Minggu, 27 April 2014

Kedahsyatan Do’a Muhasabah



 Yang dimaksud Do’a Muhasabah di sini adalah doa permohonan yang bersifat introspeksi tentang pengakuan kesalahan diri yang telah dilakukan pada masa dahulu atau masa yang baru lalu. Biasanya kita berdoa untuk keperluan masa depan. Contohnya doa memohon diberi kekayaan, kelancaran usaha, lulus menghadapi ujian, diberi jodoh yang soleh dam solehah, diberi anak yang soleh dan lain sebagainya. Seluruh doa itu bersifat permohonan untuk masa yang akan datang. Kebanyakan dari kita berdoa dengan  jenis doa kedua itu. Meskipun hal itu dibenarkan dan dianjurkan, namun  jarang sekali kita berdoa dengan jenis doa muhasabah. Jenis doa ini memang  tidak banyak permohonan yang berisi keduniaan. Isi doa muhasabah lebih kepada perenungan atau paling tidak permohonan ampunan atas dosa yang telah dilakukan. Contohnya berdoa dengan pengakuan bahwa diri telah melakukan kedzaliman dan kesalahan atau memohon ampunan atas dosa yang telah dilakukan.
Banyak yang tidak disadari, bahwa doa muhasabah ini sebenarnya, selain fungsi merendah dan menampakkan kehambaan di hadapan Allah, doa muhasabah juga tidak kalah pentingnya dengan doa masa depan. Bahkan meski bersifat muhasabah, doa ini juga dapat membuka jalan menuju keinginan-keinganan masa depan yang juga menjadi harapan.
Sebagai contoh, doa muhasabah yang dibaca oleh Nabi Yunus as saat beliau berada di dalam perut ikan hiu dan di dalam samudera yang gelap gulita. Beliau tidak berdoa kepada Allah dengan kalimat-kalimat yang berisi agar dikeluarkan dari perut ikan, namun justru doa beliau berisi pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah, juga berisi introspeksi diri bahwa diri telah melakukan kezaliman. Sebagaimana yang disebut dalam al-Quran:
وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنْ الظَّالِمِينَ
Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap (gelap dalam perut ikan, dalam laut, dan malam hari): "Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim." (QS. Al-Anbiya: 87)

Demikian juga yang terjadi pada Nabi Adam as. Saat Nabi Adam as dikeluarkan dari surga dan berada dalam kebimbangan, maka doa pertama kali yang Allah swt ajarkan kepadanya adalah doa penghambaan dan pengakuan diri telah berbuat aniaya. Allah swt menceritakan:
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa “kalimat” dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah: 37)
Ada pun yang dimaksud dengan beberapa” kalimat”  adalah doa yang diajarkan Allah berupa doa introspeksi diri dan bertaubat. Sebagaimana Allah swt menceritakan:
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنْ الْخَاسِرِينَ
“Keduanya (Adam dan Hawa) berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf: 23)
Semua bentuk doa di atas, meskipun hanya bersifat pengakuan dosa diri sendiri, namun dapat membuka kebaikan di masa depan. Nabi Yunus as setelah membaca doa itu justru dikeluarkan dari perut ikan hiu. Nabi Adam as setelah berdoa muhasabah mendapat ampunan dari Allah dan disambut oleh para Malaikat.
Jadi, meskipun doa-doa tersebut lebih bersifat setback ke belakang, namun manfaat ke depannya begitu dahsyat. Salah satu contoh Doa Muhasbah yang berifat ke belakang namun bermanfaat ke depan adalah istighfar (mohon ampunan).
Di kisahkan, Hasan al-Bashari suatu hari di datangi oleh tiga orang yang membawa masalah masing-masing. Orang pertama berkata, “Wahai Guru, aku adalah seorang petani, namun aku sering gagal panen, adakah kiat agar aku tidak selalu gagal panen?” Hasan al-Bashari menjawab, “Perbanyaklah olehmu istghfar”
Orang kedua bertanya “Wahai Guru, aku adalah pedagang, namun sering merugi dalam berdangang (berbisnis), apa saja kiat agar usaha aku menghasilkan keuntungan?” Hasan al-Bashari menjawab, “Perbanyaklah olehmu istghfar”
Orang ketiga berkata, “Wahai Guru, saya adalah orang yang sudah lama menikah dan berumah tangga namun belum dikarunia anak, adakah cara dan kiat agar Allah swt memberikan padaku keturunan dan anak-anak?” Hasan al-Bashari menjawab, “Perbanyaklah olehmu istghfar”
Setelah ketiga orang itu pergi meninggalkan majelis Hasan al-Bashari, tiba-tiba salah seorang muridnya bertanya dengan rasa penasaran kepada beliau, “Wahai Guru, sepertinya seluruh persoalan dapat diselelsaikan hanya dengan memperbanyak istghfar, sebagaimana yang Engkau anjurkan kepada tiga orang tadi. Adakah dalil yang bisa Tuan Guru sampaikan tentang hal itu?”. Hasan al-Bashari menjawab, “Bacalah olehmu firman Allah swt:
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا - يُرْسِلْ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا - وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا
“Maka aku (Nuh) katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun (istighfar) kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai” (QS. Nuh: 10-12)
        Suatu hari, seorang jamaah umroh mengadu kepada pembimbing haji-umroh, “Pak ustadz, pada saat kami berdoa di depan Ka’bah, mengapa kami tidak bisa menangis? Sedangkan kami melihat jamaah lain menangis hingaa tersedu-sedu? Apa sebabnya dengan kami ini?” Sang Ustadz balik bertanya, “Memangnya bapak tadi saat di depan Ka’bah isi doanya apa?” Jamaah itu menjawab, “Saya memanjatkan doa hajat saya pak Ustadz, agar sepulang umroh, jabatan saya dapat dipromosikian.” Sang Ustdaz berkata, “Doa itu tidak salah, namun sebaiknya, sebelum memanjatkan doa hajat dan keperluan, hendaknya kita memohon terlebih dahului ampunan atas kezaliman yang pernah kita lakukan, baik kepada Allah, orang tua, keluarga, dan kepada bawahan kita yang mungkin pernah kita zhalimi.”
Keeseokan harinya orang itu datang menghadap pembimbing haji-umroh itu dalam keadaan matanya memerah dan berlinang air mata, seraya berkata, “Alhamdulillah pak Ustadz, saya kini baru merasakan nikmatnya beroda, saya tadi baru dari Masjidil Haram, saya berdoa dengan isntrospeksi dan beristighfar atas kesalahan dan dosa yang pernah saya lakukan, hingga saya sudah tidak sempat lagi dan malu kepada Allah untuk meminta dipromosikannya jabatan saya..terima kasih pak ustadz..”
Betullah firman Allah swt yang mendahulukan penghambaan, baru kemudian meminta pertolongan:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” (QS. Al-Fatihah: 5)
Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.
Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.
Wallahu a’lam bish Showab….

(http://Muhammadjamhuri.blogspot.com)

Sabtu, 26 April 2014

Membiasakan Muhasabah



Rasulullah saw bersabda, “Berbahagialah orang yang disibukkan dengan menghitung aibnya daripada sibuk  mencari aib orang lain”
Hadist ini singkat, namun jika diterapkan oleh setiap muslim, maka dahsyat manfaatnya. Baik dalam kehidupan individu maupun sosial. Orang yang selalu disibukkan dengan menghitung aibnya, dia tidak akan sempat mencari-cari keburukan orang lain. Disamping itu, dia akan selalu berusaha mengurangi kesalahannya dan mencari solusi untuk keluar dari keburukannya itu, sehingga setiap hari kualitas hidupnya semakin baik dan baik. Berbeda dengan orang yang selalu mencari keburukan orang lain, keburukan yang terjadi padanya selalu menyalahkan pihak lain.
Seorang guru misalnya, tatkala merasa dirinya tidak disukai muridnya, atau pelajaran yang diajarkannya tidak disukai muridnya, maka tipe orang yang disibukkan dengan kekurangan dirinya, selalu melakukan muhasabah (instrspeksi) diri, apakah penyampaian pelajarannya kurang jelas, ataukah kurang persiapan, atau boleh jadi sering berbuat marah pada murid-muridnya?. Sebaliknya,. Orang yang terbiasa disibukkan mencari kekurangan orang lain, maka dalam kasus di atas, dia bukan merenung kekurangan dirinya, namun dia selalu menyalahkan murid-muridnya dengan berbagai argumentasi. Akibatnya perbaikan diri tidak ada, sedangkan murid tidak mendapatkan kenyamanan dalam menerima pendidikan.
Seseorang yang tidak membiasakan muhasabah ketika tidak disukai tetangganya, maka akan selalu introspeksi diri dan berusaha memperbaiki diri, sehingga kualitas hidupnya akan terus membaik. Sedangkan orang yang selalu mencari keburukan orang lain, maka yang terjadi adalah menyalahkan tetangga dengan memperbesar masalah yang sebenarnya kecil menjadi masalah besar. Dapat dibayangkan, jika tetangganya bersifat seperti itu pula, maka yang akan terjadi adalah cekcok dengan argumentasi yang saling menyalahkan. Berbeda dengan jika keduanya membiasakan muhasabah, maka cekcok akan terhindar, dan setiap anggota masyarakat akan memperbaiki diri, sehingga kualitas kehidupan masyarakat akan menjadi lebih baik, lebih empati, dan lebih berhati-hati dalam bersikap serta saling hormat menghormati.
Sikap membiasakan muhasabah inilah yang selalu dilakukan oleh para Sahabat Nabi saw. Mereka setiap kali membaca ayat al-Quran tentang ciri-ciri orang Munafiq dan nasib orang-orang kafir di hari Kiyamat selalu mengucurkan air mata, karena mereka mengaca diri dan merasa khawatir jangan-jangan sifat-sifat tersebut ada pada diri mereka. Abu Bakar Ash-Shiddiq jika bertemu dengan orang yang lebih tua usianya, selalu berkata dalam hatinya, “Oh, alangkah bahagianya orang ini, usianya lebih tua dari diriku, berarti amal shalehnya lebih banyak ketimbang diriku”. Sedangkan bila beliau bertemu orang yang usianya lebih muda, beliau berkata dalam dirinya, “Oh, alangkah bahagianya anak muda ini, usianya masih muda yang berarti dosa-dosanya masih sedikit, dibandingkan dengan diriku yang sudah tua dan dosa pun lebih banyak didibanding anak muda itu.
Pada saat Rasulullah saw menitipkan kepada sekretarisnya data-data orang munafiq dan beliau berpesan padanya agar data itu tidak dibuka, Umar bin Khattab cepat-cepat bertanya kepada sekretaris Nabi saw tersebut, apakah nama dirinya tercantum dalam daftar tersebut? Beliau tidak bertanya tentang nama orang lain yang ada dalam daftar orang-orang munafiq, namun beliau lebih sibuk mengkhawatirkan dirinya masuk dalam daftar orang-orang munafiq. Beliau juga pernah berkata kepada para sahabat, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab”.
Para ulama dahulu sering membiasakan muhasabah dalam bentuk “al-Khouf dan al-Roja” (takut dan harap). Rasa takut (al-khouf) dihadirkan saat melakukan amal-amalnya apakah amal-amal mereka tidak direstui dan tidak diterima Allah swt?. Sedangkan rasa harap (al-Roja) dihadirkan saat diri mereka menghamba kepada Allah dan merasa bahwa tidak ada tempat berharap kecuali kepada Allah swt.
Alangkah indahnya hidup ini jika setiap anggota masyarakat membiasakan muhasabah. Coba bayangkan jika terjadi kesalahpahaman antar tetangga misalnya, jika mereka membiasakan muhasabah, maka akan terungkap dialog seperti ini. Tetangga A: “Maaf pak saya salah, maaf ya saya yang salah” Tetangga B: “Oh tidak, sebenarnya saya yang salah kok.., gak apa-apa bu,,,,harusnya saya yang minta maaf”. Sedangkan dalam lingkungan dimana anggota masyarakatnya tidak membiasakan muhasabah, maka akan terjadi dialog seperti ini: Tetangga A: “Bapak ini bagaimana sih…ini kan menganggu kita-kita pak?” Tetangga B: “Seenaknya aja bapak ngomong, apa bapak gak merasa perbuatan bapak itu juga menganggu orang lain”.. dan seterusnya menjadi debat yang tak berujung, bahkan dapat menimbulkan kericuhan…Benarlah apa yang disebutkan Nabi saw dalam hadistnya diatas (Shodaqo Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Wallahu a’lam bis showab…