Selasa, 26 Oktober 2010

Rahasia Sa'i

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur”
(QS, Ibrahim: 37)


Ayat di atas menjadi cikal bakal sejarah terjadinya prosesi ibadah sa’i yang kini dilakukan oleh para jamaah haji dan umroh.

Setelah Ibrahim as meletakkan Ismail yang masih bayi dan isteri Siti Hajar di Makkah yang tandus itu, beliau bergegas meninggalkan mereka kembali ke Syam melewati daerah Hujun (dekat Ma’la). Saat itu, Siti Hajar berlari mengikuti sang suami dan bertanya, “Hawai suamiku, mengapa engkau meletakkan kami disini?” Ibrahim as tidak mengindahkan pertanyaan isterinya, beliau tetap berjalan tanpa sedikit menoleh ke belakang. Kemudian isterinya kembali berteriak dan mengajukan pertanyaan yang sama. Nabi Ibrahim as tetap berjalan, meskipun hatinya sedih meninggalkan dua orang kekasihnya di tempat yang asing dan tandus tersebut. Jika beliau menoleh dan melihat kembali wajah kedua manusia yang dicintainya itu, pastilah akan timbul rasa iba sehingga akan urung melaksanakan perintahkan Allah untuk meletakkan kedua insan yang dicintainya itu.

Untuk ketiga kalinya, sang Istari kembali bertanya dengan kalimat yang lebih panjang lagi, “Wahai suamiku, apakah engkau meletakkan kami disini karena perintah Allah SWT?. Mendengar kata “Allah”, Nabi Ibrahim dengan perlahan menoleh ke arah isteri dan anaknya yang masih dibuai sambil wajahnya meneteskan airmata, seraya berkata, “Benar wahai isteriku, aku menempatkan kalian di sini karena perintah Allah SWT”.

Mendengar jawaban suaminya yang memang tidak pernah berbohong itu, sang isteri pun dengan segenap keyakinannya menjawab, “Wahai suamiku, jika iini adalah perintah Allah SWT, maka pergilah engkau dengan tenang, pasti Allah tidak akan menyia-nyiakan kami disni.”
Mendengar jawaban isterinya yang penuh keyakinan itu, Ibrahim as pun bertawakkal kepada Allah sambil memanjatkan doa seperti pada ayat di atas, yakni “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur” (QS. Ibrahim : 37)

Episode berikutnya, Siti Hajar dan puteranya yang masih bayi (Ismail as) pun tinggal di Makkah, beberapa waktu kemudian mereka kehabisan bekal. Air susu Siti Hajar pun tidak lagi berproduksi, sementara Ismail menangis kehausan. Di sinilah Siti Hajar memulai sa’i (usaha) nya untuk mencari apa saja yang dapat dimakan atau diminum.

Beliau berlari kesana kemari namun hasilnya nihil, hingga bolak-balik sebanyak tujuh kali antara bukit shafa dan marwah, dengan harapan ada sumber air atau ada kafilah yang melewati lembah tersebut. Namun hasilnya tetap nihil, hingga Allah SWT mengutus Jibril as mendatangi mereka, dan melalui hentakan kaki Ismail as yang masih bayi, terpancarlah air murni dan suci, yang kemudian air itu dinamakan dengan air Zamzam.

Kini, napak tilas sa’i ini dilakukan oleh para jamaah haji dan umroh. Sebuah reka ulang yang dilakukan di TKP (tempat kejadian perkara) langsung. Setiap yang berhaji atau berumroh tidak hanya menonton reka ulang ini, tapi ikut melakukannya, hingga benar-benar merasakann bagaimana penderitaan seorang wanita yang berjuang mempertahankan hidup keluarganya.
Sa’i, secara bahasa adalah usaha, sedang secara istilah adalah berjalan dan berlari kecil antara bukit shafa dan marwah sebanyak 7 (tujuh) kali. Jarak antara bukit Shafa dan Marwah adalah 405 meter, sehingga jika dilakukan 7 kali, maka akan ditempuh sejauh 2.965 m (3 km). Jika saja setiap permeter membutuh 3 (tiga) langkah kaki, maka sai ditempuh dengan 8895 langkah kaki. Belum lagi jika ditambah dengan ibadah Thawaf sebelumnya, maka akan ditempuh dengan 10.000 langkah kaki. Secara kesehatan hal ini tentu saja dapat membakar lemak, kolesterol serta memperkuat zat kapur pada tulang. Tidak heran, jika ada sebagian mahasiswa kita yang menempuh studi di Makkah, dalam setiap pekannya melakuan umroh sunnah. Menurutnya, dari pada sekedar olah raga, lebih baik olah raga yang plus ibadah, yakni dengan umroh.

Mengapa memulai sa’i dari bukit Shafa dan diakhiri di bukit Marwah? Kata “Shafa” berarti “kejernihan” sedangkan “Marwah’ adalah kepuasan (berasal dari kata rowiiya-yarwi). Ini mengisyaratkan bahwa suatu sa’i (usaha) harus dimulai dengan niat yang jernih (shafa) sehingga akan mendapat kepuasan (marwah). Usaha yang tidak diniatkan dengan niat jernih akan menimbulkan cara yang tidak baik, maka meskipun tujuan suatu usaha itu tercapai, dia tidak akan mendapat kepuasan yang hakiki dan sebenarnya. Bahkan tidak jarang, di penghujung tujuan itu, dia hanya mendapatkan penyesalan. Kasus-kasus korupsi yang belakangan merebak adalah buah dari niat dan cara yang tidak jernih.

Kemudian saat kita berada di atas kedua bukit teresebut disunnahkan membaca, Laa ilha illallah wahdu lasyarikah, lalu takbir “Allahu Akbar”. Sedangkan saat kita di bagian bawah antara kedua bukit itu (terutama antara dua lampu hijau)disunnahkan “Robbighfirham wa’fu watakarrom wa tajaawaz amma ta;lam innaka ta’lam ma na’lam innaka anta; aazzul akram” (Ya Tuhanku ampunilah, sayangilah, maafkankan, muliakanlah, hapuskanlah (kesalahan) yang Engkau ketahui. Sesungguhnya Engkau mengetahui sesuatu yang tidak kami ketahui. Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Mulia”.

Prosesi bacaan seperti ini mengisyaratkan kepada kita, bahwa pada saat kita berada di puncak, hendaklah selalu mengingat akan kebesaran Allah, bahwa Allah-lah yang mengangkat derajat kita, bukan karena usaha kita sendiri. Sedangkan pada saat kita sedang di posisi bawah, hendaklah kita mengingat Allah sambil memohon ampun atas segala kesalahan, bahkan kesalahan yang samar yang tidak sadar dan tidak kita ketahui.
Selanjutnya, ibadah sa’I memberi pelajaran kepada kita bahwa dalam hidup iini harus ada dua hal yang kita lakukan, yakni usaha zahir dan usaha batin. Dan setiap usaha yang kita lakukan pastilah akan di balas oleh Allah swt, baik langsung atau tidak langsung.

Usaha (sa’i) yang dilakukan Siti hajar membuahkan suatu hasil (yakni ari zamzam). Meskipun tidak langsung melalui tangan beliau, akan tetapi justru melalui kaki Ismail yang dihentak-hendatakan ke tanah saat menangis kehausan. Inipun menjadi ibrah (pelajaran) buat kita bahwa anak dan anggota keluarga kita telah dijamin rezekinya masing-masing oleh Allah swt, hanya saja sarana dan wasilah boleh jadi melalui orang tua yang berusaha. Sebaliknya orang tua yang ushanya mendapat hasil, jangan boleh melupakan isteri-anak dan keluarganya. Karena boleh jadi, kesuksesan orang tua adalah rezeki anak dan anggota keluarganya. Dalam suatu hadits diriwayatkan, “Dari Anas ra berkata, Ada dua orang bersaudara di masa Nabi saw, dan salah seorang dari mereka mendatangi Nabi, sedang yang lainnya bekerja, lalu orang yang bekerja ini mengadukan saudaranya kepada Nabi saw dan bersabda, “Boleh jadi kamu diberi rezeki karena dia” (HR: Tirmidzi dengan Sanad shahih menurut yang disyaratkan Imam Muslim) (Riyadush Shalihin Bab Yaqin dan Tawakkal hadits No.11)

Pelajaran dan hikmah lainnya adalah terkait peristiwa sebabnya sa’i, yakni ketaatan Ibrahim as melaksanakan perintah Allah untuk meletakkan anggota keluarganya di tempat asing, serta keyakinan beliau dan isterinya Siti Hajar akan jaminan rezeki Allah dalam melaksanakan perintahnya.

Hal ini sangat penting, terutama para da’i sebagai pengembang dan pewaris rislaah para Nabi.Tidak jarang mereka harus di tempatkan di suatu tempat yang asing, bahkan tidak jelas sumber penghasilan hidupnya. Namun jika mempnyai keyakinan tinggi bahwa rezeki di tangan Allah, terlebih sedang melaksnakan tugas suci. Maka Allah akan membuka pintu-pintu kemudahan baginya. Allah swt berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik “ (QS. Al-Ankabut: 69)
Pelajaran terakhir dari sai’I adalah sebuah jawaban dari sebuah pertanyaan, “Mengapa thawaf wada’ (thawaf perpisahan) tidak dilakukan dengan sa’i-nya?” Jawabanya adalah –wallahu a’lam– karena setelah pulang berpisah dengan ka’bah dan kembali ke tanah air, janganlah kita meninggalkan tugas pokok kita sebagai manusia, sehingga sa’I (usaha) masih tetap kita laksanakan, hanya saja sa’I (usaha) dalam bentuk lain., yakni berkerja dan berusaha mencari nafkah kembali dengan semangat mencari karunia Allah yang halal dan thayib. Jangan sampai pulang kembali ke Tanah Air, kita menjadi pengangguran, lahan tanah sebagai satu-satunya penghidupan habis, apalagi menjadi orang yang tangannya selalu di bawah (pengemis), naudzu billah.

Semoga para jamaah haji dan kita semua selalu mendapat taufiq dan hidayah dari Allah SWT, sehingga menjadi hamba yang pandai mengambil pelajaran dari setiapperistiwa untuk bekal kebahagian kita di dunia dan akhirat. Amin.

Muhammad Jamhuri

Tidak ada komentar: