuma ngutip dari ulama Hanafiyah dan ulama kontemporer DR. Yusuf al-Qordhowi dalam karyanya Fiqih al-Zakat” jawab ustadz tersanjung, sampe hidungnya merah karena dipuji.

Jamhuri-Rumpin, 23 Ramadhan 1438 H