Senin, 28 Juli 2008

Urgensi Shalat Dalam Kehidupan

Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.(QS. Thoha: 132)

Salah satu hasil “kunjungan” Nabi saw kepada Allah SWT melalui Isra Mi’raj adalah turunnya perintah shalat yang diterima langsung oleh Rasulullah saw. Berbeda dengan perintah-perintah lainnya yang diturunkan melalui perantara malaikat jibril sang pembawa wahyu, perintah shalat merupakan perintah yang sangat istimewa karena Nabi saw langsung bertemu Allah SWT. Bahkan Jibril pun tidak sanggup mengantar Nabi saw ke langit ketujuh saat peristiwa Mi’raj tersebut.
Ini menunjukkan bahwa kedudukan perintah shalat di sisi Allah sangat penting bagi manusia. Shalat adalah sarana efektif bagi seorang hamba untuk langsung berkomunikasi dan berhubungan dengan Allah secara horizontal. Oleh karena Nabi saw bersabda, “Sholat adalah mi’rojnya orang-orang Muslim”.
Seberapa urgennya perintah shalat bagi kehidupan seorang manusia, terutama muslim? Berikut jawabannya:
1. Sholat adalah tiang agama. Rumah tanpa tiang akan roboh. Begitu pun keislaman seseorang, tanpa sholat maka keislamannya akan rapuh, apalagi di zaman modern sepert sekarang ini. Tarikan dunia menyilaukan kita sehingga kita terlena dan melupakan Allah SWT. Belum lagi maraknya ajaran sesat. Tanpa sholat maka keislaman kita lambat laun akan roboh. Jika roboh, maka kita tidak mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhiirat. Seorang pujangga berkata, “Walaupun hidup seribu tahun, kalau tak sembahyang apa gunanyaa...?
2. Shalat adalah amal yang akan pertama kali dihisab/diperhitungkan. Jika di awal perhitungan nanti amal shalatnya baik dan lulus, maka amal lainnya akan mudah dan cepat dihisab. Namun jika amalan shalat masih menyisahkan masalah, maka amalan lain akan mendapat kesulitan saat akan dihisab. Jika kita ujian masuk universitas atau melamar pekerjaan, maka jika ujian tahap pertama saja sudah terindikasi tidak lulus, maka ujian tahap berikutnya akan sulit diharapkan lulus.
3. Sholat dapat menuntun kita berperilaku moralis dan berakhlakul karimah. Allah SWT berfirman: “Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar” (QS. Al-Ankabut: 45). Jika seseorang yang mengerjakan shalat masih berbuat kemungkaran, berarti shalatnya masih harus diperbaiki, termasuk pemaknaan shalat itu sendiri yang kurang dipahami.
4. Shalat itu pembuka sarana datangnya rezeki. Apalagi jika shalat itu kita tegakkan pula di tengah-tengah keluarga kita. Allah SWT berfirman: Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thoha: 132). Boleh jadi rezeki kita dan keluarga kita saat ini “seret” dan sempit, karena kita “cuek” dengan sholat, dan kita “cuek” dan membiarkan keluarga kita tidak melaksanakan shalat. Jika rezeki ingin lancar dan luas, mulailah mendirikan shalat dan perintahkan keluarga kita mendirikan shalat.
5. Shalat, ditambah sabar, adalah sarana untuk mendapatkan solusi saat kita menghadapi suatu problema. Dewasa ini, banyak orang saat menghadapi problema malah datang ke paranormal, dukun atau orang pinter (pinter ngebodoh-bodohin orang lain). Padahal Allah SWT berfirman yang artinya; “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'“ (QS.A-Baqarah: 45)
6. Shalat adalah sarana untuk membawa misi kekuasaan yang diridhoi Allah SWT. Jika para pemimpin sekarang tidak membawa kemaslahatan, hal itu disebabkan rakyat yang memilihnya pun masih banyak yang tidak mendirikan shalat, sehingga melahirkan pemimpin koruptor, penerima suap dan melakukan praktek KKN. Namun jika para pemilihnya rajin shalat, maka mereka akan memilih pemimpin yang baik, yang juga mendirikan shalat sehingga menebar kebaikan, keadilan dan kesejahteraan di tengah rakyatnya. Allah SWT berfirman yang artinya; “orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS.Al-Hajj: 41)
7. Jika salah memilih pemimpin, yakni pemimpin yang tidak peduli dengan urusan shalat, maka akan datang dibelakangnya generasi “Cuek Sholat”, hiburan berbau maksiat marajalela, kezaliman penguasa dibiarkan, narkoba merambah ke mana-mana, dan akhirnya lahir kesengsaraan di mana-mana. Allah SWT berfirman yang artinya; “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan” (QS. Maryam; 59). Sehingga tidak heran kini kita temukan polisi menjadi pengedar narkoba, pejabat menjadi beking bos narkoba. Bahkan sebagaian pejabat saat diperiksa air urine-nya terindikasi terkena narkoba. Jika para pembuat kebijakan sudah terkena narkoba, lalu negeri dan rakyat ini akan mau dibawa kemana? Itulah pentingnya setiap kita mendirikan ibadah sholat.
Oleh karena itu, Allah SWT tidak main-main dalam memerintahkan sholat, sehingga perintah sholat langsung diturunkan kepada Nabi saw tanpa perantara malaikat jibril as. Jika Allah SWT begitu serius dengan urusansholat hingga mengundang langsung Rasulullah saw melalui peristiwa isra mi’raj, mengapa kita sebagai hambanya begitu meremehkan dan “cuek” terhadap sholat?. Naudzu billahi min dzalik.#

Jamhuri

Sabtu, 19 Juli 2008

Isra Mi’raj dan Kita

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS.Al-Isra: 1)

Peristiwa Isra’ dan Mi’raj terjadi persis setelah Nabi saw mengalami ‘Aamul Huzni (tahun kesedihan) akibat ditinggal wafat oleh paman beliau Abu Thalib, dan isteri tercinta beliau bernama Khadijah. Keduanya telah banyak membantu dan menyokong dakwah Rasulullah saw di tengah kezaliman orang-orang Jahiliyah. Saat itu Nabi saw merasa sedih, sehingga sebagai manusia timbul rasa khawatir bahwa perjuangan dakwah beliau tidak ada lagi yang menyokongnya.
Di tengah kegalauan itu, Allah SWT mengundang dan ‘menjamu’ beliau dengan peristiwa Isra dan Mi’raj. Dalam peristiwa tersebut Allah memperlihatkan segala kebesaranNya, mulai dari luasnya langit, bumi dan jagad raya, hingga Allah meperlihatkan dan mempertemukan beliau dengan para nabi-nabiNya. Bahkan Allah SWT memperlihatkan surga dan neraka serta bisa bertemu Allah di langit yang ketujuh, yang malaikat sendiri tidak sanggup menjangkaunya.
Peristiwa ini tentu saja memberi pesan kepada Nabi saw, bahwa meskipun kedua orang yang dicintainya dan telah membantunya dalam dakwah nabi telah wafat, tapi Nabi tidak sendirian, masih ada penolong utama yaitu Allah SWT yang Maha Kuasa, Yang memiiiki langit dan bumi, yang mengatur seluruh alam ini. Sehingga dakwah Nabi tidak boleh berhenti hanya lantaran wafatnya kedua orang tersebut. Dakwah ini harus terus berjalan dan disebarkan, karena Allah yang akan membantu dan membelanya. Firman Allah SWT: “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)
Semangat optimisme dalam suatu perjuangan memang harus digelorakan. Peristiwa Isra dan Mi’raj hendaknya menjadi inspirasi untuk semangat terus, meski orang yang kita cintai, fasilitas yang kita andalkan dan kondisi yang terpuruk tidak menjadi penghambat dalam memperjuangkan suatu cita-cita dan idealisme. Termasuk kondisi Negara kita yang menghadapi berbagai masalah, baik ekonomi, penegakkan hukum, dan kesejahteraan.
Ayat al-Isra yang dikutip di atas memberikan beberapa pesan kepada kita, antara lain:
1. Perintah untuk mensucikan Allah SWT (Maha suci Allah). Sebab, boleh jadi bencana dan krisis yang kita hadapi saat ini karena kita telah melupakan Allah. Meskipun kita rajin shalat, dalam kehidupan kita masih menuhankan yang lain. Kita kadang menuhankan jabatan, atasan, harta, keluarga bahkan dukun. Allah sangat cemburu jika ada yang lain yang kita tuhan-kan. Firman Allah SWT: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (Qs. An-Nisa: 48) 2. Kita harus menjadi hamba Allah (‘abdullah) secara totalitas. Tidak boleh congkak kepada diri sendiri, manusia, dan apalagi kepada Allah. Rasulullah saw mendapat kehormatan ‘jamuan’ Isra Mi’raj karena totalitas kehambaannya kepada Allah. Lihatlah redaksi qur’annya “asroo bi’abdihi” (Allah Yang meng-isra-kan hambanya). Kita terkadang baru menjabat suatu jabatan, memerintah bawahan kita melebihi kapasitas dan wewenang kita. Kita bahkan seperti Tuhan kepada anak dan isteri kita. Padahal Rasulullah pemimpin besar, namun beliau selalu bersikap tawadhu’ (rendah hati).
3. Sarana yang efektif untuk mendekatkan diri kepada Allah serta melaporkan segala permasalahan hidup kita adalah dengan sholat malam (qiyamullai). Allah sendiri memilih hambanya ber-isra di malam hari (Lailan; di suatu malam). Allah SWT berfirman: “Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra: 79)
4. Kita harus kembali menghidupkan masjid (back to masjid/ minal masjid ilal masjid). Masjid adalah jantung kehidupan sosial umat Islam. Sejak dahulu masjid adalah sarana ibadah dan berjamaah, silaturrahim, saling mengenal, bahkan menjadi solusi berbagai masalah kemasyarakatan dan kenegaraan. Banyak umat Islam dewasa ini menjauh dari masjid. Bahkan ada orang muslim yang rumahnya berdekatan dengan masjid, tidak pernah datang ke mesjid kecuali pada saat taraweh dan hari raya saja.
5. Kita harus meyakini bahwa perbuatan apapun yang kita lakukan, Allah Maha Mendengar dan Melihat. (samai’un bashir) Keyakinan ini akan melahirkan sikap ihsan, yakni merasa dilihat dan didengar Allah, merasa diawasi oleh Allah. Sehingga melahirkan dua sikap: pertama, kita akan berhati-hati dalam berbuat, karena sekecil apapun perbuatan baik dan buruk kita akan diperhitungkan Allah SWt di hari kemudian. Kedua; kita akan selalu optimis, bahwa kebaikan apapun yang kita lakukan akan diperhitungkan pahalanya oleh Allah SWT. Artinya, meskipun perbuatan baik kita dianggap remeh oleh lain, yakinlah bahwa di sisi Allah perbuatan itu akan diperhitungkan. Menyingkirkan duri dari jalan adalah hal sepele, namun pahalanya besar di sisi Allah.
Ringkasnya, ayat pertama surat al-Isra, atau peristiwa Isra dan Mi’raj telah memberikan pesan kepada kita 3 hal utama:
1. Secara individual; kita harus meningkatkan kualitas kehambaan kita kepada Allah, yakni dengan memurnikan tauhid dan menjalankan ibadah, terutama ibadah di malam hari.
2. Secara sosial; umat Islam harus menghidupkan kembali fungsi masjid. Tidak ada satu anggota masyarakat muslim pun yang tidak menghidupkan masjid. Sehabis salam dalam sholatnya, Nabi langsung mengarahkan tubuhnya ke arah jamaah untuk melihat siapa yang tidak datang ke mesjid.
3. Secara kebangsaan: kita harus optimis dalam hidup, karena kekuasaan dan pertolongan Allah akan bersama orang yang beriman. Kondisi serba kekurangan tidak akan melemahkan kita dalam berjuang dan mencapai cita-cita yang kita inginkan.
Wallahu a’lam bis showab. ##


M.Jamhuri

Rabu, 09 Juli 2008

Tentang Bulan Rajab

"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa."
(QS. Al-Taubah: 36)

Berikut adalah Tanya Jawab yang dikutip dari kitab “Fatawi al-Azhar Juz 9 hal 254 bab Syahr Rajab” (Fatwa Al-Azhar Tentang Bulan Rajab). Pertanyaan: Banyak orang yang menggunakan keutamaan bulan Rajab dengan melakukan puasa, sholat, dan zirah kubur. Dan mereka mengetangahkan hadits-hadits yang banyak. Bagaimana pendapat yang shahih tentang hal itu?
Jawaban: Al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Hajar al-Asqalani menulis sebuah risalah dengan judul “Tabyin al-’Ajab bi maa Warada fi fadhli Rajab” (Penjelasan suatu keanehan tentang hadits yang menerangkan keutamaan Rajab), beliau mengumpulkan dalam risalah tersebut semua hadist yang berkaitan dengan keutamaan bulan Rajab, puasanya serta sholatnya. Beliau mengklasifikasikannya kepada hadist dhoif (lemah) dan hadist maudhu’ (buatan). Beliau juga menyebut Rojab dengan 18 nama. Yang terkenal adalah “Al-Ashomm” (yang tuli), karena tidak terdengarnya gemercing pedang disebabkan karena Rajab itu termasuk bulan haram yang diharamkannya peperangan. Dan “Al-Ashobb” (limpahan), karena limpahan rahmat pada bulan itu. Dan ”Munashil al-Asinnah” (keluarnya gigi). Seperti disebutkan dalam hadits Bukhori dari Abu Roja al-Athoridi berkata: “Kami dahulu menyembah batu. Jika kami menemukan batu yang lebih baik, kami buang batu kami dan kami pakai yang lain. Jika kami tidak menemukan batu, kami kumpulkan beberapa tanah lalu kami datangi kambing dan memeras susunya, kemudian kami berthowaf dengannya. Jika masuk bulan Rajab, kami berkata “Munshil al-asinnah” tercopot gigi dan tidak kami tinggalkan panah besi, tidak kami biarkan anak panah besi kecuali kami copot. “
Keutamaan Rajab masuk dalam keumuman fadhilah bulan-bulan haram (al-asyhur al-hurum) yang difirmankan Allah SWT yang artinya: Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram[. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri[ kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Taubah: 36)
Dan ditegaskan oleh hadist Bukhori Muslim tentang haji wada bahwa tiga bulan (haram)tersebut berurutan yakni Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Sedang satu bulannya terpisah yakni bulan Rajab yang terletak antara bulan Jumadilakhirah dan Sya’ban.
Dan di antara larangan berbuat kezaliman itu adalah melakukan peperangan. Hal itu untuk menjamin keamanan perjalanan bagi para penziarah Masjidil Haram. Sebagaimana ayat selanjutnya: “Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka” (At-Taubah; 5). Di antara larangan berbuat zalim juga adalah berbuat maksiat. Dan para ulama mengambil istinbath dari dalil itu, bahwa boleh melipatgandakan diat (hukuman denda) dengan tambahan sepertiga atas tindakan pembunuhan yang dilakukan di bulan-bulan haram.
Di antara syiar memuliakan bulan-bulan haram –termasuk Rajab– adalah disunnahkannya puasa. Seperti dalam hadist yang diriwayatkan Abu Daud, dari Mujibah al-Bahiliyah dari ayah atau pamannya berkata bahwa Nabi saw bersabda padanya setelah berbicara panjang: “Berpuasalah dari bulan haram dan tinggalkanlah” tiga kali, sambil memberiisyarat dengan tiga jarinya yang ditempelkannya dan direnggangkannya. Yang zhahir dari isyarat itu adalah untuk bilangan tiga kali bukan menunjukkan tiga hari.
Oleh karena itu amal sholeh (baik) yang dilakukan pada bulan Rajab memiliki pahala yang besar seperti pada bulan haram lainnya. Di antaranya puasa di hari pertama sama pahalanya puasa di hari terakhir. Ibnu Hajar berkata: “Sesungguhnya bulan Rajab tidak ada hadits khusus yang menerangkan tentang keutamaan puasa di dalamnya, baik hadist shohih maupun hadist hasan.”
Di antara hadits dhoif (lemah) tentang puasa Rajab adalah: “Sesungguhngnya di surga itu ada sungai yang disebut dengan Rajab. Airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu. Barangsiapa berpuasa satu hari dari bulan Rajab, maka Allah akan memberi minum padanya”
Juga hadits: “Barangsiapa berpuasa satu hari di bulan Rajab maka seperti berpuasa sebulan. Barangsiapa berpuasa tujuh hari maka ditutup baginya tujuh pintu. Barangsiapa yang berpuasa delapan hari maka dibukakan baginya delapan pintu surga. Barangsiapa berpuasa sepuluh hari maka segala keburukannya diganti dengan kebaikan-kebaikan.”
Ada pula hadits panjang tentang keutamaan puasa di hari-hari Rajab. Di tengah hadits disebutkan “Rajab adalah bulan Allah, Sy’aban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulan umatku”. Ada yang menyebutkan hadits ini adalah maudhu’ (palsu). Dalam kitab al-Jami’ al-Kabir karya Imam al-Suyuthi bahwa hadist itu riwayat abi al-Fath bin Abi al-Fawaris dalam ceritanya dari hasan; adalah hadist Mursal (tidak sampai pada Nabi)
Di antara hadits-hadit yang ghoiru maqbulah (tidak dapat diterima sebagai dalil) tentang keutamaan sholat khusus di bulan Rajab adalah: “Barangsiapa sholat maghrib di malam pertama dari bulan Rajab kemudian setelah itu sholat sebanyak dua puluh rakaat, dan dia membaca disetiap rakaatnya al-Fatihah dan Qul huwallahu ahad (al-ikhlas) dan sepuluh kali salam, maka Allah akan menjaga jiwa, keluarga, harta dan anaknya, dan diselamatkan dari siksa kubur, serta dapat melewati shirot seperti kilat dan hisab dan azab.” Hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu)
Ibnu Hajar dalam risalah ini juga menyebutkan suatu pasal yang mengutip hadits-hadits yang melarang berpuasa seluruh bulan Rajab, Lalu Ibnu hajar berkata: larangan ini ditujukan kepada orang yang berpuasa di bulan Rajab karena mengagungkan perkara Jahiliyah. Tapi jika ia berpuasa Rajab dengan tujuan puasa secara sembarang tanpa menjadikannya sebagai kewajiban, atau tanpa mengkhususkan hari-hari tertentu untuk melazimkan (muwazhobah) berpuasa, atau tanpa megkhususkan malam-malam tertentu untuk qiyamullail dengan meyangka bahwa itu sunnah, maka perbuatan itu adalah yang dikecualikan dan boleh dilakukan. Jika ia mengkhususkan hal itu atau menjadikannya suatu keharusan maka hal itu dilarang. Dan itu masuk dalam larangan hadist Nabi SAW: “Janganlah mengkhususkan hari Jum’at dengan berpuasa juga malamnya denga qiyam” (HR: Muslim). Dan jika ia meyakini bahwa puasa Rajab atau puasa dari Rajab itu adalah lebih utama (afdhol) dari puasa lainnya, maka hal ini perlu ditinjau kembali. Dan Ibnu Hajar lebih cenderung melarangnya.
Dan dinukil dari Abu Bakar al-Thorthusyi dalam kitab “Al-Bida’ wa al-Hawadits” bahwa puasa Rajab itu dimakruhkan berlandaskan tiga sisi. Salah satunya: jika kaum muslim mengkhususkan Rajab dengan berpuasa di setiap tahunnya-seperti yang diyakini orang awam– maka mestinya hukumnya wajib seperti bulan Ramadhan, atau sunnah seperti sunah lainnya, atau karena puasa di Rajab lebih dikhususkan dari bulan lainnya dalam hal pahala puasa. Jika demikian, maka mestinya Nabi saw telah menjelaskannya. Ibnu Duhaiyah berkata; Puasa adalah perbuatan baik, bukan karena keutamaan bulan Rajab karena Umar melarang hal itu. Selesai apa yang dinukil dari Ibnu Hajar.
Demikianlah, saat ini manusia terutama kaum wanita bersungguhn-sungguh berziarah kubur di jum’at pertama bulan Rajab yang tidak memiliki dasar apapun dari agama. Tidak ada pahala lebih besar dari puasa berziarah di hari-hari lain.
Yang terbaik di dalam bulan Rajab ini adalah agar kita mengingat akan peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi di bulan Rajab, seperti peristiwa perang Tabuk agar kita dapat mengambil ibrah (pelajaran). Kita juga mengingat pembebasan al-Quds oleh Sholahuddin al-Ayyubi dari tangan kaum Salibis (terjadi pada Rajab 583 H/1187 M) agar kaum Muslimin dan bangsa Arab bersatu membersihkan Masjidil Aqsha dari tangan penjajah. Kita juga mengingat akan peristiwa Isra dan Mi’raj untuk mengambil faedah dari peristiwa itu. Atau mengingat peristiwa apapun yang terjadi di bulan Rajab yang sekiranya dapat bermanfaat untuk kaum muslimin. ##