Sabtu, 14 September 2013

Haji Itu Jihad

Suatu hari Aisyah ra merasa iri dengan kaum pria yang disyariatkan jihad (berperang di medan pertempuran), sementara wanita tidak, beliau mengadukan hal itu kepada Rasulullah saw. Lalu Rasulullah saw pun memberi petunjuk bahwa Jihad untuk kaum wanita adalah jihad yang tidak berdarah-darah, yaitu melaksanakan ibadah haji"

Khalifah Harun al-Rasyid adalah khalifah yang selalu ingin mendapat kemuliaan dan keutamaan berjihad, sehingga beliau tidak ketinggalan ikut serta jika ada pasukan yang berjihad. Jika di tahun tersebut tidak ada peperangan (jihad), maka beliau melaksanakan ibadah haji.

Ibadah haji memang mirip dengan berjihad. Sebab, saat akan berangkat, jamaah haji sudah menyiapkan bekalnya. Demikian juga meninggalkan wasiat kepada keluarga yang ditinggalkannya, serta memohon doa dari sanak keluarga dan kawan-kawannya. Seakan, dia khawatir tidak kembali lagi ke Tanah Air jika harus meninggal dunia di tengah menjalankan ibadah haji.

Ada tiga kata yang berasal dari akar kata yang sama, yakni kata jihad, ijtihad dan mujahadah. Dari ketiga kata itu, kata "jihad" lebih bersifat perjuangan yang membutuhkan kekuatan dan fisik. Sedangkan ijtihad lebih berorientasi kepada keilmuan. Dan kata "mujahadah" lebih berkonotasi kepada olah batin. Oleh sebab itu, satu-satunya ibadah mahdhoh yang banyak mengeluarkan tenaga lebih serta  kekuatan fisik adalah ibadah haji.

Dilihat dari kronologis prosesi ibadah haji pun, terlihat ibadah haji bagaikan orang yang sedang berjihad. Mereka berangkat meninggalkan kampung halaman menuju tempat yang jauh. Mereka juga berbekal yang cukup untuk melakukan suatu perjuangan melaksanakan ibadah haji. Setiba di Makkah, mereka mencium hajar aswad atau memberi isyarat pada hajar aswad pada thawaf umroh bagi haji tamattui, dan thawaf haji bagi haji ifrad dan qiron, atau tahawaf qudum. Mencium hajar aswad atau memberi isyarat padanya, adalah bagaikan melakukan baiat atau janji kepada Allah sebelum berangkat ke tempat jihad. Sebab, dalam suatu hadist disebutkan bahwa orang yang mencium hajar aswad bagaikan "bersalaman" dengan Allah. Para mujahidin atau tentara sebelum berangkat ke medan perang biasanya mengucapkan janji setia dalam perjuangan, untuk menegaskan kesungguhan dalam perjuangan.

Setelah itu, mereka berangkat ke Arafah dan menyiapkan tenda-tenda untuk berwukuf. Hal ini sama dengan tentara dan pejuang. Sebelum berperang, mereka menentukan basecamp pasukannya dengan membuat tenda-tenda.

Saat berangkat ke Muzdalifah dan tiba disana untuk bermabit, mereka menyiapkan krikil-krikil yang diperuntukkan melontar jumroh di Mina. Hal ini sama seperti para pejuang yang sedang menyiapkan senjata-senjata mereka dengan jumlah yang cukup untuk melawan musuh.

Selepas dari Muzdalifah, jamaah haji berangkat ke Mina untuk melontar jumroh yang merupakan simbol syetan yang menjadi musuh manusia yang abadi. Hal iini mirip dengan para pejuang yang setelah meyiapkan senjata, mereka mulai bertempur melawan musuh dengan melontarkan peluru ke arah musuh mereka.

Peperangan terkadang tidak cukup sehari. Oleh karena itu para pejuang (baca: jamaah haji) kembali beristirahat di Mina (mabit di Mina) untuk menyiapkan pelontaran pada hari-hari berikutnya. jika hari pertama musuh hanya sedikit, yakni hanya melontar jumroh aqobah, maka pada hari-hari tasyrik, sasaran "musuh" yang dliontar lebih banyak lagi, yakni jumroh ula, jumroh wusto dan jumroh aqobah. Hal ini mirip dengan para pejuang, mereka berisitirahat di tenda-tenda dan menyiapkan serangan berikutnya melawan pihak musuh.

Usai pelontaran ketiga jumroh di hari tasyriq, jamaah haji kembali ke Masjidil Haram untuk melaksanakan thawaf ifadhoh dengan mencium/memegang atau isyarat di hajar aswad. Hal ini sama dengan pejuang yang telah melaksanakan jihadnya kembali berkumpul di suatu tempat dan melakukan janji setia untuk selalu istiqomah membela tanah air dan agamanya.

Selanjutnya mereka pulang ke kampung halaman disambut oleh sanak keluarga dengan segala kemenangannya melawan "musuh". Semoga para jamaah haji tahun ini mendapat haji yang mabrur. Amin

Muhammad Jamhuri

Senin, 29 April 2013

Kandungan Lafadz Talbiyah


“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh” (QS. Al-Hajj: 27)

 

Konon, saat Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk menyeru kepada seluruh manusia agar mengerjakan ibadah haji, beliau berkata, “Wahai Tuhan, bagaiimana suaraku akan sampai kepada seluruh manusia? Sedangkan suaraku terbatas jangkauannya?”. Allah swt menjawab, “Tugasmu adalah menyeru kepada seluruh manusia, sedangkan sampai dan tidaknya seruanmu adalah urusan-Ku.”

Kemudian nabi Ibrahim as menaiki sebuah gunung bernama Jabal Abu Qubaisy. Di atas gunung itulah beliau mengeluarkan semua suaranya menyeru manusia melaksanakan ibadah haji.

Para ulama berkata, sejak itulah perintah ibadah haji diserukan hingga menggema ke manusia saat mereka masih di alam ruh. Jika mereka menjawab “Labbaik” (aku penuhi panggilanMu) maka suatu saat mereka akan ditakdirkan oleh Allah swt melaksanakan ibadah haji.

Kata ‘”labbaik” kemudian menjadi lafadz yang dibaca saat jamaah haji melaksanakan ibadah haji dan umrohnya, yang kemudian dinamakan dengan nama ‘Talbiyah”

Bunyi lafadz Talbiyah yang biasa dibaca para jamaah haji dan umroh adalah: “Labbaik Allahumma Labbaik, Labbaik Laa Syarika Laka Labbaik, Innal Hamda WanNi’mata  Laka walMulk, L:aa Syariika Lak.” (Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, Aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagimu, sesungguhnya segala pujian, nikmat dan kekuasaan hanyalah milik-Mu, aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, dan tiada sekutu bagi-Mu)

Jika diperhatikan, lafadz talbiyah di atas berisi pernyataan kita sebagai seorang hamba kepada  Allah swt terhadap tiga hal:

Pertama, Meyakini bahwa kedatangan  kita ke tanah suci adalah  merupakan panggilan dari Allah swt. Dan bukan semata karena kemampuan harta, jabatan dan kekuatan fisik. Sebab, banyak di antara manusia yang secara fisik mampu, harta berlebihan serta memiliki waktu luang, namun toh mereka belum juga melaksanakan ibadah haji atau umroh. Hal yang sama kita temukan dalam perintah ibadah shalat. Tidak seorangpun mampu melaksanakan shalat dengan perasaan ringan kecuali bagi orang yang meyakini bahwa mereka akan bertemu dengan Allah swt. Sebab shalat adalah perkara yang sangat berat. Allah swt berfirman, “Dan sesungguhnya yang demikian itu (sholat) sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya” (QS. Al-Baqarah: 45-46)

Itulah sebabnya, kita menjawab adzan dengan lafadz  “Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa biLLah”  (Tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah swt)  saat seorang muadzin membaca “Hayya ‘AlasSholah” (Marilah kita menunaikan shalat), dan membaca “Hayya ‘Alal-Falah” (Marilah menuju kesuksesan).  Hal ini menunjukkan kelemahan seorang hamba dan kekuatan Allah swt.

Oleh sebab itu saat kita membaca “Labbaik” pada hakekatnya pengakuan bahwa kedatangan kita ke Tanah Suci merupakan panggilan dari Allah swt.

Kedua,  lafadz Talbiyah berisi pengakuan kita sebagai hamba, bahwa Allah swt tidak memiliki sekutu (Laa Syarika lak). Disini kita diajak untuk memurnikan kembali aqidah dan ideologi kita.  Menyambut segala seruan Allah swt serta mendahulukannya dalam segala hal. Sebab dalam ibadah haji terdapat totalitas dalam memenuhi panggilan Allah. Hal ini ditunjukkan dengan meninggalkan kampung halamannya, keluarga, dan pekerjaannya. Belum lagi biaya yang dikeluarkannya untuk memenuhi panggilan Allah swt. Sikap totalitas untuk dan hanya karena Allah ini hendaknya menjadi sikap setiap muslim, terutama mereka yang telah melaksanakan ibadah haji, karena Allah telah mengajarkannya secara praktek dalam ibadah mulia ini.

Ketiga, lafadz Talbiyah berisi pengakuan bahwa segala pujian, nikmat dan kekuasaan adalah milik Allah. (Innal Hamda wan-Ni’mata laka walMulk). Allah-lah pemilik segala pujian, pemilik segala kenikmatan dan pemilik segala kekuasaan.

Disini kita diajak menyadari bahwa manusia tidak pantas mendapat pujian secara mutlak. Sebab, manusia yang tergila-gila dengan pujian maka ia akan bersikap sombong, dan sikap sombong adalah sikap Iblis yang telah dilaknat oleh Allah swt.

Pada lafazd ini juga kita diajari bahwa segala kenikmatan adalah milik Allah swt. Mulai nikmat panca indera, tubuh yang sehat serta nikmat berkemampuan melaksanakan ibadah haji dan umroh, semua itu adalah milik Allah yang diberikan kepada manusia. Hal ini untuk mengingatkan kita, apakah selama ini kita telah menempatkan nikmat-nikmat itu di jalan yang diridhoi Allah swt? Ataukah kita belum menempatkan nikmat-nikmat itu sesuai tempatnya?

Kemudian kita pun diingatkan bahwa segala kekuasan adalah milik Allah. Jabatan dan status sosial serta kekuasaan yang kita pegang pada hekekatnya adalah amanah yang Allah berikan kepada kita agar kita dapat menunaikan amanah itu dengan sebaik-baiknya. Firman Allah swt, “Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Ali Imran: 26)

Bagian akhir dari lafadz Talbiyah diakhiri dengan pengulangan kata “Laa syariika lak” (Tiada sekutu bagi-Mu). Hal ini untuk mengeaskan kembali perlunya pemurnian aqidah dan orientasi hidup. Yakni semata-mata karena dan untuk Allah swt.

Sebab,  tidak jarang dalam ibadah haji dan umroh terselip tujuan-tujuan selain Allah, seperti  tujuan ingin dipuji  (riya), tujuan agar mendapat  gelar “Haji”, atau bahkan untuk tujuan-tujuan ekonomis tanpa mengindahkan tujuan-tujuan suci.

Secara ringkas, lafadz talbiyah berisi pesan-pesan sebagai berikut:

1. Ketundukan sebagai hamba di hadapan Tuhannya, karena segala kesuksesan hidup dan kemampuan melaksanakan ibadah adalah semata-mata berkat kekuatan yang Allah berikan kepada kita. Itulah sebabnya Rasulullah saw mengajarkan kepada kita doa, “Ya Allah, bantulah aku untuk selalu berdzikir padaMu, bersyukur padaMu dan melakukan sebaik-baik ibadah kepadaMu”

2. Pemurnian aqidah dengan menjadikan orientasi hidup dan ibadah kita hanya karena dan untuk Allah

3. Menyadari bahwa kita adalah hamba yang tidak pantas mendapat pujian jika tidak karena Allah menutup aib dan cela kita. Karena segala pujian pada hakekatnya adalah milik Allah swt. Dengan begitu kita tidak bersikaf sombong

4. Menempatkan nikmat yang telah Allah berikan kepada kita pada jalan yang mendatangkan keridhoan Allah

5. Meyakini bahwa segala jabatan , status dan pangkat adalah amanah yang telah Allah berikan kepada kita, agar kita dapat menajalankan amanah itu denagn sebaik-baiknya serta mendatangkan keriodhoan Allah dan manfaat kepada hamba-hambaNya. Bukan malah jabatan itu mendatangkan kemurkaan Allah kerena merugikan umat manusia.

6. Hendaknya dalam segala ibadah, terlebih ibadah haji dan umroh, tidak disisipi dengan tujuan duniawi yang hina, seperti agar dipuji dengan mendapat gelar haji atau riya.

Semoga Allah swt menerima amal ibadah kita, dan menjadikan haji dan umroh kita sebagai haii yang mabrur dan umroh yang maqbulah. Amin.

 

Minggu, 21 April 2013

Karakteristik Ekonomi Islam


Dr. Yusuf al-Qordhowi dalam kitabnya berjudul “Daul al-Qiyam Wa al-Akhlaq fi al-Iqtishad al-Islamy” menyebutkan empat ciri khas sistem ekonomi Islam, yaitu:
1.      Ekonomi Robbani (bersumber dan berorientasi pada Tuhan)
2.      Ekonomi Insani (menjunjung hak dan fitrah manusia)
3.      Ekonomi Akhlaqi (menjunjung moralitas)
4.      Ekonomi Wasathi (bersifat moderat atau menengah)

                                     
A.    Ekonomi Robbani (berketuhanan)

Yang dimaksud dengan ekonomi robbani adalah bahwa dalam aktifitas berekonomi haruslah berdasarkan tuntunan Allah swt dengan segala aturanNya, mulai dari barang dan jasa sebagai objek transaksi ekonomi, cara bertransaksi serta tujuan bertransaksi ekonomi. Barang dan jasa yang bersifat robbani adalah barang dan jasa yang halal saja yang boleh dijadikan objek transaksi, sedangkan caranya tidaklah mengandung unsur riba, maysir (judi) dan gharar (ketidakjelasan). Sedangkan tujuannnya adalah tujuan yang diperbolehkan. Oleh sebab itu, tidak diperkenankan menjual senjata untuk memerangi kaum muslimin, demikian juga tidak diperkenankan menjual mushaf al-Quran kepada kaum kafir untuk dihinakan.

B.     Ekonomi Insani (Berperikemanusiaan)

Yang dimaksud dengan ekonomi Insani adalah ekonomi yang sesuai dengan fitrah dan hak asasi manusia serta bersifat perikemanusiaan. Oleh sebab itu tidak diperkenankan melakukan transaksi barang atau jasa yang menginjak-nginjak perikemanusiaan, seperti menjual diri atau usaha pengadaan wanita tuna susila,  perdagangan manusia serta praktek usaha lainnya yang bertentangan dengan perikemanusiaan.

C.     Ekonomi Akhlaqi (bermoral)

Yang dimaksud dengan ekonomi akhlaqi adalah ekonomi yang menjunjung tinggi moralitas dan etika. Tidak diperkenankan melakukan transaksi barang dan jasa yang tidak sesuai dengan akhlak atau etika. Seperti pada jaman Jahiliyah, yang menjadikan thawaf dengan cara telanjang. Hal ini tidak sesuai dengan akhlak dan moral. Oleh karena itu, Islam datang dengan mengembalikan cara thawaf susuai dengan akhlak dan moral. Di zaman sekarang pun perlu upaya membuka bisnis pariwisata tidak selalu harus melanggar norma dan moral dengan kesenian yang bertentangan dengan akhlak dan budaya bangsa.

D.    Ekonomi Washati (moderat)

Yang dimaksud dengan ekonomi wasathi adalah sistem ekonomi yang bersifat moderat dan menengah, ia tidak bersifat individualistik seperti yang ditemukan dalam sistem ekonomi kapitalis, tidak juga menafikan kepemilikan pribadi seperti yang ditemukan pada sistem komunis. Sistem ekonomi Islam adalah sistem yang mengakui hak kepemilikian private sebagaimana ia juga mengakui hak kepemilikian publik. Oleh sebab itu, dalam sistem ekonomi Islam diperkenankan untuk maju dan berinovasi sehingga ada kompetisi dalam dunia bisnis secara sehat, akan tetapi Islam pun mengarahkan umatnya untuk peduli kepada orang-orang yang tidak mampu.

Sabtu, 20 April 2013

Perbedaan Ilmu Ekonomi Islam dan Ilmu Ekonomi Konvensional Dalam Tinjauan Defdinisi


Definisi Ilmu Ekonomi

 Ilmu Ekonomi adalah ilmu yang membahas bagaimana cara memenuhi kebutuhan di tengah keinginan yang selalu baru dan kelangkaan faktor-faktor ekonomi.

Dari definisi di atas, maka tugas ilmu ekonomi adalah mencari solusi agar kebutuhan manusia dapat tetap terpenuhi menghadapi dua persoalan ekonomi, yaitu kebutuhan yang terus berkembang dan kelangkaan faktor-faktor ekonomi.

Menurut para para ahli ekonomi, kebutuhan manusia tidak terbatas, dari waktu ke waktu terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Bila dahulu lsitrik tidak menjadi kebutuhan, maka kini energi listrik menjadi kebutuhan primer bagi setiap orang, terutama masyarakat yang tinggal di perkotaan. Demikian juga halnya beberapa alat elektronik, seperti televisi, telepon, komputer dan lain sebagainya.

Di sisi lain, faktor-faktor ekonomi –menurut mereka- terus berkurang. Hal ini dapat dilihat dari berkurangnya area pertanian yang ada. Banyak lahan pertanian diubah menjadi daerah perumahan dan real estate, sehingga faktor ekonomi berupa pertanian kini berkurang. Demikian pula halnya dengan ekploitasi sumber alam yang terus menerus digunakan, seperti minyak, bahan tambang, air bersih dan lainnya, seiring berjalan waktu, maka sumber-sumber ekonomi tersebut mulai berkurang.

Di tengah dua permasalahan inilah, ilmu ekonomi dituntut untuk menyelesaikan permasalahannya, sehingga manusia tetap dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Yang pertama adalah permasalahan keinginan manusia yang terus berkembang, dan disisi lain permasalahan berupa kelangkaan sumber-sumber ekonomi.

Perlu diketahui, bahwa definisi ekonomi di atas dibangun di atas dasar pola pikir sekulerisme, yakni suatu paham atau aliran yang menyatakan bahwa kehidupan ini harus dipisahkan dengan agama. Agama hanya ditempatkan di rumah-rumah ibadah saja, dan tidak perlu mengurusi urusan keduniaan, termasuk urusan ekonomi. Akibatnya definisi dan pengertian ilmu ekonomi pun telah terlepas dari nilai-nilai agama. Sehingga dari definisi ini dapat kita simpiulkan sebagai berikut:

Pertama, manusia dalam ilmu ekonomi Barat adalah objek ekonomi, karena dia merupakan sesuatu yang menjadi tujuan dari adanya ilmu ekonomi, bukan dijadikan sebagai subjek yang menentukan arah perkembangan ekonomi.

Kedua, definisi ini telah jauh dari nilai-nilai agama, karena definisi ini meyakini bahwa Allah swt tidak memberikan cukup rezeki kepada makhluk-makhlukNya, seakan rezeki Allah itu bersifat langka dan selalu berkurang.

Ketiga, definisi ini meyakini kelangkaan rezeki Allah, maka timbullah teori baru yang disebut dengan Family Planning (keluarga berencana), yang memberi pengertian pembatasan kelahiran anak, dalam rangka menyesuaikan antara faktor produksi yang terus berkurang dengan jumlah manusia yang menggunakan faktor produksi itu.

Keempat, definisi ini tidak membedakan antara want (keinginan) dan needs (kebutuhan), padahal antara want dan needs sangatlah berbeda. Want (keinginan) tidak ada batasnya, sedangkan needs (kebutuhan) mempunyai tingkatan dan prioritas.

Kelima, definisi ini tidak mengaitkan usaha pemenuhan kebutuhan dengan ajaran agama, sehingga dikhawatirkan adanya upaya menghalalkan berbagai cara dalam usaha memenuhi kebutuhan manusia.

 

Definisi Ilmu Ekonomi Islam
 
Oleh sebab terlepasnya definisi ekonomi konvensional dari nilai-nilai ajaran agama Islam, maka ilmu ekonomi Islam menjadi salah satu alternatif mengisi kekosongan itu, bahkan menjadi pengganti sistem ekonomi konvensional yang telah membuat banyak negara gagal dengan sistem  itu.

Ilmu ekonomi Islam dalam didefinisiakan sebagai suatu ilmu yang membahas tentang cara memenuhi kebutuan manusia dengan pemanfaatan faktor-faktor produksi yang tersedia secara optimal dan pendistribusiannya sesuai dengan ajaran syari’at Islam.

Dalam definisi ini terkandung ajaran Islam sebagai pedoman dalam melaksanakan aktifitas ekonomi, mulai dari produksi, konsumsi hingga distribusi. Sehingga setiap aktifitas dan usaha untuk memenuhi kebutuhan manusia harus sesuai dengan ajaran Islam.

Dalam definisi ini juga, tidak menjadikan kelangkaan sumber-sumber ekonomi menjadi suatu masalah. Masalah utama menurut definisi ini adalah ketidakoptimalannya memanfaatkan sumber-sumber ekonomi yang telah disediakan Allah swt. Sebab, pada dasarnya Allah swt telah memberi rezeki kepada para makhluk-Nya dengan cukup. Firman Allah swt:

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)” (QS. Hud: 6).

Yang dimaksud dengan binatang melata adalah segenap makhluk Allah yang bernyawa.

Dengan demikian, maka permasalahan utama pada ekonomi adalah bukan terletak pada kelangkaan sumber-sumber ekonomi yang tersedia, karena hal itu semuanya telah dicukupkan oleh Allah swt. Yang menjadi permasalahan ekonomi menurut Islam adalah masalah kurangnya pemanfaatan sumber ekonomi yang telah disediakan oleh Allah swt.

Oleh sebab itu, menurut ekonomi Islam, faktor utama kemajuan dan perkembangan ekonomi bukanlah terletak pada faktor-faktor produksi atau sumber-sumber ekonomi, seperti tanah (land), pekerjaan (labour), atau modal (capital). Akan tetapi faktor utama bagi perkembangan ekonomi adalah manusianya itu sendiri. Manusialah faktok utama perkembangan ekonomi. Oleh sebab itu, al-Qur’an dan al-Hadits begitu serius memperhatikan sumber daya manusia, mengarahkannya dan memberikan petunjuk yang begitu lengkap, agar mereka dapat hidup bahagia dan sejahtera di dunia dan di akhirat.

Salah satu arahan al-Quran kepada manusia adalah agar mereka menuntut ilmu. Bahkan wahyu yang pertama diturunkan oleh Allah swt kepada Rasulullah saw adalah perintah membaca (iqra’). Sebab, dengan ilmulah manusia dapat menciptakan suatu kemajuan, termasuk kemajuan di bidang ekonomi. Sebagai contoh, di bidang pertanian, dahulu kala para petani hanya mengalami panen setahun sekali. Namun, berkat ilmu yang diberikan Allah swt kepada manusia, kini para petani dapat mengalami panen dua kali bahkan tiga kali dalam setahun. Demikian pula penemuan dalam bidang pengembangbiakan hewan ternak, kini para peternak mendapat penghasilan lebih dibanding sebelum ilmu tentang pengembangbiakan hewan ternak ditemukan. Sehingga kekhawatiran para ahli ekonomi konvensional agar dikembangkannya program family planning (keluarga berencana) dalam pengertian pembatasan kelahiran manusia dapat ditepis. Sebab, ternyata pertumbuhan penduduk tidak selamanya mengakibatkan ketimpangan ekonomi jika perhatian pada peningkatan kualitas manusianya dapat terwujud. Sebagai contoh, dahulu kala saat penduduk manusia masih sedikit, kita sebagai masyarakat jarang sekali mengkonsumsi daging ayam atau daging sapi. Bahkan ada ungkapan, bahwa kita dapat mengkonsumsi daging ayam atau daging sapi jika ada acara-acara tertentu, seperti pernikahan atau kendurian. Namun, justru saat ini, dengan jumlah penduduk yang semakin banyak dan meledak, kita mudah mengkonsumsi daging ayam atau daging sapi, kapanpun kita menghendakinya, tidak harus menunggu-nunggu acara tertentu. Ini menunjukkan bahwa bertambahnya penduduk manusia tidak akan menyebabkan kekurangan rezeki jika manusianya berkualitas dengan ilmu, terlebih jika dapat memanfaatkan rezeki yang tersedia ini dengan sebaik  dan seoptimal mungkin sesuai dengan ajaran agama Islam.

Kemudian tentang wants (keinginan) dan needs (kebutuhan) terdapat perbedaan. Want (keinginan) yang selalu berkembang dan tiada batasnya harus dibatasi dengan rambu-rambu halal dan haram, sedangkan kebutuhan harus dirunut menurut prioritasnya. Oleh sebab itu Islam melarang ekpolitasi sumber ekonomi yang dapat merusak lingkungan, merugikan banyak orang serta dilakukan dengan cara-cara yang haram. Sedangkan dalam hal kalsifikasi kebutuhan, Islam telah membagi kebutuhan kepada tiga kategori; dharuriyat (primer), hajiyat (sekunder) dan tahsiniyat (tersier). Ketiga klasifikasi berlaku pada fungsi pemeliharaan lima hal: memelihara agama (hifzu al-din), memelihara jiwa (hifzu al-nafs), memelihara akal (hifzu al-‘aql), memelihara harta (hifzu al-maal), dan memelihara kehormatan dan keturunan (hifzu al-‘irdh wa al-nasl). Tidak boleh mendahulukan tahsiniyat di atas hajiyat, dan tidak boleh mendahulukan hajiyat di atas dharuriyat.

Rabu, 10 April 2013

Mencermati Pasang Surut Bahasa Arab

oleh: Muhammad Jamhuri
 

Dalam salah satu wasiatnya, Imam Syahid Hasan al-Banna pernah berpesan: “Berusahalah untuk bisa berbicara bahasa Arab fushshah (baik dan fasih,) sebab itu termasuk doktirn Islam”.

Dalam banyak ayat, al-Quran menegaskan tentang bahasa resmi yang digunakannya. Bahasa resmi al Quran, sebagaimana Allah sebutkan, adalah bahasa Arab, (12;2), (20;113), (39;28), (41;3), (42;7), (43;3), seperti salah satu firman Allah SWT :

اناأنزلناه قرآنا عربيا لعلكم تعقلون

"Sesungguhnya Kami turunkan al-Quran berbahasa Arab, agar kamu mau berfikir." (QS: Yusuf; 2).

Ayat di atas mengandung makna yang dalam, sebab di penghujung ayat tersebut tertulis kata  "La'allakum tattaqun", agar kamu mau berfikir. Apa sebenarnya rahasia yang terdapat dalam bahasa Arab?  Adakah keistimewaan bahasa Arab dari bahasa lainnya? Mengapa kita diajak berfikir tentang bahasa Arab?. Ayat itu secara implisit mengajak kita pula untuk menggali bahasa Arab, karena ia adalah bahasa al-Quran, kitab pedoman bagi umat manusia. Ibnu Kholdun dalam "Mukaddimah" nya mengatakan : "Bahasa adalah ungkapan seseorang tentang keinginannya, ungkapan tersebut adalah refleksi lidah yang timbul dari suatu keinginan, dan karenanya ia harus melekat pada lisan dan terjadi berulang-ulang. Pembawaan yang terbaik seperti di atas hanya dimiliki bangsa Arab, demikian juga kejelasan ungkapan suatu maksud, sebab disana terdapat bentuk-bentuk, selain kalimat, yang mengandung arti. Seperti harakat yang membedakan kedudukan fa'il dan maf'ul, demikian pula huruf-huruf yang masuk dalam fi'il (kata kerja). Keistimewaan itu hanya terdapat dalam bahasa Arab. Sedangkan bahasa-bahasa lain, setiap arti dan keadaan harus diungkapkan dengan kalimat khusus yang menunjukkan suatu arti tertentu. Inilah rahasia yang terdapat pada makna hadist Nabi SAW

أوتيت جوامع الكلم واقتصر لي الكلام اختصارا

"Aku dikaruniai seluruh kalimat, dan kalimat itu telah teringkas buatku ". (1)

 

Bahasa Arab Dan Perkembangannya.

Tersebarnya Islam keluar jazirah Arab meyebabkan perubahan yang tidak sedikit. Rasa kesukuan pada setiap negeri bergeser menjadi fanatisme agama (Islam) meski masih terdapat peradaban lokal. Bahkan peradaban dan kultur lokal menjadi tetap eksis dengan datangnya Islam.

Kemenangan bangsa Arab terhadap bangsa lain dibarengi dua hal; pertama, agama Islam yang toleran, dan kedua, bahasa Arab. Sejak bangsa Arab menetap di negara-negara yang dikuasainya dan tersebar di kota-kota dan desa-desa, mereka menyebarkan bahasa Arab sebagai kedudukannya bahasa al-Quran. Mereka menempatkan para pengajar di setiap negeri tersebut sambil mengajarkan Al-quran dan agamanya, sehingga bahasa Arab menjadi bahasa populer saat itu. Tidak heran, banyak di antara anak bangsa dengan keasadaran sendiri menuntut ilmu dan mempelajari bahasa Arab. Ada beberapa faktor sehingga mereka antusias mendalami bahasa Arab (2) :

1.         Karena bahasa Arab adalah bahasa al-Quran dan bahasa agama baru mereka (Islam), sebagaimana sholat yang diwajibkan kepada mereka harus berbahasa Arab sehingga timbullah keinginan untuk lebih dalam mengetahui maknanya. Hal ini menjadi modal mereka dalam mengkaji cabang ilmu agama lainnya.

2.         Bagi penduduk yang belum muslim, mereka terpaksa harus mempelajari bahasa Arab . Hal itu disebabkan karena situasi dan kondisi di mana bahasa Arab telah menjadi bahasa negara disetiap sektor kehidupan.

3.         Beberapa bangsa, seperti Persi, Turki, India dan lainnya, mempelajari bahasa Arab karena didorong keinginan mendapatkan kedudukan atau pekerjaan pada pemerintahan Islam. Demikian pula para seniman dan pedagang yang datang ke negeri Islam.

4.         Tersebarnya bangsa Arab ke beberapa negara seperti Iran, Turkistan, India dan lainnya,. Hal ini menunjang tersebarnya bahasa Arab pada daerah-daerah baru.

 

Tersebarnya bahasa Arab di daerah-daerah baru memberikan pengaruh besar pada tulisan, logat dan sastra lokal. Pada tulisan misalnya, tulisan Arab masih digunakan pada bahasa Persi (Iran), Urdu (Pakistan), Indonesia (Arab melayu) sebelum dan ketika zaman penjajahan. Bahkan sastra melayu (Indonesia) pun dipengaruhi oleh bentuk sastra bahasa Arab.

Sastra Arab mengalami puncaknya pada masa dinasti Abbasiyah (132 H-656 H), meski rasa asabiyah (fanatisme) Arab berkurang pada masa itu karena terjadinya akulturasi dengan bangsa lain, tidak seperti pada masa Bani Umayah yang Arab sentris. Perkembangan pada masa Bani Abbas justru diwarnai oleh kultur bangsa lain seperti Persi, India, Turki, Yunani dan lainnya. Hal ini terlihat dari banyaknya karya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Perikeadaan bahasa Arab pada dinasti Abbasiyah ditandai dengan maraknya karya-karya disiplin ilmu agama dan bahasa, penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab dan terpengaruhnya sastra Arab oleh kemajuan budaya. Hal itu terlihat dari banyaknya pengandaian para satrawan dengan kondisi baru. (3)  Kondisi di atas menyebabkan pula pesatnya perkembangan gaya penulisan prosa (natsar), maka lahirlah berbagai macam gaya penulisan; ilmiah, filsafat, sejarah, sastra dan lainnya.

 

Ilmu-ilmu Bahasa Arab

Setelah Islam menjarah seluruh bangsa, sebagaimana bahasa Arab, terjadilah pembauran hal mana bahasa Arab pun mengalamai perubahan tatkala diucapkan oleh bangsa 'Ajam (non Arab). Bangsa Persi dikenal sangat sulit mengucapkan bahasa Arab, mereka terkadang mengucapkannya dengan kaidah bahasa Persi, seperti menjama'kan lafadz mufrad dengan menambah 'alif' dan 'nun' sebagaimana yang mereka temukan pada bahasa Persi. Misalnya lafadz شريك menjadi  شريكان, sedangkan yang benar menurut kaidah bahasa Arab  adalah  شركاء dan masih banyak lagi kesalahan-kesalahan bangsa 'Ajam dalam menuturkan kalimat-kalimat Arab. Kondisi di atas akan lebih fatal bila yang dibaca dan diucapkannya adalah al-Quran dan al-Hadist. Bukan saja berdosa, tapi juga akan mengakibatkan salah makna dan penafsiran terhadap kandungan isi ajaran al-Quran dan al-Hadis. Maka disusunlah kaidah-kaidah bahasa Arab, seperti fa'il itu marfu', maf'ul itu mansub, mubtada adalah marfu', i'rab dan lain sebagainya yang kini dikenal dengan ilmu Nahwu. Orang yang pertama kali menyusun disiplin ilmu ini adalah Abul Aswad Ad-Dualy dari Bani Kinanah atas perintah sahabat Ali bin Abi Thalib ra dalam rangka memelihara bahasa Arab dari kesalahan membaca al-Quran dan al-Hadist. Kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya hingga Al-Kholil bin Ahmad Al-Farohidi pada masa khalifah Harun Al-Rasyid. Beliau mempunyai murid yang sangat terkenal dalam ilmu Nahwu bernama Sibawaih, yang menyususn karyanya berjudul "Al Kitab" dalam ilmu Nahwu. Kitab ini menjadi refrensi utama bagi karya-karya generasi berikutnya. (4)  Untuk memenuhi kebutuhan para pemula, tersusun pula kitab-kitab yang memuat kaidah secara ringkas dan mudah, seperti Matan al Jurumiyah karya Imam Al-Sonhaji, al-Mufasshol karya Zamahksyari, alfiyah (dalam bentuk nadzam) karya Ibnu Malik al-Andalusi. Disamping itu, lahir pula beberapa ilmu bahasa Arab, diantaranya :

1.      Ilmu Nahwu, ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah susunan kalimat (tarkib) dalam bahasa Arab, baik berupa i'rab, bina dan lainnya. (5)  Seperti hukum fa'il adalah marfu', maf'ul yang mansub dan lain sebagainya.

2.      Ilmu shorof, ilmu yang membahas perubahan shigat (bentuk) dan pengaruhnya pada makna, seperti kata ضرب    fi'il madhi (kata kerja lampau), fi'il  modhore'  يضرب (kata keja kini/yang akan datang). Ilmu nahwu dan ilmu shorof mempunyai kaitan yang sangat erat. Bahkan para Nuhat (ahli ilmu nahwu) mengibaratkan keduanya bagaikan ayah dan ibu.

3.      Ilmu Bayan, ilmu menyampaikan satu makna dengan bermacam-macam bentuk (cara) seperti tasybih, isti'aroh, majaz, kinayah dan lainnya.

4.      Ilmu Ma'ani, ilmu tentang keadaan lafadz yang diucapkan sesuai keadaan (muqtadaho hal), seperti khobar, insya dan ketentuan maksud yang diucapkan, qasr, ijaz, ithnab dan lainnya.

5.      Ilmu Badi', ilmu tentang keindahan kalimat dengan memperhatikan ketentuan jelasnya lafadz dan korelasinya antara lafadz yang diucapkan dengan situasi dan kondisi. Seperti ; al jinas, saja',  muqobalah dan lainnya.

6.      Dan masih banyak lagi cabang ilmu lainnya, seperti ilmu Arudlh (kaidah sya'ir), imla (metode menulis Arab), ilmu lughot (melestarikan  khazanah kosa kata Arab yang hampir punah melalui penyusunan kamus umpamanya) dan lain sebagainya.

 

Pasang Surut Bahasa Arab

Sebagaimana dikemukakan di atas, masa penterjemahan ('ashr tarjamah) pada masa dinasti Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, dan bahasa Arab berfungsi sebagai bahasa pengantar pada setiap perkuliahan dan pengkajian ilmu pengetahuan pada masa itu. Tidak sedikit para thalib (siswa) dari manca negara berdatangan ke Baghdad guna menggali ilmu. Sudah barang tentu bahasa Arab mempunyai tempat strategis pada masa itu dan menjadi bahasa internasional, sekaligus bahasa pemersatu bagi dunia Islam.

Pada tahun 656 H, Dinasti Abbasiyah mengalami keruntuhan akibat serbuan bangsa Tartar. Kerajaan Islam pun terpecah menjadi negeri-negeri kecil. Setiap negeri dipimpin oleh raja. Masa itu dalam buku-buku sejarah disebut masa Mamalik ('ashr mamalik). Di antara raja tadi terdapat raja yang berbangsa non Arab dan sedikit sekali perhatiannya terhadap perkembangan bahasa Arab. Rasa fanatisme suku pun tumbuh, hingga nasib sastra Arab mengalami kemunduran meski masih terdapat beberapa sastrawan Arab seperti Sofiyudin al Hilli, Busyiri, Ibnu Nabatah dan lain-lain.

Pada masa pemerintahan Turki Ustmani (Dinasti Ottoman) tahun 923-1213 H, nasib bahasa Arab makin bertambah redup, sekolah-sekolah yang mengajarkan bahasa Arab ditutup, dan bahasa Turki menjadi bahasa resmi negara. Namun demikian bahasa Arab masih dapat diselamatkan oleh universitas Al Azhar Cairo, sebuah perguruan tinggi Islam tertua yang masih menggunakan dan melestarikan bahasa Arab dengan segala ilmu-ilmunya, dari sana pula terbentuk lembaga 'Majma' al-Lughoh al-Arabiyah'. Tanpa Al Azhar masa itu, mungkin ilmu bahasa Arab akan sirna di jazirah Arab. (6)

Setelah tahun 1213 H hingga kini, bahasa dan satra Arab mengalami kebangkitan kembali, hal ini karena ditunjang beberapa faktor :

1.      Banyaknya warga Arab menuntut ilmu di Eropa sebagai sumber ilmu pengetahuan. Mereka kembali ke negaranya dengan menterjemahkan ilmu-ilmu yang mereka dapat ke dalam bahasa Arab.

2.      Meratanya pendidikan di setiap jenjang pendidikan di negara-negara Arab.

3.      Berkembangnya teknologi alat penulisan dan percetakan bahasa Arab.

4.      Berkembangnya jurnalistik memberikan andil dalam pengembangan bahasa Arab

5.      Terbitnya buku-buku, baik agama maupun umum berbahasa Arab.

Namun demikian, hasil-hasil yang dicapai belum maksimal dan perlu adanya usaha-usaha ke arah memasyarakatkan bahasa Arab, khusunya di negara-negara non Arab yang berpenduduk muslim.

 

Usaha-usaha Orientalis Merusak Bahasa Arab

Para orientalis menyadari bahwa bahasa Arab adalah satu-satunya alat penyebaran pemikiran dan nilai-nilai Islam ke seluruh pelosok dunia. Sebab, sekalipun seseorang bukan berbangsa Arab, namun karena ia seorang muslim, mereka merasa berkewajiban mempelajari bahasa Arab dalam rangka mengkaji kandungan al-Quran. Dengan demikian, meskipun setiap bangsa mempunyai logat masing-masing, namun dalam penulisan, mereka dapat saling mengerti, karena dalam penulisan digunakan bahasa Arab fasih (benar). Philip Hitti dalam bukunya "Arabs History" berkata : " Jika bahasa Arab dapat cepat tersebar dikalangan kaum muslimin dan terciptanya saling pengertian di antara mereka karenanya, hal itu karena disebabkan kitab mereka; al-Quran, karena dia-lah yang mempersatukan lahjah-lahjah yang berbeda ". (7)

Menyadari hal itu, para orientalis berusaha menyingkirkan bahasa Arab sebagai bahasa negara dan menggantikannya dengan bahasa asing. Di  Marokko pernah ada upaya memberlakukan bahasa Perancis sebagai pengganti bahasa Arab. 'Ilal al-Fasi mengutip ucapan seorang pengacara Mr. Backer pada suatu pertemuan tentang sistem pengadilan bangsa Barbar tanggal 26 Pebruari 1930 : "Anggota komite telah sepakat untuk menghapus peraturan hukum adat yang berbahasa Arab". Pada waktu itu telah terjadi penyobekan dokumen pengadilan yang bertuliskan Arab oleh seorang pejabat jawatan pengawas sipil; Benauth dan penerusnya; Cornby, hingga akte nikah pun diganti dengan dengan bahasa Perancis. (8) Usaha mereka tidak sebatas itu saja, mereka juga menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Perancis, bukan untuk orang Perancis, melainkan diperuntukkan bagi muslim Maroko.

