Kamis, 05 November 2009

Kiat Agar Dapat Pergi Haji

Dapat melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Makkah adalah dambaan setiap muslim. Akan tetapi untuk mencapai nya terkadang terasa sulit karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga tidak semua orang mendapat kesempatan untuk dapat melaksanakannya.

Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak melaksanakan ibadah haji. Faktor ketidakmauan, faktor takut, biaya yang mahal, bahkan faktor kesibukan dijadikan alasan untuk belum berangkat melaksanakan ibadah haji.

Akan tetapi dari semua faktor yang ada yang dominan menyebabkan terhambatnya seseorang untuk melaksanakan ibadah haji adalah faktor niat atau kemauan. Berapa banyak kita temukan orang muslim kaya raya belum juga berangkat menunaikan ibadah haji, dikarenakan faktor ketidakmauan atau belum ada niat.

Niat adalah cermin ketetapan hati. Ia adalah gambaran visi dari cita-cita hidup kita. Masa depan kita akan seperti apa banyak tergantung kepada visi kita. Dan visi itu dapat dijabarkan dengan niat.


Coba Anda sehari tidak makan dan minum, pastilah Anda merasa lapar dan dahaga. Namun jika di malam harinya Anda berniat untuk berpuasa, rasa lapar dan dahaga tidak seberat jika Anda tidak berniat puasa.


Demikian juga dengan sebuah cita-cita atau visi. Niat dan visi akan mengantarkan seseorang kepada tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Termasuk niat dan visi untuk berangkat haji ke Tanah Suci. Tidak ada salahnya bila saat ini kita menetapkan niat untuk pergi menunaikan ibadah haji. Karena berniat untuk melaksanakan suatu kebaikan akan mendapat kebaikan itu. Meskipun seseorang tidak jadi melaksanakan kebaikan yang diniatkan itu, ia tetap mendapat satu pahala kebaikan yang diniatkannya. Dan jika mampu melaksanakan kebaikan yang diniatkannya itu maka dia mendapat sepuluh kebaikan. Rasululllah saw bersabda, “Barangsiapa berkehandak suatu kebaikan kemudian tidak terlaksana maka baginya satu kebaikan itu, dan barangsiapa berkehendak suatu kebaikan lalu ia dapat melaksanakannnya maka ia mendapat sepuluh kebaikan itu”


Jadi, apa susahnya jika sekarang juga kita memasang niat untuk berhaji? Toh tidak terlalu susah? Tidak pula memerlukan modal? Serta tidak rumit prosesnya? Berniat hajilah Anda sejak kini, maka anda akan mendapat pahala kebaikan yang anda niatkan.


Untuk memantapkan terealisirnya niat di atas, maka kita harus menampakkan kesungguhan kita. Salah satunya adalah dengan bertawakkal kepada ALLAH. Allah SWT berfirman:
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (QS. Ali Imran: 159).

Tawakkal juga akan memudahkan segala urusan menuju apa yang dicitakan. Firman Allah SWT: “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya” (QS. At-Thalaq: 3)


Yang dimaksud tawakkal disini tentu tawakkal yang sebenarnya, yakni tawakkal yang disertai usaha. Rasulullah saw pernah meluruskan makna tawakkal yang salah yang dipahami salah seorang sahabat. Rasulullah saw bertanya, “Manakah untamu?.” sahabat itu menjawab: “Saya letakkan di luar”. Nabi saw bertanya, “Apakah sudah engkau ikat?” orang itu menjawab, “Tidak, karena saya sudah bertwakkal”. Nabi menjelaskan “Ikatlah dahulu untamu baru kemudian bertawakkallah!”.


Lalu, tawakkal seperti apakah agar kita dapat mencapai cita-cita pergi haji? Menabung!, ya menabung. Meskipun simpanan uang untuk berhaji hanya Rp.1000,. Timbul pertanyaan: Dapatkah dengan menabung sehari hanya Rp.1000 berangkat haji? Jangan-jangan kita keburu meninggal dunia?


Yakinlah bahwa keberangkatan kita ke tanah suci bukan semata karena kemampuan kita. Dia adalah kemampuan dan kekuasaan Allah,, dia adalah panggilan Allah. Yang harus kita usahakan adalah kesungguhan kita meraih kuasa dan panggilan Allah semampu yang bisa kita lakukan.


Ada pedagang bubur yang hanya menabung recehan penjualan buburnya ditakdirkan Allah berangkat haji dengan kekuasan-Nya. Ada pula seorang ustdaz kampung yang manabung selama tiga tahun baru terkumpul sepersepuluh harga ONH yang berlaku saat itu, namun pada akhirnya dapat berangkat menunaikan ibadah haji dengan takdir Allah. Ada pula orang yang mendapat beasiswa kuliah di Tanah Suci sehingga dapat melaksanakan ibadah haji. Ada pula seorang dokter yang gajinya pas-pasan ditakdirkan menjadi tim kesehatan jamaah haji sehingga ia dapat berhaji. Ada pula yang cuma jago pasang soundsystem diajak biro Haji Plus semata untuk mengatur sound pada acara wukuf di Arafah dan mabit di Mina, sehingga ikut melaksanakan ibadah haji. Bersiaplah dengan keajaiban dari Allah setelah usaha. #

Selasa, 03 November 2009

Haji; Ibadah Komprehensif

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji;
(QS. Al-Baqarah: 189)


Kutipan ayat diatas sangat singkat namun padat. Mengapa dalam ayat di atas hanya ibadah haji saja yang disebut? Bukankah ibadah-ibadah lain pun mempunyai waktu-watu tertentu?
Ibadah shalat umpamanya, mempunyai waktu-waktu tertentu, sepertu zhuhur, ashar, maghrib, isya dan subuh. Keterikatan pelaksanaan ibadah shalat dengan waktu ditegaskan Allah SWT dalam surat An-nisa: 103: “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”

Demikian pula halnya dengan ibadah zakat. Pelaksanaannya dikaitkan dengan waktu berupa haul (satu putaran setahun). Ibadah puasa pun dilakukan pada bulan tertentu saja, atau hari-hari dalam bulan Ramadhan saja (ayyaman ma’dudat), sebagaimana yang Allah jelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 183-185.

