Sabtu, 18 Desember 2010

Berserah Diri adalah Kekuatan

بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. Al-Baqarah: 112)


Banyak ayat yang menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk lemah, salah satunya firman Alllah SWT: “Dan dijadikan manusia dalam keadaan lemah” (QS. An-Nisa; 28). Jika kita melihat anak kecil sedang bermain ikan-ikan kecil yang diletakkan di sebuah bejana yang beriisi air, barangkali ikan tersebut merasa hidup di dunia yang luas, mereka berputar-putar di area bejana tersebut. Padahal jika ikan tersebut dikeluarkan dari bejana tersebut, maka ternyata di luar sana ada alam yang lebih besar dari bejana tempat mereka hidup.

Demikian pula dengan kita sebagai manusia. Kita hidup di dalam planet bernama bumi, kita hilir mudik dan berkelana di atas muka bumi, namun di luar bumi ternyata terdapat planet-planet yang lebih besar, bahkan jika jauh keluar dari galaksi, bumi akan Nampak seperti titik di antara titik-titik yang ada. Karena itulah saat kita melakukan gerakan-gerakan dalam shalat, kita mengucap ALLAHU AKBAR (Allah Maha Besar). Karena Dia-lah yang menciptkan dan mengatur semesta alam ini. Dan oleh karena itu kata “ALHAMDULILLAH” (Segala puji hanya milik Allah) disanding dengan kata RABBUL ALAMIN (Tuhan Pengatur semesta alam).
Oleh karena kita adalah makhluk yang lemah, maka tatkala kita berserah diri kepada Yang Maha Kuat akan mendapat kekuatan dan ketenangan. Anak kecil yang sedang ketakutan akan merasa nyaman dan tentram saat berada di pangkuan orang dewasa dan orang tuanya. Demikian pula saat kita berada di “pangkuan” Allah swt dengan menyerahkan diri dengan sebenar-benar penyerahan (haqq tawakkulih), maka kita akan mendapatkan ketanangan (laa khoufun alaihim) dan sikap optimis dalam menghadapi hidup (wa laa hum yahzanun).

Akan tetapi, untuk mendapat itu semua tidak cukup hanya berserah diri tanpa kerja nyata. Ayat yang disebutkan di atas menjelaskan kepada kita bahwa prasyarat mendapat rasa tenang dan optimis serta kekuatan adalah bekerja dengan professional (wa huwa muhsin). Kata “Muhsin” mengandung arti melakukan pekerjaan yang baik dan professional. Oleh karena itu banyak ayat menjelaskan bahwa amal yang diterima dan dianggap unggul dalam kompetisi beramal adalah ahsanu amala (amal yang berkualitas terbaik). Coba simak ayat-ayat berikut:

وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya (ahsanu amala) (QS. Hud: 7)
إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya (ahsanu amala) (QS.Al-Kahfi: 7)
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya (QS. Al-Mulk: 2)

Dengan demikian, dalam hidup ini kita harus produktif (muntij), sifat produktif menuntut kita berkerja, dan bekerja membutuhkan sikap professional (itqon). Oleh karena itu Allah swt melebihkan nilai seorang pejuang (mujahid) di atas orang yang nongkrong-nongkrong tanpa kerja (qo’id). Karena bekerja itu menyehatkan, dan diam itu mengundang penyakit. Imam Syafii berkata; “Aku melihat air yang diam itu merusak dirinya, jika saja ia mengalir maka ia menjadi baik, namun jika ia diam maka ia tidak baik”.

Salah satu yang dapat menularkan energi semangat bekerja adalah berada di komunitas orang-orang yang selalu bekerja keras karena Allah. Atau berada dalam sebuah jamaah muhsinin, karena hanya mereka lah yang mempunyai sikap optomis bahwa segala permasalahan yang dihadapinya pasti akan ditemukan solusinya “orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam jalanKu maka pasti Aku tunjukkan jalan-jalannya, dan Allah bersama muhisinin (orang-orang yang berbuat baik) (Qs.Al-Ankabaut: 69). Jamaah atau komunitas muhsinin bagaikan air yang banyak. Air banyak, misalnya lebih dari dua kulah, dapat mensucikan air sedikit yang terkena najis jika ia bergabung dengan air banyak. Artinya jika kita terkena dampak negatif pihak luar sehingga kita menjadi manusia yang malas, patah semangat dan pesimis dalam hidup, maka berada di jamaah orang-orang baik, akan terbawa semangat beramal. Jika air dua kulah saja dapat merubah status air najis sehingga menjadi suci, bagaimana jika ia berada di tengah laut yang jumlah airnya lebih besar? Bahkan lebih dari itu, laut juga dapat menetralisir limbah-limbah berbahaya. Oleh karena itu, ketika Rasulullah saw ditanya tentang kebolehan berwudhu dengan air laut, beliau menjawab, “Laut, airnya suci, bangkai hewannya halal”.

Marilah kita selalu beramal dan bekerja secara professional sambil menyerahkan diri kepada Allah swt, maka kita akan mendapat pahala yang besar, ketenangan dan sikap optimis. Semoga.

Selasa, 26 Oktober 2010

Rahasia Sa'i

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur”
(QS, Ibrahim: 37)


Ayat di atas menjadi cikal bakal sejarah terjadinya prosesi ibadah sa’i yang kini dilakukan oleh para jamaah haji dan umroh.

Setelah Ibrahim as meletakkan Ismail yang masih bayi dan isteri Siti Hajar di Makkah yang tandus itu, beliau bergegas meninggalkan mereka kembali ke Syam melewati daerah Hujun (dekat Ma’la). Saat itu, Siti Hajar berlari mengikuti sang suami dan bertanya, “Hawai suamiku, mengapa engkau meletakkan kami disini?” Ibrahim as tidak mengindahkan pertanyaan isterinya, beliau tetap berjalan tanpa sedikit menoleh ke belakang. Kemudian isterinya kembali berteriak dan mengajukan pertanyaan yang sama. Nabi Ibrahim as tetap berjalan, meskipun hatinya sedih meninggalkan dua orang kekasihnya di tempat yang asing dan tandus tersebut. Jika beliau menoleh dan melihat kembali wajah kedua manusia yang dicintainya itu, pastilah akan timbul rasa iba sehingga akan urung melaksanakan perintahkan Allah untuk meletakkan kedua insan yang dicintainya itu.

Untuk ketiga kalinya, sang Istari kembali bertanya dengan kalimat yang lebih panjang lagi, “Wahai suamiku, apakah engkau meletakkan kami disini karena perintah Allah SWT?. Mendengar kata “Allah”, Nabi Ibrahim dengan perlahan menoleh ke arah isteri dan anaknya yang masih dibuai sambil wajahnya meneteskan airmata, seraya berkata, “Benar wahai isteriku, aku menempatkan kalian di sini karena perintah Allah SWT”.

Mendengar jawaban suaminya yang memang tidak pernah berbohong itu, sang isteri pun dengan segenap keyakinannya menjawab, “Wahai suamiku, jika iini adalah perintah Allah SWT, maka pergilah engkau dengan tenang, pasti Allah tidak akan menyia-nyiakan kami disni.”
Mendengar jawaban isterinya yang penuh keyakinan itu, Ibrahim as pun bertawakkal kepada Allah sambil memanjatkan doa seperti pada ayat di atas, yakni “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur” (QS. Ibrahim : 37)

Episode berikutnya, Siti Hajar dan puteranya yang masih bayi (Ismail as) pun tinggal di Makkah, beberapa waktu kemudian mereka kehabisan bekal. Air susu Siti Hajar pun tidak lagi berproduksi, sementara Ismail menangis kehausan. Di sinilah Siti Hajar memulai sa’i (usaha) nya untuk mencari apa saja yang dapat dimakan atau diminum.

Beliau berlari kesana kemari namun hasilnya nihil, hingga bolak-balik sebanyak tujuh kali antara bukit shafa dan marwah, dengan harapan ada sumber air atau ada kafilah yang melewati lembah tersebut. Namun hasilnya tetap nihil, hingga Allah SWT mengutus Jibril as mendatangi mereka, dan melalui hentakan kaki Ismail as yang masih bayi, terpancarlah air murni dan suci, yang kemudian air itu dinamakan dengan air Zamzam.

Kini, napak tilas sa’i ini dilakukan oleh para jamaah haji dan umroh. Sebuah reka ulang yang dilakukan di TKP (tempat kejadian perkara) langsung. Setiap yang berhaji atau berumroh tidak hanya menonton reka ulang ini, tapi ikut melakukannya, hingga benar-benar merasakann bagaimana penderitaan seorang wanita yang berjuang mempertahankan hidup keluarganya.
Sa’i, secara bahasa adalah usaha, sedang secara istilah adalah berjalan dan berlari kecil antara bukit shafa dan marwah sebanyak 7 (tujuh) kali. Jarak antara bukit Shafa dan Marwah adalah 405 meter, sehingga jika dilakukan 7 kali, maka akan ditempuh sejauh 2.965 m (3 km). Jika saja setiap permeter membutuh 3 (tiga) langkah kaki, maka sai ditempuh dengan 8895 langkah kaki. Belum lagi jika ditambah dengan ibadah Thawaf sebelumnya, maka akan ditempuh dengan 10.000 langkah kaki. Secara kesehatan hal ini tentu saja dapat membakar lemak, kolesterol serta memperkuat zat kapur pada tulang. Tidak heran, jika ada sebagian mahasiswa kita yang menempuh studi di Makkah, dalam setiap pekannya melakuan umroh sunnah. Menurutnya, dari pada sekedar olah raga, lebih baik olah raga yang plus ibadah, yakni dengan umroh.

Mengapa memulai sa’i dari bukit Shafa dan diakhiri di bukit Marwah? Kata “Shafa” berarti “kejernihan” sedangkan “Marwah’ adalah kepuasan (berasal dari kata rowiiya-yarwi). Ini mengisyaratkan bahwa suatu sa’i (usaha) harus dimulai dengan niat yang jernih (shafa) sehingga akan mendapat kepuasan (marwah). Usaha yang tidak diniatkan dengan niat jernih akan menimbulkan cara yang tidak baik, maka meskipun tujuan suatu usaha itu tercapai, dia tidak akan mendapat kepuasan yang hakiki dan sebenarnya. Bahkan tidak jarang, di penghujung tujuan itu, dia hanya mendapatkan penyesalan. Kasus-kasus korupsi yang belakangan merebak adalah buah dari niat dan cara yang tidak jernih.

Kemudian saat kita berada di atas kedua bukit teresebut disunnahkan membaca, Laa ilha illallah wahdu lasyarikah, lalu takbir “Allahu Akbar”. Sedangkan saat kita di bagian bawah antara kedua bukit itu (terutama antara dua lampu hijau)disunnahkan “Robbighfirham wa’fu watakarrom wa tajaawaz amma ta;lam innaka ta’lam ma na’lam innaka anta; aazzul akram” (Ya Tuhanku ampunilah, sayangilah, maafkankan, muliakanlah, hapuskanlah (kesalahan) yang Engkau ketahui. Sesungguhnya Engkau mengetahui sesuatu yang tidak kami ketahui. Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Mulia”.

Prosesi bacaan seperti ini mengisyaratkan kepada kita, bahwa pada saat kita berada di puncak, hendaklah selalu mengingat akan kebesaran Allah, bahwa Allah-lah yang mengangkat derajat kita, bukan karena usaha kita sendiri. Sedangkan pada saat kita sedang di posisi bawah, hendaklah kita mengingat Allah sambil memohon ampun atas segala kesalahan, bahkan kesalahan yang samar yang tidak sadar dan tidak kita ketahui.
Selanjutnya, ibadah sa’I memberi pelajaran kepada kita bahwa dalam hidup iini harus ada dua hal yang kita lakukan, yakni usaha zahir dan usaha batin. Dan setiap usaha yang kita lakukan pastilah akan di balas oleh Allah swt, baik langsung atau tidak langsung.

Usaha (sa’i) yang dilakukan Siti hajar membuahkan suatu hasil (yakni ari zamzam). Meskipun tidak langsung melalui tangan beliau, akan tetapi justru melalui kaki Ismail yang dihentak-hendatakan ke tanah saat menangis kehausan. Inipun menjadi ibrah (pelajaran) buat kita bahwa anak dan anggota keluarga kita telah dijamin rezekinya masing-masing oleh Allah swt, hanya saja sarana dan wasilah boleh jadi melalui orang tua yang berusaha. Sebaliknya orang tua yang ushanya mendapat hasil, jangan boleh melupakan isteri-anak dan keluarganya. Karena boleh jadi, kesuksesan orang tua adalah rezeki anak dan anggota keluarganya. Dalam suatu hadits diriwayatkan, “Dari Anas ra berkata, Ada dua orang bersaudara di masa Nabi saw, dan salah seorang dari mereka mendatangi Nabi, sedang yang lainnya bekerja, lalu orang yang bekerja ini mengadukan saudaranya kepada Nabi saw dan bersabda, “Boleh jadi kamu diberi rezeki karena dia” (HR: Tirmidzi dengan Sanad shahih menurut yang disyaratkan Imam Muslim) (Riyadush Shalihin Bab Yaqin dan Tawakkal hadits No.11)

Pelajaran dan hikmah lainnya adalah terkait peristiwa sebabnya sa’i, yakni ketaatan Ibrahim as melaksanakan perintah Allah untuk meletakkan anggota keluarganya di tempat asing, serta keyakinan beliau dan isterinya Siti Hajar akan jaminan rezeki Allah dalam melaksanakan perintahnya.

Hal ini sangat penting, terutama para da’i sebagai pengembang dan pewaris rislaah para Nabi.Tidak jarang mereka harus di tempatkan di suatu tempat yang asing, bahkan tidak jelas sumber penghasilan hidupnya. Namun jika mempnyai keyakinan tinggi bahwa rezeki di tangan Allah, terlebih sedang melaksnakan tugas suci. Maka Allah akan membuka pintu-pintu kemudahan baginya. Allah swt berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik “ (QS. Al-Ankabut: 69)
Pelajaran terakhir dari sai’I adalah sebuah jawaban dari sebuah pertanyaan, “Mengapa thawaf wada’ (thawaf perpisahan) tidak dilakukan dengan sa’i-nya?” Jawabanya adalah –wallahu a’lam– karena setelah pulang berpisah dengan ka’bah dan kembali ke tanah air, janganlah kita meninggalkan tugas pokok kita sebagai manusia, sehingga sa’I (usaha) masih tetap kita laksanakan, hanya saja sa’I (usaha) dalam bentuk lain., yakni berkerja dan berusaha mencari nafkah kembali dengan semangat mencari karunia Allah yang halal dan thayib. Jangan sampai pulang kembali ke Tanah Air, kita menjadi pengangguran, lahan tanah sebagai satu-satunya penghidupan habis, apalagi menjadi orang yang tangannya selalu di bawah (pengemis), naudzu billah.

Semoga para jamaah haji dan kita semua selalu mendapat taufiq dan hidayah dari Allah SWT, sehingga menjadi hamba yang pandai mengambil pelajaran dari setiapperistiwa untuk bekal kebahagian kita di dunia dan akhirat. Amin.

Muhammad Jamhuri

Rabu, 20 Oktober 2010

Rahasia Thawaf

“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud". (QS, Al-baqarah: 125)

Thawaf secara harfiyah berarti berputar. Sedang menurut syariat adalah mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh putaran dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Para jamaah haji dan umroh selalu melaksankan thawaf ini, karena ia merupakan rukun dari ibadah tersebut. Sebagaimana sabda Nabi saw, “Ambillah dari ku manasik kalian.

Berputar akan membetnuk sudut 360 derajat. Dan ternyata seluruh alam ini pun ikut berputar membentuk sudut 360 derajat. Bumi mengitari matahari membentuk putaran dan sudut 360 derajat. Demikian juga halnya planet-planet lain di angkasa. Mereka dalam porosnya masing-masing berputar dalam lingkaran galaksi. Dan arah putaran planet-planet pun sama dengan arah putaran thawaf, yakni berlwanan dengan arah jarum jam.

Bisa kita bayangkan, bagaimana jika bumi atau planet lain itu berhenti berputar? Boleh jadi akan terjadi kegoncangan dan ketidakstabilan. Demikian juga orang yang meninggal shalat. Mengapa? Karena orang yang menunaikan shalat pada dasarnya sedang membentuk sudut 360 derajat. Bagaimana penjelasannya?

Pada saat kita sedang tegak berdiri, maka posisi kita membentuk sudut setengah lingkaran atau sudut 180 derajat. Sedangkat pada saat kita sedang ruku’ maka posisi kita sedang membentuk segitiga siku-siku atau 90 derajat, Adapun saat kita sedang dalam keadaan sujud, maka akan terbentuk sudut 45 derajat, sedangkan sujud kita dalam satu rakaat berjumlah dua kali (45X2=90 derajat), sehingga jika kita jumlahkan antara posisi saat berdiri, ruku, dan sujud, maka berari 180+90+45+45= 360 derajat. Ini sama dengan bentuk putaran yang membentuk sudut 360 derajat.

Dengan demikian, “thawaf” adalah kebutuhan kita, kebutuhan alam, dan kebutuhan rohani kita.
Kemudian arah thawaf adalah mengelilingi ka’bah yang posisi ka’bah tesebut berada di sebelah kiri kita, bukan di sebelah kanan. Ini menunjukkan kesamaan arah putaran bumi dan galaksi. Ini juga yang menyebabkan tidak cepat lelahnya orang berthawaf karena seirama dengan arah putaran bumi. Jika kita melihat orang melakukan jogging atau lari kecil di sebuah area, akan kita dapati mereka yang berjoging akan berputar se arah orang yang sedang berthawaf. Sebagai contoh di lapangan olahraga Ahmad Yani Tangerang, atau di arena atletik Senayan, Mereka yang berolahraga mengelililingi lapangan pastilah searah dengan putaran orang berthawaf, padahal mereka tidak bermaksud meniru orang berthawaf.

Di samping itu putaran ke arah kiri juga sesuai dengan arah putaran baling-baling helicopter. Mengapa helicopter mempunyai baling-baling berputar se arah dengan putaran orang yang thawaf? Karena putaran seperti itulah yang dapat mengangkat badan pesawat ke atas. Ini sesuai dengan sebuah keterangan bahwa orang yang berthawaf, pahalanya akan diangkat seperti para malaikat yang bertahwaf mengleiilingi arsy dan kursinya Allah SWT di atas langit.

Adapun putaran thawaf yang berlawanan dengan arah jarum jam mengandung hikmah menapaki dan merenungkan waktu yang telah dilaluinya, apakah waktu yang kita lewati diisi dengan hal poistif atau negative?. Ini sesuai dengan anjuran Allah SWT yang berfirman: “dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok” (QS. Al-Hasyr: 18)

Jika kita melihat orang-orang yang sedang berthawaf dari layar televisi atau dari lantai tiga atap masjidil Haram, maka kita akan merasa nikmat melihat pemandangan itu. Namun jika kita masuk ke dalamnya dan ikut berthawaf, maka kita akan merasakan sesak dan sulitnya melakukan thawaf itu. Namun meski sulit dan berdesakan bahkan tersikut, kita tidak akan membalas sikutan atau menyakiti orang, bahkan kita tetap konsentrasi mengelilingi ka’bah hingga usai.

Ini sama dengan jika kita melihat kehidupan ini secara zahir. Begitu indahnya kita melihat dunia dan isinya. Akan tetapi jika kita hidup dan bergelut dii dunia ini, ternyata tidak seindah pandangan mata kita. Dalam kehidupan ini tidak jarang kita tersikut dan terdesak pihak lain. Akan tetapi jika kita memaknai hidup seperti thawaf, maka meskipun kita disikut orang, kita tidak akan sikut kanan sikut kiri. Kita harus konsentrasi menyelesaikan thawaf (putaran) hidup kita dengan husnul khatimah.

Sisi lain dari rahasia Thawaf adalah disunnahkannya kita idhtiba’, yakni membuka bagian bahu kanan serta berlari-lari kecil di tiga putaran pertama. Hal ini pernah dilakukan Rasulullah saw saat pertama umroh ke Makkah setelah beliau hijrah ke Madinah. Saat itu, Rasulullah saw mendapat berita dari malaikat Jibril bahwa kedatangan orang-orang muslim ke Makkah akan diejek oleh orang Quraisy dari arah Jabal Abu Qubais, bahwa orang-orang Muslim Madinah kurus-kurus dan berpenyakitan.

Mendengar berita itu, Rasulullah saw memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan idhtiba’ (membuka bagian bahu kanannya) dan berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama thawaf. Hal ini untuk menunjukkan izzah (kemuliaan) kaum muslimin, bahwa kaum kaum muslimin kekar dan sehat-sehat, tidak seperti yang disangka dan dituduhkan oleh orang Quraisy.

Subhanallah!, tidak ada suatu syariat dan harakat (gerakan) dalam ibadah, melainkan mempunyai hikmah dan tujuan yang Allah SWT rencanakan.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Muhammad Jamhuri

Kamis, 14 Oktober 2010

Tiga Keluarga Panutan

"Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia (QS.Al-Mumtahanah: 4)

Tidak ada Nabi yang disebutkan dalam al-Qur’an sebagai uswatun hasanah (panutan yang baik), melainkan Nabi Muhammad saw dan Nabi Ibrahim as.

Nabi Muhammad saw sebagai panutan yang baik tercantum dalam surat Al-Ahzab: 21, sedangkan Nabi Ibrahim as dan pengikutnya disebut sebagai panutan yang baik tercantum pada surat AL-Mumtahanah: 4 seperti yang tercantum di atas.

Oleh karena itu, keduanya patut kita jadikan tokoh panutan dan idola dalam kehidupan kita. Termasuk panutan dalam berkeluarga atau berumah tangga.
Sedangkan satu keluarga lagi yang patut menjadi rujukan dalam berkeluarga adalah keluarga Imran. Mengapa kita mengambil keluarga Imran sebagai panutan? Karena Allah mengabadikan keluarga Imran (Ali Imran) sebagai nama surat dalam al-Qurannya.

Nabi Ibrahim as beserta orang yang bersamanya (keluarga dan pengikutnya) adalah contoh model kekokohan berkeluarga. Meskipun dirinya dan anggota keluarganya tidak luput dari rayuan dan godaan iblis agar mengelak dari perintah Allah, namun semua anggota keluarganya (ayah, ibu dan anak) tetap teguh dan sabar menjalankan perintah Allah SWT. Mulai dari kesiapan bertempat tinggal di suatu lembah yang tidak ada tetumbuhan (Makkah) dengan bekal seadanya (jauh dari kesenangan dunia), hingga melaksanakan perintah penyembelihan putera Ibrahim as bernama Ismail as (penyerahan jiwa) sepenuhnya kepada Allah).

Saat ini kita seing menemukan seorang tokoh yang terkenal sukses, namun gagal dalam membina keluarganya. Dengan alas an kesibukan masing-masing, bahkan karena alasan berdakwah, keluarga kadang terbengkalai.

Namun Nabi Ibrahim as telah memberikan kepada kita contoh yang paripurna. Dia sukses dalam diri dan keluarganya, termasuk sukses dalam menghadapi segala rintangan dan cobaan hidup.

Sedangkan Nabi Muhammad saw adalah tokoh yang tidak disangsikan lagi sebagai panutan dalam segala hal, termasuk dalam berkeluarga. Dalam sebuah hadits beliau bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang terbaik kepada keluargaku”

Tauladan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw bukan sekedar teori, namun langsung dalam bentuk visual perilaku beliau. Baik sikap terhadap anak, isteri, orang tua, mertua, mantu bahkan cucunya,

Kepada isterinya misalnya, Rasulullah saw tidak segan-segan memanggil isterinya dengan panggilan yang dapat menyenangkan hati isterinya, seperti panggilan ya humairah terhadap Aisyah, yang artinya “Wahai pipi yang kemerahan” atau “ya Aisy” sebagai panggilan manja kepada Aisyah.

Bukan hanya itu, kadang canda pun beliau lakukan terhadap isterinya, meskipun beliau adalah pemimpin besar, yang selalu dikesankan orang sebagai pribadi yang serius terhadap pemimpin besar. Rasululllah saw pernah mengajak adu balapan berlari dengan Aisyah, pertama kali Aisyah menang, namun dalam perlombaan berikutnya Rasulullah saw yang menang. Beliau berkata “draw ya?” (Hadzihi li tilka).

Kepada cucunya, beliau membiarkan Hasan dan Husain bergelayut di atas pundak Rasulullah saw saat beliau bersjud, Hingga beliau bersujud panjang hingga kedua cucunya itu puas main “kuda-kudaan” di atas punggung Rasulullah saw.

Kepada mertua dan mantunya, seperti Abu Bakar, Utsman bin affan dan Ali bin Abi Thalib, beliau sering memuji mereka dalam kebaikan. Bahkan tidak jarang beliau memuji mereka di hadapan orang lain, dan orang lain itu yang menceritakannya kepada mereka yang bersangkutan, sehingga menimbulkan rasa kesan yang baik kepada mereka.

Hebatnya, perilaku beliau yang baik kepada keluarganya tersebut juga belaiu lakukan terhadap umatnya. Dengan kata lain, umatnya dianggap sebagai keluarga beliau sendiri, hingga dalam sebuah hadits, saat beliau akan berkurban, berkata, “Kurban ini untukku dan untuk umatku”.
Sosok lain yang menjadi panutan dalam berkeluarga adalah keluarga Imran atau Ali Imran.

Nama keluarga Imran diabadikan sebagai nama surat dalam al-Quran. Imran adalah orang yang shaleh, taat pada perintah Allah SWT serta sabar dalam mendidik putera-puterinya. Salah satu puteri beliau yang juga menjadi nama sebuah surat al-Quran adalah Maryam.

Imran telah sukses dalam mendidik Maryam sebagai wanita shalihah, yang dapat menjaga kesuciannya serta berbakti kepada Tuhan dan orang tuanya.

Betapa banyak para orang tua di zaman kini yang gagal menjaga anak wanitanya. Pendidikan yang salah serta gaya hidup bebas mengakibatkan anak-anak gadis mereka layu sebelum berkembang.

Keluarga Imran telah memberikan tauladan kepada kita dalam mendidik puterinya cinta kepada Tuhannya. Dia rajin beribadah serta taat kepada perintah Allah swt.

Namun, meskipun beliau dikenal dengan wanita suci, cercaan dan tuduhan busuk tetap saja mengenai beliau, terutama saat melahirkan nabi Isa tanpa suami dengan kekuasaan dan kehendak Allah. Akan tetapi segala tuduhan itu telah dipatahkan oleh puteranya sendiri yang masih bayi, Isa as yang masih bayi –dengan izin Allah– dapat berkata-kata menjelaskan kepada manusia bahwa dirinya adalah utusan Allah swt.

Jika awal surat al-Baqarah dimulai dengan penyebutan tiga tipe manusia, yakni Muttaqin, Kafirin dan Munafiqin, maka surat Ali Imran seakan menegaskan kepada kita bahwa golongan yang dipilih dalam hidup ini adalah golongan Muttaqien, yang salah satu episode panutannya adalah keluarga Imran atau Ali Imran. Itulah sebabnya, surat itu dinama surat Ali imran. Wallahu a’lam bish-shawab. )I( M. Jamhuri

Sabtu, 09 Oktober 2010

Antisipasi Diri Terhadap Bencana Alam

“Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun” (QS.Al-anfal: 33)

Saat ini, datangnya bencana sulit diprediksi. Baik berupa gempa bumi maupun banjir bandang atau pun angin puting beliung. Jika bisa diprediksi kapan dan dimana bencana itu akan datang, barangkali tidak akan terjadi korban yang jumlahnya begitu banyak jatuh bergelimpangan. Kenyataannya, korban banjir bandang, gempa bumi, dan angin puting beliung telah memakan korban yang tidak sedikit.

Sulitnya memprediksi datangnya bencana ini memerlukan kewaspadaan setiap kita, minimal diri kita sendiri. Antisipasi datangnya bencana ini perlu dilakukan agar bencana itu tidak datang ke kita, atau meskipun datang tiba-tiba, kondisi kita dalam keadaan baik sehingga mendapat posisi husnul khotimah.

Oleh karena itu ada beberapa langkah yang mungkin bisa kita ambil dalam mengantisipasi datangnya bencana yang tidak dapat diprediksi:

Pertama, agar bencana alam itu tidak datang, maka kita harus mengambil dua tindakan: tindakan zahir dan tindakan batin. Tindakan zahir mencakup pemeliharaan keseimbangan alam dan lingkungan. Suatu yang tidak bisa dibantah lagi bahwa bencana alam yang akhir-akhir ini terjadi adalah akibat ulah tangan manusia. Banjir bandang yang melanda Wasior Papua Barat adalah akibat pemalakan hutan yang berlebihan. Banjir di Jakarta adalah akibat kurangnya kesadaran warga membuang sampah serta pemanfaatan air tanah yang berlebihan. Karena itu, pemeliharaan keseimbangan alam adalah mutlak dilakukan. Hubungan kita dengan alam harusnya merupakan hubungan yang harmonis, bukan eksploitasi yang merusak. Rasulullah saw bersabda saat menyaksikan gunung Uhud: “Uhud adalah gunung yang mencintai kita dan kita pun mencintainya”. Belum lagi banyak ayat yang berbunyi “Janganlah melakukan kerusakan di atas bumi”.

Keseimbangan dan kelestarian alam akan banyak menahan faktor-faktor timbulnya bencana alam. Oleh sebab itu pemeliharaan alam dan lingkungan bukan sekedar kewajiban warga negara, akan tetapi tuntutan keimanan kita .

Adapun tindakan batin adalah dengan memperbanyak taubat dan istighfar. Allah SWT berfirman: “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun (istighfar)” (QS.Al-anfal: 33).

Abu Musa al-Asy’ari berkata, “Kami (para sahabat) dahulu memiliki dua penjagaan (dari bencana), yakni adanya Rasululllah saw dan kami sering beristighfar, sedangkan kalian kini hanya memiliki satu penjaga, yakni jika kalian masih beristighfar. Maka jika kalian sudah meninggalkan istighfar, tidaklah kalian memiliki penjaga dari bencana”.

Beristighafar bukan hanya sekedar melantunkan kalimat astaghfirullah, namun juga ada semangat taubat secara massal. Taubat dari korupsi, taubat dari merusak alam, taubat dari keserakahan, taubat dari kemaksiatan, taubat dari meninggalkan perintah, taubat dari segala perbuatan yang merugikan. Dengan langkah ini, maka bencana tidak akan datang kepada kita.
Lalu, bagaimana jika musibah itu toh harus datang juga ke hadapan kita secara tiba-tiba dan tidak terprediksi, sehingga kita meninggal dunia tertimpa musibah itu? Tindakan antisipasi kita adalah berusaha agar kita mendapat husnul khatimah (kesudahan yang baik) di akhir hayat kita? Caranya?

Menjaga wudhu, adalah salah satu cara agar kita mendapat husnul khatimah. Karena dengan berwudhu dan menjaganya dalam setiap kondisi, maka bila kita meninggal dunia, meninggal dalam keadaan kesucian, dan mendapat kecintaan Allah SWT. Firman Allah SWT: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri” (QS. Al-Baqarah: 222)

Bebarapa sahabat dan ulama terdahulu banyak dikenal menjaga wudhu sepanjang hari, dan mereka melakukan itu puluhan tahun lamanya. Pantaslah jika mereka mendapat keridhoan Allah SWT.

Cara lainnya adalah dengan memperbanyak puasa sunnah. Puasa adalah salah satu ibadah yang dirasakan selama sehari penuh. Yakni sejak terbitnya matahari hingga terbenam. Sehingga jika kita wafat secara tiba-tiba akibat bencana alam atau karena akibat lainnya, maka kita akan wafat dalam keadaan sedang berpuasa. Dan hal itu merupakan salah satu tanda husnul khatimah.

Oleh sebab itu, ketika Nabi saw ditanya tentang puasa senin dan kamis, beliau menjawab, “Senin adalah hari kelahiranku, sedangkan hari kamis adalah hari dimana di setiap pekan catatan amal seorang hamba diangkat kepada Allah, dan aku menyukai jika amalku diangkat dalam keadaan sedang beramal baik.”

Karena itu, jika kita meninggal dunia dalam keadaan sedang beribadah, maka itu adalah pertanda kebaikan.

Dalam hadits lain,Nabi saw bersabda, “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah”. Sering kali kita salah kaprah dalam memahami hadits ini sehingga banyak orang yang berpuasa bukan memperbanyak ibadah malah memperbanyak tidur. Padahal maksudnya adalah saat kita tidur pun, kondisi kita masih dalam keadaan berpuasa, dalam keadaan beribadah.

Nah, bagaimana jika dalam keadaan sedang berpuasa kemudian datang bencana secara tiba-tiba dan kita wafat dalam keadaan berpuasa? Bukankah hal itu adalah tanda husnul khatimah? Bukankah suatu anugerah jika saat ajal kita dicabut dalam keadaan kita sedang beribadah?
Ringkasnya mari perbanyak taubat dan istighfar agar musibah tidak menimpa, dan seandainya musibah tetap datang, kita sudah mempersiapkan diri wafat dalam keadaan husnul khatima dengan menjaga wudhu dan puasa.. )I( M.Jamhuri

Sabtu, 02 Oktober 2010

Empat Kriteria Taqwa

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (QS. Ali Imran: 102)

Ayat di atas sering terdengar di setiap mimbar-mimbar Jumat, yakni saat sang khatib menyampaikan pembukaan khutbahnya. Taqwa adalah wasiat yang harus disampaikan setiap khatib dalam khutbah Jumatnya. Karena wasiat agar bertakwa adalah termasuk rukun khutbah Jum’at.

Namun, apa saja kriteria takwa itu? Imam Ali ra mendefinisikan taqwa dalam empat kriteria, yakni Al-khouf bil Jalil wal hukmu bit tanzil wal isti’dad li yaumil rahil war ridho bil qolil. (Takut kepada Allah yang Maha Mulia, berhukum dengan al-Quran yang telah diturunkan, bersiap diri untuk hari akhir, dan ridho dengan bagian sedikit)

Pertama, Al-Kouf bil Jalil (Takut kepada Allah yang Maha Mulia). Yang dimaksud takut disini bukan seperti kepada algojo atau atasan yang jahat. Namun, yang dimaksud takut disini adalah takut karena kebesaran dan kemahabiajksanaan Allah SWT, sehingga dia takut jika melanggar aturan Allah SWT, bahkan dia takut padaNya meskipun manusia tidak melihatnya. Hal ini pernah tercermin pada seorang wanita yang meminta Nabi saw agar ia dihukum rajam karena perbuatannya, sebab dia takut akan siksa Allah di akhirat. Namun Rasulullah saw masih mengulur-ngulur waktu dalam menjatuhkan sangsi karena kehamilannya. Meskipun pelaksanaan sangsi diundur, namun wanita ini tidak sabar menunggu, dan pada waktunya ia pun dengan kesadaran sendiri mendatangi Nabi saw untuk dihukum. Setelah Nabi saw menjatuhkan hukuman rajam padanya hingga wafat, Nabi pun menshalatkan jenazahnya. Saat itu Umar bin Khattab ra bertanya memprotes Nabi, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau mau menshalatkan wanita penzina ini?” Nabi saw menjawab, “Wahai Umar, seandainya taubat wanita ini ditimbang dengan taubat sepuluh penduduk Madinah, pastilah taubatnya melampaui mereka”.
Perasaan takut kepada Allah inilah yang membuat manusia berhati-hati dalam melakukan segala kejahatan.

Kedua, al-hukmu bit tanzil (Berhukum kepada al-Quran yang diturunkan). Banyak di antara umat Islam yang ingin berhukum kepada Al-Quran, namun mereka masih memakai hukum kuffar. Mau bertuhankan Allah namun masih percaya dengan praktek klenik dan khurafat.
Suatu hari dua muallaf Yahudi telah resmi masuk Islam, namun dalam amalannya, mereka masih menikmati ritual agama Yahudi, dimana setiap hari sabtu masih melakukan ibadah cara Yahudi, maka turunlah ayat Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al-Baqarah: 208)

Ayat ini menunjukkan agar kita totalitas dalam berIslam serta hanya mengacu kepada tuntunan al-Quran dan sunnah Rasulullah saw, serta tidak mencampuradukkan ritual Islam dengan ritual agama lain.

Ketiga, Al-isti’dad li yaumil rahil (Menyiapkan diri untuk hari akhirat). Nabi saw pernah menyatakan bahwa orang yang cerdas adalah orang yang dapat menahan hawa nafsunya dan beramal untuk persiapan setelah meninggal dunia. Karena pada hakekatnya, hidup di dunia laksana menyebarang jalan. Artinya, dunia bukanlah tujuan akhir, melainkan alam akhirt-lah tujuan akhir hidup kita. Oleh karena menyiapkan diri untuk tujuan akhir adalah penting, agar selamat sampai tujuan.

Suatu hari, tatkala Umar bin Abdul Aziz menerima tampuk kekhalfihan, beliau bersitirahat sejenak setelah menghadiri upacara pemakaman khalifah sebelumnya. Baru saja umar rebahan untuk beristirhat, tiba-tiba ada orang yang berkata, “Wahai, tidakkah anda segera mengembalikan harta yang pernah diambil khalifah sebelummu secara zhalim?”. Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Tunggulah sebentar, aku akan beristirahat terlebih dahulu, nanti setelah zuhur akan aku serahkan harta yang pernah diambil secara zalim itu”. Namun kemudian orang itu berkata, “Siapakah yang menjaminmu tetap hidup setelah zuhur nanti?”. Mendengar kata-kata itu, segera saja Umar bin Abdul aziz tersentak dan tidak bisa tidur lagi, dan beliau segera mengembalikan harta yang pernah diambil secara zalim oleh khalifah sebelumnya.
Perasaan Umar seperti di atas adalah karena beliau ingin agar di akhirat tidak dituntut siapapun. Ini adalah penyikapan orang yang selalu mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat.

Keempat, al-ridho bil qolil (Ridho dengan bagian yang sedikit). Sikap ini sepadan dengan makna qona’ah (rasa puas dengan pemberian Allah). Sikap ini sangat sulit jika tidak didorong dengan sikap husnuzzhon (baik sangka) kepada Allah SWT, sebab sifat dasar manusia adalah selalu ingin lagi dan ingin lagi.

Keluarga pasangan Ali bin bi Thalib dan Fatimah adalah cermin manusia yang ridho dengan pembagian Allah, bahkan saat Allah telah memberi rezeki pada mereka, mereka harus memberikannya kembali kepada orang yang lebih tidak mampu dari mereka.
Itulah empat kriteria takwa yang didefiniskan Saidina Ali bin Abi Thalib. Adakah kriteria itu dalam diri kita? Jika belum, berarti ramadhan kita yang lalu harus dievaluasi, demikian juga fungsi wasiat takwa yang selalu disampaikan khatib setiap Jumatnya. Wallahu a’lam. )I(

Sabtu, 25 September 2010

Mudik dan Fitrah Manusia

(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS.Ar-Ruum: 30).

Mudik merupakan fenomena tahunan di setiap hari raya idul Fitri. Fenomena ini menjadi problema sekaligus peluang tersendiri dalam hal ekonomi. Problema, karena banyak sekali terjadi kecelakaan akibat kegiatan mudik ini, belum lagi masalah yang ditimbulkan akibat kemacetan kendaraan. Akibatnya, semua pihak terlibat dalam mengurangi dampak masalah mudik ini. Selain itu, mudik pun menjadi peluang bagi terbukanya perputaran dan distribusi ekonomi. Dengan mudik, terjadi desentralisasi perputaran kekayaan, dan melahirkan pemerataan ekonomi, terutama dari kota ke desa. Belum lagi peluang ekonomi lainnya, baik di bidang transportasi, akomodasi dan lainnya.

Mengapa mudik menjadi daya tarik sendiri bagi setiap warga di saat Idul Fitri?
Idul Fitri berarti kembali kepada fitrah. Fitrah adalah kesucian. Makna ini sejalan dengan asal kejadian manuisa yang diciptakan atau dilahirkan dalam keadaan suci.

Dalam surat At-Tiin, Allah SWT bersumpah dengan tiga tempat suci sebelum Dia menyatakan bahwa Dia menciptakan manusia dalam sebaik-baik kejadian. Tempat itu adalah Yerusaleh, tempat kelahiran Nabi Isa as, yang banyak ditumbuhi dengan buah Tin dan Zaitun. Kemudian bersumpah dengan bukit Thursina, sebuah bukit yang pernah disinggahi oleh Nabi Musa as pada saat berdialog dengan Allah SWT. Berikutnya Allah bersumpah dengan negeri Makkah, negeri yang aman yang merupakan tempat kelahiran Rasulullsh saw. Firman Allah SWT: “Demi buah tin dan zaitun, dan bukit Thursina serta negeri yang aman ini, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk” (QS.At-Tiin: 1-2).

Fitrah juga berarti sunah yang berlaku bagi manusia, atau sifat bawaan dan yang telah Allah berikan kepada manusia. Sebagaimana firman Allah SWT: “Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS.Ar-Ruum: 30).
Dalam makna inilah, mudik merupakan sebuah fitrah atau naluri manusia, yang ingin selalu bertemu dengan sesuatu yang menjadi asal kejadiannya.

Ada dua kecendrungan manusia mempunyai naluri atau fitrah kepada asal kejadiannya, yakni Allah SWT dan kedua orang tua. Allah SWT adalah pencipta manusia, sedangkan orang tua adalah sarana terlahirnya manusia ke dunia.

Beribu bahkan berjuta manusia pada saat menjelang idul fitri ingin menemui orang tua mereka di kampung halamannya masing-masing, meskipun mereka menemukan kesulitan, kemacetan, keletihan dan bahkan mengeluarkan biaya, namun hal itu tidak menghalangi mereka untuk kembali kepada orang tua yang menjadi penyebab dia dilahirkan ke dunia.
Setelah mereka menemui orang tua atau keluarganya di kampang halaman, mereka merasakan kenikmatan yang tiada taranya, apalagi mereka dapat membawa sesuatu yang dapat dipersembahkan kepada keluarganya di kampong.

Kecendrungan dan naluri ingin bertemu keluarga dan orang tua disebabkan karena itu adalah fitrah yang telah Allah fitrahkan kepada setiap manusia. Bahkan kewajiban untuk berbuat baik kepada kedua orangtua diposisikan pada posisi kedua setelah perintah menyembah Allah SWT. Allah SWT berfirman: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya” (QS. Al-Isra: 23)

Jika kita hendak mengkorelasikan peristiwa mudik yang merupakan naluri atau fitrah manusia ini dengan makna fitrah yang berarti suci, maka tidak mengherankan jika rasa fitrah mudik ini datang setelah ada proses pensucian diri melalui ibadah puasa selama bulan Ramadahan. Dorongan untuk bertemu dengan orang tua justru datang setelah proses pensucian itu.
Jika firah ingin bertemu orang tua di kampung halaman begitu tinggi daya tarik magnetnya, maka terlebih perasaan ingin bertemu dengan Allah di “kampung halaman”-Nya, yakni di Baitullah. Untuk itu, tidak mengherankan bila setiap tahun, manusia berbondong-bondong berdatangan ke Tanah Suci Makkah. Bahkan tidak sedikit manusia yang siap antri menunggu koata keberangkatan ke Tanah Suci itu.

Sekali lagi, jika kita kaitkan makna fitrah berhaji dengan fitrah Ramadhan dan fitrah idul fitri, maka ramadhan adalah penyucian diri sebelum menghadap Allah di bulan haji, kemudian penyucian dosa kepada orang tua dan keluarga serta sesame di bulan Syawal dengan saling memaafkan, lalu dilanjutkan “bertemu” dengan Allah di Makkah al-Mukarramah.
Mudik dan haji adalah dua fenomena tahunan yang menyentuh segala aspek kehidupan. Ini adalah fitrah dan ketentuan Allah yang tidak dapat dirubah oleh siapapun kecuali oleh Allah sendiri. (M.Jamhuri)

Rabu, 23 Juni 2010

Tahapan Mencegah Perzinahan

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nuur: 2)

Banyak orang yang sinis dengan hukum Islam yang tegas terhadap pelaku kriminial berat, seperti sangsi terhadap pelaku perzinahan, pembunuhan dan pencurian. Mereka –yang mayoritas kaum liberalisdan islamfhobis– selalu mengkritik syariat Islam yang kejam dan bengis. Salah satunya adalah hukum cambuk dan rajam bagi pelaku zina. Mereka tidak melihat syariat dan ajaran Islam yang utuh, lengkap dan sinergis.

Islam tidak begitu saja semena-mena menerapkan hukuman dan sangsi berat bagi pelaku Kriminal, melainkan Islam juga menawarkan perangkat-perangkat pencegahan perbuatan tersebut. Namun, jika perangkat-perangkat itu masih saja tidak diindahkan dan ajaran Islam dilanggar, maka Islam serius dalam menerapkan sangsi berat, demi tertatanya aturan sosial.
Islam telah menawarkan adab dan aturan untuk manusia, sehingga manusia akan terhindar dari perbuatan zina. Adab, aturan dan perangkat yang dapat mencegah dari perbuatan zina antara lain.

Pertama, manusia diperintahkan menutup aurat. Ajaran Islam telah menetapkan, bahwa aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut. Dan aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan. Jika saja manusia melaksanakan aturan ini dengan konsisten, maka kita yakin manusia akan terhindar dari perbuatan zina. Masalahnya adalah mengumbar aurat kini menjadi tontonan kita sehari-hari, baik lewat media maupun di seluruh tempat kerja, pasar, mall, jalan dan lain-lain. Bahkan membuka aurat menjadi salah satu kebanggaan suatu status sosial. Allah SWT berfirman: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Al-Ahzab: 59)

Kedua, Islam telah mengajarkan adab memandang, yakni agar kita menundukkan pandangan. Perintah ini bukan hanya saat orang yang dipandang terbuka auratnya, namun bahkan kepada yang tertutup auratnya sekalipun (hanya muka dan telapak tangan yang terbuka). Apalagi jika auratnya terbuka, maka perintah menundukkan pandangan lebih luas lagi. Jika setiap kita menjalankan ajaran adab memandang ini, maka kecil kemungkinan terjadi perzinahan. Firman Allah swt: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (QS. An-Nur: 30)
Juga firman Allah SWT: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, (QS. Aln-Nuur: 31)

Ketiga, Ajaran Islam mengajarkan kita akan adab memasuki rumah atau bertamu. Yakni tidak diperbolehkan memasuki rumah kecuali dengan memberi salam dan diberi izin masuk. Sebab boleh jadi, pemilik rumah sedang dalam keadaan tidak pantas terlihat, atau sedang istirahat dan tidak boleh diganggu. Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat” (QS. An-Nuur: 27)
Keempat, bukan hanya itu, Islam pun mengajarkan kita akan adab memasuki kamar anggota rumah kita sendiri, yakni tidak memasuki kamar anggota rumah tangga di waktu-waktu tertentu. Karena waktu-waktu itu adalah waktu-waktu istirahat yang mungkin saja anggota keluarga sedang terbuka auratnya, atau sedang tidak pantas dipandang. Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak/pembantu (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. An-Nuur: 58).

Kelima, ajaran Islam mengajarkan kepada kita akan larangan berduaan berlainan jenis yang bukan mahramnya. Rasulullah saw bersabda, “Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita, karena pihak ketiganya adalah syaitan” (HR: Ibnu Majah)
Begitulah ajaran Islam yang sangat preventif akan terjadi perzinahan. Oleh karena itu, jika masih terjadi perzinahan maka berarti kita tidak pernah mengindahkan ajaran Islam yang sangat sopan itu. Wajar, jika sangsi berat diterapkan Allah bagi pelaku zina. Jadi, ajaran Islam jangan dilihat sangsinya saja, tapi harus dilihat secara utuh dan integral. Wallahu a’lam

(jamhuri)

Selasa, 08 Juni 2010

Sifat-sifat Bani Israel Dalam Al-Qur’an

Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: "Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar." (QS. Al-Isra: 4)

Peristiwa penembakan dan tindakan brutal Israel pada para relawan Gaza di atas kapal Mavi Maramara baru-baru ini memperjelas kebenaran firman Allah swt di atas, bahwa orang-orang Bani Israel selalu bersikap “menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.”

Shadaqollahul Azhim, Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya. Apa yang difirmankan Allah memang selalu benar. Hanya saja, kita yang kurang menyimak ayat-ayat Allah. Banyak informasi yang disampaikan Allah SWT tentang sifat dan sikap Bani Israil (keturunan Israil) atau bangsa yahudi dahulu yang masih rekevan dengan era sekarang.

Anehnya, justru orang Yahudi meyakini adanya kebenaran sifat mereka dalam al-Quran, sementara sebagian umat Islam malah mendukukng sikap Yahudi. Dalam sebuah usaha diplomasi perdamaian melalui jalur budaya dan agama, guru besar Universitas Al-Azhar Cairo, Syeikh Mutawalli Sya’rawi saat diutus Mesir sebagai delegasi perundingan menceritakan, bahwa syarat mutlak yang diajukan Israel untuk menciptakan perdamaian adalah agar ulama Islam menghapus ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan peneyebutan sifat dan sikap Bani Israiil yang terdapat dalam al-Quran. Tentu saja permintaan ini tidak akan pernah diterima umat Islam. Ini menunjukkan bahwa orang Yahudi sendiri sadar bahwa sikap dan sifat mereka yang terdapat dalam al-Quran diakui mereka sendiri.

Beberapa sifat kaum yahudi atau Bani Israil yang diceritakan al-Qur’an cukup banyak. Dalam tulisan ini hanya disebutkan sebagian kecilnya. Antara lain:

Pertama, sering melakukan kerusakan, arogan dan berlaku sombong, sebagaimana yang disebutkan pada ayat di atas (QS. Al-Isra: 4)

Kedua, melakukan pembunuhan. Jangankan hanya sekedar membunuh para relawan kemanuisaan dan bangsa Palestina, membunuh para Nabi yang mulia pun bagi mereka bukan suatu kesalahan. Firman Allah SWT: “Lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas” (QS. Al-Baqarah: 61)

Ketiga, selalu menyalakan api peperangan. Sebelum kedatangan Muhajirin ke kota Madinah, yang saat itu bernama Yatsrib, kondisi di sana selalu kacau dan terjadi permusuhan antara suku Aus dan Khozroj. Kaum Yahudi-lah yang selalu mengadu domba mereka karena mempunyai kepentingan menjual senjata kepada mereka, selain ekonomi Madinah pun saat itu dapat dikuasai kaum Yahudi. Allah SWT berfirman: “Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.” (QS. Al-Maidah: 64)

Keempat, orang Yahudi tidak berani melawan kaum muslimin jika sama-sama mengangkat senjata dengan seimbang. Mereka berani hanya dengan orang lemah dan bertempur di balik benteng kokoh serta tembok-tembok besar. Firman Allah SWT: “Mereka tidak akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok” (QS. Al-Hasyr: 14)

Penyerangan kepada para relawan yang tidak membawa senjata adalah bukti kebenaran firman Allah, dan pembangunan tembok “rasial” yang dibangun Yahudi akhir-akhir ini juga semakin memperkuat kebenaran firman Allah SWT.
Kelima, Orang Yahudi membangun dan mengembangkan system ekonomi ribawi. Sehingga mereka dapat menguasai ekonomi dunia, dan dunia bertekuk lutut karena dililit hutang dan bunganya. Firman Allah SWT, “Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih” (QS. An-Nisaa: 61)

Para ahli sejarah menganalisa, bahwa terjadinya perang dunia I dan II adalah akibat provokasi kaum Yahudi. Kemudian tatkala bangsa-bangsa dunia sibuk dengan peperangan, diam-diam mereka mengumpulkan dan menyimpan emas. Usia perang, banyak negera-negara dunia hancur lebur dan membutuhkan pembagunan kembali Negara mereka, sementara ekonomi mereka terpuruk. Jadilah Negara-Negara tersebut –terutama Negara berkembang- meminta pinjaman dana asing yang mayoritas telah dikuasai bangsa yahudi yang berada di Eropa dan Amerika. #
Wallahu a’alam

Senin, 24 Mei 2010

Islam Ramah Lingkungan

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS: Ar-Ruum: 42)

Merenungi ayat di atas. Sadarlah kita bahwa kerusakan alam yang terjadi akhir-akhir ini adalah akibat perbuatan tangan manusia. Fenomena keluarnya lumpur Lapindo di Sidioarjo adalah bukti akibat perbuatan tangan manusia. Ekploitasi kekayaan alam tanpa mengindahkan dampak negatif akan mengakibatkan bencana yang berkepanjangan. Sudah sekian desa dan kampung terendam lumpur berbahaya ini, bahkan kini, semburan lumpurnya mengalami peningkatan yang lebih besar lagi. Sungai-sungai yang menjadi tempat pembuangan lumpur pun sudah tidak bisa menampung lagi buangan lumpur ini. Jalan porong yang menghubungkan pusat-pusat ekonomi pun kini hamper ditutup.
Lain di Sidoarjo lain pula di daerah lain, peristiwa tanah longsor di berbagai daerah adalah akibat penebangan hutan yang tidak mengindahkan ekosistem alam.
Banyak ayat al-Quran yang telah mengingatkan manusia akan bahaya pengrusakan bumi. Selain ayat tersebut di atas, Allah pun berfirman: “Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku, dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas, yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan." (QS, Asy-Syu’ara: 150-152)
Sayangnya, manusia banyak yang tidak mengindahkan teguran al-Quran, bagaimana tidak? Jangankan menyimak al-Quran, memegang dan membaca saja tidak?.
Para ulama berkata, bahwa ayat terbagi menjadi dua, pertama ayat yang berbicara, yakni ayat qur’aniyah. Dan kedua adalah ayat yang berdiam yakni ayat kauniyah (alam). Kini manusia tidak membaca al-Qur’an sehingga kini yang berbicara menegur manusia adalah alam dalam bentuk bencana, agar manusia kembali kepada Allah SWT.
Kalau kita menyimak pada ajaran Islam, maka Islam telah mengajarkan keharmonisan hubungan antara manusia dan alam. Islampun memerintahkan kepada umatnya untuk menjaga dan melestarikan lingkungan;
Dalam persfektik ilmu Ushuluddin, betapa alam dan manusia sama-sama mempunyai tugas tunduk dan bertasbih kepada sang Khaliq. Allah SWT berfirman: “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Isra: 44)
Dalam persfektif ilmu Tasawuf (etika) pun, diajarkan hubungan yang baik antara alam dan manusia. Rasulullah saw saat melihat gunung Uhud berkata, “Uhud adalah gunung yang mencintai kita, dan kita pun mencintainya” (HR: Bukhori Muslim)
Demikian pula menurut ilmu fiqih, Hubungan ilmu fiqih dengan pemeliharaan lingkungan, pelestarian dan pelindungannya dari segala hal yang membahayakan dan merusak, adalah hubungan yang memilki rambu-rambu dan aturan yang jelas. Sebagaimana diketahui bahwa iimu fiqih adalah ilmu yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan keluarga dan masyarakatnya, dengan alam sekitarnya, sesuai dengan lima hukum syariat yang sudah jelas, yaitu: wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah .

Konsep Islam Dalam Pemeliharaan Alam
Selain semua disiplin ilmu yang mendukung akan adanya pemeliharaan terhdap alam dan lingkungan, kenyataannya, Islam sendiri mempunyai konsep yang jelas dalam pemeliharaan lingkungan. Antara lain:
Pertama, Perintah penanaman pohon dan penghijauan (Go-Green). Rasululullah saw bersabda, Tidaklah seorang muslm yang menanam tanaman atau menggarap ladang, kemudian tanaman itu dimakan oleh burung, atau manusia atau hewan, kecuali dia menjadi sedekah baginya” (HR: Muslim)
Dalam hadits lain, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa menanam pepohonan dan menjaganya dengan sabar, serta merawatnya hingga berbuah, maka segala sesuatu yang menimpa buahnya menjadi sedekah di sisi ALLah SWT. (HR: Ahmad).
Perintah menanam pohon pun bukan hanya dilakukan di waktu lapang, bahkan jika akan terjadi kiamat sekalipun, namun masih ada kesempatan menanam, maka Rasulullah saw memerintah menanam. Beliau saw bersabda, “Apabila hari kiamat telah dibangkitkan, dan pada salah seorang dari kamu memegang batang pohon korma, jika ia mampu untuk menanamnya maka lakukanlah.” (HR: Ahmad dan Bukhori )
Kedua, perintah pemeliharaan alam. Allah SWT berfirman, Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman." (QS. Al-A’raf: 85)
Ayat ini menegaskan kepada kita bahwa perbuatan yang berorientasi hanya kepada ekonomi dan keuntungan namun menghalalkan berbagai cara, maka akan mendapat murka dari Allah karena Allah telah melarangnya dengan keras. Salah satunya adalah ekploitasi kekayaan alam tanpa menghiraukan dampak kerusakan.
Ketiga, perintah menghidupkan lahan mati. Sebagaiimana sabda Rasulullah saw, “Barangsiapa menghidupakan tanah yang sudah mati maka ia menjadi miliknya” (HR: Abu Daud dan Tirmidzi).
Dalam ayat al-Quran, Allah SWT menjelaskan bahwa menghidupkan tanah mati (tidak produktif) adalah merupakan tanda kebesaran Allah SWT. Firman-Nya: “Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, maka daripadanya mereka makan.” (QS. Yasin: 33)
Dalam ayat ini Allah menggunakan dhamir (kata ganti) “Kami” dan bukan “Aku” untuk mengajak kesertaan manusia dalam menghidupkan lahan yang mati.
Menghidupkan tanah yang tidak produktif (sahara) itu bisa juga dengan cara membangun pemukiman, sehingga ada dua manfaat:
1. Menghidupkan padang pasir (gersang) dengan rumah-rumah dan tempat tinggal, sehingga berkembanglah kehidupan di dalamnya dari segala sisi
2. Kemudian ditanam di atasnya tetumbuhan sehingga menyempatkan manusia bercocok tanam
Keempat, perintah menjaga kebersihan lingkungan. Rasulullah saw bersabda, “Kebersihan itu sebagian dari iman”. Bukan hanya itu saja pentingnya kebersihan. Kotoran dan sampah yang membuat aliran sungai terhambat akan mengakibatkan bencana banjir dan menimbulkan wabah penyakit. Bahkan duri yang melintang di jalan akan mengakibatkan kecelakaan pecah ban atau terlukanya seseorang. Karena itu Rasulullah saw memerintahkan untuk menyingkirkan duri dan menjanjikan pahala besar bagi pelakunya. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang menyingkirkan duri dari jalan kaum muslimin, akan ditulis baginya satu kebaikan. Dan Barangsiapa mendapat satu kebaikan, ia akan masuk surga” (HR: Ath-Tahbrani dalam al-Kabir )
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwasanya ada seorang perempuan berkulit hitam yang rajin membersihkan masjid. Suatu ketika Rasulullah saw tidak melihat perempuan itu lagi. Sesudah beberapa hari, Rasulullah saw menanyakan keberadaannya. Kemudian dikatakan bahwa dia telah meninggal dunia, “kalau begitu, tunjukkan padaku kuburannya.” ujar Rasulullah saw. Lalu belia mendatangi kuburannya dan menyalatkannya disana. (HR: bukhori-Muslim).
Kelima, perintah menjaga sumber kekayaan alam. Allah SWT telah melukiskan bagaimana suatu bangsa yang telah diberi kekayaan alam, kemudian mereka melakukan kerusakan yang mengakibatkan terkikisnya kenikmatan kakayaan alam. Allah SWT berfirman,: “Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun." Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr, Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir” (QS: saba: 15-17) .
Selain itu, Rasulullah saw melarang menebang pohon dengan sembarangan, sebagaimana sabda beliau; “Barangsiapa menebang pepohonan maka Allah akan mencelupkannya ke dalam neraka” (HR: Abu Daud). ## (Jamhuri)

Rabu, 14 April 2010

Hukuman Bagi Koruptor

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.Al-Maidah: 38)

Sudah terlalu lelah bangsa ini berwacana tentang tindak pidana korupsi. Dari satu kasus ke kasus lain, tetap saja wacana hanya tinggal wacana, namun tidak lanjut belum juga terselesaikan.
Ada beberapa pelaku korupsi yang sudah masuk penjara memang, tapi ternyata hukuman penjara tidak membuat jera para pelaku. Bahkan semakin hari semakin bertambah. Mulai dari kaiss Bank Century hingga markus (makelar kasus), dan penyelewengan pajak.

M. H. Ainun Najdib, sang budayawan, mengibaratkan negeri ini laksana seorang yang sudah terkena tumor di seluruh tubunya, di kepala, tangan, kaki, dada, perut, punggung hingga alat vital. Menurutnya, tumor itu obatnya amputasi, agar virusnya tidak menular ke bagian tubuh lain. Tapi bagian mana yang harus diamputasi, wong semua tubuhnya sudah terkena tumor?
Mengurai kasus korupsi di tanah air laksana mengurai benang kusut yang sudah akut. Semakin diurai semakin kusut benang itu.

Para ahli hukum sudah tidak menemukan lagi suatu teori atau jurus yang dapat membuat pelaku korupsi jera. Bahkan justru para penegak hukum itu sendiri menjadi makelar hukum demi mendapat bayaran rupiah.

Belakangan, Ketua Mahkamah Konstitusi mengusulkan agar pelaku korupsi dihukum mati, agar pelaku korupsi menjadi jera. Mungkin pernyataan ini diilhami oleh hukum yang diterapkan oleh China. Disana setiap pejabat yang ditengarai melakukan tindak korupsi dihukum tembak mati. Bukan hanya itu, bahkan anggota keluarganya yang ikut menikmati hasil korupsi dengan sadar, pun ikut di “dor” mati.

Dari fenomena ini, ada dua pendapat ekstrim dalam menangani kasus korupsi dalam hal penjatuhan hukuman. Ada ekstrim hukuman terlalu lemah berupa penjara. Ada pula ekstrim hukuman terlalu keras berupa hukuman mati atau tembak.

Islam adalah agama yang adil dan menengah. Sebagaimana firman Allah SWT; “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (QS. Al-Baqarah: 143). Keadilan dan sikap moderat dalam Islam terjadi dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam menjatuhkan sangsi kepada pelaku criminal.
Bukan itu saja, penjatuhan sangsi dalam islam, bukan sekedar sangsi, tapi disertai dengan perangkat-perangkat yang mengarah tindakan pencegahan agar manusia tidak jatuh dalam tindak kriminal. Perintah beriman kepada Allah dan balasan akan hari kiamat adalah salah satu dari sekian perangkat sehingga manusia menjauhi tindak kriminal. Pendisiplanan shalat serta perintah berakhlak mulia (akhlakul karimah) adalah dalam upaya menghindarkan manusia dari sikap zalim.

Selain perintah, larangan-larangan juga dimaksudkan untuk menghilangkan tindak kriminal. Seperti larangan mengkonsumsi narkoba, khmar (beer), berzina, berjudi, dan menipu. Karena pada dasarnya satu kemaksiatan yang dilakukan akan menimbulkan kemaksitan lainnya. Contoh: perzinahan yang dibebaskan, membuat pejabat atau pengusaha bebas melakukan perzinahan, sedangkan perzinahan itu membutuhkan biaya, dari mana biayanya jika gajinya pas-pasan, ya dari korupsi.

Nah, jika tindakan-tindakan preventif (pencegahan) yang Islam tawarkan masih juga dilanggar, maka barulah islam memberikan sangsi yang tegas. Semua sangsi itu bukan hanya akan memberikan efek jera kepada pelakunya, tapi juga akan mengurungkan niat jahat bagi orang yang belum melakukan kejahatan.

Salah satunya adalah pelaku korupsi yang disebut sebagai pencuri uang Negara. Dalam al-quran, Allah memerintahkan hukum potong tangan bagi para pencuri. Firman Allah SWT: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.Al-Maidah: 38).

Jika saja hukum potong tangan diterapkan kepada para pelaku koruptor, niscaya orang yang akan berbuat korupsi akan berpikir tujuh kali. Coba bayangkan kemana-mana kondisi tangan buntung, pertanda dia pernah melakukan korupsi. Belum lagi dia tidak bebas melakukan aktifitas jika tangannya tidak sempurna. Inilah amputasi yang dimaksud islam.
Masyarakat islam laksana satu tubuh, maka jika ada salah satu anggota mengidap penyakit semisal tumor atau lainnya yang menyebabkan menjalar ke anggota lain, maka tindakan yang aman adalah dengan mengamputasi anggota tersebut. Lain halnya jika anggota tubuh sakit biasa, maka tubuh lain ikut merasakan apa yang dirasa anggota tubuh yang sakit.

Demikian pula jika anggota masyarakat melakukan tindak pidana berat, maka Islam menerapkan hukuman yang berat, seperti potong tangan bagi pelaku pencurian, qishas bagi pelaku pembunuhan, rajam dan cambuk bagi penzina. Hal itu dilakukan agar perbuatan itu tidak menular kepada anggota masyarakat lainnya. Sebab jika suatu hukuman ringan, padahal kejahatannya besar, maka anggota masyarakat tidak merasa jera, sehingga lambat laut kejahatan akan mudah dilakukan bahkan menjalar, seperti yang kita temukan pada kasus korupsi dan kejahatan narkoba. Bukan semakin berkurang, bahkan data menunjukkan kejahatan tersebut semakin bertambah.

Tidak ada suatu hukum yang telah ditentukan Allah SWT, kecuali untuk kemaslahatan hamba-nya. Jika hamba-Nya melaksanakan hukum tersebut, maka kebahagiaan akan diraihnya. Sebaliknya, jika hukum Allah dilanggar, maka kesengsaran dan ketidakteraturanlah yang muncul.

Mengapa masih banyak orang dan pihak-pihak yang anti hukum Islam?. Boleh jadi karena mereka adalah sebenarnya para koruptor, penzina, pengedar narkoba yang bicara di balik HAM. Mereka takut jika hukum Islam ditegakkan, tidak dapat leluasa melakukan perbuatannya. Boleh jadi mereka mensponsori para intelektual Islam untuk bicara bahwa hukum islam itu tidak relevan. ##

Minggu, 14 Maret 2010

Mendidik Dengan Cinta

"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu” (QS.Ali Imran: 159).

Mendidik adalah tugas utama orang tua. Keduanya-lah yang akan membuat anak bertumbuh kembang, baik fisik, mental, pengetahuan, bahkan keimanan. Namun, dalam mendidik anak, terkdaang kita sering memarahinya ketimbang mengasihinya. Kalimat perintah dan larangan seakan tidak lepas dari mulut kita. Yang lebih parah kita sering mengeluarkan kata-kata yang membuat perkembangan anak terhambat.

Rasulullah saw telah memberi contoh kepada kita bagaimana mendidik anak dengan cinta.
DR. Maisarah Thahir berkata: Sarana tarbiyah (pendidikan) dengan cinta, atau bahasa cinta, atau abcd cinta, ada delapan, yaitu 1.Kosa kata cinta, 2.Pandang mata cinta, 3.Suapan cinta, 4. Sentuhan cinta, 5.Selimut cinta, 6. Pelukan cinta, 7. Ciuman cinta, 8. Senyum cinta

Pertama: Kosa kata cinta
Berapa kosa kata cinta kita ucapkan kepada anak-anak kita?
Dalam sebuah kajian dikatakan: seorang anak dari bayi sampai ABG telah mendengar tidak kurang dari 16 ribu kosa kata buruk, namun, ia hanya mendengar ratusan kosa kata baik!
Image yang tergambar dalam pikiran seorang anak tentang dirinya merupakan salah satu hasil dari omongan yang didengarnya, seakan sebuah kosa kata adalah sebuah kuas di tangan seorang pelukis, bisa jadi ia melukiskannya dengan warna hitam, bisa juga melukiskannya dengan berbagai warna indah. Jadi, kosa kata-kosa kata yang ingin kita ucapkan kepada anak-anak kita, harus yang baik, kalau tidak baik, jangan kita ucapkan

Sebagian orang tua, sebagian kosa kata mereka merendahkan, menjelek-jelekkan, atau merendahkan ciptaan Allah, akibatnya terhadap anak adalah mengurung diri, permusuhan, ketakutan, tidak percaya diri

Karena itu kita harus selektif dalam memilih kata-kata, karena kata sangat berpengaruh pada jiwa yang mendengarnya.
Kedua: pandang mata cinta

Jadikan kedua mata kita tepat pada kedua mata anak kita, disertai senyuman, dan bergumamlah dengan suara tidak terdengar: “aku mencintaimu wahai si fulan”, sebanyak tiga atau lima atau sepuluh kali, jika hal itu disikapi oleh anakmu celaan, atau merasa aneh, dan ia berkata: “apa yang kamu lakukan wahai ayahku”, maka jawablah: “aku rindu kepadamu wahai fulan”. Jadi, pandangan mata, dan cara ini, mempunyai dampak dan hasil yang luar biasa.

Ketiga: suapan cinta
Cara ini tidak bisa dilakukan kecuali seluruh anggota keluarga berkumpul di satu meja makan. janganlah menempatkan tv di ruang makan], agar terjadi interaksi dan pertukaran pandangan mata. Dan saat menikmati santapan makan, hendaklah orang tua berusaha menyuapkan beberapa suap ke mulut anaknya [dengan catatan, anak kelas V atau VI SD ke atas, pasti merasa bahwa cara ini tidak bisa mereka terima], jika sang anak menolak menerima suapan itu di mulutnya, maka letakkan pada sendok atau piringnya. Hendaklah saat menyuapi disertai dengan pandangan mata cinta diiringi senyuman, kosa kata indah dan suara pelan: “demi Allah wahai anakku, saya sangat ingin menyuapimu dengan suapan ini, ini adalah kurir cintaku wahai sayangku”, setelah ini, pasti dia mau menerimanya.

Keempat: sentuhan cinta
DR. Maisarah berkata: saya nasihatkan agar orang tua memperbanyak sentuhan terhadap anaknya. Bukan sebuah kebijakan jika seorang ayah berbicara dengan anaknya pada dua kursi yang berbeda. Sebaiknya sang anak ada di sampingnya, dan hendaklah tangan sang ayah menempel di bahu anaknya (tangan kanan ada di bahu kanan). Kemudian DR. Maisarah menjelaskan cara nabi SAW menghadapi lawan bicaranya: “Nabi Muhammad SAW menempelkan kedua lututnya dengan lutut lawan bicaranya, dan meletakkan kedua tangan beliau di atas kedua paha lawan bicaranya, dan posisi menghadap secara penuh”. Sekarang terbukti bahwa sekedar sentuhan seseorang merasa dicintai dan kehangatan hubungan meningkat ke puncak tertinggi. Karenanya, jika hendak berbicara dengan sang anak, atau hendak menasihatinya, janganlah duduk berjauhan, sebab, dengan begini, terpaksa harus bersuara keras, dan [suara keras membuat sang anak lari, dan jika sang anak itu laki-laki, maka peganglah bagian pahanya, dan jika sang anak perempuan, maka peganglah bahunya, dan peganglah tangannya dengan penuh kasih sayang, letakkan kepala sang anak pada bahu sang ayah, agar ia merasa dekat, aman, dan tersayang, sambil katakan: “Aku bersamamu, aku akan memohonkan pengampunan untukmu jika kamu bersalah”.

Kelima: selimut cinta
Hendaklah setiap malam seorang ayah atau ibu melakukannya, jika sang anak telah tidur, maka datangilah ia dan ciumlah, niscaya dia akan merasakan kehadiranmu, karena jenggot wajahmu yang biasa engkau bercanda dengannya, jika ia membuka satu matanya sedangkan yang lainnya masih terpejam dan ia berkata: “engkau datang wahai ayahku?”
Maka katakan kepadanya: “Betul, aku datang wahai sayangku!”. Dan selimutilah dia
Dalam pemandangan ini, sang anak akan berada dalam kondisi setengah sadar antara tidur dan tidak, dan pemandangan tadi akan tetanam dalam pikirannya, dan saat ia terbangun pada esok harinya, ia akan teringat bahwa semalam ayahnya datang dan melakukan ini dan itu.
Dengan perbuatan seperti ini, menjadi dekatlah jarak antara orang tua dan anak, dan kita wajib dekat dengan anak dengan pisik dan hati kita.

Keenam: dekapan cinta
Janganlah kita pelit dengan dekapan terhadap anak. Sebab, keperluan anak kepada dekapan sama dengan keperluannya kepada makanan, minuman dan udara, setiap kali ada yang terkonsumsi, niscaya diperlukan yang lainnya.

Ketujuh: ciuman cinta
Rasulullah SAW mencium salah seorang cucunya; Hasan atau Husain. Perbuatan ini terlihat oleh al-Aqra’ bin Habis, maka ia berkata: “Apakah engkau mencium anak-anak kecil?!! Demi Allah, saya mempunyai sepuluh anak, tidak pernah aku mencium seorang pun dari mereka!! Maka Rasulullah SAW bersabda: “Kalau saja aku mempunyai kemampuan untuk mencabut kasih sayang dari dalam hatimu”

Wahai para orang tua, ciuman kepada anak merupakan satu ekspresi kasih sayang, betul, kasih sayang yang menjadi focus ajaran Al-Qur’an, Allah SWT menjelaskan bahwa ia merupakan rahasia ketertarikan manusia kepada suatu keyakinan, dan jika kasih sayang ini hilang dari perilaku kita terhadap anak-anak kita, berarti kita telah menjauhkan mereka dari kita, baik kita sebagai perseorangan maupun kita sebagai para da’i, da’i Islam. Firman Allah SWT yang artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu” (QS.Ali Imran: 159).

Kedelapan: Senyum cinta
Senyum yang kita pancarkan pada anak kita memiliki energi kuat dalam hatinya. Di dalamnya terkandung optomimisme, doa, bahkan sedekah. Penularan energy positif inilah sehingga seyum disamakan dengan sedekah.

Inilah sarana-sarana cinta, siapa yang menerapkannya, niscaya mendapatkan cinta dari mereka yang berinteraksi dengannya.
Sebagian orang tua saat dinasihati demikian berkomentar: “Kami tidak terbiasa”.
Subhanallah!! Adakah kebiasaan itu tidak bisa diirubahnya? Bukankah Qur’an yang turun dari langit yang dapat merubah kaum Jahiliyah tidak bisa merubah sikap kita? Seberapa imankah kita dengan al-Qur’an?
Sarana-sarana ini ibarat air, dengannya tanaman cinta akan tumbuh di dalam hati. Dan jika kita ingin dibaiki oleh anak kita, baikilah anak kita, dan sayangilah mereka.
Perlu diketahui bahwa cinta tidak sama dengan tutup mata atau membiarkan kesalahan. Cinta justru peduli terhadap kesalahan dan kebaikan anak. Mulailah mencinta maka kita akan dicinta.
Wallahu a’lam.#

Minggu, 21 Februari 2010

Kedahsyatan Menghidupkan Sunnah

"Sungguh dalam diri Rasulullah terdapat suri tauluadan yang baik buat kalian” (QS.Al-Ahzab: 21).

Sekian kali kita memperingati Maulid Nabi saw, sekian kali pula kita sering mendengarkan ayat di atas dari para muballigh. Namun, jarang sekali kita mencoba meneladani sikap dan amal Rasulullah saw. Padahal, jika umat meneladani Rasulullah saw, maka umat akan mendapat kejayaan dan kesuksesan.

Sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah sahabat yang paling getol meneledani Rasulullah saw hingga masalah-masalah yang sepele. Sepeninggalnya Rasulullah saw, beliau masih bertanya kepada Aisyah, “Puteriku, adakah kebiasaan Nabi saw yang belum pernah aku lakukan?” Aisyah menjawab, “Tidak ada satupun kebiasaan Nabi yang pernah dilakukannya, kecuali engkau selalu meneladaninya.”
Tidak heran jika kemudian Abu Bakar dipercaya Nabi saw menggantikan beliau sebagai imam dalam shalat., tatkala Nabi saw jatuh sakit.

Muhammad al-Fatih yang hidup di zaman khilafah Utsmaniyah Turki (Dinasti Ottoman) adalah salah satu tokoh yang masuk dalam prediksi Nabi saw sebagai panglima terbaik dengan tentaranya yang terbaik pula. Padahal jarak antara masa hidup Nabi saw dan Muhammad al-Fatih adalah ribuan tahun. Al-Fatih dengan tentaranya mampu menjatuhkan kota Bizantium dan Konstatinopal yang pernah diprediksi Nabi saw akan jatuh ke tangan umat Islam dibawah pimpinan panglima terbaik.

Saat jantung Romawi itu jatuh ke tangan umat Islam, dan mulai akan didirikan shalat berjamaah pertama kali di ujung benua Eropa itu, tidak ada satu pun yang bersedia menjadi Imam, termasuk Muhammad al-Fatih. Akhirnya beliau mengumumkan kepada tentaranya, bahwa yang berhak menjadi imam adalah dia yang sejak akil baligh hingga saat kemenangan tu tidak pernah meninggalkan shalat tahajjudnya. Saat itu tidak satupun yang mengaku dan merasa. Akhirnya Muhammad al-Fatih lah yang menjadi imam, karena dialah yang sejak akil baligh tidak pernah meninggalkan shalat tahajjud.

Mengapa shalat tahajjud mempunyai kaitan dengan kemenangan? Kesuksesan dan kemuliaan? Karena sukses, kemenangan dan kemuliaan Nabi saw juga salah satunya ditopang dengan shalat tahajjud. Oleh sebab itulah shalat tahajjud bagi Nabi saw bukan sekedar amalan sunnah, tapi merupakan kewajiban. Firman Allah swt yang artinya: “Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji” (QS. Al-Israa: 79)

Tugas-tugas berat yang diemban Nabi saw juga ditopang dengan qiyamullail, sehingga beliau mampu mengemban tugas yang berat (qoulan tsaqilan). Firman Allah SWT, “Hai (Muhammad) yang berselimut! bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat. (QS. Al-Muzzammil: 1-5)

Oleh sebab itu, jika kita ingin sukses dalam mengemban amanat yang besar dan berat, maka hendaklah melaksanakan danmembiasakan qiyamullal (bangun malam untuk shalat), sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Itu baru tahajjud atau qiyamullail. Bagaimana jika kita rajin menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah saw yang lain? Pasti kita akan mengalami kedahsyatan mengikuti sunnah Nabi saw.
Sebaliknya, orang yang meinggalkan sunnah Rasulullah saw, maka dia tidak akan sukses, atau terlambat dalam meraih kesuksesan. Pernah terjadi peristiwa, dimana kaum muslimin berperang begitu panjangnya memakan waktu, padahal kaum muslimin biasanya dengan mudah dan cepat memenangkan peperangan. Usut punya usut, ternyata tentara muslim banyak yang meninggalkan kebiasan bersiwak (sikat gigi dengan siwak) setiap sebelum wudhu atau sebelum shalat yang sangat disunnahkan oleh Nabi saw, Rasulullah saw bersabda, “Andai saja aku tidak memberatkan umatku, maka niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap sebelum wudhu” ada riwayat lain “sebelum shalat”. (HR: Muslim)

Pengalaman Menghidupkan Sunnah:
Banyak di antara masyarakat Muslim yang mencoba menghidpukan sunnah Rasulullah saw, antara lain:
Pertama, Program Tahajjud Call (TC). Program ini pertama kali digagas oleh Manajemen Qalbu (MQ). Para anggota TC adalah mereka yang berkomitmen ingin membiasakan shalat tahajjud, Awalnya mereka hanya mempunyai beberapa anggota, namun kini hampir setiap daerah terdapat anggota TC. Cara kerja mudah saja, para anggota dikelompokkan dalam daerah tertentu, kemudian di daerah tersebut ditunjuk penanggung jawab, lalu secara bergilir para anggota diberi tugas membangunkan teman anggota di daerahnya di malam hari, yakni sekitar pukul 3 dini hari, kemudian mereka bangun dan shalat tahajjud di rumahnya masing-masing. Dalam sebulan –sebagai penyegaran dan tali silaturrahim antar anggota TC– mereka pun melakukan mabit bersama di masjid ,dan bersama-sama melaksanakan shalat tahajjud dan witir.

Kedua, Gerakan Nasional Shalat Dhuha, program ini digagas pertama kali oleh Daarul Qur’an, para peserta pengajian yang umumnya kaum eksekutif “diwajibkan” melaksanakan shalat dhuha sebelum memulai aktifitas kerjanya. Para manajer yang memiliki karyawan atau pegawai pun ikut membiasakan karyawannya melaksanakan shalat dhuha dan kultum sebelum memulai pekerjaan mereka.

Ketiga, program Usbu’ Ruhy (pekan peningkatan rohani/spritual), program ini diagagas oleh para aktivis dakwah. Biasanya dalam sepekan tertentu para anggota “diwajibkan” melakuakan aktifitas; shalat tahajjud, shalat dhuha, puasa ayyamul bidh, puasa senin-kamis, membaca al-Quran minimal satu juz sehari, shalat berjamaah di masjid setiap waktu, membaca doa al-ma’;sturat setiap pagi dan petang, membaca istighfar 100 kali setiap hari, dan lain-lain. Biasanya program ini berjalan minimal tiga kali dalam setahun, dan maksimal sekali dalam sebulan. Wallahu a’lam. #

M. Jamhuri

Selasa, 16 Februari 2010

Kebersihan Dalam Islam

"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS. Al-Baqarah: 222)

Islam adalah agama komfrehensif (kaffah). Ajarannya menyentuh segala aspek kehidupan. Termasuk di dalamnya tentang kebersihan. Tidak ada agama yang mengajarkan secara detil tentang kehidupan manusia kecuali Islam.

Dalam Islam, kebersihan memiliki tempat yang sangat penting dalam ajarannya, hingga Rasulullah saw bersabda “Ath-Thohur syatrul Iman” (kesucian itu adalah sebagian dari iman). Bahkan dalam kitab-kitab fiqih pun, para ulama selalu menempatkan “Bab Thaharah” (Bab tentang kesucian) pada bab pertama dalam kitab-kitab mereka.

Kesucian dan kebersihan yang terdapat dalam islam mempunyai dua sisi; kebersihan fisik dan kebersihan batin. Kebersihan fisik kita dapat dilihat dari bagaimana suatu ibadah yang bercampur najis tidak dianggap sah. Dalam hal wudhu saja, kebersihan fisik menyentuh anggota tubuh yang vital. Sebab dalam wudhu, air akan membasuh lima panca indera manusia yang vital, seperti mata (indera penglihatan), hidung (indera penciuman), telinga (indera pendengaran), mulut dan lidah (indera perasa), dan kulit (indera peneyntuh). Demikian juga kewajiban mandi wajib bagi orang yang junub atau bersih dari haidh dan nifas. Belum lagi perintah sunnah mandi pada moment-moment penting berkumpul dengan manusia, seperti shalat jum’at, shalat id dan lain sebagainya.

Dari sisi kebersihan batin, ibadah wudhu mengisyaratkan pesan agar anggota tubuh vital itu dijaga dari segala macam kemasksiatan. Mata, telinga, hidung, lidah, kulit hanya boleh digunakan pada pekerjaan yang mendatang keridhoan Allah SWT.
Mengapa Allah SWT mewajibkan kita bersuci? Karena Allah SWT mencintai orang yang mensucikan diri. Firman Allah SWT: ”Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”

Jika Allah SWT menyukai manusia selalu mensucikan dirinya, itu karena Allah menciptakan kita di awal kejadian, dalam keadaan suci. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Setiap manusia yang dilahirkan itu berada di atas kesucian, maka kedua orang tuanya yang menyebabkan dia bersikap Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR; Muslim). Kesucian penciptaan manusia juga dapat dilihat dari firman Allah SWT dengan sumpah-Nya kepada tiga tempat suci. Allah SWT berfirman yang artinya, “Demi buah Tin dan Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota (mekkah) yang aman ini. Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At-Tien: 1-4).

Pada ayat ini Allah SWT bersumpah kepada tiga tempat suci yakni: tempat tumbuhnya buah Tin dan Zaitun di negeri Yuressalem (Baitul Maqdis), bukit Sinai; tempat nabi Musa as menerima wahyu dari Tuhannya,dan Makkah sebagai tempat yang aman dan negeri kelahiran Nabi saw. Ketiganya adalah tempat yang disucikan.

Dengan demikian, pada dasarnya, asal muasal kejadian manusia adalah dalam keadaan suci, sehingga untuk menjaga kesucian itulah, Allah dan Rasul-Nya memberi fasilitas agar kita menjaga kesucian melalui wudhu, mandi dan ibadah.
Penulis pernah mempunyai pengalaman, Pada musim haji tahun 2007 lalu, ada seorang jamaah haji yang –insya Allah– wafat dalam keadaan husnul khatimah (baik kesudahannya). Beliau wafat persis setelah melaksanakn wukuf di Arafah dan mabit di Muzdalifah. Namun, saat akan melaksanakan thawaf ifadhah, beliau merasa pusing setelah sebelumnya mengambil air wudhu, tidak lama kemudian, beliau meminta pada suaminya agar dirinya diperdengarkan ayat-ayat suci al-Quran, kemudian dia berkata, “Pak insya Allah semua jamaah haji yang di pondokan (hotel) ini mabrur, Pak saya minta izin pamit lebih dahulu” Tidak lama setelah berkata seperti itu, beliau mengucap dua kalimat syahadat kemudian wafat.

Esoknya beliau dishalati masih dalam keadaan berpakaian ihram. Beliau wafat di tanah suci, dan dishalatkan di Masjidil Haram yang suci, oleh jutaan jamaah haji yang datang dengan tujuan suci, yakni ibadah haji.

Kondisi kematian yang –insya Allah– husnul khatimah itu, ternyata tidak terjadi dengan secara kebetulan, tapi ditentukan amal yang pernah diperbuatnya.
Keessokan harinya, saya bertanya kepada suaminya tentang amalan almarhumah selama hidupnya. Suaminya menjawab, bahwa tidak ada amalan khusus yang dia lakukan, hanya saja ada dua perilaku yang berkesan di hati suaminya.

Yang pertama, meskipuan suaminya yang pengusaha tersebut sering keluar kota bahkan keluar pulau untuk urusan bisnisnya, namun bila suaminya tiba kembali ke rumah, sang isteri tidak pernah bertanya kepada suaminya datang dari mana? Bahkan dia menyambut kedatangan suaminya dengan senyum dan berpakain yang dapat menyenangkan suaminya, dia pun segera mengambil air minum dan membukakan dasi dan sepatu suaminya.

Yang kedua, menurut suaminya, al-marhumah semasa hidupnya, jika akan melakukan bepergian, baik ke tempat dekat atau pun jauh, beliau pasti mengambil air wudhu dahulu untuk bersuci, seakan dia yakin bahwa dengan wudhu itu, Allah akan melindunginya dari segala bahaya dalam perjalanannya.

Mendengar jawaban suami tersebut, sayapun terkagum-kagum dengan amalan sang almarhumah, bukankah Allah mencintai orang-orang yang mensucikan diri?
Saya pun mendapat pelajaran, bahwa dengan selalu bersuci, lalu hati yang suci yang tidak sedikitpun ada rasa curiga kepada suaminya dan orang lain, Allah SWT mentakdirkan dirinya wafat dalam keadaan suci (dalam keadaan masih mempunyai wudhu dan masih dalam pelaksanaan ibadah haji; ibadah suci). Juga wafat di Tanah Suci (Makkah al-Mukarramah), dan dishalatkan di masjid yang suci (masjidil haram) oleh jutaan jamaah haji yang datang dengan niat suci (berhaji ke baitullah).. Subahanallah, Laa haula wa quwwata illa billah. #

Rabu, 06 Januari 2010

Saatnya Hidupkan Kalender Islam

"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri" (QS. At-Taubah: 36)

Menurut ulama ahli tafsir, yang dimaksud dengan empat bulan haram adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab.

Dalam ayat lain ketika Allah mewajibkan kaum muslimin berpuasa, Allah menyebut bulan Ramadhan sebagai bulan puasa, serta ramadhan adalah bulan diturunkannya al-Qur’an (al-Baqarah 183-185).

Allah dan rasul-Nya tidak pernah menyebut bulan Januari atau Desember dalam penggunaan nama-nama bulan dalam putaran setahunnya, apalagi menggunakan bulan-bulan tersebut sebagai bulan-bulan pelaksanaan ibadah. Sebaliknya, Allah dan rasul-Nya menggunakan bulan qomariyah, yakni Muharram hingga Dzulhijjah sebagai nama-nama bulan dalam putara setahun. Bahkan beberapa ibadah dikaitkan dengan bulan-bulan tersebut, dan bukan denga bulan Januari atau Desember.
Oleh karena itu, meskipun tidak ada larangan menggunakan putaran tahun Miladiyah, namun alangkah lebih baiknya kita sebagai muslim menghidupkan tahun hijriyyah, mengapa ?

Pertama, Karena kalender hijriyyah adalah kalender yang ditetapkan oleh sahabat Umar bin Khattab ra, dan disetujui oleh para sahabat lainnya. Kalender hijriyyah telah ditetapkan oleh sebaik-baik generasi umat Islam, karena tidak ada generasi umat islam terbaik setelah Rasulullah saw, melainkan generasi para sahabat radhiyallah ‘anhum. Mengikuti apa yang telah ditetapkan dan dilaksanakan para sahabat adalah sunnah dan diperintahkan oleh Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Hendaklah kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah khulafaurasyidin, gigitlah erat-erat dengan gerahammu” (al-Hadits). Dengan demikian, menghidupkan kalender hijriyyah adalah perintah rasulullah saw karena beliau memerintahkan kita untuk berpegang teguh kepada sunnah para khulafaur Rasyidin.

Kedua, tidak ada satu ibadah pun dalam Islam yang dikaitkan dengan bulan Januari atau Desember. Sebaliknya Allah dan rasul-Nya mengaitkan pelaksanaan sebagian ibadah dengan bulan-bulan Hijriyyah. Sebut saja misalnya ibadah puasa di bulan Ramadhan, ibadah haji di bulan Dzulhijjah, ibadah puasa sunnah enam hari di bulan Syawwal, ibadah sunnah puasa tasu’a dan “asyura di bulan Muharram, ibadah puasa sunnah ayyamul bidh di setiap tanggal 13, 14, 15 bulan-bulan hijriyyah, puasa sunnah di bulan Sya’ban, penetapan idul fitri di bulan Syawal dan lain sebagainya. Pernahkah kita mendengar Allah mewajibkan ibadah haji di bulan Desember, puasa di bulan Januari, atau puasa sunnah di bulan Maret? Tidakkah kita bangga menghidupkan kalender hijriyyah karena kalender itu telah ditetapkan Allah dan rasul-nya dalam pelaksanaan ibadah

Ketiga, dalam urutan hari kita sering menggunakan kata “Minggu” pengganti “Ahad”, padahal kata “minggu” diambil dari nama seorang pendeta kristen bernama “Deminggos”. Selain itu, suatu kerancuan jika hitungan bilangan dimulai dari angka dua (isnain/senin). Hitungan biasanya dimulai dengan angka satu (ahad). Karena itu sebaiknya kita hidupkan kata “ahad’ sebagai kata pengganti kata “minggu”. Sehingga dalam urutan hitunganpun menjadi sesuai, yakni ahad (satu), senin/isnain (dua), selasa (tsalasa) (tiga), rabu/arba’a (empat), kamis/khamis (lima)

Keempat, kalender hijriyyah yang perhitungannya dimulai dari peristiwa hijrahnya Nabi saw dan umat Islam, adalah ketetapan melalui musyawarah panjang di antara sahabat. Sebab dalam penentuan awal kalender tersebut ada sahabat yang mengusulkan dimulai dari peristiwa bersejarah lainnya. Akan tetapi keputusan terakhir dan yang disepakati adalah terhitung dari peristiwa hijrah Nabi saw. Sedangkan tahun Miladiyah atau Masehi dimulai dari kelahiran Nabi Isa as (Yesus Kristus). Penentuan awal perhitungan kalender Islam yang dimuali dari peristiwa hijrah tersebut menunjukkan bahwa para sahabat tidak gegabah dalam menentukan awal perhitungan tahun hijriyah. Hal itu tidak lain agar umat islam menyelami peristiwa hijrah tersebut serta mengambil ibrah dan pelajaran darinya. Di sana terdapat perjuangan, kesabaran, lurusnya niat, serta optmistis dalam menghadapi persoalan. Jika umat Islam melupakan kalender hijrah, maka dikhawatirkan akan melupakan peristiwa hijrah yang penuh nilai-nilai luhur tersebut.

Itulah beberapa konsideran mengapa kita harus menghidupkan kalender hijriyyah. Oleh sebab itu, mulailah dari kita untuk mengingat di setiap harinya, tanggal berapa hijriyyah-kah kita di hari ini? Lalu kita ajarkan dan ingatkan isteri dan anak kita, kemudian keluarga kita.

Dalam surat menyurat, usahakan menulis tanggal hijriyyah di atas tanggal miladiyah atau disampingnya, jika kita memang belum sanggup hanya menulis tanggal hijriyyah saja dalam surat menyurat tersebut.

Dalam mencetak kalender yayasan atau sekolah atau perusahaan, usahakan mengganti kata “minggu” dengan “ahad”, menyamakan besar tanggal hijriyyah dengan tanggal miladiyah, mewarnai hari-hari puasa sunnah, selain hari besar islam, dengan warna-warna tertentu sambil ditulis penjelasan dibawahnya tentang tanggal-tanggal tersebut. Misalnya shaum ayyamul bidh, shaum tasu’a dan ayura, dan lain sebagainya. Semoga kita termasuk umat yang menjaga sunnah Rasul saw dan para sahabat. Amin. ##