Di Turki, upaya mengganti bahasa Arab dengan bahasa Turki telah berjalan, bahkan sampai menyentuh pada rutinitas ritual, seperti adzan dan al-Quran. Adzan tidak lagi dikumandangkan dengan bahasa Arab seperti yang kita kenal, tapi bahasa Turki menempati kedudukannya. Peristiwa ini terjadi pada masa rezim Mustafa Kamal Attaturk.

Di Mesir, perang terhadap bahasa Arab dilakukan dengan upaya memasyarakatkan bahasa 'amiyah (pasaran) dan tulisan latin sebagai pengganti tulisan Arab. Wilham Sbeta menyusun buku "Kaidah-kaidah Bahasa Arab 'Amiyah di Mesir". Dalam buku itu diungkapkan betapa sulitnya mempelajari bahasa Arab fasih (benar), diusulkan pula tulisan latin sebagai pengganti tulisan Arab.(9)

Upaya di atas bukan hanya dilakukan bangsa Barat saja, beberapa ilmuwan Arab yang telah tererosi pemikiran Barat turut mendengungkan ajakan diatas, seperti Selamat Musa dan Abdul Aziz fahmi.

 

 

Usaha-usaha Melestarikan Bahasa Arab

Setelah bahasa Arab mengalami percampuran dengan bahasa lain akibat tersebarnya Islam, ia mengalami perubahan dari keasliannya. Untuk melestarikan keasliannya, para ulama terpanggil menyusun kaidah-kaidah bahasa Arab. Sebagai rujukannya adalah al-Quran, Hadist dan beberapa syair dan natsar peninggalan jaman jahiliyah dan permulaan Islam yang masih utuh keasliannya. Dengan demikian bahasa Arab masih terpelihara keasliannya. Namun demikian setiap bahasa mengalami dinamika sesuai perjalanan masa. Beberapa kalimat asing terkadang teradopsi ke dalam bahasa tersebut, dan hal itu dialami pula oleh bahasa Arab, Bahasa Persi misalnya, beberapa kalimatnya masuk ke dalam bahasa Arab, demikian juga  bahasa India, Inggris dan lainnya. Bertambahnya perbendaharaan kata ke dalam suatu bahasa menambah khazanah bahasa tersebut. Tapi, ia juga tidak mesti merubah kaidah-kaidah bahasa asli, khususnya bahasa Arab. Khusus bahasa Arab, ia sangat istimewa karena terpelihara berkat adanya Al-Quran dan Hadist serta peninggalan sastra pra dan permulaan Islam, baik yeng terpelihara secara hafal maupun berupa manuskrip. Oleh karena itu para ahli (ilmuwan) muslim dalam mengungkapkan  suatu definisi selalu merujuk kepada lafadz yang terdapat pada ketiga sumber di atas, terlebih dalam pendekatan secara etimologi (lughotan).

Beberapa usaha yang pernah dilakukan para ulama untuk melestarikan bahasa Arab adalah Abul Aswad Ad Duali, beliau adalah peletak dasar kaidah-kaidah bahasa Arab, beliau diperintah oleh sahabat Ali bin Abi Thalib ra setelah beliau banyak menyaksikan  kesalahan kaum muslimin dalam membaca  al-Qur'an. Kemudian dilanjutkan oleh Al Kholil bin Ahmad, Sibawaih dan lainnya.

Pada tahun 1932 M, raja Fuad I, raja Mesir di zaman Mamalik mendirikan lembaga " Majma' al- Lughoh al -rabiyah" di Cairo, tujuannya adalah menjaga dan meyelamatkan bahasa Arab, menyusun kamus sejarah bahasa Arab, mengadakan studi dan riset tentang dialek-dialeknya serta memajukan bahasa Arab. Lembaga ini terdiri dari para pakar bahasa dan sastrawan. Kemudian pada tahun 1834, dua tahun setelah berdirinya lembaga, lembaga ini menerbitkan majalah untuk meyebarkan hasil studi dan risetnya. Majalah ini terbit hingga tahun 1962. Dalam perkembangannya, lembaga ini telah menerbitkan pula beberapa kamus, seperti Al-Mu'jam al-Wasit, Al-Mu'jam al-wajiz, dan satu jilid Al-Mu'jam al-Kabir.

Pada tahun 1936, Departemen Pendidikan Mesir meminta agar Lembaga Bahasa Arab ini meyusun kamus yang memuat kamus-kamus terdahulu ditambah dan disesuaikan dengan kemajuan iptek, sastra dan seni  modern. (10)

Dengan demikian, bahasa Arab fasih (benar) dapat terpelihara hingga kini, bahkan hingga hari kiamat, karena ia adalah bahasa resmi al-Quran. "Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Quran, dan Kami pula yang  menjaganya ". (Qs; Al Hijr : 9)

__________________

 Daftar Pustaka

(1). Ibnu Kholdun, Muqaddimah, hal 469-470

(2). Dr. Abdul Salam Abdul Aziz Fahmi, Kitab Nisab al Sibyan Wa mashiratu sittati qurun fi ta'lim al lughoh al 'arabiyah lil muslimin ghoiri natiqina biha, Jamiah Ummul Quro, hal 5-7.

(3). Ustadz Ustman sayid Abdur Rahim. Al Kitab Al Asasi - Al Adab wa al Nushus, Jamiah Ummul Quro, hal 80.

(4). Ibnu Kholdun, Muqaddimah, hal 470.

(5). Al Jurjani, Kitab At Ta'rifat, hal 308.

(6). Ustad Ustman Sayid Abdur Rahim, Al Kitab Al Asasi- Al Adab Wa al Nushus, Jamiah Ummul Quro, hal 103.

(7). Arabs History, hal 175 jilid I, sebagaimana pada " Al Harokah al fikriyah diddal Islam, hal 180.

(8). Dr Barokat Abdul Fattah Duaidar, Al HArakah al fikriyah dhiddal Islam, hal 182

(9). Idem, hal 185

(10). Dr Abdul Wahid Abdul Hafidz Salim, Al Ma'ajim, Jami'ah Ummul Quro,    hal 71