Selasa, 05 Agustus 2014

Perjuangan Tidak Cukup Hanya Ikhlas dan Semangat Saja

Perjuangan tidak hanya cukup bermodalkan niat dan semangat saja, namun juga perlu dibekali dengan fiqh-al-Waqi (kemampuan untuk menganalisa realita) dan prinsip sunnatut tadarruj (sunah pentahapan)

Banyak di kalangan umat yang hanya punya semangat dan keikhlasan tinggi dalam melakukan suatu perjuangan namun tidak dibekali dengan fiqih realita (pemahaman realita suatu fenomena). Akibatnya, perjuangan umat yang sudah melangkahi sekian banyak langkah harus mundur kembali akibat sebagian kelompok yang hanya mudah terpancing oleh fenomena.

Kita banyak belajar dari masa lalu, baik perjuangan umat di Tanah Air maupun perjuangan umat di tingkat Internasional, sering sekali mengalami setback lantaran hanya bermodal niat yang ikhlas dan semangat yang tinggi. Niat ingin syahid dan cepat semangat saat disulut. Niat mati syahid memang menjadi cita-cita setiap muslim, akan tetapi tindakan yang salah akibat tidak membaca situasi dan tahapan perjuangan, akibatnya yang mengalami kerugian bukan individu namun seluruh tubuh umat Islam di seluruh dunia. Sebab, umat Islam bagaikan satu tubuh, jika salah satu angggota tubuh mengalami sakit, maka yang lain pun akan mengalaminya.

Fiqih al-Waqi' (fiqih realita) sangat penting dalam menentukan suatu langkah perjuangan. Bahkan para ulama membuat kaidah; hukmu al-syai hukmun bi wasailihi (hukum suatu perkara adalah juga hukum sarana-sarananya), Jika seseorang belum mengetahui benar suatu fenomena atau berita dengan valid maka dia tidak boleh gegabah melakukan suatu tindakan. Boleh jadi suatu amalan yang dikira benar bisa menjadi salah karena kurangnya pemahaman lapangan dan relaita. Dan hasilnya adalah penyesalan. Allah swt telah menginatkan kita dalam firmanNya:

 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
 "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu" (QS.Al-Hujurot:6)

Selain itu, dalam memperjuangkan suatu cita-citapun harus memilki bekal sabar dengan mengikuti sunnatut tadarruj (sunah pentahapan). Tidak boleh kita bertindak sesegara mungkin tanpa informasi yang dalam akan suatu persoalan, karena hal itu akan berakibat fatal dan jauh dari harapan yang dicita-citakan. Apalagi ingin terburu-buru mewujudkan cita-cita dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kaidah Fiqih menyatakan,
من استعجل شيئا قبل أوانه عوقب بحرمانه
Barangsiapa yang cepat-cepat ingin mendapat sesuatu sebelum waktunya maka ia diberi sangsi diharamkan (tidak mendapat) sesuatu itu.
Sebagai contoh dalam ilmu waris, seorang anak jika ayah wafat maka anak itu menjadi ahli waris, akan tetapi jika anak itu membunuh dengan sengaja pada ayahnya karena ingin cepat-cepat mendapat harta warisan, maka anak itu tidak berhak mendapat warisan.

Jadi, marilah dalam suatu memperjuangan cita-cita harus terukur, terencana, terprogram dan  sabar serta memiliki pemaham yang utuh, selain niat ikhlas dan semangat yang tinggi



Minggu, 27 Juli 2014

Kembali Kepada Fitrah

"Idul Fitri" sering diartikan sebagai "kembali kepada fitrah". Sedangkan fitrah itu sendiri diartikan kesucian. Fitrah juga bermakna hukum dan ketetapan Allah yang berlaku bagi manusia.

Mengapa kembali kepada fitrah? karena manusia, sejak asal kejadian dan saat dilahirkan berada dalam kesucian. Hal ini dapat kita lihat dari 3 (tiga) argumentasi:
  1. Hadits Nabi saw yang menyatakan, "Setiap manusia terlahir berada di atas fitrah (suci), hanya saja, kedua orang tuanya-lah yang mempengaruhinya berperilaku Yahudi, Nasrani dan Majusi"
  2. Sumpah Allah swt dengan 3 (tiga) tempat suci saat berfirman "Sungguh kami ciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk" (QS. At-Tin: 1-4). "Demi buah Tin dan Zaitun (buah yang banyak tumbuh di Yerusalem tempat suci kelahiran Nabi Isa as) dan demi bukit Tursina (bukit suci yang pernah dinaiki oleh Musa as saat bercakap-cakap dengan Allah swt), dan demi negeri yang aman ini (Makkah: kota suci tempat dilahirkannya nabi Muhammad saw)
  3. Bahan pembuatan manusia dari "turob" (tanah) dan dari "Maa" (Air) atau "Thin" (campuran tanah dan air). Air dan tanah menjadi alat untuk bersuci saat akan melakukan beberapa aktifitas ibadah (Wudhu atau tayammum)
Jadi, manusia itu asal muasalnya fitrah (suci). Hanya saja karena pengaruh lingkungan, literatur serta informasi yang didapatnya setelah menginjak dewasa, maka manusia mulai "kotor". 
Oleh sebab itu, Allah swt telah menyediakan sarana-sarana untuk menjaga dan melestarikan kesucian manusia. Antara lain:
  1. Pemeliharaan Kesucian Harian, yakni dengan wudhu dan shalat. Dengan wudhu dan shalat, manusia diharapkan dapat menjaga kestabilan kesuciannya sehingga dengan kedua ibadah itu tidak terdorong untuk melakukan perbuatan keji dan mungkar sebagaimana tujuan dari diwajibkannya shalat itu sendiri. Rasulullah saw pernah bertanya kepada para sahabat, "Jika ada seseorang yang bertempat tinggal di samping sungai yang jernih, lalu orang itu mandi lima kali sehari di sungai itu, apakah kira-kira kotoran masih melekat pada dirinya?" Sahabat menjawab, "Tidak ada, pasti dia selalu bersih". Rasulullah saw bersabda, "Nah, demikian juga orang yang menunaikan shalat lima kali sehari, maka dia akan bersih dari segala dosa." 
  2. Pemeliharaan Kesucian Harta: Jenis menjaga kesucian ini ditunaikan melalui ibadah zakat. Zakat setidaknya mempunyai dua fungsi pembersihan, yakni membersihkan harta dan membersihkan jiwa pemiliknya dari sifat kikir dan individualis.  
  3. Pemeliharaan Kesucian Sikap; Jenis penjagaan kesucian ini ditunaikan melalui ibadah puasa. Puasa bukan hanya mengajarkan diri kita menahan lapar dan dahaga, namun juga diajarkan untuk menahan hawa nafsu dan emosi.

Jika semua pelaksanaan pensucian itu sesuai tuntunan Allah swt, maka manusia akan kembali kepada fitrah (kesucian). Jadi, kembali kepada kesucian, bukan hanya terletak pada ibadah puasa saja, namun keseluruhan ibadah diatas yang dilakukan secara simultan dan komprehensif.

Di atas sudah dijelaskan, bahwa makna "fitrah" bukan hanya 'suc'i saja, namun mengandung arti hukum dan ketetapan Allah yang berlaku bagi manusia. Oleh sebab itu, salah satu hukum alam yang berlaku kepada manusia adalah kerinduan menemui asal penciptaan dan eksistensinya. Ketika manusia pada tingkat kesucian tertentu, terutama setelah menjalankan ibadah shalat, zakat dan puasa di bulan Ramadhan, maka manusia akan merindukan tempat asal keberadaannya. Itulah kemudian manusia di hari raya ingin mudik alias pulang kampung, ingin menemui tempat asalnya. Atau setidaknya, menemui asal kelahirannya, yaitu kedua orang tua. Dan oleh karena itu, dalam pemenuhan fitrah yang juga merupakan salah satu pemenuhan kepuasan batiinnya, manusia berusaha dan bersemangat untuk melakukan pulang kampung (mudik), meskipun  harus mengeluarkan biaya dan bahkan menghadapi bahaya maut di jalan raya dan lalu lintas.

Jadi, puncak kesucian jiwa manusia adalah terletak pada kesadaran diri akan asal muasalnya. Dan salah satu asal muasal keberadaan manusia adalah orang tua yang melahirkannya. Oleh sebab itu, kebahagiaan bertemu dengan orang dan kampung halamannya adalah nilai yang tidak bisa dihargakan dengan kepingan uang. Kepuasan batin yang terpenuhi rasa fitrah mengalahkan segala resiko dan beban.

Dan puncak kerinduan kepada asal muasal selanjutnya adalah ditunjukkan dengan kerinduan umat Islam kepada sang Khaliq, yang 'rumah'Nya ada di Makkah. Dan oleh sebab itu, animo masyarakat muslim yang rindu dan ingin bertemu Allah di Tanah Suci selalu meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan karena jiwa dan rohani begitu haus untuk menemui sumber asal muasal manusia. yaitu Allah swt Dan saat berada di hadapan Allah di Tanah Suci, seluruh sendi, tulang dan bulu bergetar melampiaskan rasa rindu bertemu dengan Allah swt....

Jadi, "kembali kepada fitrah" adalah pengakuan kembali secara totalitas bahwa Allah swt lah yang wajib disembah, tidak menyekutukaNya, dan memprioritas perintahNya diatas perintah lain...dan itulah esensi saat kita ditanya oleh Allah st di masa alam ruh, "Alastu birobbikum?" (Bukankah Aku adalah Tuhanmu?) Lalu kita yang masih dalam bentuk ruh menjawab, "Balaa syahidna.." (Ya, kami bersaksi atas hal itu).

Minggu, 27 April 2014

Kedahsyatan Do’a Muhasabah



 Yang dimaksud Do’a Muhasabah di sini adalah doa permohonan yang bersifat introspeksi tentang pengakuan kesalahan diri yang telah dilakukan pada masa dahulu atau masa yang baru lalu. Biasanya kita berdoa untuk keperluan masa depan. Contohnya doa memohon diberi kekayaan, kelancaran usaha, lulus menghadapi ujian, diberi jodoh yang soleh dam solehah, diberi anak yang soleh dan lain sebagainya. Seluruh doa itu bersifat permohonan untuk masa yang akan datang. Kebanyakan dari kita berdoa dengan  jenis doa kedua itu. Meskipun hal itu dibenarkan dan dianjurkan, namun  jarang sekali kita berdoa dengan jenis doa muhasabah. Jenis doa ini memang  tidak banyak permohonan yang berisi keduniaan. Isi doa muhasabah lebih kepada perenungan atau paling tidak permohonan ampunan atas dosa yang telah dilakukan. Contohnya berdoa dengan pengakuan bahwa diri telah melakukan kedzaliman dan kesalahan atau memohon ampunan atas dosa yang telah dilakukan.
Banyak yang tidak disadari, bahwa doa muhasabah ini sebenarnya, selain fungsi merendah dan menampakkan kehambaan di hadapan Allah, doa muhasabah juga tidak kalah pentingnya dengan doa masa depan. Bahkan meski bersifat muhasabah, doa ini juga dapat membuka jalan menuju keinginan-keinganan masa depan yang juga menjadi harapan.
Sebagai contoh, doa muhasabah yang dibaca oleh Nabi Yunus as saat beliau berada di dalam perut ikan hiu dan di dalam samudera yang gelap gulita. Beliau tidak berdoa kepada Allah dengan kalimat-kalimat yang berisi agar dikeluarkan dari perut ikan, namun justru doa beliau berisi pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah, juga berisi introspeksi diri bahwa diri telah melakukan kezaliman. Sebagaimana yang disebut dalam al-Quran:
وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنْ الظَّالِمِينَ
Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap (gelap dalam perut ikan, dalam laut, dan malam hari): "Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim." (QS. Al-Anbiya: 87)

Demikian juga yang terjadi pada Nabi Adam as. Saat Nabi Adam as dikeluarkan dari surga dan berada dalam kebimbangan, maka doa pertama kali yang Allah swt ajarkan kepadanya adalah doa penghambaan dan pengakuan diri telah berbuat aniaya. Allah swt menceritakan:
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa “kalimat” dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah: 37)
Ada pun yang dimaksud dengan beberapa” kalimat”  adalah doa yang diajarkan Allah berupa doa introspeksi diri dan bertaubat. Sebagaimana Allah swt menceritakan:
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنْ الْخَاسِرِينَ
“Keduanya (Adam dan Hawa) berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf: 23)
Semua bentuk doa di atas, meskipun hanya bersifat pengakuan dosa diri sendiri, namun dapat membuka kebaikan di masa depan. Nabi Yunus as setelah membaca doa itu justru dikeluarkan dari perut ikan hiu. Nabi Adam as setelah berdoa muhasabah mendapat ampunan dari Allah dan disambut oleh para Malaikat.
Jadi, meskipun doa-doa tersebut lebih bersifat setback ke belakang, namun manfaat ke depannya begitu dahsyat. Salah satu contoh Doa Muhasbah yang berifat ke belakang namun bermanfaat ke depan adalah istighfar (mohon ampunan).
Di kisahkan, Hasan al-Bashari suatu hari di datangi oleh tiga orang yang membawa masalah masing-masing. Orang pertama berkata, “Wahai Guru, aku adalah seorang petani, namun aku sering gagal panen, adakah kiat agar aku tidak selalu gagal panen?” Hasan al-Bashari menjawab, “Perbanyaklah olehmu istghfar”
Orang kedua bertanya “Wahai Guru, aku adalah pedagang, namun sering merugi dalam berdangang (berbisnis), apa saja kiat agar usaha aku menghasilkan keuntungan?” Hasan al-Bashari menjawab, “Perbanyaklah olehmu istghfar”
Orang ketiga berkata, “Wahai Guru, saya adalah orang yang sudah lama menikah dan berumah tangga namun belum dikarunia anak, adakah cara dan kiat agar Allah swt memberikan padaku keturunan dan anak-anak?” Hasan al-Bashari menjawab, “Perbanyaklah olehmu istghfar”
Setelah ketiga orang itu pergi meninggalkan majelis Hasan al-Bashari, tiba-tiba salah seorang muridnya bertanya dengan rasa penasaran kepada beliau, “Wahai Guru, sepertinya seluruh persoalan dapat diselelsaikan hanya dengan memperbanyak istghfar, sebagaimana yang Engkau anjurkan kepada tiga orang tadi. Adakah dalil yang bisa Tuan Guru sampaikan tentang hal itu?”. Hasan al-Bashari menjawab, “Bacalah olehmu firman Allah swt:
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا - يُرْسِلْ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا - وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا
“Maka aku (Nuh) katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun (istighfar) kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai” (QS. Nuh: 10-12)
        Suatu hari, seorang jamaah umroh mengadu kepada pembimbing haji-umroh, “Pak ustadz, pada saat kami berdoa di depan Ka’bah, mengapa kami tidak bisa menangis? Sedangkan kami melihat jamaah lain menangis hingaa tersedu-sedu? Apa sebabnya dengan kami ini?” Sang Ustadz balik bertanya, “Memangnya bapak tadi saat di depan Ka’bah isi doanya apa?” Jamaah itu menjawab, “Saya memanjatkan doa hajat saya pak Ustadz, agar sepulang umroh, jabatan saya dapat dipromosikian.” Sang Ustdaz berkata, “Doa itu tidak salah, namun sebaiknya, sebelum memanjatkan doa hajat dan keperluan, hendaknya kita memohon terlebih dahului ampunan atas kezaliman yang pernah kita lakukan, baik kepada Allah, orang tua, keluarga, dan kepada bawahan kita yang mungkin pernah kita zhalimi.”
Keeseokan harinya orang itu datang menghadap pembimbing haji-umroh itu dalam keadaan matanya memerah dan berlinang air mata, seraya berkata, “Alhamdulillah pak Ustadz, saya kini baru merasakan nikmatnya beroda, saya tadi baru dari Masjidil Haram, saya berdoa dengan isntrospeksi dan beristighfar atas kesalahan dan dosa yang pernah saya lakukan, hingga saya sudah tidak sempat lagi dan malu kepada Allah untuk meminta dipromosikannya jabatan saya..terima kasih pak ustadz..”
Betullah firman Allah swt yang mendahulukan penghambaan, baru kemudian meminta pertolongan:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” (QS. Al-Fatihah: 5)
Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.
Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.
Wallahu a’lam bish Showab….

(http://Muhammadjamhuri.blogspot.com)

Sabtu, 26 April 2014

Membiasakan Muhasabah



Rasulullah saw bersabda, “Berbahagialah orang yang disibukkan dengan menghitung aibnya daripada sibuk  mencari aib orang lain”
Hadist ini singkat, namun jika diterapkan oleh setiap muslim, maka dahsyat manfaatnya. Baik dalam kehidupan individu maupun sosial. Orang yang selalu disibukkan dengan menghitung aibnya, dia tidak akan sempat mencari-cari keburukan orang lain. Disamping itu, dia akan selalu berusaha mengurangi kesalahannya dan mencari solusi untuk keluar dari keburukannya itu, sehingga setiap hari kualitas hidupnya semakin baik dan baik. Berbeda dengan orang yang selalu mencari keburukan orang lain, keburukan yang terjadi padanya selalu menyalahkan pihak lain.
Seorang guru misalnya, tatkala merasa dirinya tidak disukai muridnya, atau pelajaran yang diajarkannya tidak disukai muridnya, maka tipe orang yang disibukkan dengan kekurangan dirinya, selalu melakukan muhasabah (instrspeksi) diri, apakah penyampaian pelajarannya kurang jelas, ataukah kurang persiapan, atau boleh jadi sering berbuat marah pada murid-muridnya?. Sebaliknya,. Orang yang terbiasa disibukkan mencari kekurangan orang lain, maka dalam kasus di atas, dia bukan merenung kekurangan dirinya, namun dia selalu menyalahkan murid-muridnya dengan berbagai argumentasi. Akibatnya perbaikan diri tidak ada, sedangkan murid tidak mendapatkan kenyamanan dalam menerima pendidikan.
Seseorang yang tidak membiasakan muhasabah ketika tidak disukai tetangganya, maka akan selalu introspeksi diri dan berusaha memperbaiki diri, sehingga kualitas hidupnya akan terus membaik. Sedangkan orang yang selalu mencari keburukan orang lain, maka yang terjadi adalah menyalahkan tetangga dengan memperbesar masalah yang sebenarnya kecil menjadi masalah besar. Dapat dibayangkan, jika tetangganya bersifat seperti itu pula, maka yang akan terjadi adalah cekcok dengan argumentasi yang saling menyalahkan. Berbeda dengan jika keduanya membiasakan muhasabah, maka cekcok akan terhindar, dan setiap anggota masyarakat akan memperbaiki diri, sehingga kualitas kehidupan masyarakat akan menjadi lebih baik, lebih empati, dan lebih berhati-hati dalam bersikap serta saling hormat menghormati.
Sikap membiasakan muhasabah inilah yang selalu dilakukan oleh para Sahabat Nabi saw. Mereka setiap kali membaca ayat al-Quran tentang ciri-ciri orang Munafiq dan nasib orang-orang kafir di hari Kiyamat selalu mengucurkan air mata, karena mereka mengaca diri dan merasa khawatir jangan-jangan sifat-sifat tersebut ada pada diri mereka. Abu Bakar Ash-Shiddiq jika bertemu dengan orang yang lebih tua usianya, selalu berkata dalam hatinya, “Oh, alangkah bahagianya orang ini, usianya lebih tua dari diriku, berarti amal shalehnya lebih banyak ketimbang diriku”. Sedangkan bila beliau bertemu orang yang usianya lebih muda, beliau berkata dalam dirinya, “Oh, alangkah bahagianya anak muda ini, usianya masih muda yang berarti dosa-dosanya masih sedikit, dibandingkan dengan diriku yang sudah tua dan dosa pun lebih banyak didibanding anak muda itu.
Pada saat Rasulullah saw menitipkan kepada sekretarisnya data-data orang munafiq dan beliau berpesan padanya agar data itu tidak dibuka, Umar bin Khattab cepat-cepat bertanya kepada sekretaris Nabi saw tersebut, apakah nama dirinya tercantum dalam daftar tersebut? Beliau tidak bertanya tentang nama orang lain yang ada dalam daftar orang-orang munafiq, namun beliau lebih sibuk mengkhawatirkan dirinya masuk dalam daftar orang-orang munafiq. Beliau juga pernah berkata kepada para sahabat, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab”.
Para ulama dahulu sering membiasakan muhasabah dalam bentuk “al-Khouf dan al-Roja” (takut dan harap). Rasa takut (al-khouf) dihadirkan saat melakukan amal-amalnya apakah amal-amal mereka tidak direstui dan tidak diterima Allah swt?. Sedangkan rasa harap (al-Roja) dihadirkan saat diri mereka menghamba kepada Allah dan merasa bahwa tidak ada tempat berharap kecuali kepada Allah swt.
Alangkah indahnya hidup ini jika setiap anggota masyarakat membiasakan muhasabah. Coba bayangkan jika terjadi kesalahpahaman antar tetangga misalnya, jika mereka membiasakan muhasabah, maka akan terungkap dialog seperti ini. Tetangga A: “Maaf pak saya salah, maaf ya saya yang salah” Tetangga B: “Oh tidak, sebenarnya saya yang salah kok.., gak apa-apa bu,,,,harusnya saya yang minta maaf”. Sedangkan dalam lingkungan dimana anggota masyarakatnya tidak membiasakan muhasabah, maka akan terjadi dialog seperti ini: Tetangga A: “Bapak ini bagaimana sih…ini kan menganggu kita-kita pak?” Tetangga B: “Seenaknya aja bapak ngomong, apa bapak gak merasa perbuatan bapak itu juga menganggu orang lain”.. dan seterusnya menjadi debat yang tak berujung, bahkan dapat menimbulkan kericuhan…Benarlah apa yang disebutkan Nabi saw dalam hadistnya diatas (Shodaqo Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Wallahu a’lam bis showab…