Senin, 29 September 2008

Idul Fitri: Titik Menuju Harapan Baru

Sebulan lamanya umat Islam melaksanakan ibadah puasa. Suatu ibadah yang sarat dengan dimensi makna dan hikmah, mulai hikmah keimanan, kejujuran, sosial, kesehatan, kejiwaan, hingga hikmah ekonomis. Sungguh Maha Besar Allah yang telah menurunkan syariat dan aturan-Nya yang sempurna. Melalui puasa, umat islam di seluruh dunia telah ”ditraining” dengan massif, massal dan spektakuler. Sungguh kita sangat bersyukur memeluk agama fitrah ini. Agama yang ajarannya begitu lengkap dan detail, yang jelas dan terang bagai matahari di siang hari, yang sejuk dan lembut bagai rembulan purnama di malam hari. Tidak ada kata yang layak kita ucapkan di hari fitrah nan suci ini selain ungkapan keagungan Tuhan, ungkapan takbir yang disunnahkan Nabi saw tercinta ”Allahu Akbar, Allahu Akbar” (Allah Maha Besar- Allah Maha Besar!). Sebagaimana perintah Allah SWT dalam firman-Nya:
”Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS. Al-Baqarah: 185)
Selama Ramadhan, kita telah dilatih untuk berlaku jujur. Betapa tidak? Meskipun kita berada di suatu tempat yang tidak terlihat oleh anak, isteri, suami bahkan bos dan atasan kita, kita tetap berlaku jujur, kita tidak berani memasukkan makanan atau minuman ke dalam rongga mulut kita di siang hari. Mengapa hal itu terjadi? Karena kita meyakini bahwa Allah SWT melihat kita, Allah mengawasi kita, Allah bersama kita kemanapun kita berada. Betapa indahnya bila perasaan kebersamaan dengan Allah selalu kita bawa di setiap keadaan dan tempat; di kantor, di pasar, di toko, di kampus, di kendaraan dan dimanapun. Mungkin tidak akan kita temukan lagi orang berani curang, korupsi, manipulasi, menguragi timbangan dan takaran, menjual barang yang kadaluwarsa, melanggar lalu lintas meski polisi tidak berada di tempat, serta perbuatan-perbuatan tercela lainnya.
Suatu hari Umar bin Khattab berkeliling kampung mengamati kondisi negerinya, beliau bertemu dengan seorang budak yang sedang menggembala kambing yang banyak jumlahnya. Umar bertanya, ”Milik siapakah kambing-kambing ini?.” Si budak menjawab, ”Milik tuanku, tuan!” ”Berapa ekor jumlahnya?” tanya Umar. ”Sepanjang mata tuan memandang, itulah jumlah kambing tuan kami, tuan!” jawab sang budak. ”Bagaimana jika aku beli satu ekor kambing saja? Ini uangnya.” Rayu Umar seraya menguji keimanan sang budak. ”Maaf, tuan!, saya tidak diperkenankan menjual tanpa seidzin tuan saya.”. jawab sang budak. ”Lho, bukankah tuanmu tidak melihat? Dan lagi, kambing sebanyak ini, mana mungkin tuanmu tahu kalau satu ekor saja dijual?” kata Umar. ”Benar tuan, tuan saya tidak mengetahui, tetapi Allah Maha Mengetahui apa yang hamba lakukan.”. Jawab sang budak yang penggembala itu. Umar pun kagum akan kejujuran budak itu hingga beliau memerdekakan status kebudakannya karena keimanannya.
Alangkah indahnya jika sikap jujur dan amanah yang dimiliki budak tersebut, ada pada setiap kita; baik pejabat maupun rakyat, karyawan maupun atasan, guru maupun siswa, suami maupun isteri.
Dalam Ramadhan pun, kita dilatih untuk bisa mengendalikan hawa nafsu. Kita bahkan dilatih untuk tidak mengkonsumsi barang yang mubah di siang hari selama Ramadhan. Fungsi pengendalian nafsu ini amat penting lagi jika diterapkan di tengah kehidupan yang cenderung hedonistis, sikap konsumer serta matriarlistis. Kita sering mengkonsumsi barang yang tidak perlu, atau tidak seimbang dengan keuangan kita demi mengejar suatu prestise kemewahan. Kita juga sering termakan dengan prestise merek asing tertentu, padahal kualitasnya tidak lebih baik dari karya anak negeri sendiri. Semua demi hawa nafsu prestis. Dengan puasalah kita diajarkan mengendalikan keinginan-keinginan yang berdampak negatif.
Puasa Ramadhan pun mengajarkan kita hidup berdisiplin. Menurut Dr. Musthofa al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi-nya menyatakan, bahwa puasa dapat melahirkan pribadi muslim yang berdisiplin. Sebab, orang yang berpuasa tidak akan makan dan minum sebelum datang waktu berbuka yakni saat maghrib. Sikap disiplin dalam segala hal akan melahirkan keteraturan, bekerja dengan perencanaan, terprogram dan terukur.
Puasa Ramadhan juga melahirkan pribadi-pribadi yang peduli terhadap sesama. Rasa lapar dan dahaga yang kita rasakan sepanjang hari mengingatkan kita pada kondisi kaum dhuafa (lemah) yang tidak menentu hidup dan pemenuhan kebutuhannya. Hal ini akan melahirkan sikap sosial dan kepedulian kepada sesama. Rasulullah saw bersabda, ”Tidaklah beriman salah seorang di antaar kalian hingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri” (HR: Muslim)
Dan masih banyak lagi hikmah yang terkandung dalam ibadah puasa Ramadhan.
Jika semua hikmah itu dapat dicapai oleh setiap muslim yang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan itu, maka akan lahir manusia muslim yang jujur, amanah, profesinal, disiplin, mampu mengendalikan diri, peduli kepada sesama dan sikap rendah hati. Itulah yang disebut Allah SWT sebagai orang-orang yang bertaqwa ”La’allakum tattaqun”. Sebagaimana firman Allah SWT:
”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-baqarah: 183).
Jika suatu negeri telah diisi oleh orang-orang yang bertaqwa yang memilki sifat-sifat positif di atas, bukan tidak mungkin negeri itu akan dipenuhi keberkahan dari segala arah. Perhatikan firman dan janji Allah SWT berikut:
”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi” (QS. Al=A’raf: 96)
Idul Fitri berarti kembali kepada fitroh (kesucian). Itulah ciri orang-orang yang bertaqwa, yang menjauhkan diri dari segala sifat-sifat tamak dan serakah, serta kembali kepada sifat kemanusiaannya yang mencintai keharmonisan, kedamaian, keteraturan dan kebaikan. Idul ftri berarti juga kembali kepada nol (zero) sebagai titik awal melangkah ke masa depan dalam menata kehidupan yang lebih cerah. Dengan pola tazkiyah (penyucian) jiwa-lah masyarakat Jahiliyah berubah menjadi masyarakat yang berperdaban dan berilmu pengetahuan. Firman Allah SWT:
”Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS. Al-Jumu’ah: 2).
Dalam ayat lain dijelaskan bahwa hanya orang yang berusaha mensucikan dirilah yang akan sukses, yakni orang yang senantiasa mengingat nama Allah dan melaksanakan shalat. Sebab merekalah yang mendudukkan diri sebagai hamba Allah yang harus mengabdi sesuai dengan aturan dan pedoman Tuhannya. Firman Allah SWT:
”Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang” (QS. Al-A’la: 14-15)
Marilah kita jadikan moment idul fitri ini sebagai titik awal menuju masa depan yang cerah. Kita yakin bahwa baik-buruk masa depan kita ditentukan oleh kita seberapa kuat kemauan kita untuk menjadi manusia-manusia dengan sifat-sifat kemanusiaannya yang cenderung cinta kebaikan. Allah SWT berfirman:
”Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Al-Ra’d: 11)
Selamat Raya Idul Fitri, selamat kembali kepada fitrah nan suci, minal ’aidin wal faizin, mohon maaf lahir batin. Semoga seluruh amal kita diterima Allah SWT. Amin ya Rabbal Alamin.

Sabtu, 20 September 2008

Menjelang Garis Finish Ramadhan

“Dan agar kamu menyempurnakan bilangan (puasa) dan membesarkan (asma) Allah atas apa yang Allah beri petunnjuk kepadamu, dan agar kamu bersyukur ”
(QS.Al-Baqarah; 186)

Tidak terasa waktu bergulir cepat. Ramadhan kini sudah berada di penghujungnya. Beberapa hari lagi Ramadhan yang agung akan meninggalkan kita. Bagi umat Islam yang beriman tentu terasa pedih dan sedih akan ditinggal Ramadhan yang suci. Betapa tidak, di bulan Ramadhan ini terasa indahnya beribadah, sejuknya suasana, dan bertambahnya imaniyah. Suasana ini tentu saja hanya dirasakan oleh orang-orang yang berburu karunia dan ampunan Allah. Tidak semua orang dapat merasakan kenikmatan tersebut. Jika saja semua orang tahu keagungan dan keindahan Ramadhan, pastilah mereka menginginkan sepanjang tahun itu Ramadhan. Rasulullah saw bersabda, “Andaikata umat-ku mengetahui apa yang terdapat dalam bulan Ramadhan, pastilah mereka berangan-angan agar sepanjang tahun itu Ramadhan.”
Ibarat tamu agung dan dermawan yang memberi segala apapun kepada mereka yang memohonnya, tentu saja kita sebagai “tuan rumah” yang dikunjungi tamu agung dan dermawan itu tidak akan menyia-nyiakan hari-hari terakhir sebelum tamu itu berpamitan. Apalagi tamu itu agung, dermawan, dan baik lagi. Tentu saja kita akan gunakan waktu yang sempit ini dengan banyak memohon kepada Allah. Apalagi Rasulullah saw telah mencontohkan, ketika sepuluh terakhir Ramadhan datang, beliau mulai mengikat erat-erat ikat kain (pinggang) sebagai suatu kiasan bahwa beliau melipat gandakan amal ibadah. Beliau melakukan ibadah i’tikaf dan seratus presen berkonsentrasi pada ibadah mahdhoh (murni).
Mengapa demikian? Karena hari-hari ini merupakan hari penentuan, apakah kita termasuk minal a’idin wal faizin (orang yang kembali pada kesucian dan beruntung/juara) atau tidak? Memang, kalau diibaratkan dengan suatu kompetisi pertandingan, semakin masuk pada babak akhir, semakin gencar persiapan agar dalam kompetisi tersebut menjadi juara/faizin. Para pelari atau pembalap yang semakin dekat ke garis finish, maka ia akan semakin mempercepat dan melipatgandakan kecepatannya agar sampai ke garis finish sebagai juara.
Demikian juga seharusnya kita. Semakin dekat pada garis finish/akhir Ramadhan, maka seyogyanya kita melipatgandakan amal ibadah kita. Apalagi Nabi saw melalui hadits-haditsnya, dan para ulama melalui pengalaman amaliyahnya banyak menyebutkan, bahwa “tropy dan piala” Lailatul Qodar terdapat pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Siapakah yang dapat meraihnya? Tentu hanya mereka yang dapat menghidupkan malam-malam sepuluh terakhir Ramadhan saja.
Apakah “tropy” lailatul Qodar itu? Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami menurunkan al-qur’an pada malam Lailatul Qodar. Tahukah kamu apakah Lailatul Qodar itu? Lailatul Qodar adalah (malam) yang lebih baik daripada (beribadah) seribu bulan. (Malam itu) para malaikat beserta Jibril (ruh) turun ke bumi dengan idzin dan perintah dari Tuhannya. (Malam itu penuh) kedamaian hingga terbit fajar.” (QS. Al-Qodr: 1-5)
Para ulama berbeda pendapat tentang waktu datangnya malam ‘lailatul qodar’ itu. Sebagian ulama berpendapat, ia datang pada suatu malam di bulan Ramadhan. Sebagian lagi berpendapat, ia datang pada salah satu malam ganjil Ramadhan. Ada pula yang berpendapat, ia datang pada salah satu malam di sepuluh malam terakhir Ramadhan. Sebagian lagi berpendapat, ia datang pada malam ganjil di 10 terakhir bulan Ramadhan. Ada pula yang berpendapat, ia datang pada malam ke duapuluh tujuh Ramadhan.
Ketidakpastian waktu datangnya lailatul qodar itu karena memang ia merupakan rahasia Allah. Dan hikmah dirahasiakannya adalah agar kita tetap menghidupkan seluruh malam-malam Ramadhan. Akan tetapi, dari apa yang dilakukan dan diamalkan Rasulullah saw, beliau lebih konsentrasi lagi pada sepuluh terakhir Ramadhan, yakni dengan melakukan i’tikaf di masjid.
Oleh karena itu, kita sebagai umatnya, maka setidaknya kita mengikuti apa yang dicontohkan Rasulullah saw.
Bila saja walikota atau bupati megeluarkan suatu pernyataan atau SK yang berbunyi seperti ini, “Bagi siapa saja dari warga yang berdiam di masjid raya/pendopo selama sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, maka akan saya beri masing-masing uang sebesar 2 juta rupiah”. Bila saja itu terjadi, pasti semua warga berbondong-bondong berdiam di masjid raya/pendopo selama waktu yang ditetapkan itu. Uang senilai 2 juta rupiah barangkali tidak akan habis dipakai selama seminggu, apalagi saat mendekati idul fitri/lebaran seperti ini. Namun demikian, bila pernyataan dan SK itu benar-benar ada pasti semua warga berbondong-bondong ke mesjid.
Namun anehnya, mengapa bila Allah dan Rasul-Nya menjanjikan pahala besar pada i’tikaf di sepuluh terakhir Ramadhan itu, umat tidak berbondong-bondong beri’tikaf? Bukankah Allah telah menjanjikan pahala seperti beribadah selama 1000 bulan atau setara 83 tahun? Kalau uang 2 juta rupiah diatas hanya habis dalam waktu seminggu, namun pahala Allah tidak akan habis selama 83 tahun bahkan lebih (Khoirun min alfi syahrin).
Fenomena ini tentu kembali kepada sedalam apa keimanan umat. Bagi umat yang percaya dan kuat imannya, maka titah Allah dan Rasulnya lebih dia percayai dan dahulukan, daripada titah pejabat atau manusia lainnya. Ketika orang kafir bertanya kepada Abu Bakar tentang peristiwa Isra Mi’raj yang menurut mereka tidak masuk akal, Abu Bakar malah berkata, “Jika hal itu yang berkata adalah Muhammad, maka lebih dahsyat dari peristiwa itu pun aku pasti percaya dan membenarkannya”. Sehingga Abu Bakar dijuluki gelar “Ash-shiddiq” (orang yang membenarkan).
Ramadhan akan berakhir meninggalkan kita, karenanya mari sama-sama kita gunakan sisa waktu yang ada dengan melipatgandakan amal sebelum tamu agung Ramadhan itu berpamitan.
Menjelang garis finish Ramadhan, mari kita lipatgandakan ibadah, sehingga kita benar-benar melewati garis finish menjadi faizin (juara). ##
Muhammad Jamhuri

Senin, 15 September 2008

Nuzulul Qur’an

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil )”
(QS: al-Baqarah: 185)

Ayat di atas menjelaskan dengan tegas bahwa bahwa al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT di bulan yang agung, yakni Ramadhan. Bulan Ramadhan yang merupakan bulan agung menjadi tambah keagungannya dengan dipilihnya sebagai waktu turunnya al-Quran. Dalam ayat lain dijelaskan pula bahwa al-Quran diturunkan pada malam kemuliaan (lailatul qodar). Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan” (QS.al-Qodar: 1). Malam kemuliaan adalah malam yang penuh berkah atau malam yang diberkati Allah SWT. Hal ini ditegaskan lagi oleh Allah SWT dengan firmanNya yang artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi[ dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan” (QS. Al-Dukhon: 2)
Ada dua model turunnya al-Qur’an: Pertama, al-Qur’an turun secara sekaligus berjumlah 30 juz dan 114 surat, yang Allah turunkan dari Lauhil Mahfudz ke langit dunia. Redaksi al-Qur’am saat menjelaskan turunnya al-Qur’an secara sekaligus itu menggunakan lafadz “anzala” dan sejenisnya. Sebagai contoh ayat-ayat yang disebutkan di atas adalah model turunnya al-Quran secara sekaligus.
Kedua, al-Qur’an diturunkan secara bertahap, dari langit dunia ke bumi. Dalam hal menerangkan turunnya al-Quran menurut model ini, al-Qur’an menggunakan redaksi “nazzala” dan sejenisnya. Seperti firman Allah SWT yang artinya, “Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS.Al-Isra: 82). Juga firman Allah SWT yang artinya: “Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al-Furqon: 32). Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah: Al Quran itu tidak diturunkan sekaligus, tetapi diturunkan secara berangsur-angsur agar dengan cara demikian hati nabi Muhammad s.a.w menjadi kuat dan tetap, serta kuat hafalannya.
Pada tahap turunnya al-Quran secara berangsur atau bertahap, maka ada ayat yang turun di bulan Ramadhan, ada pula ayat yang turun di bulan Syawal, Dzulhijjah dan bulan-bulan lainnya, sesuai dengan peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat tersebut. Itulah yang disebut dengan dengan asbabun nuzul (sebab turunnya ayat).
Meskipun pada tahapan turunnya ayat al-quran secara berangsur terjadi pada berbagai bulan, namun ayat dan wahyu pertama yang diturunkan ke bumi, yakni surat al-Alaq ayat 1-5, adalah ayat yang diturunkan pada malam bulan Ramadhan, tepatnya pada malam ke 17 bulan Ramadhan. Demikian menurut pendapat sebagian ulama
Jika mengamati ayat-ayat di atas, maka jelas bagi kita bahwa ada hubungan dan korelasi antara turunnya al-Qur’an dengan bulan Ramadhan. Oleh sebab itu Ramadhan sering pula dijuluki sebagai “Syahrul Qur’an” (bulan al-Qur’an). Selain karena al-Qur’an turun pada bulan Ramadhan, Nabi saw pun banyak mengulang bacaan al-Qur’an (tasmi’) di hadapan malaikat Jibril di bulan Ramadhan. Oleh sebab itu, banyak umat Islam memperbanyak baca al-Quran pun di bulan Ramadhan. Bahkan tidak sedikit para sahabat mengkahatamkan al-Qur’an dalam sehari sebanyak tiga kali khatam, ada pula yang sehari sekali khatam, ada pula yang khatam dalam waktu tiga hari.
Al-Qur’an berfungsi sebagai hudan (petunjuk), bayyinat (penjelas) dan furqon (pembeda antara kebenaran dan kebatilan). Tiga fungsi ini tidak akan berdaya apa-apa jika umat Islam tidak kembali mempelajarinya, memahaminya dan mengamalkannya. Betapa masih banyak umat Islam tidak mengerti akan ajaran Islam itu sendiri. Betapa masih banyak umat Islam yang tidak menggunakan al-Quran sebagai petunjuk dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam skala individu, masyarakat maupun Negara. Betapa banyak umat islam masih bingung untuk membedakan antara hak dan batil, antara kebenaran dan kebatilan akibat serangan media yang bertubi-tubi dalam memberikan fakta dan informasi yang bias. Oleh sebab itu tidak ada kata lain agar al-Quran dapat berfungsi sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Baqarah ayat 185 kecuali umat Islam harus mempelajari dan mengamalkan isi ajaran al-Qur’an.
Dewasa ini, masih banyak umat Islam yang memperlakukan al-Quran pada tataran kulitnya saja. Mereka menggunakan al-Quran hanya dalam acara-acara ceremonial saja, seperti pada peringatan hari-hari besar Islam, saat selamatan kematian sanak saudara serta saat pernikahan. Dalam acara pernikahan bahkan al-Qur’an dijadikan sebagai mas kawin atau mahar bagi calon pengantin. Setelah mereka menikah dan memiliki banyak anak, terkadang al-quran sudah tidak disentuh lagi, diletakkan di lemari hingga berdebu-debu. Padahal seharusnya ia dibaca setiap hari. Sebab, setiap kali Allah SWT menyebut kata “membaca” selalu menggunakan redaksi fiil mudhore (present continius tense) yakni “yatluu aayatiihi” (membaca ayat-ayatNya). Penggunaan kata kerja present continius tense mengisyaratkan bahwa al-qur’an hendaknya dibaca secara kontinyu dan terus menerus, setidaknya ia dibaca setiap hari.
Seorang pengamat mengatakan, “Umat Islam dapat maju jika dia berpegang teguh dan mengamalkan Kitabnya, sementara umat lain dapat maju dengan meninggalkan kitabnya (sekulerisme)”. Jika analisa pengamat itu benar, maka tidak ada kata lain agar umat Islam maju selain kembali kepada al-Qur’an, yakni dengan cara mempelajari, memahami dan mengamalkannya.##

Jumat, 12 September 2008

Ramadhan dan Pemanfaatan Waktu

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, yakni beberapa hari yang telah ditentukan”. (Al-Baqarah: 183-184)

Ibadah, dalam Islam, telah ditentukan waktu-waktunya. Ditentukannya waktu-waktu ini mengajarkan kepada kita agar memiliki sifat disiplin dalam hidup. Bekerja dan beribadah sesuai dengan waktunya. Sehingga target-target kerja dapat terealisir sesuai waktunya.
Dalam shalat, kita diperintahkan untuk memperhatikan waktu-waktunya. Perputaran matahari dari pagi hingga malam menjadi perhatian kita dalam melaksanakan ibadah shalat.
Dalam zakat, kita juga diperintahkan memperhatikan waktu dan nishab harta yang kita miliki. Haul adalah ukuran waktu setahun harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Demikian juga zakat fitrah; kewajiban mengeluarkannya dimulai sejak malam idul Fitri hingga sebelum selesainya sholat id. Sebagian ulama memperbolehkan mempercepat pembayaran zakat fitrah sebelum malam id untuk mempermudah pendistribusian kepada mustahiq dengan tepat.
Dalam ibadah puasa, Allah telah menentukan waktu berpuasa, yakni selama sebulan Ramadhan penuh. Kecuali bagi mereka yang udzur atau karena sakit dan bepergian. Maka boleh ditunda (qodho) pada hari-hari lain sebanyak hari yang ditinggalkannya.
Dalam ibadah haji, Allah pun menentukan bulan-bulan tertentu sebagai waktu musim haji, yakni pada bulan Syawal, Dzulqo’dah dan Dzulhijjah. Tidak boleh seseorang melaksanakannnya di bulan Muharram misalnya. Selain itu tempat untuk melaksanakan ibadah haji juga telah ditentukan; yakni di Tanah Suci Makkah al-Mukarramah dan padang Arafah. Tidak boleh melaksanakan ibadah haji di tempat lain seperti Lahore, Qodhiyan, Jakarta atau kota lainnya.
Penentuan waktu-waktu dalam ibadah ini disebabkan karena hidup manusia juga terikat dengan waktu. Waktu adalah hidup. Sebagaimana firman Allah SWT, “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah ia adalah waktu-waktu yang disediakan bagi manusia dan ibadah haji”.
Manusia diibaratkan seperti bulan. Pada saat awal bulan, bulan tampak kecil. Kemudian ia membesar pada saat purnama. Dan akhirnya lama kelamaan bulan pun mengecil kembali hingga tidak tampak lagi. Demikian juga manusia. Dahulu kita belum terlahir di dunia, lalu lahir dalam keadaan bayi yang kecil dan lemah. Lalu besar menjadi dewasa dengan segala kekuatannya, setelah itu kita akan memasuki usia tua dengan melemahnya segala tenaga, gigi, rambut serta anggota tubuh lainnya. Dan pada saat ajal tiba, kita pun tidak berada lagi di dunia. Selesailah peran kita di dunia. Tinggal menunggu keputusan Allah, apakah kita akan disiksa atau dimasukkan dalam surga.
Umat Nabi Muhammad seperti kita ini adalah umat yang diberi jatah usia lebih pendek dibanding jatah usia yang diberikan kepada umat Nabi-nabi sebelumnya. Nabi Nuh AS saja berusia 900 tahunan, demikian juga nabi-nabi lainnya. Sedangkan Nabi Muhammad meninggal dunia dalam usia 63 tahun.
Namun berkat rahmat dan karunia Allah kepada Nabi Muhammad saw dan umatnya, Allah menyediakan pahala ibadah berlipat ganda jika dilakukan pada waktu, tempat dan kondisi tertentu. Seperti halnya ibadah puasa dan i’tikaf. Dalam bulan Ramadhan Allah memberi ganjaran setingkat pahala wajib atas amalan sunnah. Allah juga melipat gandakan pahala atas amalan wajib.
Dalam malam Lailatul Qodar, Allah memberi pahala bagi orang yang beribadah pada malam itu senilai ibadah selama 1000 bulan (kurang lebih 83 tahun). Sebagaimana firman Allah SWT, “Lailatul Qodar itu lebih baik dari (ibadah) seribu bulan” (QS; Al-Qodar:3).
Untuk tempat, Allah telah memberi 100.000 kali lipat pahala bagi orang sholat di Masjidil Haram, 10.000 kali lipat di Masjid Nabawi dan 1000 kali lipat di Masjidil aqsha, dibanding sholat di masjid-masjid lain.
Untuk kondisi, Allah akan memberi pahala 27 kali lipat bagi mereka yang melaksanakan sholat dalam kondisi berjamaah, dibanding sholat sendirian (infirodi).
Oleh karena itu, alangkah meruginya kita bila tidak memanfaatkan dengan sebaik-baiknya kesempatan waktu, tempat dan kondisi yang Allah lipatgandakan pahalanya itu.
Mungkin tidak semua dari kita mempunyai kesempatan untuk pergi ke Makkah, Madinah dan Masjidil Aqsha. Namun ada waktu-waktu tertentu yang Allah berikan untuk mendapat ibadah yang pahalanya berlipat ganda. Salah satunya adalah ibadah di bulan Ramadhan. Demikian juga qiyamullail pada malam Lailatul Qodar yang biasanya ada di sepuluh terakhir bulan Ramadhan.
Demikian juga sholat berjamaah yang pahalanya 27 kali lipat dibanding dengan pahala sholat sendirian. Kesempatan-kesempatan itu Allah berikan kepada kita yang memang jatah usia kita tidak sepanjang umat-umat sebelum Nabi Muhammad saw.
Oleh karena itu, kesempatan Ramadhan kali ini tidak boleh kita sia-siakan. Karena boleh jadi Ramadhan kali ini adalah Ramadhan terakhir dalam hidup kita. Boleh jadi kita tidak akan bertemu Ramadhan tahun depan. Sementara ‘tabungan’ pahala kita baru sedikit dibanding dosa yang kita lakukan di dunia. Lalu, apa yang kita siapkan saat kita dibangkitkan dalam kubur nanti untuk menjawab segala pertanyaan malaikat yang Allah utus? Jawaban apa yang kita siapkan untuk menjawab pengadilan Allah di hari kiamat nanti? Bekal pahala apa yang kita siapkan saat menghadap Allah?
Allah telah memberi jamuanNya kepada kita di Ramadhan yang mulia ini. Sambutlah jamuanNya dengan suka cita dengan meningkatkan amal ibadah. ###

Rabu, 03 September 2008

Tak Ada AlasanTak Berpuasa

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa
(QS. Al-Baqarah: 183)

Tidak sedikit di antara umat Islam yang tidak melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Padahal pahalanya begitu besar yang Allah sediakan buat kaum muslimin yang berpuasa. Datangnya bulan Ramadhan seakan tidak membawa nuansa tertentu pada dirinya. Bahkan datangnya bulan Ramadhan - untuk sebagian orang - dianggap sebagai moment yang mempersempit hidupnya, karena tidak bisa makan dan minum secara terbuka, atau bahkan membuat diri merasa lemas sehingga mengganggu aktivitas sehari-harinya.
Oleh karena itu, dalam ayat di atas, Allah hanya memanggil orang-orang yang beriman, yang meyakini bahwa ia akan mengalami pertemuan dengan Allah. Mereka-lah yang Allah wajibkan untuk berpuasa. Hanya orang yang beriman kepada Allah lah yang sanggup melaksanakan ibadah puasa. Makna iman disini tentu saja bukan sekedar percaya, tapi lebih dari itu adalah suatu ketaatan totalitas kepada sang Khaliq.
Oleh karena itu, ibadah puasa Ramadhan berpatokan pada penanggalan bulan (qomariyah), yang terkadang puasa jatuh pada bulan Desember (musim dingin), dan terkadang jatuh pada bulan Juli (musim panas). Hal itu memberikan pesan kepada kita semua bahwa umat Islam dalam kondisi apapun harus siap taat memenuhi seruan Allah SWT, baik musim dingin atau musim panas. Untuk kita yang tinggal di Indonesia dengan cuaca tropis namum lembab, mungkin panas dan dinginnya masih dalam kondisi sedang dan wajar. Namun, di beberapa belahan negara lain, musim panas suhunya bisa mencapai 50 derajat celcius, dan musim dingin bisa mencapai dibawah nol derajat celcius.
Oleh karena itu, jika kita kaum muslimin di Indonesia tidak mau berpuasa di bulan Ramadhan hanya karena alasan musim dingin yang membuat tubuh cepat lapar, atau karena alasan musim panas yang menyebabkan tubuh kekurangan air dan cepat merasa haus, maka alasan itu adalah alasan yang tidak logis. Kenyataannya, kaum muslimin di Timur Tengah dengan kondisi tanahnya yang tandus dan dengan terik matahari yang sangat tinggi, mereka tetap berpuasa. Demikian juga kaum muslimin yang tinggal di Negara-Negara Eropa dan Amerika yang mengalami suhu dingin, toh mereka masih melaksanakan ibadah puasa hingga selesai.
Mungkin sebagian mereka yang enggan melaksanakan ibadah puasa mempunyai banyak alasan untuk tidak berpuasa. Namun Allah SWT telah menepis alasan-alasan tertentu selain alasan sakit dan perjalanan (safar) serta uzur. Sebab –menurut firman Allah– kewajiban puasa bukan hanya dikenakan kepada umat Nabi Muhammad saw saja seperti kita, namun kewajiban puasa itu juga dikenanakan dan diberlakukan kepada umat-umat sebelum umat Nabi Muhammad saw “Kamaa Kutiba ‘alalladzina min qoblikum” (Sebagaimana diwajibkan atas umat-umat sebelum kamu). Padahal umat-umat terdahulu berusia panjang-panjang, ada yang usianya bahkan mencapai 900 tahun dan 1000 tahun. Jika masa akil baligh mereka jatuh pada usia 17 tahun saja, maka mereka mengalami puasa spanjang hidupnya selama 983 tahun. Bukankah mereka lebih lama dan lebih lelah menjalani ibadah puasa dibanding dengan kita? Sedangkan salah satu kelebihan dan keutamaan yang diberikan umat Nabi Muhammad adalah dilipatgandakannya pahala ibadah meskipun diberi jatah usia tidak panjang (sekitar 60 hingga 90 tahun).
Coba kita tanyakan kepada kakek atau orang tua kita yang sudah berusia lanjut. Tanyakan tentang perasaan kondisi waktu yang dilewati antara zaman dahulu dengan zaman sekarang. Salah seorang ibu yang berusia 80 tahun pernah bercerita, “Waktu-waktu yang kami jalani di zaman sekarang ini berlalu begitu cepat, berbeda dengan waktu yang kami jalani saat kami muda. Dahulu saat kami muda, setelah bangun tidur, lalu shalat subuh, memasak makanan, mempersiapkan sarapan, memandikan anak, membersihkan rumah dan berbenah, mencuci pakaian, lalu sarapan. Ternyata hal itu semua dilakukan tidak sampai melewati jam 07.00 pagi. Sekarang, zaman sekarang ini, jika kami melakukan hal yang sama, lalu setelah selesai mengerjakan pekerjaan tersebut, maka jam sudah menunjukkan pukul 09.00 pagi”.
Cerita ibu tua itu menggambarkan bahwa hari-hari yang dilewatinya di zaman terasa begitu cepat berjalan, terlalu cepat berlalu. Sementara hari-hari yang dilewatinya zaman dahulu begitu lambat berjalan. Fenomena ini menunjukkan bahwa puasa yang kita alamai di zaman sekarang ini sebenarnya tidak begitu terasa kita lewati dilihat dari segi waktu. Sedangkan orang-orang dahulu, waktu-waktu puasa menuju berbuka puasa berjalan begitu lamban dan terasa lama.
Dengan demikian jika ada orang muslim sekarang yang enggan melaksanakan ibadah puasa karena alasan merasa berat, sebenarnya alasan itu tidak logis. Sebab jika kita melaksanakan puasa dengan kondisi waktu yang berjalan terasa cepat seperti di zaman sekarang ini, maka masa puasa pun akan terasa cepat berlalu.
Oleh karena itu, sebenarnya, bukan karana lemas atau tidak mampu yang menjadi alasan orang tidak berpuasa, tapi karena keimanannya yang masih harus diperbaiki. Karena kurang keyakinan terhadap kekuatan yang Allah berikan kepada kita jika beribadah serius kepadaNya. Oleh karena itu, yang dipanggil untuk berpuasa dalam ayat di atas adalah orang-orang beriman (Yaa ayyuhal ldazina Aamanuu) “HAi orang-orang yang beriman”. Kemudian diajaknya orang beriman untuk berpuasa agar mereka menjadi orang bertaqwa (la’allakum tattaqun). Disini berarti derajat taqwa lebih tinggi dari iman. Dan untuk meraih taqwa adalah dengan puasa yang dilakukan orang beriman.
Jika derajat taqwa dapat diraih dengan puasa, lalu puasa hanya bisa dilakukan orang beriman. Bagaimana hal nya dengan orang yang tidak mau berpuasa? Bukankah puasa hanya bisa dilakukan orang beriman?Jangankan derajat taqwa, derajat iman hakiki saja masih belum.
Karena itu marilah berpuasa, karena dengan puasa menunjukkan bahwa kita beriman. Lalu kita tingkatkan ke derajat taqwa dengan ibadah puasa.##

Selasa, 02 September 2008

Mari Sambut Ramadhan

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (QS. Al-Baqarah: 183)

Ramadhan telah diambang pintu, ada baiknya kita mempersiapkan diri dari sekarang, .
Ada beberapa hal yang harus kita persiapkan agar kita mampu untuk mengisi bulan yang penuh berkah ini dengan kegiatan yang dapat menambah bobot umur kita ketika kita menghadap Allah SWT.? Kenapa kita melakukan persiapan ini ?
Setiap Waktu-waktu yang kita lewati masing-masing mempunyai kelebihan dan keutamaan yang berbeda, maka kita harus bisa memperlakukannya secara proposional dan cerdas. Termasuk dalam menyiapkan kedatangan bulan suci Ramadan yang banyak mempunyai keutamaan.
Karena Ramadan adalah bulan diwajibkannya puasa, dianjurkan memperbanyak amalan sunnah, dianjurkannya memperbanyak memberikan santunan, serta memperbanyak membaca Al-Quran. Disamping itu bulan Ramadhan adalah bulan pengendalian diri dari syahwat perut, dari hawa nafsu serta pengendalian anggota tubuh dari hal-hal yang dapat mengurangi nilai puasa.
Secara pribadi kita harus mempersiapkan kedatangan bulan ini secara optimal, karena persiapan ini akan mempengaruhi baik tidaknya kita mengisi amaliah ramadhan. Diantara persiapan pribadi yang harus kita lakukan adalah sbb:
Persiapan Secara Ruhi
Ini adalah persiapan yang paling utama karena kekuatan ruh inilah yang akan menjadi motor penggerak segala bentuk ibadah kita sebelum, ketika dan pasca Ramadhan. Maka itu apabila kita membaca sirah Rasululllah SAW, betapa persiapan beliau dari sisi ini sangat luar biasa, yaitu dengan melaksanakan puasa sya'ban. Hal tersebut beliau lakukan dalam rangka mempersiapkan dan menyongsong kedatangan bulan Ramadhan. Disamping itu kita dianjurkan untuk banyak istighfar dan memohon serta memberi maaf agar kedatangan bulan suci kita sambut dengan hati bersih dari segala bentuk dosa dan perselisihan, rasa dengki dan penyakit-penyakit hati yang lainnya.
Dan hal lain yang harus dilakukan dalam persiapan ruhi adalah banyak berdoa kepada Allah agar Dia menyampaikan kita kepada bulan Ramadhan. Ma'la ibn Fadl berkata "Para salafus shaleh berdoa selama 6 bulan agar mereka disampaikan hingga bulan ramadhan dan kemudian berdoa(pasca Ramadhan-pent) selama 6 bulan agar ibadah mereka diterima".
Yahya Ibn Katsir berkata "Diantara doa yang dibaca oleh para salaf adalah Ya Allah selamatkan aku hingga bulan ramadhan dan karuniakan aku ramadhan dan terimalah ibadah-ibadahku pada bulan ramadhan"
Persiapan Secara Fikri
Ramadhan adalah bulan didalamnya diwajibkan bagi kita untuk beribadah puasa yang mana dalam setiap ibadah kita harus mengerti ilmunya agar ibadah yang kita lakukan dapat sesuai dengan aturan yang telah ditentukan oleh Allah dan dicontohkan oleh Rasul-Nya. Maka persiapan ini pun tidak kalah pentingnya, untuk itu kita harus kembali membaca dan menelaah buku-buku yang berbicara tentang puasa agar kita dapat mengetahui syarat dan rukun puasa serta hal-hal yang dapat membatalkan serta menghilang nilai puasa.Disamping itu dengan cara mengirim ucapan "Tahniah"(Selamat) kepada saudara atau teman dalam rangka memberikan image dan kabar gembira dengan akan datangnya bulan yang mulia ini.
Hal tersebut telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabd "Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah yang telah didalamnya diwajibkan bagi kalian berpuasa, disitu Allah membuka pintu-pintu syurga dan menutup pintu-pintu neraka serta para syaitan diikat, didalamnya ada sebuah malam yan lebih mulia dari seribu malam barang siapa yang diharam/dihalangi untuk mendapatkan kebaikan malam itu sesungguhnya ia telah diharamkan dari segala kebaikan" (HR.Nasai dan Baihaqi ).
Imam Ibnu Rajab Al-Hambali ketika mengomentari hadits ini berkata " Hadits ini merupakan landasan agar kaum muslimin saling memberikan selamat dengan datangnya bulan Ramadhan".
Persiapan Secara Jasadi
Badan kita adalah salah satu komponen yang penting yang juga harus kita persiapkan dalam menyongsong bulan ramadhan, karena tanpa badan yang sehat kita tidak akan mampu melaksanakan kegiatan termasuk dalam masalah ibadah puasa, dalam hal ini Rasul SAW bersabda "Seorang mu'min yang kuat lebih baik dan lebih dicintai dari mu'min dhaif dan didalam kedua ada kebaikan". Dari hadits ini rasul mendorong kita untuk menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh karena ini sangat dicintai oelh Allah, sebab ini merupakan salah satu modal penting dalam melaksanakan segala perintah Allah dan Rasul-NYA. Maka cara yang paling tepat adalah dengan cara mengadakan latihan puasa sunnah menjelang datangnya bulan ramadhan, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasul SAW.
Persiapan Secara Materi
Dari Abi Hurairah ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda "Rasulullah SAW bersumpah tidak ada bulan yang paling baik bagi orang beriman kecuali bulan Ramadhan, dan tidak ada bulan yang paling buruk bagi orang munafik kecuali bulan Ramadhan, dikarenakan pada bulan itu orang beriman telah menyiapkan diri untuk berkonsentrasi dalam beribadah dan sebaliknya orang munafik sudah bersiap diri untuk menggoda dan melalaikan orang beriman dari beribadah" (HR.Imam Ahmad). Sabda Rasul SAW yang berbunyi " dikarenakan orang beriman telah menyiapkan diri untk berkonsentrasi dalam beribadah" diterangkan oleh para ulama sebagai berikut "Hal itu dikarenakan orang beriman telah menyiapkan diri dari sisi materi untuk memberikan nafkah kepada keluarganya karena mereka ingin konsentrasi beribadah, sebab memperbanyak Qiyam lail menyebakan mereka harus banyak tidur diwaktu siang dan memperbanyak I'tikaf menyebabkan mereka tidak bisa untuk beraktifitas diluar masjid, hal ini semua menyebabkan mereka tidak bisa untuk melakukan aktifitas mencari ma'isyah, maka itu mereka mempersiapkan diri jauh-jauh hari sebelum datang bulan Ramadhan agar mereka dapat konsern dalam beribadah serta mendapatkan keutamaan bulan yang mulia ini". ##