Sabtu, 19 Juli 2008

Isra Mi’raj dan Kita

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS.Al-Isra: 1)

Peristiwa Isra’ dan Mi’raj terjadi persis setelah Nabi saw mengalami ‘Aamul Huzni (tahun kesedihan) akibat ditinggal wafat oleh paman beliau Abu Thalib, dan isteri tercinta beliau bernama Khadijah. Keduanya telah banyak membantu dan menyokong dakwah Rasulullah saw di tengah kezaliman orang-orang Jahiliyah. Saat itu Nabi saw merasa sedih, sehingga sebagai manusia timbul rasa khawatir bahwa perjuangan dakwah beliau tidak ada lagi yang menyokongnya.
Di tengah kegalauan itu, Allah SWT mengundang dan ‘menjamu’ beliau dengan peristiwa Isra dan Mi’raj. Dalam peristiwa tersebut Allah memperlihatkan segala kebesaranNya, mulai dari luasnya langit, bumi dan jagad raya, hingga Allah meperlihatkan dan mempertemukan beliau dengan para nabi-nabiNya. Bahkan Allah SWT memperlihatkan surga dan neraka serta bisa bertemu Allah di langit yang ketujuh, yang malaikat sendiri tidak sanggup menjangkaunya.
Peristiwa ini tentu saja memberi pesan kepada Nabi saw, bahwa meskipun kedua orang yang dicintainya dan telah membantunya dalam dakwah nabi telah wafat, tapi Nabi tidak sendirian, masih ada penolong utama yaitu Allah SWT yang Maha Kuasa, Yang memiiiki langit dan bumi, yang mengatur seluruh alam ini. Sehingga dakwah Nabi tidak boleh berhenti hanya lantaran wafatnya kedua orang tersebut. Dakwah ini harus terus berjalan dan disebarkan, karena Allah yang akan membantu dan membelanya. Firman Allah SWT: “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)
Semangat optimisme dalam suatu perjuangan memang harus digelorakan. Peristiwa Isra dan Mi’raj hendaknya menjadi inspirasi untuk semangat terus, meski orang yang kita cintai, fasilitas yang kita andalkan dan kondisi yang terpuruk tidak menjadi penghambat dalam memperjuangkan suatu cita-cita dan idealisme. Termasuk kondisi Negara kita yang menghadapi berbagai masalah, baik ekonomi, penegakkan hukum, dan kesejahteraan.
Ayat al-Isra yang dikutip di atas memberikan beberapa pesan kepada kita, antara lain:
1. Perintah untuk mensucikan Allah SWT (Maha suci Allah). Sebab, boleh jadi bencana dan krisis yang kita hadapi saat ini karena kita telah melupakan Allah. Meskipun kita rajin shalat, dalam kehidupan kita masih menuhankan yang lain. Kita kadang menuhankan jabatan, atasan, harta, keluarga bahkan dukun. Allah sangat cemburu jika ada yang lain yang kita tuhan-kan. Firman Allah SWT: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (Qs. An-Nisa: 48) 2. Kita harus menjadi hamba Allah (‘abdullah) secara totalitas. Tidak boleh congkak kepada diri sendiri, manusia, dan apalagi kepada Allah. Rasulullah saw mendapat kehormatan ‘jamuan’ Isra Mi’raj karena totalitas kehambaannya kepada Allah. Lihatlah redaksi qur’annya “asroo bi’abdihi” (Allah Yang meng-isra-kan hambanya). Kita terkadang baru menjabat suatu jabatan, memerintah bawahan kita melebihi kapasitas dan wewenang kita. Kita bahkan seperti Tuhan kepada anak dan isteri kita. Padahal Rasulullah pemimpin besar, namun beliau selalu bersikap tawadhu’ (rendah hati).
3. Sarana yang efektif untuk mendekatkan diri kepada Allah serta melaporkan segala permasalahan hidup kita adalah dengan sholat malam (qiyamullai). Allah sendiri memilih hambanya ber-isra di malam hari (Lailan; di suatu malam). Allah SWT berfirman: “Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra: 79)
4. Kita harus kembali menghidupkan masjid (back to masjid/ minal masjid ilal masjid). Masjid adalah jantung kehidupan sosial umat Islam. Sejak dahulu masjid adalah sarana ibadah dan berjamaah, silaturrahim, saling mengenal, bahkan menjadi solusi berbagai masalah kemasyarakatan dan kenegaraan. Banyak umat Islam dewasa ini menjauh dari masjid. Bahkan ada orang muslim yang rumahnya berdekatan dengan masjid, tidak pernah datang ke mesjid kecuali pada saat taraweh dan hari raya saja.
5. Kita harus meyakini bahwa perbuatan apapun yang kita lakukan, Allah Maha Mendengar dan Melihat. (samai’un bashir) Keyakinan ini akan melahirkan sikap ihsan, yakni merasa dilihat dan didengar Allah, merasa diawasi oleh Allah. Sehingga melahirkan dua sikap: pertama, kita akan berhati-hati dalam berbuat, karena sekecil apapun perbuatan baik dan buruk kita akan diperhitungkan Allah SWt di hari kemudian. Kedua; kita akan selalu optimis, bahwa kebaikan apapun yang kita lakukan akan diperhitungkan pahalanya oleh Allah SWT. Artinya, meskipun perbuatan baik kita dianggap remeh oleh lain, yakinlah bahwa di sisi Allah perbuatan itu akan diperhitungkan. Menyingkirkan duri dari jalan adalah hal sepele, namun pahalanya besar di sisi Allah.
Ringkasnya, ayat pertama surat al-Isra, atau peristiwa Isra dan Mi’raj telah memberikan pesan kepada kita 3 hal utama:
1. Secara individual; kita harus meningkatkan kualitas kehambaan kita kepada Allah, yakni dengan memurnikan tauhid dan menjalankan ibadah, terutama ibadah di malam hari.
2. Secara sosial; umat Islam harus menghidupkan kembali fungsi masjid. Tidak ada satu anggota masyarakat muslim pun yang tidak menghidupkan masjid. Sehabis salam dalam sholatnya, Nabi langsung mengarahkan tubuhnya ke arah jamaah untuk melihat siapa yang tidak datang ke mesjid.
3. Secara kebangsaan: kita harus optimis dalam hidup, karena kekuasaan dan pertolongan Allah akan bersama orang yang beriman. Kondisi serba kekurangan tidak akan melemahkan kita dalam berjuang dan mencapai cita-cita yang kita inginkan.
Wallahu a’lam bis showab. ##


M.Jamhuri

Tidak ada komentar: