Sabtu, 02 Oktober 2010

Empat Kriteria Taqwa

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (QS. Ali Imran: 102)

Ayat di atas sering terdengar di setiap mimbar-mimbar Jumat, yakni saat sang khatib menyampaikan pembukaan khutbahnya. Taqwa adalah wasiat yang harus disampaikan setiap khatib dalam khutbah Jumatnya. Karena wasiat agar bertakwa adalah termasuk rukun khutbah Jum’at.

Namun, apa saja kriteria takwa itu? Imam Ali ra mendefinisikan taqwa dalam empat kriteria, yakni Al-khouf bil Jalil wal hukmu bit tanzil wal isti’dad li yaumil rahil war ridho bil qolil. (Takut kepada Allah yang Maha Mulia, berhukum dengan al-Quran yang telah diturunkan, bersiap diri untuk hari akhir, dan ridho dengan bagian sedikit)

Pertama, Al-Kouf bil Jalil (Takut kepada Allah yang Maha Mulia). Yang dimaksud takut disini bukan seperti kepada algojo atau atasan yang jahat. Namun, yang dimaksud takut disini adalah takut karena kebesaran dan kemahabiajksanaan Allah SWT, sehingga dia takut jika melanggar aturan Allah SWT, bahkan dia takut padaNya meskipun manusia tidak melihatnya. Hal ini pernah tercermin pada seorang wanita yang meminta Nabi saw agar ia dihukum rajam karena perbuatannya, sebab dia takut akan siksa Allah di akhirat. Namun Rasulullah saw masih mengulur-ngulur waktu dalam menjatuhkan sangsi karena kehamilannya. Meskipun pelaksanaan sangsi diundur, namun wanita ini tidak sabar menunggu, dan pada waktunya ia pun dengan kesadaran sendiri mendatangi Nabi saw untuk dihukum. Setelah Nabi saw menjatuhkan hukuman rajam padanya hingga wafat, Nabi pun menshalatkan jenazahnya. Saat itu Umar bin Khattab ra bertanya memprotes Nabi, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau mau menshalatkan wanita penzina ini?” Nabi saw menjawab, “Wahai Umar, seandainya taubat wanita ini ditimbang dengan taubat sepuluh penduduk Madinah, pastilah taubatnya melampaui mereka”.
Perasaan takut kepada Allah inilah yang membuat manusia berhati-hati dalam melakukan segala kejahatan.

Kedua, al-hukmu bit tanzil (Berhukum kepada al-Quran yang diturunkan). Banyak di antara umat Islam yang ingin berhukum kepada Al-Quran, namun mereka masih memakai hukum kuffar. Mau bertuhankan Allah namun masih percaya dengan praktek klenik dan khurafat.
Suatu hari dua muallaf Yahudi telah resmi masuk Islam, namun dalam amalannya, mereka masih menikmati ritual agama Yahudi, dimana setiap hari sabtu masih melakukan ibadah cara Yahudi, maka turunlah ayat Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al-Baqarah: 208)

Ayat ini menunjukkan agar kita totalitas dalam berIslam serta hanya mengacu kepada tuntunan al-Quran dan sunnah Rasulullah saw, serta tidak mencampuradukkan ritual Islam dengan ritual agama lain.

Ketiga, Al-isti’dad li yaumil rahil (Menyiapkan diri untuk hari akhirat). Nabi saw pernah menyatakan bahwa orang yang cerdas adalah orang yang dapat menahan hawa nafsunya dan beramal untuk persiapan setelah meninggal dunia. Karena pada hakekatnya, hidup di dunia laksana menyebarang jalan. Artinya, dunia bukanlah tujuan akhir, melainkan alam akhirt-lah tujuan akhir hidup kita. Oleh karena menyiapkan diri untuk tujuan akhir adalah penting, agar selamat sampai tujuan.

Suatu hari, tatkala Umar bin Abdul Aziz menerima tampuk kekhalfihan, beliau bersitirahat sejenak setelah menghadiri upacara pemakaman khalifah sebelumnya. Baru saja umar rebahan untuk beristirhat, tiba-tiba ada orang yang berkata, “Wahai, tidakkah anda segera mengembalikan harta yang pernah diambil khalifah sebelummu secara zhalim?”. Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Tunggulah sebentar, aku akan beristirahat terlebih dahulu, nanti setelah zuhur akan aku serahkan harta yang pernah diambil secara zalim itu”. Namun kemudian orang itu berkata, “Siapakah yang menjaminmu tetap hidup setelah zuhur nanti?”. Mendengar kata-kata itu, segera saja Umar bin Abdul aziz tersentak dan tidak bisa tidur lagi, dan beliau segera mengembalikan harta yang pernah diambil secara zalim oleh khalifah sebelumnya.
Perasaan Umar seperti di atas adalah karena beliau ingin agar di akhirat tidak dituntut siapapun. Ini adalah penyikapan orang yang selalu mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat.

Keempat, al-ridho bil qolil (Ridho dengan bagian yang sedikit). Sikap ini sepadan dengan makna qona’ah (rasa puas dengan pemberian Allah). Sikap ini sangat sulit jika tidak didorong dengan sikap husnuzzhon (baik sangka) kepada Allah SWT, sebab sifat dasar manusia adalah selalu ingin lagi dan ingin lagi.

Keluarga pasangan Ali bin bi Thalib dan Fatimah adalah cermin manusia yang ridho dengan pembagian Allah, bahkan saat Allah telah memberi rezeki pada mereka, mereka harus memberikannya kembali kepada orang yang lebih tidak mampu dari mereka.
Itulah empat kriteria takwa yang didefiniskan Saidina Ali bin Abi Thalib. Adakah kriteria itu dalam diri kita? Jika belum, berarti ramadhan kita yang lalu harus dievaluasi, demikian juga fungsi wasiat takwa yang selalu disampaikan khatib setiap Jumatnya. Wallahu a’lam. )I(

Tidak ada komentar: