Selasa, 20 November 2012

Watak Bani Israil


Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: "Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar” (QS. Al-Isra: 4)

 

Ayat di atas menegaskan bahwa Bani Israil (keturunan Israil) secara umum akan melakukan kerusakan di muka bumi ini. Kata “marrotain” (dua kali) bukan berarti hanya dua kali melakukan kerusakan itu. Akan tetapi kata itu mengandung pengulangan suatu perbuatan, sehingga maknanya adalah setelah melakukan kerusakan akan disusul dengan melakukan kerusakan kembali. Pennyataan ini dapat dikuatkan dengan kata “latufsidunna” (pasti melakukan kerusakan) dengan menggunakan kata kerja sedang berlangsung (fi’il mudhore’) yang di dalam gramatikal bahasa Arab mengandung makna “lil hadhir wa al-mustaqbal” (untuk masa kini dan masa yang akan datang). Atau dalam ilmu balaghoh (ilmu tata sastra bahasa) mengandung pengertian “li al-istimror wa al-tajaddud” (untuk makna kesinambungan , terus menerus dan baharu/up date).

Sehingga sudah merupakan ketentuan dari Allah swt bahwa watak kaum Bani Israil dari masa ke masa akan selalu melakukan kerusakan di atas muka bumi ini.

Beberaoa kerusakan yang pernah dilakukan Bani Israil di antaranya:

1. Membunuh para Nabi. Firman Allah swt: “Lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas” (QS. Al-Baqarah: 61). Sebagai bukti aktual, mereka mudah membunuh siapa saja, bahkan terhadap wanita dan anak-anak kecil. Jika para nabi saja mereka membunuhnya dengan tidak merasa berdosa apalagi hanya anak kecil dan kaum wanita? Mereka bahkan tidak peduli dapat kecaman dari para pemimpin dunia.

2. Bersikap sombong karena merasa sebagai bangsa yang dipilih Tuhan, dan menganggap bahwa bangsa lain adalah bangsa budak bagi mereka. Firman Allah swt: Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: "Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar” (QS. Al-Isra: 4). Sebagai bukti aktual, kini mereka menindas bangsa Palestina dan menjajah tanah air mereka. Kutukan dan himbauan dari dunia agar menghentikan kekejamannnya tetap saja tidak di dengar, karena mereka merasa telah menguasai mereka dengan mengusai para politikus di Amerika.

3. Selalu melanggar dan tidak menepati janji-janjinya. Firman Allah swt: yang artinya: “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling“ (QS. Al-Baqarah: 83). Sebagai bukti aktual, kini Israel sering melanggar perjanjuan dengan Palestina, baik perjanjian Osli, Madrid dan lain sebagainya, bahkan resolusi-resolusi PBB pun mereka langgar dengan seenaknya.

4. Bani Israil senang jika umat Islam kembali kepada kekafirannya, atau setidaknya islam hanya cuma nama dan tidak diamalkan oleh umatnya. Firman Allah swt yang artinya: “Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran”  (QS. Al-Baqarah: 109). Sebagai bukti aktual: Mereka banyak membiayai pemikiran liberal di tubuh umat Islam agar umat Islam tidak berakidah kuat, demikian juga mereka melalui LSM-LSMnya menyokong aliran-aliran sesat dan sempalan di tubuh umat Islam agar akidah umat Islam melenceng dari kebenaran.

5. Jika berperang, mereka tidak berani face to face,(berhadapan langsung)  tapi menyerang lewat benteng yang kokoh dan membangun tembiok-tembok serta bersembunyi di balik tembok-tembok tersebut. Firman Allah swt:  “Mereka tidak akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok “ (QS. Al-Hasyr: 14). Bukti aktual saat ini adalah mereka banyak membangun tembok-tembok rasial, menyerang dengan kapal tanpa awak. Mereka takut dan selalu kalah jika berperang di tengah-tengah kota (face to face) seperti yang terjadi saat melawan pasukan Hamas di tengah kota Gaza  dalam city war (perang kota).

6. Tetap mempraktekkan sistem riba dalam ekonomi mereka, bahkan menyebarkannya ke negara-negara lain untuk mengisap ekonomi negara tersebut, terutama negara-negara berkembang. Allah swt berfirman yang artinya: “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisa: 160-161). Bukti aktual saat ini adalah, bahwa pada perang dunia II saat negara-negara sibuk berperang, justri mereka mendirikan bank, dan pada saat perang dunia II usai, negara-negara membutuhkan pinjaman untuk membangun negara mereka, lalu bank-bank yang didirikan Yahudi memberi pinjaman dengan membebankan bunga (riba), sehingga negara-negara miskin atau berkembang sulit untuk maju karena ekonomi mereka dikendalikan bangsa Yahudi melalui bank dunia, IMF dan lain sebagainya.

Dan masih banyak watak asli Bani Israil yang diterangkan Allah swt dalam al-Qur’annya. Sehingga tiga perempat al-Quran berisi kisah nabi Musa dan umatnya (Bani Israil).# Jamhuri

 

Sabtu, 17 November 2012

Kedahsyatan Energi Ruhiyah (Spritual)


Dan (dia berkata): "Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa." (QS. Hud: 52)

 

Ayat di atas menegaskan bahwa kekuatan ruhiyah (spritual) yang dicapai melalui itighfar dan taubat dapat mengundang dua kedahsyaratan yang akan Allah swt berikan, yakni Kedahsyatan Eksternal yang berasal dari alam dengan turunnya hujan yang dapat menyuburkan tanah sehingga mendatangkan kesejahteraan. Dan Kedahsyatan Internal yang akan lahir dari diri kita berupa kekuatan.

Kata “quwwatan” (kekuatan) pada ayat itu menggunakan bentuk “nakiroh” yang berarti mengandung pengertian bahwa kekuatan itu bersifat umum. Artinya semua kekuatan dalam segala bentuknya, baik kekuatan tubuh dan kesehatannya, kekuatan ekonomi, kekuatan intelektual, kekuatan menganalisa, dan kekuatan kemampuan dan lain sebagainya. Sebagaimana hal nya kata “Quwaah” (kekuatan) bersifat umum yang terdapat pada surat Al-Anfal ayat 58 yang memerintahkan kita untuk mempersiapkan segala kekuatan dalam menghadapi musuh. Firman Allah swt: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi’ (QS. Al-Anfal: 60)

Oleh sebab itu, seorang murid Hasan al-Bashri merasa heran dengan jawaban gurunya yang yang ketika ditanya berbagai persoalan oleh masyarakatnya, jawabannya tetap satu “perbanyaklah istighfar”.

Kisahnya begini, Ketika Hasan al-Bashri sedang mengajar murid-muridnya, tiba-ba beliau kedatangan tiga orang tamu dengan membawa masalah yang berbeda-beda untuk meminta nasehat kepada Hasan al-Bashri. Orang pertama berkata, “Wahai syaikh (guru), saya adalah seorang petani yang sering gagal panen, sehingga kami sering merugi. Apa nasehat tuan kepada kami agar pertanian kami berhasil dan dapat memetik panen dengan baik?.” Hasan al-Bashri menjawab, “Hendaklah engkau perbanyak membaca istighfar”

Orang kedua berkata, “Wahai Syaikh (guru) !, kalau saya adalah seorang pedagang (bisnisman), belakangan ini saya sering merugi dalam bisnis saya, apa nasehat tuan agar usaha saya sukses dan mendapat keuntungan besar?” Hasan al-Bashri menjawab, “Hendaklah engkau perbanyak membaca istighfar”

Lalu orang ketiga berkata, “Wahai Syaikh, kalau saya mempunyai masalah yang berbbeda, saya sudah lama berkeluarga, namun hingga kini, saya belum juga dikaruniai seorang anak. Apa nasehat tuan buat kami agar kami segera dikarunai keturunan?.” Hasan al-Bashri menjawab hal sama, “Hendaklah engkau perbanyak membaca istighfar”

Saat itulah salah seorang murid Hasan al-Bashri bertanya kepada beliau. Katanya, “Ya Syaikhi (Wahai guruku), mengapa orang bertanya tentang solusi dari masalah-masalah yang berbeda, namun syaikh tetap menjawab dengan satu solusi: istighfar?” Apa dasarnya?”

Hasan al-Bashri kemudian menjawab, “Bacalah olehmu surat Nuh ayat 10-12 disana Allah menjelaskan bahwa, “maka aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu” (QS. Nuh; 10-12)

Amal perbuatan seperti shalat, puasa dan dzikir serta ibadah-ibadah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah swt akan menambah nilai ruhiyah (spritual) seseorang. Dan semakin seseorang bertambah nilai ruhiyahnya, maka akan mendapatkan kedahsyatan-kedahsyatan positif yang tidak terjangkau oleh kekuatan logika.

Kedahsyatan yang terkadang tak terjangkau oleh logika itu bisa saja datang dari salah satu atau kedua sisi: dari alam dan diri sendiri. Sebagai contoh, pada saat Nabi saw dan Abu Bakar bersembunyi di Gua Tsur dari kejaran orang Quraisy saat akan berhijrah ke Madinah, mereka hampir saja terendus oleh rombongan pasukan Quraisy. Mereka sudah berada di depan mulut gua Tsur tempat Nabi saw dan sahabatnya bersembunyi. Namun, kekauatan alam berpihak kepada Nabi saw dan sahabatnya, sehingga datanglah laba-laba dan burung merpati yang membuat sarangnya tepat di depan mulut gua tersebut. Sehingga kaum Quraisy dibuat ragu memasuki gua tersebut.

Adapun kekuatan internal atau yang berasal dari diri kita adalah dapat berupa kewibawaan, kenikmatan hidup serta kesehatan tubuh. Syaikh Ahmad Yasin sang pemimpin Hamas di jalur Gaza Palestina adalah orang yang serba kekurangan dari sisi fisik. Namun, gelora dan semangat perjuangan beliau mengalahkan orang-orang yang masih sehat dan normal fisiknya. Meskipun lengan dan kakinya sudah lumpuh, beliau tetap berjuang dari atas kursi dorongnya melawan penjajah Israel. Suaranya yang sudah serak-parau, namun pidato-pidatonya dapat menggetarkan hati para pembesar Israel yang ketakutan.

Kesyahidan belaiu merupakan bukti bahwa beliau adalah yang memiliki tingkat ruhiyah yang tinggi. Kesyahidan adalah kemulian yang Allah berikan pada kematian hamba yang dikasihiNya. Menjelang kesyahidannya di suatu pagi hari yang diserang oleh pesawat helikopter Israel, beliau bangun di sepertiga malam terakhir hari itu, kemudian beliau melaksanakan shalat tahajjud, kemudian melaksanakan sahur puasa sunnah, kemudian berangkat ke Masjid untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah, kemudian setiba di masjid beliau shalat tahiyatul masjid, kemudian shalat sunah qobliyah subuh (shalat sunat fajar), kemudian shalat fardhu subuh dengan berjamaah, kemudian berzikir hingga datang waktu syuruq, kemudian beliau melaksanakan shalat sunnah syuruq, saat keluar dari masjid menuju rumahnya, saat itulah pesawat Israel menembeakinya hingga beliau syahid menemui Tuhannya. Allahu Akbar....alangkah indahnya jiwa (ruh)yang dekat dengan Allah swt. Mati dalam kemuliann yang tinggi.

Contoh lain adalah kisah puteri Rasulullah saw yang bernama Fatimah.

Suatu saat beliau mengeluh tentang lelah melakukan pekerjaan rumah yang dilakukan seorang diri. Untuk meringankan pekerjaannya, Fatimah mengusulkan kepada suaminya Ali bin Abii Thalib untuk mengambil seorang pembantu. Tapi apa dinyana, penghasilan Ali bin Abi Thalib tidak cukup untuk mengupah seorang pembantu. Jangankan memberi nafkah kepada pembantu, memberi nafkah kepada keluarganya seperti senin-kamis. Bahkan pernah Ali dan Fatimah tidak menemui makanan selama tiga hari lamanya.

Akhirnya, Fatimah mengusulkan agar suaminya memohon kepada Rasulullah saw akan seorang pembantu. Tentu saja Ali merasa malu meminta pembantu kepada Rasulullah saw yang merupakan mertua beliau. Fatimah pun akhirnya memberanikan diri mendatangi rumah Rasulullah saw untuk meminta seorang pembantu. Namun, saat itu Rasulullah saw sedang tiada, dan Fatimah diterima Aisyah. Fatimah pun menceritakan kepada Aisyah tentang kondisi keluarganya dan memohon kepadanya agar Rasululllah saw dapat memberi seorang pembantu untuknya.

Setelah Fatimah pamit pulang, datanglah Rasulullah saw dan Aisyah ra segera menceritakan pertemuannya dengan Fatimah yang baru saja berlalu. Mendengar cerita Aisyah, Rasulullah saw pun segera mendatangi rumah puteri tercintanya Fatimah. Sesampai di rumah Fatimah dan bertemu dengannya, Rasulullah saw berkata kepada puterinya itu, “Wahai Fatimah puteriku, maukah engkau aku tunjukkan sesuatu yang lebih baik dari pada apa yang engkau pinta dariku (pembantu)?”. Fatimah menjawab, “Ya, mau wahai Ayahanda.” Rasulullah saw bersabda, “Bacalah oleh mu Subhanallah, alhamdulillah dan Allahu Akbar, masing-masing tigapuluh tiga kali, kemudian dilanjutkan dengan Laa ilaa illahu wahdahu laa sayriika lah, lahul mulku walahul hamdu yuhyi wa yunitu wa huwa ‘ala kulli syain qodir:. Maka itu lebih baik dari apa yang engkau pinta (pembantu)”.

Fatimah pun senang mendapat sesuatu yang lebih baik dari yang ia pinta dan beliau mengamalkan pesan itu.

Dari kisah ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dzikir-dzikir dan kalimat thayyibah yang diajarkan Nabi saw dapat menggantikan tenaga seorang pembantu, bahkan lebih baik dari itu. Ini menunjukkan bahwa fisik kita akan diberikan lebih kuat dan lebih sehat sehingga mampu melaksanakan tugas-tugas seperti kita mendapat tenaga ekstra senilai tenaga seorang pembantu atau lebih baik dari itu.

Ketahuilah, bahwa bagi Allah swt segala yang ada di langit dan di bumi serta seisinya. Mudah saja bagi Allah untuk memberikan apa saja yang Dia miliki kepada hamba-hambaNya, terlebih jika hamba-hambanya itu melaksanakan perintah Allah dengan segala ketaatan. Rasa ketaatan ini lah yang akan meninggikan derajat ruhiyah orang yang beriman. Karena itu perbanyaklah ketaatan, baik yang wajib maupun yang sunnah. Wallahu a'lam

Jamhuri

 

 

Jumat, 09 November 2012

Persaudaraan: Solusi Masalah Ekonomi


“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat “ (QS.Al-Hujurot: 10)
 
Ketika Nabi saw berhijrah dari Makkah ke Madinah, beliau  menghadapi  persoalan ekomomi  yang berat sebagaimana yang dihadapi suatu komunitas yang melakukan migrasi dari satu tempat ke tempat lain. Apalagi tempat itu merupakan tempat pertama kalinya dihuni oleh komunitas tersebut. Sehingga, para Muhajirin yang berasal dari Makkah dapat dikatakan sebagai para pengungsi yang ingin mendapat kehidupan yang layak, tidak tertekan di tempat asalnya, apalagi dintimidasi.

Saking rumit dan kompleknya masalah yang ditimbulkan akan perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain atau dari negara ke negara lain, hingga organisasi dunia semacam PBB (Perserikatan Bangsa–Bangsa) perlu membentuk sayap organisasi yang khusus menangani permasalah pengungsi yang organisasi itu kemudian disebut UNHCR. Organisasi ini khusus menangani masalah pengungsi, baik yang berkaitan dengan hak hidup, sosial, ekonomi, serta status kewarganegaraan mereka.

Di antara masalah yang timbul akibat pengungsian adalah masalah ekonomi, baik berupa distribusi, pengangguran, serta kebutuhan akan sandang (pakaian), pangan (makanan) dan papan (tempat tinggal). Hal itu pun dirasakan oleh Nabi saw dan para sahabatnya yang berasal dari Makkah.

Akan tetapi, berkat kenabian Rasulullah saw, beliau dapat keluar dari krisis ekonomi itu dengan satu cara yang unik, yakni dengan mempersaudarakan kaum Muhajirin yang berasal dari Makkah dan kaum Anshar yang berasal dari Madinah.

Berkat langkah yang diambil Rasulullah saw berupa persaudaraan sesama Muslim itulah, semua masalah ekonomi yang diakibatkan perpindahan penduduk, dapat diatasi. Pada saat itu Kaum Anshar mempersilakan kaum Muhajirin untuk menetap di rumah kaum Anshar, menikmati makanan yang dimakan oleh mereka, serta memakai pakaian yang dipakai mereka. Singkatnya, sikap kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin seperti saudara kandung sendiri. Bahkan sebelum turunnya ayat tentang hukum warisan, mereka menyangka bahwa diantara mereka dapat saling waris-mewariskan meskipun tidak ada hubungan nasab atau perkawinan.

Keindahan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar itu dilukiskan Allah dengan sangat indahnya melalui firman-Nya:

“Bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.  Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 8-9)

Namun demikian, meskipun kaum Muhajirin ditawari dengan berbagai fasilitas, akan tetapi mereka tetap ingin hidup berdikari dan tidak bersandar kepada saudaranya. Seperti yang terjadi pada sahabat Abdurrahman bin Auf. Ketika beliau ditawari segala fasilitas hidup, beliau malah bertanya dimana pasar? Lalu beliau mencari beberapa kayu bakar dan dijual di pasar,, atau sekedar menjadi kuli panggul. Namun dalam perjalanan hidupnya, beliau tercatat sebagai salah satu dari sahabat yang kaya raya.

Begitulah keindahan berukhuwah (bersaudara) sesama kaum muslimin pada masa Rasulullah saw dan para sahabat. Jika saja jiwa persaudaraan ini tetap melekat di dalam sanubari tiap kaum muslimin, pastilah tidak ada masalah ekonomi yang tidak bisa terselesaikan. Mengapa justru jiwa  seperti ini ada di kalangan etnis tertentu yang note-bone tidak beragama Islam?. Etnis Tionghoa misalnya, betapa persaudaraan ekonomi di antara mereka begitu kuat? Bahkan dapat dikatakan perekonomian Indonesia mayoritas dikuasai oleh etnis tersebut? Kita harus belajar kesuksesan jaringan persaudaraan bisnis mereka memang.

Padahal, secara konsep, Islam telah mendudukkan persaudaraan sesama muslim sebagai masalah keimanan, masalah aqidah, bukan sekedar masalah fiqhiyyah. Perhatikanlah salah satu hadits Rasulullah saw berikut: “Tidaklah beriman seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya (seiman) seperti ia memcintai dirinya sendiri.”

Demikian juga perintah Allah swt dalam Al-Quran yang menyerukan kita untuk saling tolong menolong dalam kebaikan. Firman Allah swt: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya “ (QS. Al-Maidah: 3)

Persaudaraan sesama muslim juga dapat melahirkan persatuan, dan persatuan dapat mewujudkan pembangunan secara berkesinambungan. Bagaimana mungkin kita akan membangun jika masih terjadi tawuran dan bentrokan di antara kelompok masyarakat?

Allah swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum merendahkan kaum lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim “(QS. Al-Hujurot: 11)

Jamhuri

 

Jumat, 02 November 2012

Pahalawan dan Dosawan


Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki” (Qs. Ali Imran: 169

Kata “Pahlawan” berasal dari “pahala” dan “wan”. Artinya adalah pelaku perbuatan yang mendapatkan pahala. Seperti kata “dermawan” berarti pelaku perbuatan  yang bersifat derma. “pustakawan” orang yang bekerja di perpustakaan, “karyawan” orang yang melakukan suatu karya atau pekerjaan.

Kemudian kata “pahlawan” disandingkan kepada setiap orang yang berjuang membela tanah air dan bangsanya dengan ikhlas dan karena panggilan hati nurani untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa dan negaranya.

Mengapa kata pahlawan disandingkan dengan orang yang berjuang membela tanah air? Karena mereka berjuang dengan rasa keikhlasan ingin melepaskan bangsa ini dari penjajahan asing. Mereka juga ingin agar bangsa ini dapat maju, adil dan sejahtera. Mereka ingin agar manusia di negeri ini cerdas dan berkualitas. Oleh sebab itulah para guru –yang note bone berpenghasilan seadanya– disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.

Dalam agana Islam, suatu amal atau aktifitas yang akan mendapatkan pahala haruslah memenuhi dua kriteria, yaitu iman dan amal shalih/baik (alladzina aamanu wa ‘amilus shalihat). Suatu perbuatan baik tanpa dilandasi iman kepada Allah maka amal itu akan sia-sia saat menghadap Allah di hari kemudian. Demikian pula dengan iman yang tidak diikuti dengan perbuatan baik maka dia akan merasakan siksa di hari kemudian.

Jadi antara iman dan amal shalih ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Oleh sebab itulah kata “alladzina aamanu wa ‘amilus shalihat” selalu bersanding dalam penyebutannya di banyak ayat.

Orang yang berjuang demi kemerdekaan, kemajuan dan kesejahteraan umat, bangsa dan negara yang dilandasi dengan keimanan disebut pahlawan. Mereka meskipun telah guguir di medan perang, pada hakikatnya mereka hidup dalam kenikmatan di alam lain. Allah swt berfirman: Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki” (Qs. Ali Imran: 169

Para ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud hidup pada ayat di atas adalah hidup di alam lain. Karena setiap orang yang meninggal dunia, mereka akan mampir dan menunggu di suatu “terminal” yang disebut alam barzakh, sebelum hari kiamat tiba.

Oleh sebab itu, maka jika kita ingin menghormati para pahlawan yang telah gugur di medang juang, hendaklah kita mendo’akan mereka dan meneladani hidup mereka yang dengan rasa ikhlas berjuang demi kemajuan bangsa. Menghormati para pahlawan bukan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan keinginan para pahlawan kita, baik berupa pesta pora yang menerlenakan dengan hiburan-hiburan semu, apalagi berupa kemaksiatan.

Julukan pahlwan juga dapat diberlakukan kepada mereka yang masih hidup. Oleh sebab itu adal ungkapan “pahlawan tanpa tanda jasa” untuk seorang guru, dan “pahlawan devisa” untuk mereka yang bekerja di luar negeri dan dapat memberikan pemasukan devisa bagi negaranya. Setiap kita bisa menjadi pahlawan dengan mengisi kemerdekaan ini dengan segala amal shaleh untuk bangsa ini. Amal shaleh bukan hanya ibadah ritual saja, akan tetapi amal shaleh adalah segala aktivitas positip yang bermanfaat.

Sebaliknya, amal yang buruk dan merugikan orang banyak tidak menjadikan pelakunya sebagai pahalawan. Bahkan perbuatan itu menjadikan pelakuinya sebagai Dosawan. Yakni orang yang telah melakukan perbuatan buruk atau perbuatan yang dapat merugikan orang, sehingga dia berdosa. Tindakan korupsi, manipulasi, kolusi dan nepotisme adalah bentuk perbuatan buruk dan pelakunya disebut dosawan. Meskipun pelakunya adalah seorang presiden dan jenazahnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan, tetap saja di sisi Allah dia bukan seorang pahalawan, tapi seorang dosawan.

Di zaman yang dipenuhi dengan media informasi seperti sekarang ini, seorang dosawan dapat dikemas penampilannya sehingga disebut pahalwan. Lihat saja bagaimana para wanita saat melakukan tindak korupsi atau kejahatan atau terlibat narkoba sedikitpun tidak pernah memakai jilbab atau peci. Namuin pada saat di ruang pengadilan mereka tampak seperti alim sosok yang  shaleh dan shaleh. Bahkan di antara mereka ada yang mengenakan baju koko dan cadar atau niqob.

Metode politik pencitraan melalui iklan di televisi dan media lainnya pun dapat membuat sosok seorang dosawan menjadi pahalawan. Lihat saja para pejabat yang sudah terindikasi melakukan korupsi tampil  di tengah rfakyat kecil bagaikan pahlawan bagi mereka..

Akibat kuatnya pengaruh politik pencitraan ini, banyak rakyat dan bangsa tertipu dan terkecoh. Dosawan dielu-elukan bagaikan pahlawan, sedangkan para pahlawan dipojokkan seperti dosawan. Mengapa? Karena musuh para dosawan adalah para pahlawan. Mereka tidak rela jika kekuasann ini di pegang oleh orang-orang bertipe pahlwan yang bersih dan ikhlas karena mereka khawatir dosa mereka akan terkuak.

Hari-hari ini bangsa kita memperingati hari  pahlawan. Sudah selayaknya kita harus mendukung orang-orang yang berjiwa pahlawan yang tidak pernah lelah bekerja ikhlas, bersih dan semangat dalam memajukan bangsa ini. Dan sudah saatnya kita harus jeli melihat mana pahlawan gadungan dan pahlwan sebenarnya.

Di tengah era informasi yang begitu bias mendefiniskan pahlawan dan dosawan, maka meningkat ketakwaan adalah solusi untuk dapat mengenal mana yang pahalwan (haq) dan mana yang dosawan (batil). Allah swt berfirman:  “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan  (kemampuan membedakan antara hak dan batil)” (QS. Al-Anfal: 29). )I(

 

Jamhuri