Minggu, 16 November 2008

Haji: Mengenal Perjalanan Mati

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal “ (QS.Al-Baqarah: 197)

Karena untuk pertama kalinya akan berangkat ke Tanah Suci, seorang ibu tua berusia 75 tahun diantar oleh rombongan sanak keluarganya ke Bandara Soekarno-Hatta. Mulai dari anak-anaknya, mertua hingga cucu dan cicit serta tetangga ikut mengantar kepergian sang ibu dan nenek ini ke Tanah Suci melalui Bandara Cengkareng. Ketika kepala rombogan menginstruksikan agar para jamaah segera memasuki ruang chek-in Bandara, semua anggota keluarga satu persatu menyalami kepergian ibu tersebut. Nampak di mata mereka tetesan air mata keluar saat bersalaman dan berpelukan. Pada saat itulah sang ibu yang akan segera beranjak memasuki chek-in Bandara berkata, ”Rasanya, ibu seperti akan meninggal dunia saja.” Serta merta para anggota keluarga yang mendengar sang ibu mengucapkan kata-kata tersebut, bertambah histeris tangisnya. Sebab, dalam benak mereka jangan-jangan ucapan itu menjadi kenyataan dan pertemuan ini adalah pertemuan terakhir bagi mereka dengan sang ibu.
Kemudian salah seorang di antara mereka sambil menangis berkata, ”Bu, jangan berkata begitu, kami masih sangat sayang dengan ibu. Kami masih ingin bersama ibu, semoga ibu selamat hingga kembali ke Tanah Air”. Mendengar kekhawatiran anak-cucunya, sang ibu berkata, ”Tidak, maksud ibu, perjalanan ke Tanah suci ini seperti orang mau meninggal dunia ingin bertemu Tuhannya. Sebab, orang mati pasti diantar oleh semua sanak keluarga ke kuburan. Namun, setelah jenazah pergi ke dalam kuburan, sanak saudara yang mengantar pasti kembali ke rumah masing-masing. Nah, demikian juga orang yang pergi ke Tanah Suci. Dia diantar oleh sanak keluarganya, namun setelah naik pesawat, para pengantar kembali ke rumahnya masing-masing.”
Kisah nyata seperti diatas menggambar bahwa orang yang pergi melaksanakan ibadah haji itu memang seperti training mengenal perjalanan mati. Betapa tidak? Hampir semua prosesi yang terdapat dalam ibadah haji adalah menggambar perjalanan kematian seorang manusia.
Saat berangkat, jamaah haji diantar oleh para sanak saduaranya. Namun mereka hanya mampu mengantar hingga asrama haji atau bandara. Persis jika kita mengantar orang meninggal dunia. Pada saat orang yang meninggal dunia dimasukkan ke dalam kuburan, kita sebagai rombongan yang mengantarnya hanya berhenti di atas kuburan. Selebihnya sang mayit akan ditanyai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT.
Saat jamaah haji tiba di suatu miqot (batas tertentu untuk berihram), mereka mulai melakukan ritual mandi sunnat ihram dan berpakaian ihram yang terdiri dua helai kain putih yang membalut sekujur tubuhnya. Tidak diperkenankan memakai baju berjahit apalagi baju kebesaran dengan segala atribut pangkatnya. Meskipun di Tanah Air mereka seorang pejabat atau jenderal. Pakaian mereka sama dengan jamaah haji lainnya; hanya dua helai kain putih.
Hal ini hampir sama yang kita temukan saat mengurus jenazah. Jenazah dimandikan dengan baik, kemudian dibungkus dengan kain kafan berwarna putih. Meskipun sang jenazah dari kalangan pejabat tinggi atau jenderal, kenyataannya pakaian mereka sama yang dipakai oleh orang rendahan jika telah wafat atau meninggal dunia. Ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa derajat manusia saat menghadap Allah SWT adalah sama. Yang membedakan kemuliaan seseorang adalah ketakwaannya. Oleh karena itu, dalam berhaji Allah SWT berpesan agar para jamaaah haji berbekal diri, dan bekal yang terbaik adalah bekal TAQWA. Sebagaimana firman Allah SWT yang tersebut diatas Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal “ (QS.Al-Baqarah: 197). Tentu saja, pesan ini bukan hanya untuk yang berhaji saja, namun juga berlaku bagi semuanya. Sebab, bekal terbaik dalam hidup kita adalah bekal taqwa.
Kemudian, dalam prosesinya, para jamaah haji pun akan berkumpul di padang Arafah guna melaksanakan ibadah wukuf yang menjadi inti ibadah haji. Rasulullah SAW bersabda: “Ibadah haji adalah wukuf di Arafah”. Di padang Arafah inilah semua jamaah haji berkumpul di waktu yang bersamaan, yakni tanggal 9 Dzulhijjah. Seluruh jemaah haji dari berbagai bangsa, suku dan Negara berbaur di padang Arafah ini. Tidak ada perbedaan antara bangsa maju dan bangsa berkembang, semuanya berbaur di tempat ini dengan pakaian sederhana berupa dua helai kain putih.
Hal ini mirip dengan gambaran orang-orang yang meninggal dunia dan datangnya hari Kiamat. Mereka yang telah wafat akan dibangkitkan lagi di akhirat dan akan dikumpulkan di padang Mahsyar. Mereka dikumpulkan mulai manusia yang hidup di zaman nabi Adam as hingga manusia yang hidup di akhir zaman nanti untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatannya di hadapan pengadilan Allah SWT yang Maha Adil.
Singkatnya, ibadah haji merupakan training mengenal perjalanan kematian. Oleh sebab itu, jika para jamaah haji mengerti akan pesan ini, maka sekembalinya mereka ke tanah air, mereka akan bertambah nilai iman, taqwa dan spritualnya. Hidup mereka akan berorientasi untuk kehidupan akhirat, sehingga mereka melipatkan gandakan etos kerja dan ibadah demi sebanyak-banyak bekal untuk kehidupan abadi di akhirat nanti. Itulah haji mabrur. Sebaliknya, jika niatnya hanya ingin kesohor dengan gelar hajinya atau tamasya saja, maka ia kembali sia-sia. Itulah haji mardud (haji yang tertolak). #

Tidak ada komentar: