“Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun” (QS.Al-anfal: 33)
Saat ini, datangnya bencana sulit diprediksi. Baik berupa gempa bumi maupun banjir bandang atau pun angin puting beliung. Jika bisa diprediksi kapan dan dimana bencana itu akan datang, barangkali tidak akan terjadi korban yang jumlahnya begitu banyak jatuh bergelimpangan. Kenyataannya, korban banjir bandang, gempa bumi, dan angin puting beliung telah memakan korban yang tidak sedikit.
Sulitnya memprediksi datangnya bencana ini memerlukan kewaspadaan setiap kita, minimal diri kita sendiri. Antisipasi datangnya bencana ini perlu dilakukan agar bencana itu tidak datang ke kita, atau meskipun datang tiba-tiba, kondisi kita dalam keadaan baik sehingga mendapat posisi husnul khotimah.
Oleh karena itu ada beberapa langkah yang mungkin bisa kita ambil dalam mengantisipasi datangnya bencana yang tidak dapat diprediksi:
Pertama, agar bencana alam itu tidak datang, maka kita harus mengambil dua tindakan: tindakan zahir dan tindakan batin. Tindakan zahir mencakup pemeliharaan keseimbangan alam dan lingkungan. Suatu yang tidak bisa dibantah lagi bahwa bencana alam yang akhir-akhir ini terjadi adalah akibat ulah tangan manusia. Banjir bandang yang melanda Wasior Papua Barat adalah akibat pemalakan hutan yang berlebihan. Banjir di Jakarta adalah akibat kurangnya kesadaran warga membuang sampah serta pemanfaatan air tanah yang berlebihan. Karena itu, pemeliharaan keseimbangan alam adalah mutlak dilakukan. Hubungan kita dengan alam harusnya merupakan hubungan yang harmonis, bukan eksploitasi yang merusak. Rasulullah saw bersabda saat menyaksikan gunung Uhud: “Uhud adalah gunung yang mencintai kita dan kita pun mencintainya”. Belum lagi banyak ayat yang berbunyi “Janganlah melakukan kerusakan di atas bumi”.
Keseimbangan dan kelestarian alam akan banyak menahan faktor-faktor timbulnya bencana alam. Oleh sebab itu pemeliharaan alam dan lingkungan bukan sekedar kewajiban warga negara, akan tetapi tuntutan keimanan kita .
Adapun tindakan batin adalah dengan memperbanyak taubat dan istighfar. Allah SWT berfirman: “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun (istighfar)” (QS.Al-anfal: 33).
Abu Musa al-Asy’ari berkata, “Kami (para sahabat) dahulu memiliki dua penjagaan (dari bencana), yakni adanya Rasululllah saw dan kami sering beristighfar, sedangkan kalian kini hanya memiliki satu penjaga, yakni jika kalian masih beristighfar. Maka jika kalian sudah meninggalkan istighfar, tidaklah kalian memiliki penjaga dari bencana”.
Beristighafar bukan hanya sekedar melantunkan kalimat astaghfirullah, namun juga ada semangat taubat secara massal. Taubat dari korupsi, taubat dari merusak alam, taubat dari keserakahan, taubat dari kemaksiatan, taubat dari meninggalkan perintah, taubat dari segala perbuatan yang merugikan. Dengan langkah ini, maka bencana tidak akan datang kepada kita.
Lalu, bagaimana jika musibah itu toh harus datang juga ke hadapan kita secara tiba-tiba dan tidak terprediksi, sehingga kita meninggal dunia tertimpa musibah itu? Tindakan antisipasi kita adalah berusaha agar kita mendapat husnul khatimah (kesudahan yang baik) di akhir hayat kita? Caranya?
Menjaga wudhu, adalah salah satu cara agar kita mendapat husnul khatimah. Karena dengan berwudhu dan menjaganya dalam setiap kondisi, maka bila kita meninggal dunia, meninggal dalam keadaan kesucian, dan mendapat kecintaan Allah SWT. Firman Allah SWT: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri” (QS. Al-Baqarah: 222)
Bebarapa sahabat dan ulama terdahulu banyak dikenal menjaga wudhu sepanjang hari, dan mereka melakukan itu puluhan tahun lamanya. Pantaslah jika mereka mendapat keridhoan Allah SWT.
Cara lainnya adalah dengan memperbanyak puasa sunnah. Puasa adalah salah satu ibadah yang dirasakan selama sehari penuh. Yakni sejak terbitnya matahari hingga terbenam. Sehingga jika kita wafat secara tiba-tiba akibat bencana alam atau karena akibat lainnya, maka kita akan wafat dalam keadaan sedang berpuasa. Dan hal itu merupakan salah satu tanda husnul khatimah.
Oleh sebab itu, ketika Nabi saw ditanya tentang puasa senin dan kamis, beliau menjawab, “Senin adalah hari kelahiranku, sedangkan hari kamis adalah hari dimana di setiap pekan catatan amal seorang hamba diangkat kepada Allah, dan aku menyukai jika amalku diangkat dalam keadaan sedang beramal baik.”
Karena itu, jika kita meninggal dunia dalam keadaan sedang beribadah, maka itu adalah pertanda kebaikan.
Dalam hadits lain,Nabi saw bersabda, “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah”. Sering kali kita salah kaprah dalam memahami hadits ini sehingga banyak orang yang berpuasa bukan memperbanyak ibadah malah memperbanyak tidur. Padahal maksudnya adalah saat kita tidur pun, kondisi kita masih dalam keadaan berpuasa, dalam keadaan beribadah.
Nah, bagaimana jika dalam keadaan sedang berpuasa kemudian datang bencana secara tiba-tiba dan kita wafat dalam keadaan berpuasa? Bukankah hal itu adalah tanda husnul khatimah? Bukankah suatu anugerah jika saat ajal kita dicabut dalam keadaan kita sedang beribadah?
Ringkasnya mari perbanyak taubat dan istighfar agar musibah tidak menimpa, dan seandainya musibah tetap datang, kita sudah mempersiapkan diri wafat dalam keadaan husnul khatima dengan menjaga wudhu dan puasa.. )I( M.Jamhuri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar