Selasa, 16 Juni 2009

Karakteristik Syari’ah Islam

“Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS.Al-Baqarah: 143)

Syari’ah secara bahasa berarti sumber air yang mengalir. Sedangkan secara istilah syari’ah berarti aturan yang ditentukan Allah SWT melalui Rasulnya agar dijalankan manusia untuk kebahagian mereka. Korelasi makna bahasa dan makna istilah adalah bahwa manusia membutuhkan syariah sebagaimana kebutuhan mereka terhadap air yang menjadi sumber kehidupan. Tanpa air, manusia tidak akan hidup layak dan baik. Demkian juga hal-nya dengan syariah. Tanpa syariah, manusia tidak akan hidup layak dan baik.
Syari’ah, yang meskipun telah turun berabad-abad lalu, namun keberadaannya selalu relevan dalam kehidupan manusia, baik dahulu, kini, maupun masa depan. Baik di Arab, Indonesia, Eropa, Amerika bahkan di seluruh belahan bumi ini. Karena pada hakekatnya, seluruh alam ini adalah milik Allah, Tuhan yang menurunkan aturan atau syariah itu.
Berbeda dengan aturan dan undang-undang yang diciptakan manusia, syari’ah atau Islamic Law mempunyai kelebihan dan karakteristiknya. Antara lain:
Pertama, robbaniyah, artinya berorientasi ketuhanan, baik secara tujuan maupun sumbernya. Secara tujuan, jelas, syariah Islam ditujukan agar manusia hanya menyembah dan mengabdi kepada Allah. Sebagaimana firman Allah SWT: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu” (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Selain tujuan mengabdi hanya kepada Allah, syari’ah juga bertujuan membebaskan manusia dari penyembahan kepada sesama manusia serta kepada makhluk lainnya. Manusia harus bebas dari tekanan manusia lainnya, terlebih mengaggap dirinya sebagai Tuhan yang dapat mengatur segala hal.
Dari segi sumbernya, robbaniyah-nya syari’ah Islam adalah bahwa dia berasal dan bersumber dari wahyu Allah SWT. Dia bukan ciptaan manusia, bukan pula karangan manusia yang penuh hawa nafsu. Berbeda undang-undang dan peraturan dunia yang diciptakan manusia yang bersifat relatif dan dipengaruhi oleh hawa nafsu manusia.
Efek dari karakteristik robbaniyah ini membuat manusia melaksanakan undang-undang dan aturan Allah tidak hanya dilihat saat dipantau aparat atau atasan. Tetapi dia tetap patuh melaksanakan aturan itu meskipun tidak dipantau oleh aparat. Puasa misalnya, tetap ditaati oleh muslim yang patuh, meskipun jika ia makan atau minum di siang hari tidak diketahui aparat.
Kedua, Insaniyah, yang berarti sesuai dengan peri-kemanusiaan. Bukti atas hal itu adalah dijadikan Rasul dari kalangan manusia, bukan dari jin atau malaikat. Hal itu terjadi, agar manusia melihat langsung bagaimana aplkasi hukum Allah yang ideal melalui persaksian mereka terhadap perilaku dan nasehat Rasulullah saw. Andaikata rasul itu berupa jin atau malaikat, maka akan terjadi kesulitan bagi kita tentang bagaimana mengaplikasikan isi ajaran Allah SWT, karena jin dan malaikat adalah makhluk non-fisika yang tidak terlihat oleh kasat mata. Ketika Aisyah ditanya tentang bagaimana perilaku kehidupan Rasulullah? Beliau menjawab, perilakunya adalah al-Qur’an.
Bukti insaniyah syariah Islam juga adalah bahwa Islam mengajarkan persamaan derajat manusia. Keunggulan dan kemuliaan manusia tidak terletak kepada ras, suku, bangsa, warna kulit, kekayaan, ilmu dan pangkat-jabatan. Akan tetapi kemuliaan dan keunggulan manusia hanya terletak pada ketakwaannya kepada Allah SWT.
Dengan demikian hukum dan syariah Allah berlaku sama untuk semua manusia. Tidak ada perbedaan antara pejabat dan rakyat kecil, tidak ada perbedaan antara darah biru dan darah merah. Di depan hukum Allah semua manusia sama.
Ketiga; al-Syumul, artinya syariah Islam bersifat komprehensif (menyeluruh). Syariah Islam tidak hanya mengatur tentang ibadah ritual saja, namun juga mengatur seluruh kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, negara bahkan dunia internasional. Dengan demikian syariah Islam dapat diterapkan dimana saja, dan dibelahan bumi mana saja. Selain itu, ia juga dapat diterapkan di segala zaman dan era.
Keempat, al-wasathiiyah, yang berarti menengah, moderat dan adil. Syariah islam bersifat menengah dan adil. Tidak ghuluw (keterlaluan), tafrith (berlebihan), dan ifrath (serba kekurangan). Umat Islam yang komitmen melaksanakan ajaran Islam yang moderat ini juga bersifat menengah. Sebagaimana firman Allah SWT: “Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS.Al-Baqarah: 143)
Menengah dan adil adalah sifat ber-keseimbangan. Keseimbangan dalam sikap, keseimbangan akhlak, ibadah, akidah, dan lainnya. Sikap ekstrim adalah sikap yang jauh dari karakteristik ajaran Islam. Baik ekstrim dalam hal akidah, sikap, maupun ibadah.
Kelima, al-Waqi’iyyah, artinya bahwa syariah dan ajaran Islam itu bersifat realistis. Ia membumi dan mudah diaplikasikan oleh semua manusia. Bukti realistis ajaran Islam adalah adanya rukhsoh (dispensasi) serta bersifat memudahkan. Oleh karena itu ajaran Islam bisa masuk ke semua negara dan ke semua suku dengan beraneka ragam budaya sosial mereka. Ia juga dapat masuk di tengah kondisi yang berbeda-beda di suatu negara, baik hukum, undang-undang maupun model sistem negara yang dianut. Kaidah fiqih mengatakan, Al-Hukmu yaduuru ma’al illati wujudan wa ’adaman. “Hukum berlaku sesuai dengan illat (sebab)nya, ada atau tidak adanya”. #

Tidak ada komentar: