Suatu hari Aisyah ra merasa iri dengan kaum pria yang disyariatkan jihad (berperang di medan pertempuran), sementara wanita tidak, beliau mengadukan hal itu kepada Rasulullah saw. Lalu Rasulullah saw pun memberi petunjuk bahwa Jihad untuk kaum wanita adalah jihad yang tidak berdarah-darah, yaitu melaksanakan ibadah haji"
Khalifah Harun al-Rasyid adalah khalifah yang selalu ingin mendapat kemuliaan dan keutamaan berjihad, sehingga beliau tidak ketinggalan ikut serta jika ada pasukan yang berjihad. Jika di tahun tersebut tidak ada peperangan (jihad), maka beliau melaksanakan ibadah haji.
Ibadah haji memang mirip dengan berjihad. Sebab, saat akan berangkat, jamaah haji sudah menyiapkan bekalnya. Demikian juga meninggalkan wasiat kepada keluarga yang ditinggalkannya, serta memohon doa dari sanak keluarga dan kawan-kawannya. Seakan, dia khawatir tidak kembali lagi ke Tanah Air jika harus meninggal dunia di tengah menjalankan ibadah haji.
Ada tiga kata yang berasal dari akar kata yang sama, yakni kata jihad, ijtihad dan mujahadah. Dari ketiga kata itu, kata "jihad" lebih bersifat perjuangan yang membutuhkan kekuatan dan fisik. Sedangkan ijtihad lebih berorientasi kepada keilmuan. Dan kata "mujahadah" lebih berkonotasi kepada olah batin. Oleh sebab itu, satu-satunya ibadah mahdhoh yang banyak mengeluarkan tenaga lebih serta kekuatan fisik adalah ibadah haji.
Dilihat dari kronologis prosesi ibadah haji pun, terlihat ibadah haji bagaikan orang yang sedang berjihad. Mereka berangkat meninggalkan kampung halaman menuju tempat yang jauh. Mereka juga berbekal yang cukup untuk melakukan suatu perjuangan melaksanakan ibadah haji. Setiba di Makkah, mereka mencium hajar aswad atau memberi isyarat pada hajar aswad pada thawaf umroh bagi haji tamattui, dan thawaf haji bagi haji ifrad dan qiron, atau tahawaf qudum. Mencium hajar aswad atau memberi isyarat padanya, adalah bagaikan melakukan baiat atau janji kepada Allah sebelum berangkat ke tempat jihad. Sebab, dalam suatu hadist disebutkan bahwa orang yang mencium hajar aswad bagaikan "bersalaman" dengan Allah. Para mujahidin atau tentara sebelum berangkat ke medan perang biasanya mengucapkan janji setia dalam perjuangan, untuk menegaskan kesungguhan dalam perjuangan.
Setelah itu, mereka berangkat ke Arafah dan menyiapkan tenda-tenda untuk berwukuf. Hal ini sama dengan tentara dan pejuang. Sebelum berperang, mereka menentukan basecamp pasukannya dengan membuat tenda-tenda.
Saat berangkat ke Muzdalifah dan tiba disana untuk bermabit, mereka menyiapkan krikil-krikil yang diperuntukkan melontar jumroh di Mina. Hal ini sama seperti para pejuang yang sedang menyiapkan senjata-senjata mereka dengan jumlah yang cukup untuk melawan musuh.
Selepas dari Muzdalifah, jamaah haji berangkat ke Mina untuk melontar jumroh yang merupakan simbol syetan yang menjadi musuh manusia yang abadi. Hal iini mirip dengan para pejuang yang setelah meyiapkan senjata, mereka mulai bertempur melawan musuh dengan melontarkan peluru ke arah musuh mereka.
Peperangan terkadang tidak cukup sehari. Oleh karena itu para pejuang (baca: jamaah haji) kembali beristirahat di Mina (mabit di Mina) untuk menyiapkan pelontaran pada hari-hari berikutnya. jika hari pertama musuh hanya sedikit, yakni hanya melontar jumroh aqobah, maka pada hari-hari tasyrik, sasaran "musuh" yang dliontar lebih banyak lagi, yakni jumroh ula, jumroh wusto dan jumroh aqobah. Hal ini mirip dengan para pejuang, mereka berisitirahat di tenda-tenda dan menyiapkan serangan berikutnya melawan pihak musuh.
Usai pelontaran ketiga jumroh di hari tasyriq, jamaah haji kembali ke Masjidil Haram untuk melaksanakan thawaf ifadhoh dengan mencium/memegang atau isyarat di hajar aswad. Hal ini sama dengan pejuang yang telah melaksanakan jihadnya kembali berkumpul di suatu tempat dan melakukan janji setia untuk selalu istiqomah membela tanah air dan agamanya.
Selanjutnya mereka pulang ke kampung halaman disambut oleh sanak keluarga dengan segala kemenangannya melawan "musuh". Semoga para jamaah haji tahun ini mendapat haji yang mabrur. Amin
Muhammad Jamhuri
Sabtu, 14 September 2013
Senin, 29 April 2013
Kandungan Lafadz Talbiyah
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh” (QS. Al-Hajj: 27)
Konon, saat Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk menyeru kepada seluruh manusia agar mengerjakan ibadah haji, beliau berkata, “Wahai Tuhan, bagaiimana suaraku akan sampai kepada seluruh manusia? Sedangkan suaraku terbatas jangkauannya?”. Allah swt menjawab, “Tugasmu adalah menyeru kepada seluruh manusia, sedangkan sampai dan tidaknya seruanmu adalah urusan-Ku.”
Kemudian nabi Ibrahim as menaiki sebuah gunung bernama Jabal Abu Qubaisy. Di atas gunung itulah beliau mengeluarkan semua suaranya menyeru manusia melaksanakan ibadah haji.
Para ulama berkata, sejak itulah perintah ibadah haji diserukan hingga menggema ke manusia saat mereka masih di alam ruh. Jika mereka menjawab “Labbaik” (aku penuhi panggilanMu) maka suatu saat mereka akan ditakdirkan oleh Allah swt melaksanakan ibadah haji.
Kata ‘”labbaik” kemudian menjadi lafadz yang dibaca saat jamaah haji melaksanakan ibadah haji dan umrohnya, yang kemudian dinamakan dengan nama ‘Talbiyah”
Bunyi lafadz Talbiyah yang biasa dibaca para jamaah haji dan umroh adalah: “Labbaik Allahumma Labbaik, Labbaik Laa Syarika Laka Labbaik, Innal Hamda WanNi’mata Laka walMulk, L:aa Syariika Lak.” (Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, Aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagimu, sesungguhnya segala pujian, nikmat dan kekuasaan hanyalah milik-Mu, aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, dan tiada sekutu bagi-Mu)
Jika diperhatikan, lafadz talbiyah di atas berisi pernyataan kita sebagai seorang hamba kepada Allah swt terhadap tiga hal:
Pertama, Meyakini bahwa kedatangan kita ke tanah suci adalah merupakan panggilan dari Allah swt. Dan bukan semata karena kemampuan harta, jabatan dan kekuatan fisik. Sebab, banyak di antara manusia yang secara fisik mampu, harta berlebihan serta memiliki waktu luang, namun toh mereka belum juga melaksanakan ibadah haji atau umroh. Hal yang sama kita temukan dalam perintah ibadah shalat. Tidak seorangpun mampu melaksanakan shalat dengan perasaan ringan kecuali bagi orang yang meyakini bahwa mereka akan bertemu dengan Allah swt. Sebab shalat adalah perkara yang sangat berat. Allah swt berfirman, “Dan sesungguhnya yang demikian itu (sholat) sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya” (QS. Al-Baqarah: 45-46)
Itulah sebabnya, kita menjawab adzan dengan lafadz “Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa biLLah” (Tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah swt) saat seorang muadzin membaca “Hayya ‘AlasSholah” (Marilah kita menunaikan shalat), dan membaca “Hayya ‘Alal-Falah” (Marilah menuju kesuksesan). Hal ini menunjukkan kelemahan seorang hamba dan kekuatan Allah swt.
Oleh sebab itu saat kita membaca “Labbaik” pada hakekatnya pengakuan bahwa kedatangan kita ke Tanah Suci merupakan panggilan dari Allah swt.
Kedua, lafadz Talbiyah berisi pengakuan kita sebagai hamba, bahwa Allah swt tidak memiliki sekutu (Laa Syarika lak). Disini kita diajak untuk memurnikan kembali aqidah dan ideologi kita. Menyambut segala seruan Allah swt serta mendahulukannya dalam segala hal. Sebab dalam ibadah haji terdapat totalitas dalam memenuhi panggilan Allah. Hal ini ditunjukkan dengan meninggalkan kampung halamannya, keluarga, dan pekerjaannya. Belum lagi biaya yang dikeluarkannya untuk memenuhi panggilan Allah swt. Sikap totalitas untuk dan hanya karena Allah ini hendaknya menjadi sikap setiap muslim, terutama mereka yang telah melaksanakan ibadah haji, karena Allah telah mengajarkannya secara praktek dalam ibadah mulia ini.
Ketiga, lafadz Talbiyah berisi pengakuan bahwa segala pujian, nikmat dan kekuasaan adalah milik Allah. (Innal Hamda wan-Ni’mata laka walMulk). Allah-lah pemilik segala pujian, pemilik segala kenikmatan dan pemilik segala kekuasaan.
Disini kita diajak menyadari bahwa manusia tidak pantas mendapat pujian secara mutlak. Sebab, manusia yang tergila-gila dengan pujian maka ia akan bersikap sombong, dan sikap sombong adalah sikap Iblis yang telah dilaknat oleh Allah swt.
Pada lafazd ini juga kita diajari bahwa segala kenikmatan adalah milik Allah swt. Mulai nikmat panca indera, tubuh yang sehat serta nikmat berkemampuan melaksanakan ibadah haji dan umroh, semua itu adalah milik Allah yang diberikan kepada manusia. Hal ini untuk mengingatkan kita, apakah selama ini kita telah menempatkan nikmat-nikmat itu di jalan yang diridhoi Allah swt? Ataukah kita belum menempatkan nikmat-nikmat itu sesuai tempatnya?
Kemudian kita pun diingatkan bahwa segala kekuasan adalah milik Allah. Jabatan dan status sosial serta kekuasaan yang kita pegang pada hekekatnya adalah amanah yang Allah berikan kepada kita agar kita dapat menunaikan amanah itu dengan sebaik-baiknya. Firman Allah swt, “Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Ali Imran: 26)
Bagian akhir dari lafadz Talbiyah diakhiri dengan pengulangan kata “Laa syariika lak” (Tiada sekutu bagi-Mu). Hal ini untuk mengeaskan kembali perlunya pemurnian aqidah dan orientasi hidup. Yakni semata-mata karena dan untuk Allah swt.
Sebab, tidak jarang dalam ibadah haji dan umroh terselip tujuan-tujuan selain Allah, seperti tujuan ingin dipuji (riya), tujuan agar mendapat gelar “Haji”, atau bahkan untuk tujuan-tujuan ekonomis tanpa mengindahkan tujuan-tujuan suci.
Secara ringkas, lafadz talbiyah berisi pesan-pesan sebagai berikut:
1. Ketundukan sebagai hamba di hadapan Tuhannya, karena segala kesuksesan hidup dan kemampuan melaksanakan ibadah adalah semata-mata berkat kekuatan yang Allah berikan kepada kita. Itulah sebabnya Rasulullah saw mengajarkan kepada kita doa, “Ya Allah, bantulah aku untuk selalu berdzikir padaMu, bersyukur padaMu dan melakukan sebaik-baik ibadah kepadaMu”
2. Pemurnian aqidah dengan menjadikan orientasi hidup dan ibadah kita hanya karena dan untuk Allah
3. Menyadari bahwa kita adalah hamba yang tidak pantas mendapat pujian jika tidak karena Allah menutup aib dan cela kita. Karena segala pujian pada hakekatnya adalah milik Allah swt. Dengan begitu kita tidak bersikaf sombong
4. Menempatkan nikmat yang telah Allah berikan kepada kita pada jalan yang mendatangkan keridhoan Allah
5. Meyakini bahwa segala jabatan , status dan pangkat adalah amanah yang telah Allah berikan kepada kita, agar kita dapat menajalankan amanah itu denagn sebaik-baiknya serta mendatangkan keriodhoan Allah dan manfaat kepada hamba-hambaNya. Bukan malah jabatan itu mendatangkan kemurkaan Allah kerena merugikan umat manusia.
6. Hendaknya dalam segala ibadah, terlebih ibadah haji dan umroh, tidak disisipi dengan tujuan duniawi yang hina, seperti agar dipuji dengan mendapat gelar haji atau riya.
Semoga Allah swt menerima amal ibadah kita, dan menjadikan haji dan umroh kita sebagai haii yang mabrur dan umroh yang maqbulah. Amin.
Minggu, 21 April 2013
Karakteristik Ekonomi Islam
Dr. Yusuf al-Qordhowi dalam kitabnya berjudul “Daul al-Qiyam Wa al-Akhlaq
fi al-Iqtishad al-Islamy” menyebutkan empat ciri khas sistem ekonomi Islam,
yaitu:
1. Ekonomi Robbani (bersumber dan berorientasi pada Tuhan)2. Ekonomi Insani (menjunjung hak dan fitrah manusia)
3. Ekonomi Akhlaqi (menjunjung moralitas)
4. Ekonomi Wasathi (bersifat moderat atau menengah)
Yang dimaksud dengan ekonomi robbani adalah bahwa dalam aktifitas
berekonomi haruslah berdasarkan tuntunan Allah swt dengan segala aturanNya,
mulai dari barang dan jasa sebagai objek transaksi ekonomi, cara bertransaksi
serta tujuan bertransaksi ekonomi. Barang dan jasa yang bersifat robbani adalah
barang dan jasa yang halal saja yang boleh dijadikan objek transaksi, sedangkan
caranya tidaklah mengandung unsur riba, maysir (judi) dan gharar
(ketidakjelasan). Sedangkan tujuannnya adalah tujuan yang diperbolehkan. Oleh
sebab itu, tidak diperkenankan menjual senjata untuk memerangi kaum muslimin,
demikian juga tidak diperkenankan menjual mushaf al-Quran kepada kaum kafir
untuk dihinakan.
B. Ekonomi Insani (Berperikemanusiaan)
Yang dimaksud dengan ekonomi Insani adalah ekonomi yang sesuai dengan
fitrah dan hak asasi manusia serta bersifat perikemanusiaan. Oleh sebab itu
tidak diperkenankan melakukan transaksi barang atau jasa yang menginjak-nginjak
perikemanusiaan, seperti menjual diri atau usaha pengadaan wanita tuna
susila, perdagangan manusia serta
praktek usaha lainnya yang bertentangan dengan perikemanusiaan.
C. Ekonomi Akhlaqi (bermoral)
Yang dimaksud dengan ekonomi akhlaqi adalah ekonomi yang menjunjung tinggi
moralitas dan etika. Tidak diperkenankan melakukan transaksi barang dan jasa
yang tidak sesuai dengan akhlak atau etika. Seperti pada jaman Jahiliyah, yang
menjadikan thawaf dengan cara telanjang. Hal ini tidak sesuai dengan akhlak dan
moral. Oleh karena itu, Islam datang dengan mengembalikan cara thawaf susuai
dengan akhlak dan moral. Di zaman sekarang pun perlu upaya membuka bisnis
pariwisata tidak selalu harus melanggar norma dan moral dengan kesenian yang
bertentangan dengan akhlak dan budaya bangsa.
D. Ekonomi Washati (moderat)
Yang dimaksud dengan ekonomi wasathi adalah sistem ekonomi yang bersifat
moderat dan menengah, ia tidak bersifat individualistik seperti yang ditemukan
dalam sistem ekonomi kapitalis, tidak juga menafikan kepemilikan pribadi
seperti yang ditemukan pada sistem komunis. Sistem ekonomi Islam adalah sistem
yang mengakui hak kepemilikian private sebagaimana ia juga mengakui hak
kepemilikian publik. Oleh sebab itu, dalam sistem ekonomi Islam diperkenankan
untuk maju dan berinovasi sehingga ada kompetisi dalam dunia bisnis secara
sehat, akan tetapi Islam pun mengarahkan umatnya untuk peduli kepada
orang-orang yang tidak mampu.
Sabtu, 20 April 2013
Perbedaan Ilmu Ekonomi Islam dan Ilmu Ekonomi Konvensional Dalam Tinjauan Defdinisi
Definisi Ilmu Ekonomi
Dari definisi di atas, maka tugas ilmu ekonomi adalah mencari solusi agar
kebutuhan manusia dapat tetap terpenuhi menghadapi dua persoalan ekonomi, yaitu
kebutuhan yang terus berkembang dan kelangkaan faktor-faktor ekonomi.
Menurut para para ahli ekonomi, kebutuhan manusia tidak terbatas, dari
waktu ke waktu terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Bila dahulu
lsitrik tidak menjadi kebutuhan, maka kini energi listrik menjadi kebutuhan
primer bagi setiap orang, terutama masyarakat yang tinggal di perkotaan.
Demikian juga halnya beberapa alat elektronik, seperti televisi, telepon,
komputer dan lain sebagainya.
Di sisi lain, faktor-faktor ekonomi –menurut mereka- terus berkurang. Hal ini
dapat dilihat dari berkurangnya area pertanian yang ada. Banyak lahan pertanian
diubah menjadi daerah perumahan dan real estate, sehingga faktor ekonomi berupa
pertanian kini berkurang. Demikian pula halnya dengan ekploitasi sumber alam
yang terus menerus digunakan, seperti minyak, bahan tambang, air bersih dan
lainnya, seiring berjalan waktu, maka sumber-sumber ekonomi tersebut mulai
berkurang.
Di tengah dua permasalahan inilah, ilmu ekonomi dituntut untuk
menyelesaikan permasalahannya, sehingga manusia tetap dapat mencukupi kebutuhan
hidupnya. Yang pertama adalah permasalahan keinginan manusia yang terus
berkembang, dan disisi lain permasalahan berupa kelangkaan sumber-sumber
ekonomi.
Perlu diketahui, bahwa definisi ekonomi di atas dibangun di atas dasar pola
pikir sekulerisme, yakni suatu paham atau aliran yang menyatakan bahwa
kehidupan ini harus dipisahkan dengan agama. Agama hanya ditempatkan di
rumah-rumah ibadah saja, dan tidak perlu mengurusi urusan keduniaan, termasuk
urusan ekonomi. Akibatnya definisi dan pengertian ilmu ekonomi pun telah
terlepas dari nilai-nilai agama. Sehingga dari definisi ini dapat kita
simpiulkan sebagai berikut:
Pertama, manusia dalam ilmu ekonomi Barat adalah objek ekonomi, karena dia
merupakan sesuatu yang menjadi tujuan dari adanya ilmu ekonomi, bukan dijadikan
sebagai subjek yang menentukan arah perkembangan ekonomi.
Kedua, definisi ini telah jauh dari nilai-nilai agama, karena definisi ini
meyakini bahwa Allah swt tidak memberikan cukup rezeki kepada
makhluk-makhlukNya, seakan rezeki Allah itu bersifat langka dan selalu
berkurang.
Ketiga, definisi ini meyakini kelangkaan rezeki Allah, maka timbullah teori
baru yang disebut dengan Family Planning (keluarga berencana), yang memberi
pengertian pembatasan kelahiran anak, dalam rangka menyesuaikan antara faktor
produksi yang terus berkurang dengan jumlah manusia yang menggunakan faktor
produksi itu.
Keempat, definisi ini tidak membedakan antara want (keinginan) dan needs
(kebutuhan), padahal antara want dan needs sangatlah berbeda. Want (keinginan)
tidak ada batasnya, sedangkan needs (kebutuhan) mempunyai tingkatan dan
prioritas.
Kelima, definisi ini tidak mengaitkan usaha pemenuhan kebutuhan dengan
ajaran agama, sehingga dikhawatirkan adanya upaya menghalalkan berbagai cara
dalam usaha memenuhi kebutuhan manusia.
Definisi Ilmu Ekonomi Islam
Oleh sebab terlepasnya definisi ekonomi konvensional dari nilai-nilai
ajaran agama Islam, maka ilmu ekonomi Islam menjadi salah satu alternatif
mengisi kekosongan itu, bahkan menjadi pengganti sistem ekonomi konvensional
yang telah membuat banyak negara gagal dengan sistem itu.
Ilmu ekonomi Islam dalam didefinisiakan sebagai suatu ilmu yang membahas
tentang cara memenuhi kebutuan manusia dengan pemanfaatan faktor-faktor
produksi yang tersedia secara optimal dan pendistribusiannya sesuai dengan
ajaran syari’at Islam.
Dalam definisi ini terkandung ajaran Islam sebagai pedoman dalam melaksanakan
aktifitas ekonomi, mulai dari produksi, konsumsi hingga distribusi. Sehingga
setiap aktifitas dan usaha untuk memenuhi kebutuhan manusia harus sesuai dengan
ajaran Islam.
Dalam definisi ini juga, tidak menjadikan kelangkaan sumber-sumber ekonomi
menjadi suatu masalah. Masalah utama menurut definisi ini adalah
ketidakoptimalannya memanfaatkan sumber-sumber ekonomi yang telah disediakan
Allah swt. Sebab, pada dasarnya Allah swt telah memberi rezeki kepada para
makhluk-Nya dengan cukup. Firman Allah swt:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى
اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ
مُبِينٍ
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi
melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam
binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang
nyata (Lauh mahfuzh)” (QS. Hud: 6).
Yang dimaksud dengan binatang melata adalah segenap
makhluk Allah yang bernyawa.
Dengan demikian, maka permasalahan utama pada ekonomi
adalah bukan terletak pada kelangkaan sumber-sumber ekonomi yang tersedia,
karena hal itu semuanya telah dicukupkan oleh Allah swt. Yang menjadi
permasalahan ekonomi menurut Islam adalah masalah kurangnya pemanfaatan sumber
ekonomi yang telah disediakan oleh Allah swt.
Oleh sebab itu, menurut ekonomi Islam, faktor utama
kemajuan dan perkembangan ekonomi bukanlah terletak pada faktor-faktor produksi
atau sumber-sumber ekonomi, seperti tanah (land), pekerjaan (labour), atau
modal (capital). Akan tetapi faktor utama bagi perkembangan ekonomi adalah
manusianya itu sendiri. Manusialah faktok utama perkembangan ekonomi. Oleh
sebab itu, al-Qur’an dan al-Hadits begitu serius memperhatikan sumber daya
manusia, mengarahkannya dan memberikan petunjuk yang begitu lengkap, agar
mereka dapat hidup bahagia dan sejahtera di dunia dan di akhirat.
Salah satu arahan al-Quran kepada manusia adalah agar
mereka menuntut ilmu. Bahkan wahyu yang pertama diturunkan oleh Allah swt
kepada Rasulullah saw adalah perintah membaca (iqra’). Sebab, dengan ilmulah
manusia dapat menciptakan suatu kemajuan, termasuk kemajuan di bidang ekonomi.
Sebagai contoh, di bidang pertanian, dahulu kala para petani hanya mengalami
panen setahun sekali. Namun, berkat ilmu yang diberikan Allah swt kepada
manusia, kini para petani dapat mengalami panen dua kali bahkan tiga kali dalam
setahun. Demikian pula penemuan dalam bidang pengembangbiakan hewan ternak,
kini para peternak mendapat penghasilan lebih dibanding sebelum ilmu tentang
pengembangbiakan hewan ternak ditemukan. Sehingga kekhawatiran para ahli
ekonomi konvensional agar dikembangkannya program family planning (keluarga
berencana) dalam pengertian pembatasan kelahiran manusia dapat ditepis. Sebab,
ternyata pertumbuhan penduduk tidak selamanya mengakibatkan ketimpangan ekonomi
jika perhatian pada peningkatan kualitas manusianya dapat terwujud. Sebagai
contoh, dahulu kala saat penduduk manusia masih sedikit, kita sebagai
masyarakat jarang sekali mengkonsumsi daging ayam atau daging sapi. Bahkan ada
ungkapan, bahwa kita dapat mengkonsumsi daging ayam atau daging sapi jika ada
acara-acara tertentu, seperti pernikahan atau kendurian. Namun, justru saat
ini, dengan jumlah penduduk yang semakin banyak dan meledak, kita mudah
mengkonsumsi daging ayam atau daging sapi, kapanpun kita menghendakinya, tidak
harus menunggu-nunggu acara tertentu. Ini menunjukkan bahwa bertambahnya
penduduk manusia tidak akan menyebabkan kekurangan rezeki jika manusianya
berkualitas dengan ilmu, terlebih jika dapat memanfaatkan rezeki yang tersedia
ini dengan sebaik dan seoptimal mungkin
sesuai dengan ajaran agama Islam.
Kemudian tentang wants (keinginan) dan needs (kebutuhan)
terdapat perbedaan. Want (keinginan) yang selalu berkembang dan tiada batasnya
harus dibatasi dengan rambu-rambu halal dan haram, sedangkan kebutuhan harus
dirunut menurut prioritasnya. Oleh sebab itu Islam melarang ekpolitasi sumber
ekonomi yang dapat merusak lingkungan, merugikan banyak orang serta dilakukan
dengan cara-cara yang haram. Sedangkan dalam hal kalsifikasi kebutuhan, Islam
telah membagi kebutuhan kepada tiga kategori; dharuriyat (primer), hajiyat
(sekunder) dan tahsiniyat (tersier). Ketiga klasifikasi berlaku pada fungsi
pemeliharaan lima hal: memelihara agama (hifzu al-din), memelihara jiwa (hifzu
al-nafs), memelihara akal (hifzu al-‘aql), memelihara harta (hifzu al-maal),
dan memelihara kehormatan dan keturunan (hifzu al-‘irdh wa al-nasl). Tidak
boleh mendahulukan tahsiniyat di atas hajiyat, dan tidak boleh mendahulukan
hajiyat di atas dharuriyat.
Rabu, 10 April 2013
Mencermati Pasang Surut Bahasa Arab
oleh: Muhammad Jamhuri
Dalam salah satu wasiatnya, Imam Syahid
Hasan al-Banna pernah berpesan: “Berusahalah untuk bisa berbicara bahasa Arab
fushshah (baik dan fasih,) sebab itu termasuk doktirn Islam”.
Dalam banyak ayat, al-Quran menegaskan
tentang bahasa resmi yang digunakannya. Bahasa resmi al Quran, sebagaimana
Allah sebutkan, adalah bahasa Arab, (12;2), (20;113), (39;28), (41;3), (42;7),
(43;3), seperti salah satu firman Allah SWT :
اناأنزلناه
قرآنا عربيا لعلكم تعقلون
"Sesungguhnya
Kami turunkan al-Quran berbahasa Arab, agar kamu mau berfikir." (QS:
Yusuf; 2).
Ayat di atas mengandung makna yang dalam,
sebab di penghujung ayat tersebut tertulis kata
"La'allakum tattaqun", agar kamu mau berfikir. Apa
sebenarnya rahasia yang terdapat dalam bahasa Arab? Adakah keistimewaan bahasa Arab dari bahasa
lainnya? Mengapa kita diajak berfikir tentang bahasa Arab?. Ayat itu secara
implisit mengajak kita pula untuk menggali bahasa Arab, karena ia adalah bahasa
al-Quran, kitab pedoman bagi umat manusia. Ibnu Kholdun dalam
"Mukaddimah" nya mengatakan : "Bahasa adalah ungkapan seseorang
tentang keinginannya, ungkapan tersebut adalah refleksi lidah yang timbul dari
suatu keinginan, dan karenanya ia harus melekat pada lisan dan terjadi
berulang-ulang”. Pembawaan
yang terbaik seperti di atas hanya dimiliki bangsa Arab, demikian juga
kejelasan ungkapan suatu maksud, sebab disana terdapat bentuk-bentuk, selain
kalimat, yang mengandung arti. Seperti harakat yang membedakan kedudukan fa'il
dan maf'ul, demikian pula huruf-huruf yang masuk dalam fi'il
(kata kerja). Keistimewaan itu hanya terdapat dalam bahasa Arab. Sedangkan
bahasa-bahasa lain, setiap arti dan keadaan harus diungkapkan dengan kalimat
khusus yang menunjukkan suatu arti tertentu. Inilah rahasia yang terdapat pada
makna hadist Nabi SAW
أوتيت جوامع الكلم واقتصر لي الكلام
اختصارا
"Aku dikaruniai seluruh kalimat,
dan kalimat itu telah teringkas buatku ". (1)
Bahasa Arab Dan Perkembangannya.
Tersebarnya Islam keluar jazirah Arab
meyebabkan perubahan yang tidak sedikit. Rasa kesukuan pada setiap negeri
bergeser menjadi fanatisme agama (Islam) meski masih terdapat peradaban lokal.
Bahkan peradaban dan kultur lokal menjadi tetap eksis dengan datangnya Islam.
Kemenangan bangsa Arab terhadap bangsa
lain dibarengi dua hal; pertama, agama Islam yang toleran, dan kedua, bahasa
Arab. Sejak bangsa Arab menetap di negara-negara yang dikuasainya dan tersebar
di kota-kota dan
desa-desa, mereka menyebarkan bahasa Arab sebagai kedudukannya bahasa al-Quran.
Mereka menempatkan para pengajar di setiap negeri tersebut sambil mengajarkan
Al-quran dan
agamanya, sehingga bahasa Arab menjadi bahasa populer saat itu. Tidak heran,
banyak di antara anak bangsa dengan keasadaran sendiri menuntut ilmu dan
mempelajari bahasa Arab. Ada beberapa faktor sehingga mereka antusias mendalami
bahasa Arab (2) :
1.
Karena bahasa Arab adalah bahasa al-Quran dan bahasa agama baru
mereka (Islam), sebagaimana sholat yang diwajibkan kepada mereka harus
berbahasa Arab sehingga timbullah keinginan untuk lebih dalam mengetahui
maknanya. Hal ini menjadi modal mereka dalam mengkaji cabang ilmu agama
lainnya.
2.
Bagi penduduk yang belum muslim, mereka terpaksa
harus mempelajari bahasa Arab . Hal itu disebabkan karena situasi dan kondisi
di mana bahasa Arab telah menjadi bahasa negara disetiap sektor kehidupan.
3.
Beberapa bangsa, seperti Persi, Turki, India dan
lainnya, mempelajari bahasa Arab karena didorong keinginan mendapatkan kedudukan
atau pekerjaan pada pemerintahan Islam. Demikian pula para seniman dan pedagang
yang datang ke negeri Islam.
4.
Tersebarnya bangsa Arab ke beberapa negara seperti
Iran, Turkistan, India dan lainnya,. Hal ini menunjang tersebarnya bahasa Arab
pada daerah-daerah baru.
Tersebarnya bahasa Arab di
daerah-daerah baru memberikan pengaruh besar pada tulisan, logat dan sastra
lokal. Pada tulisan misalnya, tulisan Arab masih digunakan pada bahasa Persi
(Iran), Urdu (Pakistan), Indonesia (Arab melayu) sebelum dan ketika zaman
penjajahan. Bahkan sastra melayu (Indonesia) pun dipengaruhi oleh bentuk sastra
bahasa Arab.
Sastra Arab mengalami puncaknya pada
masa dinasti Abbasiyah (132 H-656 H), meski rasa asabiyah (fanatisme)
Arab berkurang pada masa itu karena terjadinya akulturasi dengan bangsa lain,
tidak seperti pada masa Bani Umayah yang Arab sentris. Perkembangan pada masa
Bani Abbas justru diwarnai oleh kultur bangsa lain seperti Persi, India, Turki,
Yunani dan lainnya. Hal ini terlihat dari banyaknya karya yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab. Perikeadaan bahasa Arab pada dinasti Abbasiyah ditandai
dengan maraknya karya-karya disiplin ilmu agama dan bahasa, penerjemahan
buku-buku asing ke dalam bahasa Arab dan terpengaruhnya sastra Arab oleh
kemajuan budaya. Hal itu terlihat dari banyaknya pengandaian para satrawan
dengan kondisi baru. (3)
Kondisi di atas menyebabkan pula pesatnya perkembangan gaya penulisan
prosa (natsar), maka lahirlah berbagai macam gaya penulisan; ilmiah, filsafat,
sejarah, sastra dan lainnya.
Ilmu-ilmu Bahasa Arab
Setelah Islam menjarah seluruh bangsa,
sebagaimana bahasa Arab, terjadilah pembauran hal mana bahasa Arab pun
mengalamai perubahan tatkala diucapkan oleh bangsa 'Ajam (non Arab). Bangsa
Persi dikenal sangat sulit mengucapkan bahasa Arab, mereka terkadang
mengucapkannya dengan kaidah bahasa Persi, seperti menjama'kan lafadz mufrad
dengan menambah 'alif' dan 'nun' sebagaimana yang mereka temukan pada bahasa
Persi. Misalnya lafadz شريك menjadi
شريكان, sedangkan yang benar menurut kaidah bahasa Arab adalah
شركاء dan masih banyak lagi kesalahan-kesalahan bangsa 'Ajam dalam
menuturkan kalimat-kalimat Arab. Kondisi di atas akan lebih fatal bila yang
dibaca dan diucapkannya adalah al-Quran dan al-Hadist. Bukan saja berdosa, tapi
juga akan mengakibatkan salah makna dan penafsiran terhadap kandungan isi
ajaran al-Quran dan al-Hadis. Maka disusunlah kaidah-kaidah bahasa Arab,
seperti fa'il itu marfu', maf'ul itu mansub, mubtada
adalah marfu', i'rab dan lain sebagainya yang kini dikenal dengan
ilmu Nahwu. Orang yang pertama kali menyusun disiplin ilmu ini adalah Abul
Aswad Ad-Dualy dari Bani Kinanah atas perintah sahabat Ali bin Abi Thalib ra
dalam rangka memelihara bahasa Arab dari kesalahan membaca al-Quran dan
al-Hadist. Kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya hingga Al-Kholil bin
Ahmad Al-Farohidi pada masa khalifah Harun Al-Rasyid. Beliau mempunyai murid
yang sangat terkenal dalam ilmu Nahwu bernama Sibawaih, yang menyususn karyanya
berjudul "Al Kitab" dalam ilmu Nahwu. Kitab ini menjadi refrensi
utama bagi karya-karya generasi berikutnya. (4) Untuk memenuhi kebutuhan para pemula,
tersusun pula kitab-kitab yang memuat kaidah secara ringkas dan mudah, seperti Matan
al Jurumiyah karya Imam Al-Sonhaji, al-Mufasshol karya Zamahksyari, alfiyah
(dalam bentuk nadzam) karya Ibnu Malik al-Andalusi. Disamping itu, lahir pula
beberapa ilmu bahasa Arab, diantaranya :
1. Ilmu Nahwu,
ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah susunan kalimat (tarkib) dalam bahasa
Arab, baik berupa i'rab, bina dan lainnya. (5) Seperti hukum fa'il adalah marfu',
maf'ul yang mansub dan lain sebagainya.
2.
Ilmu shorof, ilmu
yang membahas perubahan shigat (bentuk) dan pengaruhnya pada makna,
seperti kata ضرب fi'il madhi (kata kerja lampau), fi'il modhore'
يضرب (kata
keja kini/yang akan datang). Ilmu nahwu dan ilmu shorof mempunyai kaitan yang sangat erat. Bahkan
para Nuhat (ahli ilmu nahwu) mengibaratkan keduanya bagaikan ayah dan
ibu.
3.
Ilmu Bayan, ilmu menyampaikan satu makna dengan
bermacam-macam bentuk (cara) seperti tasybih, isti'aroh, majaz,
kinayah dan lainnya.
4. Ilmu Ma'ani, ilmu tentang keadaan lafadz yang diucapkan sesuai keadaan
(muqtadaho hal), seperti khobar, insya dan ketentuan maksud yang
diucapkan, qasr, ijaz, ithnab dan lainnya.
5. Ilmu Badi', ilmu tentang keindahan kalimat dengan memperhatikan
ketentuan jelasnya lafadz dan korelasinya antara lafadz yang diucapkan dengan
situasi dan kondisi. Seperti ; al
jinas, saja', muqobalah dan lainnya.
6. Dan masih banyak lagi cabang ilmu lainnya, seperti ilmu Arudlh
(kaidah sya'ir), imla (metode menulis Arab), ilmu lughot
(melestarikan khazanah kosa kata Arab
yang hampir punah melalui penyusunan kamus umpamanya) dan lain sebagainya.
Pasang Surut Bahasa Arab
Sebagaimana dikemukakan di atas, masa penterjemahan ('ashr tarjamah)
pada masa dinasti Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, dan bahasa Arab
berfungsi sebagai bahasa pengantar pada setiap perkuliahan dan pengkajian ilmu
pengetahuan pada masa itu. Tidak sedikit para thalib (siswa) dari manca negara berdatangan
ke Baghdad guna menggali ilmu. Sudah barang tentu bahasa Arab mempunyai tempat
strategis pada masa itu dan menjadi bahasa internasional, sekaligus bahasa
pemersatu bagi dunia Islam.
Pada tahun 656 H, Dinasti Abbasiyah
mengalami keruntuhan akibat serbuan bangsa Tartar. Kerajaan Islam pun terpecah
menjadi negeri-negeri kecil. Setiap negeri dipimpin oleh raja. Masa itu dalam
buku-buku sejarah disebut masa Mamalik ('ashr mamalik). Di antara raja tadi terdapat raja yang
berbangsa non Arab dan sedikit sekali perhatiannya terhadap perkembangan bahasa
Arab. Rasa fanatisme suku pun tumbuh, hingga nasib sastra Arab mengalami
kemunduran meski masih terdapat beberapa sastrawan Arab seperti Sofiyudin al
Hilli, Busyiri, Ibnu Nabatah dan lain-lain.
Pada masa pemerintahan Turki Ustmani (Dinasti Ottoman)
tahun 923-1213 H, nasib bahasa Arab makin bertambah redup, sekolah-sekolah yang
mengajarkan bahasa Arab ditutup, dan bahasa Turki menjadi bahasa resmi negara.
Namun demikian bahasa Arab masih dapat diselamatkan oleh universitas Al Azhar
Cairo, sebuah perguruan tinggi Islam tertua yang masih menggunakan dan
melestarikan bahasa Arab dengan segala ilmu-ilmunya, dari sana pula terbentuk
lembaga 'Majma' al-Lughoh al-Arabiyah'. Tanpa Al Azhar masa itu, mungkin ilmu
bahasa Arab akan sirna di jazirah Arab. (6)
Setelah tahun 1213 H hingga kini,
bahasa dan satra Arab mengalami kebangkitan kembali, hal ini karena ditunjang
beberapa faktor :
1. Banyaknya warga
Arab menuntut ilmu di Eropa sebagai sumber ilmu pengetahuan. Mereka kembali ke
negaranya dengan menterjemahkan ilmu-ilmu yang mereka dapat ke dalam bahasa
Arab.
2.
Meratanya pendidikan di setiap jenjang pendidikan
di negara-negara Arab.
3.
Berkembangnya teknologi alat penulisan dan percetakan
bahasa Arab.
4.
Berkembangnya jurnalistik memberikan andil dalam
pengembangan bahasa Arab
5.
Terbitnya buku-buku, baik agama maupun umum
berbahasa Arab.
Namun demikian, hasil-hasil yang
dicapai belum maksimal dan perlu adanya usaha-usaha ke arah memasyarakatkan
bahasa Arab, khusunya di negara-negara non Arab yang berpenduduk muslim.
Usaha-usaha Orientalis Merusak Bahasa
Arab
Para orientalis menyadari bahwa bahasa
Arab adalah satu-satunya alat penyebaran pemikiran dan nilai-nilai Islam ke
seluruh pelosok dunia. Sebab, sekalipun seseorang bukan berbangsa
Arab, namun karena ia seorang muslim, mereka merasa berkewajiban mempelajari
bahasa Arab dalam rangka mengkaji kandungan al-Quran. Dengan demikian, meskipun
setiap bangsa mempunyai logat masing-masing, namun dalam penulisan, mereka
dapat saling mengerti, karena dalam penulisan digunakan bahasa Arab fasih
(benar). Philip Hitti dalam bukunya "Arabs History" berkata : "
Jika bahasa Arab dapat cepat tersebar dikalangan kaum muslimin dan terciptanya
saling pengertian di antara mereka karenanya, hal itu karena disebabkan kitab
mereka; al-Quran, karena dia-lah yang mempersatukan lahjah-lahjah yang berbeda
". (7)
Menyadari hal itu, para orientalis
berusaha menyingkirkan bahasa Arab sebagai bahasa negara dan menggantikannya
dengan bahasa asing. Di Marokko pernah
ada upaya memberlakukan bahasa Perancis sebagai pengganti bahasa Arab. 'Ilal
al-Fasi mengutip ucapan seorang pengacara Mr. Backer pada suatu pertemuan
tentang sistem pengadilan bangsa Barbar tanggal 26 Pebruari 1930 :
"Anggota komite telah sepakat untuk menghapus peraturan hukum adat yang
berbahasa Arab". Pada waktu itu telah terjadi penyobekan dokumen
pengadilan yang bertuliskan Arab oleh seorang pejabat jawatan pengawas sipil;
Benauth dan penerusnya; Cornby, hingga akte nikah pun diganti dengan dengan
bahasa Perancis. (8) Usaha mereka tidak sebatas itu saja, mereka
juga menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Perancis, bukan untuk orang
Perancis, melainkan diperuntukkan bagi muslim Maroko.
Di Turki, upaya mengganti bahasa Arab
dengan bahasa Turki telah berjalan, bahkan sampai menyentuh pada rutinitas
ritual, seperti adzan dan al-Quran. Adzan tidak lagi dikumandangkan dengan
bahasa Arab seperti yang kita kenal, tapi bahasa Turki menempati kedudukannya.
Peristiwa ini terjadi pada masa rezim Mustafa Kamal Attaturk.
Di Mesir, perang terhadap bahasa Arab
dilakukan dengan upaya memasyarakatkan bahasa 'amiyah (pasaran) dan tulisan
latin sebagai pengganti tulisan Arab. Wilham Sbeta menyusun buku
"Kaidah-kaidah Bahasa Arab 'Amiyah di Mesir". Dalam buku itu
diungkapkan betapa sulitnya mempelajari bahasa Arab fasih (benar), diusulkan
pula tulisan latin sebagai pengganti tulisan Arab.(9)
Upaya di atas bukan hanya dilakukan
bangsa Barat saja, beberapa ilmuwan Arab yang telah tererosi pemikiran Barat
turut mendengungkan ajakan diatas, seperti Selamat Musa dan Abdul Aziz fahmi.
Usaha-usaha Melestarikan Bahasa Arab
Setelah bahasa Arab mengalami
percampuran dengan bahasa lain akibat tersebarnya Islam, ia mengalami perubahan
dari keasliannya. Untuk melestarikan keasliannya, para ulama terpanggil
menyusun kaidah-kaidah bahasa Arab. Sebagai rujukannya adalah al-Quran, Hadist
dan beberapa syair dan natsar peninggalan jaman jahiliyah dan permulaan Islam
yang masih utuh keasliannya. Dengan demikian bahasa Arab masih terpelihara
keasliannya. Namun demikian setiap bahasa mengalami dinamika sesuai perjalanan
masa. Beberapa kalimat asing terkadang teradopsi ke dalam bahasa tersebut, dan
hal itu dialami pula oleh bahasa Arab, Bahasa Persi misalnya, beberapa
kalimatnya masuk ke dalam bahasa Arab, demikian juga bahasa India, Inggris dan lainnya.
Bertambahnya perbendaharaan kata ke dalam suatu bahasa menambah khazanah bahasa
tersebut. Tapi, ia juga tidak mesti merubah kaidah-kaidah bahasa asli, khususnya
bahasa Arab. Khusus bahasa Arab, ia sangat istimewa karena terpelihara berkat
adanya Al-Quran dan Hadist
serta peninggalan sastra pra dan permulaan Islam, baik yeng terpelihara secara
hafal maupun berupa manuskrip. Oleh karena itu para ahli (ilmuwan) muslim dalam
mengungkapkan suatu definisi selalu
merujuk kepada lafadz yang terdapat pada ketiga sumber di atas, terlebih dalam
pendekatan secara etimologi (lughotan).
Beberapa usaha yang pernah dilakukan
para ulama untuk melestarikan bahasa Arab adalah Abul Aswad Ad Duali, beliau
adalah peletak dasar kaidah-kaidah bahasa Arab, beliau diperintah oleh sahabat
Ali bin Abi Thalib ra setelah beliau banyak menyaksikan kesalahan kaum muslimin dalam membaca al-Qur'an. Kemudian dilanjutkan oleh Al
Kholil bin Ahmad, Sibawaih dan lainnya.
Pada tahun 1932 M, raja Fuad I, raja
Mesir di zaman Mamalik mendirikan lembaga " Majma' al- Lughoh al
-rabiyah" di Cairo, tujuannya adalah menjaga dan meyelamatkan bahasa Arab,
menyusun kamus sejarah bahasa Arab, mengadakan studi dan riset tentang
dialek-dialeknya serta memajukan bahasa Arab. Lembaga ini terdiri dari para
pakar bahasa dan sastrawan. Kemudian pada tahun 1834, dua tahun setelah
berdirinya lembaga, lembaga ini menerbitkan majalah untuk meyebarkan hasil
studi dan risetnya. Majalah ini terbit hingga tahun 1962. Dalam
perkembangannya, lembaga ini telah menerbitkan pula beberapa kamus, seperti
Al-Mu'jam al-Wasit, Al-Mu'jam al-wajiz, dan satu jilid Al-Mu'jam al-Kabir.
Pada tahun 1936, Departemen Pendidikan
Mesir meminta agar Lembaga Bahasa Arab ini meyusun kamus yang memuat
kamus-kamus terdahulu ditambah dan disesuaikan dengan kemajuan iptek, sastra
dan seni modern. (10)
Dengan demikian, bahasa Arab fasih
(benar) dapat terpelihara hingga kini, bahkan hingga hari kiamat, karena ia
adalah bahasa resmi al-Quran. "Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Quran,
dan Kami pula yang menjaganya ".
(Qs; Al Hijr : 9)
__________________
Daftar Pustaka
(1). Ibnu Kholdun, Muqaddimah, hal
469-470
(2). Dr. Abdul Salam Abdul Aziz Fahmi,
Kitab Nisab al Sibyan Wa mashiratu sittati qurun fi ta'lim al lughoh al
'arabiyah lil muslimin ghoiri natiqina biha, Jamiah Ummul Quro, hal 5-7.
(3). Ustadz Ustman sayid Abdur Rahim.
Al Kitab Al Asasi - Al Adab wa al Nushus, Jamiah Ummul Quro, hal 80.
(4). Ibnu Kholdun, Muqaddimah, hal 470.
(5). Al Jurjani, Kitab At Ta'rifat, hal
308.
(6). Ustad Ustman Sayid Abdur Rahim, Al
Kitab Al Asasi- Al Adab Wa al Nushus, Jamiah Ummul Quro, hal 103.
(7). Arabs History, hal 175 jilid I,
sebagaimana pada " Al Harokah al fikriyah diddal Islam, hal 180.
(8). Dr Barokat Abdul Fattah Duaidar,
Al HArakah al fikriyah dhiddal Islam, hal 182
(9). Idem, hal 185
(10). Dr Abdul Wahid Abdul Hafidz
Salim, Al Ma'ajim, Jami'ah Ummul Quro,
hal 71
Langganan:
Postingan (Atom)