Adapun ibadah haji, keterikatannya dengan waktu dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat al-Baqarah: 197: (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi .(asyhurun ma’lumat)
Lantas mengapa hanya ibadah haji yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 189 di atas?
Syeikh Mutawally Sya’rawi, ulama ahli tafsir mengklasifikasi ibadah ritual kepada empat macam:

Pertama, ibadah zikir. Ibadah ini tidak membutuhkan kepada tenaga atau fisik yang kuat. Tidak juga memerlukan modal harta dalam pelaksanaannya, seperti membaca takbir, istighfar, tahlil dan lainnya.

Kedua, ibadah gerakan dan zikir. Ibadah ini membutuhkan sedikit tenaga fisik. Seperti ibadah shalat, karena dalam shalat terdapat gerakan sujud, ruku’ berdiri, duduk dan lainnya. Ibadah fardhu jenis ini adalah shalat lima waktu, sedangkan shalat sunnah-nya berjumlah banyak dan beraneka ragam, seperti shalat dhuha, tahajjud, witir, taraweh, hajat dan lainnya.

Ketiga, ibadah harta. Jenis ibadah ini jelas memerlukan modal harta dalam pelaksanaannya. Jenis ibadah ini yang bersifat fardhu adalah zakat. Sedangkan yang berbentuk sunnah adalah: infak, shadaqah, wakaf, hibah dan lainnya.

Keempat, ibadah menahan nafsu dan emosi. Ibadah jenis ini ada dalam ibadah puasa. Jenis ibadah ini yang bersifat fardhu adalah puasa di bulan Ramadahan. Sedangkan ibadah yang bersifat sunnah dari jenis ini antara lain; puasa senin-kamis, enam hari di bulan Syawwal, ayyamul bidh, puasa Nabi Daud dan lainnya.

Lalu, dimanakah posisi ibadah haji? Di sinilah letak konfrehensifitas ibadah haji, dan ini pula jawaban dari penyebutan hanya ibadah haji pada ayat di atas dan tidak menyebut ibadah lainnya. Mengapa demikian? Sebab, ibadah haji mengandung empat jenis ibadah yang disebutkan dalam surat al-Baqarah 189 di atas.

Dalam ibadah haji terdapat ibadah zikir, karena di dalamnya terdapat zikir-zikir tertentu seperti membaca talbiyah, tasbih, tahmid dan tahlil. Dalam ibadah haji pula terdapat ibadah gerakan yang membutuhkan tenaga bahkan fisik yang kuat, terutama saat melaksanakan thawaf, sa’I dan melontar jumroh. Lalu dalam ibadah haji pun terdapat ibadah harta, sebab orang yang pergi haji harus mengeluarkan biaya pergi haji (ONH/ongkos naik haji) atau Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH). Dan dalam ibadah haji pun terdapat ibadah menahan hawa nafsu dan emosi, kerana itu dalam ibadah haji tidak boleh melakukan rofats (berkata dan berlaku porno), fusuk (kedurhakaan) dan jidal (perdebatan). Itulah sifat konfrehensifitas ibadah haji. Sehingga ibadah ini hanya diwajibkan sekali saja dalam hidup seseorang. Adapun selebihnya adalah bersifat sunnah.

Bila hal-hal di atas adalah berkaitan dengan hablum minallah (hubungan manusia dengan Allah), maka hablum minannas (hubungan antar manusia) pun terdapat dalam ibadah haji.
Dalam ibadah haji, antara satu bangsa dengan bangsa lain saling mengenal, mereka bersimpuh dalam satu tempat (Makkah), melaksanakan satu aktifitas (ibadah) dan bertujuan satu harapan (mencari ridho Allah SWT). Dengan demikian ibadah haji telah mengajarkan kepada umat Islam akan kesatuan umat (ummatan wahidatan) dan persaudaraan Islami (ukhuwah Islamiyah). Nilai persaudaraan adalah nilai yang universal dalam membangun sebuah peradaban.

Ibadah haji memang ibadah yang konfrehensif, bukan hanya dilihat dari kandungan ibadahnya saja yang mencakup jenis-jenis ibadah yang ada dalam Islam, namun juga dapat dilihat dari peserta ibadahnya yang datang dari seluruh dunia. Jika orang yang datang pada pesta olahraga dunia (olimpiade) masih terbagi kepada dua kelompok: pemain dan penonton, maka dalam ibadah haji, mereka yang datang semuanya adalah “para pemain”, dan peserta, karena mereka seluruhnya ikut dalam “perlombaan” mencari keridhoan Allah SWT , sehingga mereka berusaha berbuat terbaik untuk mabrurnya ibadah haji mereka. )I(

http://muhammadjamhuri.blogspot.com