Sabtu, 29 November 2008

Meneladani Nabi Ibrahim as

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia “ (QS. Al-Mumtahanah: 4).

Untuk kedua kalinya Nabi Ibrahim as diuji oleh Allah SWT, apakah dia lebih sayang dan cinta pada puteranya atau lebih cinta pada perintah Allah swt? Pada ujian pertama Ibrahim as lulus, yakni saat dikaruniai seorang putera yang bersih, tampan dan lucu, setelah sekian lamanya mendambakan seorang anak, Ibrahim as diuji agar meletakkan isteri dan anaknya di suatu lembah yang tidak ada pepohonan dekat Baitullah. Ayah mana yang rela meletakan ana keturunannya dan keluarganya di daerah yang asing dan tandus? Ayah mana yang rela berjauhan dengan anaknya padahal sekian lama dia merindukan keturunan? Namun,karena keimanan yang kuat pada dada Ibrahim as, perintah Allah yang berat itu tetap dilaksanakannya.
Namun, ujian Allah tidak sampai disitu. Saat Ismail as menginjak usia dewasa, Allah menguji kembali dengan memerintahkan Ibrahim as untuk menyembelih putera yang sangat dicintainya itu. Ada keraguan, apakah betul perintah yang datang lewat mimpi itu benar-benar perintah Allah atau hanya “bunga-bunga tidur” belaka?. Namun karena malam berikutnya beliau bermimpi hal yang sama, maka beliau yakin mimpi itu adalah perintah Allah swt. Maka Ibrahim as berkata, “"Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Nabi Ismail as menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (QS. Ashofaat: 102).

Setelah segala sesuatunya dipersiapkan, berangkatlah mereka untuk melaksanakan perintah Allah yakni mengorbankan Ismail as.
Melihat Ibrahim dan Ismail as akan melaksanakan perintah Allah, Iblis tidak senang dan berusaha menggagalkan rencana mereka. Maka datanglah iblis kepada Nabi Ibrahim as dan berkata, “Hai Ibrahim, mengapa engkau mau-maunya menyembelih puteramu? Bukankah dahulu kau mengharapkan mempunyai anak? Bukankah dia anak satu-satunya bagimu? Abaikan saja perintah Tuhanmu itu!” Namun Ibrahim menjawab tegas sambil melontar batu kepada iblis, “Pergilah kau Iblis, Sebab aku telah rela mengorbankan anak yang ku cintai demi perintah Allah yang lebih aku cintai”.

Setelah gagal menggoda Ibrahim as, sang Iblis datang kepada Ismail. Dia berkata, “Hai Ismail, kau masih muda dan mempunyai masa depan cerah, mengapa kau mau saja dibunuh oleh ayahmu? Pergilah jauh, karena kau masih memiliki masa depan”. Dengan tegas Ismail as menjawab sambil melontar Iblis dengan batu, “Pergilah kau Iblis terlaknat, aku diciptakan Allah, maka aku harus patuh pada perintah Tuhanku.”

Usaha iblis ternyata tidak sampai disitu, dia mendatangi Siti Hajar isteri Ibrahim as dan membujuknya, “Hai Siti Hajar!, mengapa kau membiarkan suamimu yang akan menyembelih puteramu? Bukankah kau dulu yang melahirkannya antara hidup dan matimu? Bukankah kau yang telah susah payah menyusuinya dan mengasuhnya, lalu setelah dewasa, suamimu begitu saja akan membunuhnya?”

Siti Hajar pun tidak kalah tegasnya seperti suami dan anaknya, dia berkata kepada iblis sambil melontarnya dengan batu, “Enyahlah kau Iblis!, jangankan anakku yang disembelih, jika ini perintah Tuhan, aku bahkan siap menjadi korban!”.
Iblis pun merasa sia-sia dengan segala rayuan dan godaannya menggagalkan rencana Ibrahim dan keluarganya melaksanakan perintah Allah SWT.
Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari peristiwa di atas?

  1. Tidak ada obsesi dan cita-cita pada diri Iblis kecuali hanya ingin menggelincirkan umat manusia. Allah SWT telah menegaskan bahwa Iblis dan syaithan adalah musuh manusia yang nyata, karena itu kita tidak boleh berkompromi sedikitpun dengan musuh itu. Firman Allah SWt yang artinya, “Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS. Al-baqarah: 168)
  2. Iblis selalu mencari jalan agar kita tersesat. Jika ia gagal menggoda melaui cara pertama, maka ia akan mencari cara kedua, jika gagal, maka ia akan mencari cara ketiga dan seterusnya. Sebagaimana yang dilakukannya terhadap keluarga Ibrahim as.
  3. Ujian keimanan kita lebih banyak dikarenakan masalah rumah tangga. Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa saat syaitan melaporkan kerjanya kepada kepala Iblis, sang kepala tidak memberikan pernghargaan kepada syaitan yang dapat menggoda dengan zina, mencuri dan lain sebagainya. Namun pada saat syaitan bisa membuat suatu keluarga retak dan terjadi perceraian dan permusuhan, maka syaitan yang telah berhasil membuat suatu keluraga bercerai itu mendapat penghargaan dan pujian dari kepala Iblis (pimpinan syaitan).
  4. Untuk membentengi godaan, maka hendaknya keluarga harus dibentengi oleh keimanan yang kuat. Sebagaimana Nabi Ibrahim as telah membetengi anak dan isterinya dengan keimanan, sehingga ketahanan keluarga dapat tercipta dan tidak tergoyahkan, baik godaan itu dari internal keluarga maupun dari eksternal keluarga.
  5. Nabi Ibrahim dan keluarganya adalah contoh buat kita dalam menciptakan ketahanan keluarga yang dibutuhkan dalam zaman yang penuh dengan cobaan seperti sekarang ini. Benarlah firman Allah SWT yang artinya, “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia “ (QS. Al-Mumtahanah: 4).#
    Wallahu a’lam

    Muhammad Jamhuri

Minggu, 16 November 2008

Haji: Mengenal Perjalanan Mati

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal “ (QS.Al-Baqarah: 197)

Karena untuk pertama kalinya akan berangkat ke Tanah Suci, seorang ibu tua berusia 75 tahun diantar oleh rombongan sanak keluarganya ke Bandara Soekarno-Hatta. Mulai dari anak-anaknya, mertua hingga cucu dan cicit serta tetangga ikut mengantar kepergian sang ibu dan nenek ini ke Tanah Suci melalui Bandara Cengkareng. Ketika kepala rombogan menginstruksikan agar para jamaah segera memasuki ruang chek-in Bandara, semua anggota keluarga satu persatu menyalami kepergian ibu tersebut. Nampak di mata mereka tetesan air mata keluar saat bersalaman dan berpelukan. Pada saat itulah sang ibu yang akan segera beranjak memasuki chek-in Bandara berkata, ”Rasanya, ibu seperti akan meninggal dunia saja.” Serta merta para anggota keluarga yang mendengar sang ibu mengucapkan kata-kata tersebut, bertambah histeris tangisnya. Sebab, dalam benak mereka jangan-jangan ucapan itu menjadi kenyataan dan pertemuan ini adalah pertemuan terakhir bagi mereka dengan sang ibu.
Kemudian salah seorang di antara mereka sambil menangis berkata, ”Bu, jangan berkata begitu, kami masih sangat sayang dengan ibu. Kami masih ingin bersama ibu, semoga ibu selamat hingga kembali ke Tanah Air”. Mendengar kekhawatiran anak-cucunya, sang ibu berkata, ”Tidak, maksud ibu, perjalanan ke Tanah suci ini seperti orang mau meninggal dunia ingin bertemu Tuhannya. Sebab, orang mati pasti diantar oleh semua sanak keluarga ke kuburan. Namun, setelah jenazah pergi ke dalam kuburan, sanak saudara yang mengantar pasti kembali ke rumah masing-masing. Nah, demikian juga orang yang pergi ke Tanah Suci. Dia diantar oleh sanak keluarganya, namun setelah naik pesawat, para pengantar kembali ke rumahnya masing-masing.”
Kisah nyata seperti diatas menggambar bahwa orang yang pergi melaksanakan ibadah haji itu memang seperti training mengenal perjalanan mati. Betapa tidak? Hampir semua prosesi yang terdapat dalam ibadah haji adalah menggambar perjalanan kematian seorang manusia.
Saat berangkat, jamaah haji diantar oleh para sanak saduaranya. Namun mereka hanya mampu mengantar hingga asrama haji atau bandara. Persis jika kita mengantar orang meninggal dunia. Pada saat orang yang meninggal dunia dimasukkan ke dalam kuburan, kita sebagai rombongan yang mengantarnya hanya berhenti di atas kuburan. Selebihnya sang mayit akan ditanyai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT.
Saat jamaah haji tiba di suatu miqot (batas tertentu untuk berihram), mereka mulai melakukan ritual mandi sunnat ihram dan berpakaian ihram yang terdiri dua helai kain putih yang membalut sekujur tubuhnya. Tidak diperkenankan memakai baju berjahit apalagi baju kebesaran dengan segala atribut pangkatnya. Meskipun di Tanah Air mereka seorang pejabat atau jenderal. Pakaian mereka sama dengan jamaah haji lainnya; hanya dua helai kain putih.
Hal ini hampir sama yang kita temukan saat mengurus jenazah. Jenazah dimandikan dengan baik, kemudian dibungkus dengan kain kafan berwarna putih. Meskipun sang jenazah dari kalangan pejabat tinggi atau jenderal, kenyataannya pakaian mereka sama yang dipakai oleh orang rendahan jika telah wafat atau meninggal dunia. Ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa derajat manusia saat menghadap Allah SWT adalah sama. Yang membedakan kemuliaan seseorang adalah ketakwaannya. Oleh karena itu, dalam berhaji Allah SWT berpesan agar para jamaaah haji berbekal diri, dan bekal yang terbaik adalah bekal TAQWA. Sebagaimana firman Allah SWT yang tersebut diatas Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal “ (QS.Al-Baqarah: 197). Tentu saja, pesan ini bukan hanya untuk yang berhaji saja, namun juga berlaku bagi semuanya. Sebab, bekal terbaik dalam hidup kita adalah bekal taqwa.
Kemudian, dalam prosesinya, para jamaah haji pun akan berkumpul di padang Arafah guna melaksanakan ibadah wukuf yang menjadi inti ibadah haji. Rasulullah SAW bersabda: “Ibadah haji adalah wukuf di Arafah”. Di padang Arafah inilah semua jamaah haji berkumpul di waktu yang bersamaan, yakni tanggal 9 Dzulhijjah. Seluruh jemaah haji dari berbagai bangsa, suku dan Negara berbaur di padang Arafah ini. Tidak ada perbedaan antara bangsa maju dan bangsa berkembang, semuanya berbaur di tempat ini dengan pakaian sederhana berupa dua helai kain putih.
Hal ini mirip dengan gambaran orang-orang yang meninggal dunia dan datangnya hari Kiamat. Mereka yang telah wafat akan dibangkitkan lagi di akhirat dan akan dikumpulkan di padang Mahsyar. Mereka dikumpulkan mulai manusia yang hidup di zaman nabi Adam as hingga manusia yang hidup di akhir zaman nanti untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatannya di hadapan pengadilan Allah SWT yang Maha Adil.
Singkatnya, ibadah haji merupakan training mengenal perjalanan kematian. Oleh sebab itu, jika para jamaah haji mengerti akan pesan ini, maka sekembalinya mereka ke tanah air, mereka akan bertambah nilai iman, taqwa dan spritualnya. Hidup mereka akan berorientasi untuk kehidupan akhirat, sehingga mereka melipatkan gandakan etos kerja dan ibadah demi sebanyak-banyak bekal untuk kehidupan abadi di akhirat nanti. Itulah haji mabrur. Sebaliknya, jika niatnya hanya ingin kesohor dengan gelar hajinya atau tamasya saja, maka ia kembali sia-sia. Itulah haji mardud (haji yang tertolak). #

Selasa, 04 November 2008

PAHLAWAN

“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin[, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya” (QS.Al-Nisaa: 69)

Setiap tanggal 10 Nopember biasanya diperingati sebagai Hari Pahlawan bagi bangsa Indonesia. Memperingati hari pahlawan berarti memperingati semangat perjuangan mereka dalam meraih kemerdekaan bangsa dan tanah air Indonesia dari penjajah asing. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang mengingat dan melanjutkan perjuangan para pendahulunya.
Kata pahlawan, menurut sebagaian ahli bahasa, adalah bentuk subjek dari akar kata pahla atau pahala. Dengan demikian kata pahlawan adalah orang yang suka rela berjuang dalam suatu kebaikan demi mendapatkan pahala dari Allah SWT. Seorang yang telah berjuang merebut kemerdekaan disebut pahlawan. Guru yang telah memberi kebaikan berupa pendidikan dan pengajaran juga disebut pahlawan. Kadang juga disebut pahlawan tanpa tanda jasa.
Jika kata ”pahlawan” dimaknai sebagai orang yang dengan sukarela mempersembahkan kebaikan adalah pahlawan, maka sebenarnya setiap kita mempunyai peluang menjadi seorang pahlawan, meskipun pahlawan tanpa tanda jasa seperti yang dijulukkan kepada profesi guru.
Ayat di atas (QS. An-Nisaa: 69) memberikan informasi kepada kita agar kita mengikuti langkah empat tipe manusia serta menjadikan mereka sebagai kebanggaan teman kita:
1. Para Nabi. Mengapa kita dianjurkan mengikuti langkah para Nabi? Karena mereka adalah manusia pilihan Allah SWT. Dalam perjuangan menegakkan kebenaran, merekalah tipe manusia yang mendapat cobaan yang sangat keras dari para penentangnya. Namun mereka tetap sabar dan tabah. Bahkan di antara para Nabi, ada lima Nabi yang mendapat julukan Ulul ’Azmi, Yakni: Muhammad saw, Musa as, Isa as, Nuh as dan Ibrahim as. Merekalah yang memperjuangkan kemerdekaan manusia dari sikap penghambaan kepada sesama manusia dan hanya menyembah Allah saja. Dalam perjuangannya, mereka mendapat tantangan yang sangat berat dari para penentangnya seperti Fir’aun, Namrudz, Abu Lahab dan lainnya. Rasulullah saw bersabda, ”Manusia yang sangat keras cobaannya adalah para Nabi”. Setiap kita yang ingin menjadi pahlawan hendaknya harus mempunyai sifat dan sikap para Nabi, yakni konsisten dalam perjuangan menegakkan kebaikan serta sabar dalam menghadapi segala tantangan.
2. Ash-Shiddiqin. Menurut sebagian ulama, makna ash-shiddiqin adalah orang-orang yang benar dan jujur akan keimanannya. Abu Bakar mendapat gelar ash-Shiddiq dikarenakan keimanannya yang begitu kokoh kepada kebenaran Islam. Tidak banyak orang-orang yang jujur di masa kini. Mungkin orang pintar dan cerdas banyak, mungkin lulusan perguruan tinggi seperti doktor dan gelar profesor berjumlah banyak. Namun yang bergelar ”Jujur” sangatlah sedikit. Oleh karena itu, seseorang bisa dikatakan pahlawan jika ia berjiwa benar dan jujur. Orang yang tidak korupsi dan manipulasi sementara kemungkinan untuk melakukan itu ada, adalah seorang pahlawan. Karena dia sudah menyelamatkan uang negara dan uang rakyat untuk kepentingan rakyat. Sebaliknya jika ia berkorupsi, maka sebenarnya ia sudah berkhianat kepada rakyat.
3. Para Syuhada. Syuhada adalah bentuk jama’ dari kata ’syahid’ yang berarti orang yang telah mati di jalan Allah dalam memperjuangkan kebenaran (agama Allah SWT). Oleh sebab itu, di Yogyakarta kita mengenal suatu mesjid yang dinamai masjid Syuhada. Dibangunnya mesjid itu adalah dalam rangka mengenang para pahlawan (syuhada) yang telah gugur di medan jihad melawan penjajah kafir. Mengapa mereka disebut syahid atau syuhada? Secara etimologi kata syahid bermakna ”saksi”. Merekalah saksi suatu perjuangan agar dapat dicontoh oleh generasi berikutnya. Dengan demikian seorang pahlawan haruslah berjiwa berkorban. Siap mengorbankan jiwa, raga, waktu dan harta demi sebuah kebenaran yang diyakininya serta demi kemaslahatan yang diridhoi Allah SWT. Sikap selalu berkorban demi orang lain dengan rasa ikhlas dan tanpa pamrih adalah jiwa kepahlawanan.
4. Ash-Sholihin. Yakni orang-orang baik. Maksudnya adalah orang yang baik dalam segala hal, mulai dari niatnya, caranya dan tujuannya. Boleh jadi seseorang bercita-cita baik, namun caranya tidak baik dan menghalalkan berbagai cara. Boleh jadi seseorang caranya baik, namun dibalik itu ada niat dan tujuan busuk. Kedua hal ini tidak bisa dikatakan ”sholih”. Oleh karena itu, jiwa kepahlawanan harus dilandasi niat yang baik, cara dalam memperjuangkannya pun baik, serta dengan tujuan yang baik pula.
Rasulullah saw pernah diajak kompromi dalam ber-agama. Hal mana setiap warga Mekkah, demi menjaga persatuan dan kesatuan, diharuskan beribadah secara bergiliran. Hari ini menyembah Allah SWT, besok menyembah berhala Latta dan Uzza. Kontan saja Allah SWT menurunkan ayat-Nya dengan tegas dalam surat Al-Kafirun. ”Katakanlah, Wahai orang kafir, ”Kami Tidak menyembah apa yang kamu sembah...”dan seterusnya.
Ketika Rasulullah saw dirayu akan diberi tahta dan jabatan asal beliau meninggalkan dakwahnya, beliau menjawab, ”Meskipun mereka mampu meletakkan matahari di tanganku atau bulan di tangan kiriku supaya aku meninggalkan dakwah ini, maka tidak pernah akan aku lakukan, hingga Allah memenangkan agamaNya atau aku binasa karenanya.” #

Hakikat Kemenangan

”Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS.Al-Mulk: 1-2)

Suatu hari, Imam Ahmad bin Hambal dijebloskan ke dalam penjara karena tidak sejalan dengan kebijakan dan kamauan penguasa. Setelah beberapa lama tinggal di dalam penjara, beberapa murid Imam Ahmad bin Hambal datang mengunjungi sang Imam. Salah seorang muridnya bertanya, ”Wahai tuan guru, bukankah Kita berada di pihak yang benar?” Imam Ahmad bin Hambal menjawab, ”Ya, kita berada di pihak yang benar. Apakah selama ini engkau tidak yakin kita berada di pihak yang benar?”tanya Imam balik bertanya. Muridnya berkata, ”Jika kita berada di pihak yang benar, mengapa kita kalah? Mengapa tuan guru di penjara seperti ini?” Imam Ahmad bin Hambal menjawab, ”kemenangan itu berada saat kita berpegang teguh kepada kebenaran yang kita yakini. Kemenangan itu adalah keistiqomahan dalam mempertahankan suatu kebenaran. Kemenangan itu saat kita tidak bermaksiat kepada Allah SWT. Justru jika kita mengikuti penguasa yang zalim dan tidak mengindahkan lagi cara-cara kemaksiatan, meskipun kita menang, pada hakikatnya kita sudah kalah.”
Ahmad bin al-Hawari meriwayatkan dari Ibrahim bin Abdullah berkata, Ahmad bin Hambal berkata: ”Aku tidak pernah mendengar satu kalimatpun yang lebih dahsyat sejak aku di penjara ini selain ucapan seorang Badui kepadaku, ”Wahai Ahmad !, jika engkau terbunuh karena membela kebenaran, maka engkau akan mati dalam keadaan syahid. Dan jika engkau masih hidup maka engkau hidup dalam kemuliaan.” Dengan ucapan itu hatiku pun menjadi teguh”..
Allah SWT berfirman: ”Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS.Al-Mulk: 1-2)
Dari kisah Ahmad bin Hambal di atas dan juga firman Allah yang mulia tersebut, kita bisa memahami bahwa hakekat kemenangan itu adalah pada saat kita istiqomah dalam perjuangan al-Haq. Orang lain mungkin juga berpendapat sedang memperjuangkan al-Haq. Sama hal-nya dengan khalifah yang memenjarakan Imam Ahmad bin Hambal. Namun jika cara-cara yang dilakukan adalah dengan cara kemaksiatan, baik berupa intimidasi, ancaman, memasung rasa kemerdekaan manusia, pemukulan dan cara kotor lainnya, maka sebenarnya apa yang mereka lakukan adalah sebuah kekalahan. Kekalahan karena mengikuti langkah syaitan, kekalahan karena mengikuti hawa nafsu. Sebaliknya, orang yang istiqomah memperjuangkan sebuah kebenaran serta dengan cara yang benar maka sebenarnya dia lah yang menang, meski di hadapan manusia dia kalah.
Bukan hal yang tidak diketahui oleh Hasan cucu Rasulullah saw bahwa ia akan kalah dan menjadi korban jika datang ke Karbala melawan pasukan Yusuf bin al-Hajjaj al-Tasqofi panglima Yazid bin Muawiyah yang suka minum-minuman keras. Hasan telah dinasehati oleh Thalhah, Aisyah dan para sahabat lainnya agar tidak berangkat melawan pasukan Yazid. Namun ia tetap berangkan ke Karbala bersama para pendukungnya untuk menunjukkan suatu kebenaran, untuk melawan suatu kezaliman. Sebab Yazid telah mengkhianati perjanjian yang telah disepakti bersama dia dan ayahnya yang bernama Muawiyah. Keberangkatan Hasan ke Karbala untuk menunjukkan bahwa kebenaran harus menasehati kekeliruan, atau izharul haq, meskipun harus menanggung resiko kematian. Kenyataannya, cucu Rasulullah dipenggal kepalanya oleh Yusuf bin al-Hajjaj al-Tsaqofi. Namun cucu Rasulullah saw datang untuk memberi pelajaran bahwa kekeliruan harus diluruskan. Peristiwa ini pun bukan tidak diprediksi oleh Rasulullah saw saat beliau masih hidup. Sebagai seorang Nabi, beliau mendapat berita dari Allah akan nasib akhir cucunya ini. Itulah yang membuat beliau sangat sayang kepada kedua cucunya saat beliau masih hidup, hingga beliau tidak tega jika menyakiti cucunya saat menaikki beliau saat bersujud hingga beliau memperpanjang lamanya bersujud agar cucunya merasa puas bermain di atas punggung Rasulullah nan suci. Sabda beliau, ”Bagaimana aku akan menyakiti mereka, sementara aku mengetahui akhir hidup mereka?”
Segala sesuatu memang sudah termaktub di Lauhil Mahfudz; kaya, miskin, senang, susah, berkuasa, dan tidak berkuasa, semuanya sudah termaktub di Lauhil Mahfudz.. Namun yang Allah nilai dari segala proses hidup ini adalah, apakah kita mempersembahkan amal yang terbaik? Ataukah kita melakukan cara dan amal yang buruk?.Apakah kita tetap dalam taqwa?, apakah kita lebur dalam maksiat kepada Allah?
Jika kita tetap istiqomah dalam kebenaran, dan tetap memperjuangkan kebenaran tanpa kemaksiatan maka itulah hakikat kemenangan. Semoga Allah SWT meridhoi kita dan tetap mempercayai kita sebagai pejuang agamaNya pada masa-masa mendatang, hingga Allah mewariskan bumi ini kepada orang-orang Sholihin. Amin. ##