Selasa, 21 Oktober 2008

Sudahkah Daerah Kita Sejahtera? Sejahtera Dalam Pandangan Al-Qur’an

Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah)
Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan
(QS. Quraisy: 3-4)

Banyak orang yang mendfinisikan kesejahteraan hanya berkutat pada masalah ekonomi saja. Jika seseorang sudah melimpah harta kekayaannya maka disebut sebagai orang yang sejahtera. Jika negara sudah melimpah kekayaan dan pembangunannya maka negara itu sudah sejahtera. Padahal, pada ayat di atas Allah SWT telah menjelaskan bahwa ada tiga sisi sehingga seseorang, daerah atau negara disebut sejahtera. 1) Ia menyembah Allah SWT, 2) Terjamin kebutuhan dasar hidupnya, 3) Terciptanya rasa aman serta tidak diselimuti rasa takut.
Menyembah kepada Allah SWT adalah syarat mutlak untuk menggapai kesejahteraan. Allah SWT berfirman: Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah) (QS. Quraisy: 3). Disebutnya ka’bah dalam ayat ini sebagai simbol pemersatu umat, persaudaraan dan ketundukkan kepada Allah SWT. Tanpa persatuan dan kesatuan umat, mustahil kesejahteraan itu akan tercipta. Dalam ayat lain Allah SWT berfirman yang artinya: ”Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (QS. Thaha: 124)
Ciri lain kesejahteraan adalah terjaminnya kebutuhan dasar hidup. Dalam hal ini Allah SWT berfirman: ”Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar”. (QS. Quraisy: 4) Meski yang disebut dalam ayat ini adalah makanan, namun kesejahteraan juga dikembangkan kepada pemenuhan kebutuhan dasar manusia seperti makanan, minuman, kesehatan, pendidikan, distrubis energi (BBM) dan lain sebagainya. Dengan demikian negara sejahtera adalah negara yang memberi pelayanan kebutuhan dasarnya secara manusiawi kepada rakyatnya. Seperti pembukaan lapangan kerja, pelayanan kesehatan gratis, pendidikan gratis serta akses mendapatkan kebutuhan bahan bakar dengan mudah dan murah. Karena semua kebutuhan itu adalah termasuk kebutuhan dasar hidup manusia.
Ciri ketiga kesejahteraan adalah tercipta dan terjaminnya rasa aman serta tidak diselimuti rasa takut. Dalam hal ini Allah SWT berfirman yang artinya: ”dan mengamankan mereka dari ketakutan” (QS. Quraisy: 4). Rasa aman merupakan syarat mutlak terciptanya kesejahteraan selain terpenuhinya kebutuhan dasar fisik hidup manusia. Sebab, meskipun manusia sudah terpenuhi kebutuhan dasarnya namun masih dilingkupi rasa ketakutan maka pada hakikatnya mereka belum merasakan kebahagiaan dan kesejahteraan.
Perasaan aman dan bebas rasa takut meliputi aman dari segala macam bentuk kejahatan kriminal. Disini Negara dan pemimpin wajib menyediakan perangkat keamanan seperti polisi, sistem keamanan lingkungan, perangkat hukum yang berwibawa dan lain-lain. Sehingga mereka aman jika bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Dalam sebuah atsar disebutkan ”Jika Islam berkuasa maka orang akan aman berjalan malam dari Madinah ke San’a (Yaman)”
Perasaan aman juga meliputi aman dari rasa tekanan dan intimidasi serta ancaman. Meskipun fasilitas hidup telah terpenuhi namun masyarakat masih merasa dalam cengkraman rasa takut akibat tekanan, intimidasi dan ancaman, maka negara itu belum dikatakan sebagai negara sejahtera. Apalagi jika negara belum memberi fasilitas kebutuhan dasar hidup manusia dan rasa aman, maka negara itu masih jauh dari sejahtera.
Setiap warga negara mempunyai hak berpendapat dan pilihan hidupnya selama pendapat dan pilihan hidupnya tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang ada. Pada suatu hari, Umar bin Khattab berpidato di hadapan rakyatnya, belum lagi melanjutkan khutbahnya, tiba-tiba seseorang berdiri dan berkata dengan lantang, ”Wahai Amirul Mu’minin, jangan engkau lanjutkan pidatomu sebelum engkau jelaskan dari mana pakaianmu itu? Sebab setahu kami, setiap warga mendapat jatah 1 hasta kain, sedangkan engkau adalah orang dengan poster tubuh tinggi, tidak mungkin jatah kain satu hasta cukup untuk membuat baju seukuranmu”. Mendengar protes warganya, Umar bin Khattab tidak marah meskipun dia seorang Khalifah. Kemudian Umar berkata kepada anaknya yang bernama Abdullah, ”Wahai Abdullah anakku, jelaskanlah kepada mereka tentang jatah kain baju ini”. Kemudian Abdullah berkata, ”Sesungguhnya jatah kain bagianku aku berikan kepada ayahku, karena ayahku berposter tubuh lebih tinggi.” Mendengar jawaban putera Khalifah, orang yang protes tadi berkata, ”Sekarang engkau boleh melanjutkan pidatomu, wahai Amirul Mu’minin”.
Kondisi kebebasan berpendapat dan pilihan yang dicontohkan oleh Umar bin Khattab adalah model kesejahteraan, karena mereka mendapat hak berpendapat dan dilindungi oleh negara. Jika seorang pemimpin masih melakukan intimidasi, tekanan, ancaman serta warga dihinggapi rasa takut jabatannya dicopot, karirnya dihentikan serta ancaman lainnya, maka sebenarnya pemimpin itu sama sekali belum memberikan kesejahteraan hakiki kepada rakyatnya. Itulah yang dijelaskan dalam sura Quraisy ayat 3 dan 4. ##
Wallahu a’lam