Sabtu, 29 November 2008

Meneladani Nabi Ibrahim as

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia “ (QS. Al-Mumtahanah: 4).

Untuk kedua kalinya Nabi Ibrahim as diuji oleh Allah SWT, apakah dia lebih sayang dan cinta pada puteranya atau lebih cinta pada perintah Allah swt? Pada ujian pertama Ibrahim as lulus, yakni saat dikaruniai seorang putera yang bersih, tampan dan lucu, setelah sekian lamanya mendambakan seorang anak, Ibrahim as diuji agar meletakkan isteri dan anaknya di suatu lembah yang tidak ada pepohonan dekat Baitullah. Ayah mana yang rela meletakan ana keturunannya dan keluarganya di daerah yang asing dan tandus? Ayah mana yang rela berjauhan dengan anaknya padahal sekian lama dia merindukan keturunan? Namun,karena keimanan yang kuat pada dada Ibrahim as, perintah Allah yang berat itu tetap dilaksanakannya.
Namun, ujian Allah tidak sampai disitu. Saat Ismail as menginjak usia dewasa, Allah menguji kembali dengan memerintahkan Ibrahim as untuk menyembelih putera yang sangat dicintainya itu. Ada keraguan, apakah betul perintah yang datang lewat mimpi itu benar-benar perintah Allah atau hanya “bunga-bunga tidur” belaka?. Namun karena malam berikutnya beliau bermimpi hal yang sama, maka beliau yakin mimpi itu adalah perintah Allah swt. Maka Ibrahim as berkata, “"Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Nabi Ismail as menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (QS. Ashofaat: 102).

Setelah segala sesuatunya dipersiapkan, berangkatlah mereka untuk melaksanakan perintah Allah yakni mengorbankan Ismail as.
Melihat Ibrahim dan Ismail as akan melaksanakan perintah Allah, Iblis tidak senang dan berusaha menggagalkan rencana mereka. Maka datanglah iblis kepada Nabi Ibrahim as dan berkata, “Hai Ibrahim, mengapa engkau mau-maunya menyembelih puteramu? Bukankah dahulu kau mengharapkan mempunyai anak? Bukankah dia anak satu-satunya bagimu? Abaikan saja perintah Tuhanmu itu!” Namun Ibrahim menjawab tegas sambil melontar batu kepada iblis, “Pergilah kau Iblis, Sebab aku telah rela mengorbankan anak yang ku cintai demi perintah Allah yang lebih aku cintai”.

Setelah gagal menggoda Ibrahim as, sang Iblis datang kepada Ismail. Dia berkata, “Hai Ismail, kau masih muda dan mempunyai masa depan cerah, mengapa kau mau saja dibunuh oleh ayahmu? Pergilah jauh, karena kau masih memiliki masa depan”. Dengan tegas Ismail as menjawab sambil melontar Iblis dengan batu, “Pergilah kau Iblis terlaknat, aku diciptakan Allah, maka aku harus patuh pada perintah Tuhanku.”

Usaha iblis ternyata tidak sampai disitu, dia mendatangi Siti Hajar isteri Ibrahim as dan membujuknya, “Hai Siti Hajar!, mengapa kau membiarkan suamimu yang akan menyembelih puteramu? Bukankah kau dulu yang melahirkannya antara hidup dan matimu? Bukankah kau yang telah susah payah menyusuinya dan mengasuhnya, lalu setelah dewasa, suamimu begitu saja akan membunuhnya?”

Siti Hajar pun tidak kalah tegasnya seperti suami dan anaknya, dia berkata kepada iblis sambil melontarnya dengan batu, “Enyahlah kau Iblis!, jangankan anakku yang disembelih, jika ini perintah Tuhan, aku bahkan siap menjadi korban!”.
Iblis pun merasa sia-sia dengan segala rayuan dan godaannya menggagalkan rencana Ibrahim dan keluarganya melaksanakan perintah Allah SWT.
Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari peristiwa di atas?

  1. Tidak ada obsesi dan cita-cita pada diri Iblis kecuali hanya ingin menggelincirkan umat manusia. Allah SWT telah menegaskan bahwa Iblis dan syaithan adalah musuh manusia yang nyata, karena itu kita tidak boleh berkompromi sedikitpun dengan musuh itu. Firman Allah SWt yang artinya, “Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS. Al-baqarah: 168)
  2. Iblis selalu mencari jalan agar kita tersesat. Jika ia gagal menggoda melaui cara pertama, maka ia akan mencari cara kedua, jika gagal, maka ia akan mencari cara ketiga dan seterusnya. Sebagaimana yang dilakukannya terhadap keluarga Ibrahim as.
  3. Ujian keimanan kita lebih banyak dikarenakan masalah rumah tangga. Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa saat syaitan melaporkan kerjanya kepada kepala Iblis, sang kepala tidak memberikan pernghargaan kepada syaitan yang dapat menggoda dengan zina, mencuri dan lain sebagainya. Namun pada saat syaitan bisa membuat suatu keluarga retak dan terjadi perceraian dan permusuhan, maka syaitan yang telah berhasil membuat suatu keluraga bercerai itu mendapat penghargaan dan pujian dari kepala Iblis (pimpinan syaitan).
  4. Untuk membentengi godaan, maka hendaknya keluarga harus dibentengi oleh keimanan yang kuat. Sebagaimana Nabi Ibrahim as telah membetengi anak dan isterinya dengan keimanan, sehingga ketahanan keluarga dapat tercipta dan tidak tergoyahkan, baik godaan itu dari internal keluarga maupun dari eksternal keluarga.
  5. Nabi Ibrahim dan keluarganya adalah contoh buat kita dalam menciptakan ketahanan keluarga yang dibutuhkan dalam zaman yang penuh dengan cobaan seperti sekarang ini. Benarlah firman Allah SWT yang artinya, “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia “ (QS. Al-Mumtahanah: 4).#
    Wallahu a’lam

    Muhammad Jamhuri

3 komentar:

Anonim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Anonim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Anonim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.