Sentilan-Sentilun Ramadhan
Oleh: Muhammad Jamhuri

“Kata
siapa?” Ustaz balik bertanya.
“Yaa...kan
sekarang banyak share-share broadcast, ustadz, saya juga dapat dari bradcast
masalah zakat fitrah ini, ustadz”.Jawab jamaah
“Lalu,
selama ini, bapak kalau bayar zakat fitrah, pake apa?” Ustdaz balik tanya lagi
“Pake
uang ustadz. ..mungkin sejak saya lahir juga, dibayarin zakatnya oleh orang tua
pake uang. Makanya saya jadi ragu nih setelah baca di medsos itu. Nah, sekalian
dah nanya juga, kalau seandainya bertahun-tahun bayar fitrah saya pake uang dan
jika itu tidak sah, bagaimana dong ustadz cara membayarnya?” Tanya jamaah.
“Ribet
amat sih pak?. Nih, biar bapak tenang saya keluarin jawabannya, zakat fitrah
pake uang itu hukumnya sah, bahkan di zaman sekarang boleh disebut lebih afdhal
dari pada beras.” Jelas ustadz santai.
“Hah..?
kok bisa gitu ustadz?. Padahal yang saya baca di medsos itu, hadits-hadits Nabi
menjelaskan bahwa zakat fitrah dibayar dengan BERAS, juga para sahabat bayar
zakat fitrahnya dengan BERAS. Malahan tiga mazhab fiqih juga berpendapat yang
sama, kok bisa ustadz mengatakan bahwa bayar zakat fitrah dengan uang lebih
afdhol?” Tanya jamaah protes.
“Ntar..ntar...saya
koreksi dulu ya? Nabi, sahabat, tabiin dan para ulama mazhab gak pernah
menyuruh kita membayar zakat fitrah dengan BERAS. Yang ada adalah MAKANAN POKOK!”.
Jelas ustadz memotong pembicaraan jamaah.
“Oh
iya ustadz, maksud saya itu..makanan pokok” Ujar jamaah meralat sambil
cengengesan.
“Begini.
Dari dulu sampai sekarang, para ulama berselisih pendapat tentang penyikapan
pada suatu nash atau teks dalil. Ada yang melihat pesan yang tersirat (mafhum),
ada juga yang melihat pada yang tersurat (mantuq). Contoh..: Baru aja selesai
perang Khandaq, Nabi saw langsung menyuruh sahabat segera berangkat ke kampung
Bani Quraizhah untuk memberi pelajaran kepada mereka karena telah berkhianat
pada perang tersebut. Nabi saw berpesan, “Jangan kalian shalat ashar, hingga
kalian tiba di Bani Quraizhah”. Nah, sebagian sahabat ada yang memahami pesan
Nabi saw itu secara mantuq (tersurat). Sehingga mereka tidak shalat ashar
sebelum tiba di sana, sekalipun di jalan sudah masuk waktu ashar. Namun
sebagian sahabat memahaminya secara tersirat (mafhum). Pesan tersiratnya adalah
“Usahakan datang ke sana sebelum masuk waktu shalat ashar”. Sehingga saat di
perjalanan masuk waktu ashar, mereka langsung melaksanakan shalat tepat waktu.”
“Demikian
juga, saat menyikapi hadist tentang barang ribawi yang diriwayatkan Abbdullah bin Shamit yang
menyebut bahwa barang ribawi itu ada 6: emas, perak, kurma, gandum, tepung, dan
garam. Imam Daud Azh-Zhahiry menyikapinya dengan mantuq (tersurat) sehingga
beliau tidak memasukkan fulus (uang kertas atau logam yang non emas perak)
masuk dalam kategori barang ribawi. Sementara ulama lain memahaminya secara
mafhum (tersirat) bahwa penyebutan emas dan perak adalah perwakilan dari segala
macam uang dan mata uangnya, apapun bahan bakunya..sehingga jika ada pembungaan
(tambahan) pada fulus (uang kertas) pun maka berlaku hukum riba. Bayangkan, jika kita
hanya memahaminya secara mantuq (tersurat) maka tidak berlaku riba pada fulus
(uang kertas), meskipun ada pembungaan.”
“Demikian
juga perdebatan ulama tentang wudhu, apakah dia ibadah mahdhah (ritual) atau
ibadah untuk nazhofah (kebersihan)? Perbedaan itu masih terjadi.”
Perbedaan-perbedaan
itu sebenarnya memberi rahmat dan kegunaan bagi kondisi zaman yang kita hadapi.
Oleh sebab itu, permasalahan apakah zakat fitrah dibayar dengan makanan pokok atau uang, tidak lepas dari
perbedaan sudut pandang mantuq atau mafhum ?” Ustadz menjelaskan panjang lebar.
“Aduh...saya
kok tambah pusing ustazd. Coba langsung saja jelaskan, mengapa ustadz
mengatakan membayar zakat fitrah dengan uang untuk zaman sekarang ini lebih
afdhol?” Pinta jamaah.
“Nah,
ditinjau dari mafhum kegunaan dan tujuan zakat fitrah serta hikmahnya, maka
boleh dikatakan –untuk zaman sekarang- membayar zakat fitrah dengan uang adalah
lebih utama , dengan alasan sebagai berikut:
Pertama,
di antara hikmah adanya zakat fitrah
adalah agar orang fakir miskin di hari Idul Fitri semua berbahagia dengan
tersedianya makanan di hari itu. Nah, zaman sekarang, yang dimakan fakir miskin
dan kebutuhan mereka bukan hanya dapat makan makanan pokok saja di hari itu,
tapi juga perlu lauk-pauknya, sayurnya dan makanan lainnya. Nah kalau mereka
hanya mendapat makanan pokok, maka mereka tidak bisa membeli lauk-pauknya.
Sedangkan jika mereka mendapat zakat fitrahnya berupa uang, mereka dapat
membeli beras, lauk-pauk, sayur mayur bahkan bisa beli pembungkus ketupat. Nah
disinilah lebih utama zakat fitrah dengan uang.
Kedua,
pada beberapa negara kaya dan yang penduduknya minim fakir miskin, sementara
kesadaran membayar zakat itu tinggi, maka pada saat tidak ditemukan fakir
miskin di sana, mereka akan mendistribusikan zakatnya ke negara lain. Jika
berupa makanan pokok, maka mereka akan terkendala waktu. Jangan lupa, kewajiban
zakat fitrah adalah pada saat malam takbiran, dan sebagian orang hanya akan
membayar zakat fitrahnya di malam takbiran itu karena itulah wakt al-wujub
(waktu wajibnya fitrah). Pendistribusian zakat berupa makanan pokok ini akan
memakan biaya transportasi lagi. Selain juga waktu tempuh akan lama, dan bisa
melewati hari idul fitri sehingga kehilangan hikmah diwajibkannya zakat fitrah
yang harus didistribusikan sebelum idul fitri. Sedangkan jika zakat fitrah
berupa uang, maka dengan sangat mudah kita transfer ke mana pun. Dan membayar
zakat fitrah dengan uang dalam kondisi pendistribusian ke negara-negara yang
terkena musibah atau konflik akan terasa terlihat lebih utama karena mereka
memerlukan bantuan dengan cepat.
Ketiga,
mungkin orang akan berkata, yang penting bayar dengan makanan pokok, nanti kan
untuk kebutuhan lain, fakir miskin itu bisa menjual berasnya lalu dibelikan
kebutuhan lauk pauk.? Atas alasan ini, saya punya pengalaman saat kuliah di
Arab saudi. Orang Saudi, rame-rame membayar zakat fitrahnya di malam idul fitri
karena itulah wakt-al-wujub nya. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan konsumen
membeli paket zakat fitrah, banyak dijumpai orang-orang menjual beras paket
zakat fitrah menjajakan nya di jalan-jalan. Nah, disamping penjual paket zakat
fitrah itu, beberapa orang miskin takroni (negro) duduk siap menerima zakat
fitrah. Lalu saya lihat orang Saudi dalam mobil membeli paket zakat fitrah itu
dengan harga 15 real, lalu mobil maju
sedikit menghampiri orang misikin dan langsung menyerahkan zakat fitrah tadi ke
orang miskin itu, kemudian datang lagi pengendara mobil lain, membeli paket
zakat dan meyerahkan kepada orang miskin negro lagi seperti orang pertama. Nah,
saya ketawa, pada saat pengendara itu menjauh meninggalkan mereka, si miskin
yang menerima zakat tadi, menjual kembali paket zakat itu kepada penjual paket
zakat dengan harga 10 real. Sampai sini, bapak bisa bayangkan kan ketidak
efektifan zakat berupa bahan pokok. Andai saja, muzakki itu memberi zakat
fitrah kepada si miskin seharga paket beras fitrah dalam bentuk uang, , pasti
dia mendapat zakatnya 15 real perkepala, dan tidak repot-repot lagi harus
menjual kepada penjaja paket zakat tadi.” Ujar ustadz menjelaskan panjang lebar
“Hmmm..iya
juga ya ustadz...? jadi kalau kita bayar zakat fitrah dengan beras atau makanan
pokok tidak sah ustazd? Karena kan pake uang -kata ustadz- lebih afdol?” Tanya
jamaah membandingkan.
“Tidak...tetap
saja membayar zakat dengan beras atau makanan pokok pun sah. Karena afdoliyah
(keutamaan) itu tidak menafikan sah-nya cara lain jika memenuhi syarat.” Jelas
ustadz singkat.
“Terus,
orang yang menyebarkan broadcast zakat fitrah tidak sah dengan uang itu, tidak
benar, ustadz?” Tanya jamaah memastikan.
“Memangnya,
bapak kenal dengan orang yang menyebarkan broadcast itu?” Ustadz balik bertanya
“Kenal
sih utadz, teman sekantor dan masih
tetangga saya, bahkan teman main saya waktu kecil.” Jawab jamaah singkat
“Coba
tanya ke teman bapak itu, waktu dia masih anak kecil dan remaja dulu, hingga
dia belum baca broadcast itu, dulu orang tua dia dan dia, bayar zakatnya pake
beras apa uang?” Tanya Ustadz memohon.
“Seinget
saya...sama dengan saya pak ustadz, orang tuanya juga bayar zakat fitrah dia ke
guru ngajinya pake uang, bukan beras...dulu kan dia satu pengajian di kampung
dengan saya.” Jawab jamah
“Nah,
terus, kalo gitu, yang dulu-dulu gak sah dong? Terus kalo mau dirapel atau diakumulasi bayar sekarang dengan beras,
sudah lambat dong? Kan zakat fitrah itu harus dikeluarkan sebelum bubar shalat
idul fitri di tahun itu? Lha, dia udah 30 tahun , berarti udah kelewatan 30
idul fitri dong?” Ujar ustadz ngajak berpikir.
“Iya
ustadz,memang enakan ikut pendapat ustadz, lebih menenangkan dan menentramkan.
Istilah kantor pajak-mya ‘Menyelsaikan Masalah Tanpa Masalah’..”Ujar jamaah..
“Ciee...bapak
bisa aja ahh.....ini bukan pendapat saya, saya cuma ngutip dari ulama Hanafiyah
dan ulama kontemporer DR. Yusuf al-Qordhowi dalam karyanya Fiqih al-Zakat”
jawab ustadz tersanjung, sampe hidungnya merah karena dipuji.
Jamhuri-Rumpin,
23 Ramadhan 1438 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar