Minggu, 27 Juli 2014

Kembali Kepada Fitrah

"Idul Fitri" sering diartikan sebagai "kembali kepada fitrah". Sedangkan fitrah itu sendiri diartikan kesucian. Fitrah juga bermakna hukum dan ketetapan Allah yang berlaku bagi manusia.

Mengapa kembali kepada fitrah? karena manusia, sejak asal kejadian dan saat dilahirkan berada dalam kesucian. Hal ini dapat kita lihat dari 3 (tiga) argumentasi:
  1. Hadits Nabi saw yang menyatakan, "Setiap manusia terlahir berada di atas fitrah (suci), hanya saja, kedua orang tuanya-lah yang mempengaruhinya berperilaku Yahudi, Nasrani dan Majusi"
  2. Sumpah Allah swt dengan 3 (tiga) tempat suci saat berfirman "Sungguh kami ciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk" (QS. At-Tin: 1-4). "Demi buah Tin dan Zaitun (buah yang banyak tumbuh di Yerusalem tempat suci kelahiran Nabi Isa as) dan demi bukit Tursina (bukit suci yang pernah dinaiki oleh Musa as saat bercakap-cakap dengan Allah swt), dan demi negeri yang aman ini (Makkah: kota suci tempat dilahirkannya nabi Muhammad saw)
  3. Bahan pembuatan manusia dari "turob" (tanah) dan dari "Maa" (Air) atau "Thin" (campuran tanah dan air). Air dan tanah menjadi alat untuk bersuci saat akan melakukan beberapa aktifitas ibadah (Wudhu atau tayammum)
Jadi, manusia itu asal muasalnya fitrah (suci). Hanya saja karena pengaruh lingkungan, literatur serta informasi yang didapatnya setelah menginjak dewasa, maka manusia mulai "kotor". 
Oleh sebab itu, Allah swt telah menyediakan sarana-sarana untuk menjaga dan melestarikan kesucian manusia. Antara lain:
  1. Pemeliharaan Kesucian Harian, yakni dengan wudhu dan shalat. Dengan wudhu dan shalat, manusia diharapkan dapat menjaga kestabilan kesuciannya sehingga dengan kedua ibadah itu tidak terdorong untuk melakukan perbuatan keji dan mungkar sebagaimana tujuan dari diwajibkannya shalat itu sendiri. Rasulullah saw pernah bertanya kepada para sahabat, "Jika ada seseorang yang bertempat tinggal di samping sungai yang jernih, lalu orang itu mandi lima kali sehari di sungai itu, apakah kira-kira kotoran masih melekat pada dirinya?" Sahabat menjawab, "Tidak ada, pasti dia selalu bersih". Rasulullah saw bersabda, "Nah, demikian juga orang yang menunaikan shalat lima kali sehari, maka dia akan bersih dari segala dosa." 
  2. Pemeliharaan Kesucian Harta: Jenis menjaga kesucian ini ditunaikan melalui ibadah zakat. Zakat setidaknya mempunyai dua fungsi pembersihan, yakni membersihkan harta dan membersihkan jiwa pemiliknya dari sifat kikir dan individualis.  
  3. Pemeliharaan Kesucian Sikap; Jenis penjagaan kesucian ini ditunaikan melalui ibadah puasa. Puasa bukan hanya mengajarkan diri kita menahan lapar dan dahaga, namun juga diajarkan untuk menahan hawa nafsu dan emosi.

Jika semua pelaksanaan pensucian itu sesuai tuntunan Allah swt, maka manusia akan kembali kepada fitrah (kesucian). Jadi, kembali kepada kesucian, bukan hanya terletak pada ibadah puasa saja, namun keseluruhan ibadah diatas yang dilakukan secara simultan dan komprehensif.

Di atas sudah dijelaskan, bahwa makna "fitrah" bukan hanya 'suc'i saja, namun mengandung arti hukum dan ketetapan Allah yang berlaku bagi manusia. Oleh sebab itu, salah satu hukum alam yang berlaku kepada manusia adalah kerinduan menemui asal penciptaan dan eksistensinya. Ketika manusia pada tingkat kesucian tertentu, terutama setelah menjalankan ibadah shalat, zakat dan puasa di bulan Ramadhan, maka manusia akan merindukan tempat asal keberadaannya. Itulah kemudian manusia di hari raya ingin mudik alias pulang kampung, ingin menemui tempat asalnya. Atau setidaknya, menemui asal kelahirannya, yaitu kedua orang tua. Dan oleh karena itu, dalam pemenuhan fitrah yang juga merupakan salah satu pemenuhan kepuasan batiinnya, manusia berusaha dan bersemangat untuk melakukan pulang kampung (mudik), meskipun  harus mengeluarkan biaya dan bahkan menghadapi bahaya maut di jalan raya dan lalu lintas.

Jadi, puncak kesucian jiwa manusia adalah terletak pada kesadaran diri akan asal muasalnya. Dan salah satu asal muasal keberadaan manusia adalah orang tua yang melahirkannya. Oleh sebab itu, kebahagiaan bertemu dengan orang dan kampung halamannya adalah nilai yang tidak bisa dihargakan dengan kepingan uang. Kepuasan batin yang terpenuhi rasa fitrah mengalahkan segala resiko dan beban.

Dan puncak kerinduan kepada asal muasal selanjutnya adalah ditunjukkan dengan kerinduan umat Islam kepada sang Khaliq, yang 'rumah'Nya ada di Makkah. Dan oleh sebab itu, animo masyarakat muslim yang rindu dan ingin bertemu Allah di Tanah Suci selalu meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan karena jiwa dan rohani begitu haus untuk menemui sumber asal muasal manusia. yaitu Allah swt Dan saat berada di hadapan Allah di Tanah Suci, seluruh sendi, tulang dan bulu bergetar melampiaskan rasa rindu bertemu dengan Allah swt....

Jadi, "kembali kepada fitrah" adalah pengakuan kembali secara totalitas bahwa Allah swt lah yang wajib disembah, tidak menyekutukaNya, dan memprioritas perintahNya diatas perintah lain...dan itulah esensi saat kita ditanya oleh Allah st di masa alam ruh, "Alastu birobbikum?" (Bukankah Aku adalah Tuhanmu?) Lalu kita yang masih dalam bentuk ruh menjawab, "Balaa syahidna.." (Ya, kami bersaksi atas hal itu).