Selasa, 09 Juni 2009

Kriteria Pemimpin Ideal

“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. “(QS. Al-Ahzab: 21)

Tidak syak lagi, pemimpin ideal yang pernah ada di atas permukaan bumi adalah: Rasulullah saw. Dialah pemimpin abadi bagi umatnya dan umat manusia umumnya. Tidak ada nama pemimpin besar yang namanya disebut hingga kini sebanyak nama Muhammad saw. Dalam adzan nama beliau disebut, dalam bacaan shalat pun disebut. Demikian juga dalam segala kesempatan acara tertentu, ia disebut namanya. Apalagi dalam buku-buku sejarah, nama beliau tertulis dengan tinta emas dengan keharuman semerbak bagi yang membacanya. Beliaulah Muhammad saw pemimpin abadi karena memiimpin umat dengan hati dan sepenuh hati.
Ada empat kriteria sehingga beliau menjadi pemimpin ideal hingga saat ini:
Shiddiq, artinya benar. Kata dan ucapan yang keluar dari mulut beliau selalu benar dan tak ada kata dusta. Beliau disegani oleh sahabat, umat, kawan, bahkan lawan karena ucapannya sesuai dengan laku perbuatannya. Apa yang diinformasikannya tidak ada sedikitpun kandungan dusta. Beliau tidak pernah memerintah suatu perintah kecuai beliau memulai sendiri melaksanakan perintah itu. Dan tidak pernah melarang akan sesuatu kecuali beliau memulainya pada dirinya sendiri untuk menjauh dari larangan tersebut. Inilah rahasia mengapa kata-kata beliau menjadi “bermutu” di dengar oleh siapapun. Itulah yang menyebabkan keluar kata “sami’na wa atho’na” (kami dengar dan kami taat) dari mulut sahabat bila beliau memeintah atau melarang mereka. Tidak ada reserve, tidak ada protes apalagi demontrasi atas ketidakpercayaan kepemimpinan beliau. Beliau saw pernah bersabda, “Andaikata Fatimah puteri Muhammad mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya.” Kebenaran kata dan perbuatan inilah yang menyebabkan supremasi hukum berjalan, sehingga hukum berwibawa di hadapan rakyatnya. Hukum tidak hanya berlaku bagi rakyat jelata, namun juga ditegakkan kepada para elite dan pemimpinnya.
Amanah. Artinya adalah jujur. Sejak sebelum menjadi rasul-pun, Muhammad saw remaja telah mendapat gelar al-Amin (yang dipercaya). Sifat amanah telah menjadi darah daging beliau dalam kehidupan sehari—hari, tidak pura-pura dan tidak dibuat-buat. Rasa amanah inilah yang menyebabkan tercipta kemakmuran di kota Madinah. Tidak jarang Rasulullah melakukan operasi pasar untuk melihat tingkat kejujuran para pelaku ekonomi. Suatu saat Rasulullah mencelupkan tangan di atas onggokan gandum dan ditemuinya gandum yang bagian bawahnya basah, sementaa si penjual gandum menghargainya dengan harga gandum kering yang bagus. Maka Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang menipu kami maka bukan termasuk golongan kami”.
Kejujuran Rasulullah saw tidak hanya ditunjukkan kepada sesama kaum muslimin saja, bahkan beliaupun tetap berbuat jujur kepada kaum kafir. Pada saat beliau akan berhijrah ke Madinah, beliau kembalikan dahulu semua amanah dan titipan orang-orang Quraisy kepada pemiliknya masing-masing, padahal para pemilik barang yang dititipkan kepada Rasulullah saw adalah dari golongan non muslim. Padahal jika mau, bisa saja beliau membawa kabur barang-barang itu ke Madinah, apalagi pada saat itu beliau perlu bekal yang tidak sedikit. Akan tetapi beliau tetap mengembalikan semua titipan itu kepada sang pemiliknya.
Tabligh, artinya menyampaikan. Atau dalam bahasa modernnya adalah transparan (keterbukaan, menyampaikan apa adanya), akuntabel dan bertanggungjawab. Tidak ada satu ayat pun yang beliau korupsi atau sembunyikan. Semuanya disampaikan apa adanya oleh beliau kepada para sahabat. Meskipun ayat tersebut berisi oto-kritik kepada beliau, namun beliau tetap menyampaikan kepada umatnya dengan terbuka, transparan dan semangat tabligh (menyampaikan). Adalah surat “Abasa” berisi kritik keras kepada Rasulullah akan sikapnya saat menerima orang buta miskin yang ingin bergabung dengan Rasulullah. Namun, mesti isinya menyinggung dan mengkritik diri beliau, beliau tetap menyampaikan isi surat ‘abasa itu kepada umatnya. Sikap transparan akuntable dan responsblity inilah yang membuat beliau sukses dalam kepemimpinannya. Hingga hari-hari menjelang wafat beliau pun, beliau masih menanyakan kepada para sahabatnya, “Adakah diantara kalian yang pernah aku zhalimi?” Bahkan dalam khutbah Wada’ di padang Arafah yang terkenal itu bertanya meyakinkan para sahabatnya, “Hal Ballaghtu?” (Sudahkah semua telah aku sampaikan?). Para sahabat menjawab. “Balaa ya Rasulullah” (benar, engkau telah menyampaikan, wahai Rasulullah).
Fathonah, artinya cerdas, smart dan inovatif. Rasulullah saw adalah pemimpin yang cerdas dan inovatif. Banyak strategi dakwah dan perang yang tidak terjangkau oleh pasukan musuh. Demikian juga dalam mendamaikan antar anggota warga Madinah. Penduduk Madinah sebelum datangnya Islam seringkali bertikai, bahkan ratusan tahun mereka dalam pertikaian. Namun setelah memeluk Islam, mereka menjadi bersaudara melebihi cinta mereka kepada saudara kandung mereka sendiri.
Kita merindukan sang pemimpin bagai kepemimpinan Rasulullah saw. Meski tidak mirip benar, setidaknya sifat-sifat itu harus menjadi ciri para pemimpin ke depan, meki tidak sampai 100%. Namun, faktor lain yang membuat suatu kepemimpinan itu berwibawa adalah para pembantunya yang juga memiliki keempat sifat di atas. Jika seorang pemimpin berada di lingkungan para pembantu dan pendukunnya yang shiddiq, Amanah, tabligh dan fathonah maka suasana kepemimpinan seperti itu bukan hanya dirasakan di level tertentu, namun juga di semua level hingga ke pelosok terdalam sekalipun. Wallahu a’lam. )I(

1 komentar:

KangBoed mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.