Kamis, 10 Juni 2021

Karomah Santri

Suatu hari, salah seorang guru muda di pesantren berkata kepada saya, "Abi (panggilan akrab saya di lingkungan pesantren), sebenarnya saya sudah lama mau ngomong sama abi. Tapi saya malu." . Saya menjawab, "Ngomong aja, tidak usah malu-malu, saya terbuka kok". "Gini bi, saya mau izin kepada Abi mau mencucikan kaki Abi lalu air cuciannya mau saya pakai buat mencuci muka saya." Katanya. Dia beralasan agar mendapat berkah "karomah" saya. Lalu saya meluruskan dan jawab begini, "Kalau Antum lakukan itu dan diketahui oleh orang yang kamu minta (saya), dikhawatirkan orang yang dicucikan kakinya (saya) lalu air cuciannya untuk diusapkan ke wajah Antum itu, atau untuk Antum minum, Ana khawatir akan timbul sikap ujub dan ghurur pada dirinya (saya). 

Lalu saya pun memberi saran kepada guru muda itu. "Kalau ingin mendapat karomah, bersungguh-sungguhlah  mengabdi kepada para santri, mengajar mereka dengan baik dan amanah. layani kebutuhan mereka, penuhi hak-hak mereka, sayangi mereka, beri tauladan yang baik dan arahkan mereka. Maka dengan begitu insya Allah kamu akan mendapat karomah.

Saya memberi alasan kepadanya: karena anak-anak santri ini masih usia muda, baru masuk usia aqil baligh, yang menurut syariat Islam baru mulai dicatat amalnya. Sementara mereka sudah memulai masa aqil balighnya penuh dengan ibadah dan ketaatan di pesantren. Mereka shalat lima waktu dan tak meninggalkannya. Bahkan mereka lakukan dengan berjamaah yang kualitas lebih tingga dari shalat sendiri, mereka juga setiap hari membaca dan menghafal al-Quran, belajar ilmu agama, serta membaca doa dan wirid. Oleh sebab itu, jika seorang guru memuliakan dan melayani muridnya, maka ia akan mendapat karomah (kemuliaan).

Buat apa mencuci kaki kyai lalu air bekas cuciannya diminum atau dibasuhnya, sementara arahan kyai untuk memperhatikan, mengajari dan memberi tauladan kepada para santri tidak diindahkan?

Demikian juga dengan orang tua dan famili santri. Ketika orang tua atau familinya memberi perhatian besar kepada anaknya yang sedang nyantri, baik perhatian finansial, fisik maupun kejiwaan, maka mereka akan mendapat balasan karomah yang besar. Uang yang diinfakkan untuk kebutuhan anaknya yang sedang nyantri sama dengan menginfakkan hartanya di Jalan Allah swt. Bukankah Rasulullah saw bersabda, "Siapa yang keluar dalam menuntut ilmu maka ia berada di jalan Allah hingga ia kembali pulang" (HR: Muslim).? 

Orang tua yang bersungguh-sungguh membiayai anaknya yang sedang nyantri (menuntut ilmu) pun akan dimudahkan rezekinya oleh Allah swt. Saya pernah meyakinkan orang tua dari dua puteranya yang mendapat kesempatan kuliah di Luar Negeri selesai tamat dari pesantren. Orang tua tersebut awalnya berkata, bahwa setelah dihitung-hitung kebutuhan untuk memberangkatkan dua putranya, maka diyakini tidak dapat dipenuhi. Lalu saya meyakinkan berkali-kali. Dan akhirnya sanggup juga untuk memberangkatkan puteranya menuntut ilmu di luar negeri.

Bagi para guru dan pengasuh pesantren pun, jika bersungguh-sungguh memperhatikan pendidikan para santrinya serta memperhatikan keluhan dan kebutuhannya (jasmani dan rohani) akan mendapat berkah karomah mereka. Karena sejatinya  Allah swt sedang melihat dan menilai "Kita Sedang Melayani Para Pejuang di Jalan Allah".

Syeikh Hisyam Al-Burhani ulama Syam, dalam sebuah seminarmya  bercerita kisah nyata tentang karomah santri. 

Ada seorang petugas penggali kubur (dalam bahasa Arabnya : al-Haffar) yang bekerja di satu pemakaman umun di kota Damaskus. Hari itu dia mendapat permintaan dari seorang ibu untuk menggali kuburan untuk puteranya yang sudah wafat. Segera al-Haffar (penggali kubur) itu menggali kuburan. Selang beberapa waktu datang serombongan kecil orang membawa jenazah putra sang ibu tadi yang juga diantar ibunya. Al-Haffar pun masuk ke dalam lubang kubur untuk menerima dan  meletakkan jenazah tersebut. Namun beliau kaget, saat jenazah diletakkan di liang lahad nampak, di dalam kubur itu taman yang indah dan luas, hingga dia pun jatuh pingsan. Prosesi penguburan dilanjutkan oleh orang lain. Dan al-Haffar (si penggali kuburan) pun siuman setelah rombongan keluarga jenazah sudah pulang. Dia tidak sempat menanyakan apa-apa kepada ibu jenazah itu.

Beberapa bulan kemudian, ibu itu kembali memesan satu lobang kuburan untuk jenazah putranya lagi. Sang penggali kuburan sudah siap di dalam lubang kubur saat rombongan keluarga si ibu sudah datang membawa jenazah. Ketika akan menerima jenazah di dalam lubang kubur, penggali kubur ini lagi-lagi melihat pemandangan kuburan bagaikan taman yang indah dan luas. Namun kali ini dia kuatkan jiwanya agar tidak pingsan seperti kejadian pertama. Usai prosesi penguburan, dia segera menemui sang ibu. Lalu dia menceritakan peristiwa yang dia alami saat meletakkan kedua jenazah itu dan bertanya tentang dua jenazah tadi, siapa? dan apa amalnya selama hidup.?

Ibu itu bercerita, "Adapun jenazah pertama dia adalah putraku, dia wafat di tengah-tengah dia sedang menuntut ilmu (nyantri) di  sebuah Jami' (pesantren). Sedangkan jenazah yang kedua adalah kakaknya yang bekerja sebagai tukang kayu. Dia sering memberi bekal dan biaya kepada adiknya yang sedang nyantri itu."

Syeikh Hisyam al-Burhani lalu melanjutkan kisahnya, sejak peristiwa itu si penggali kubur itu resign mengundurkan diri dari kerjanya sebagai petugas penggali kubur dan dia mendaftarkan dirinya kepada seorang imam (Kyai) di sebuah Jami' (masjid dan pesantren) untuk menjadi santri. Saat itu sang imam keheranan karena si penggali itu usianya sudah 51 tahun. Lalu penggali itu menceritakan latar belakang keluar dari pekerjaannya dan ingin menuntut ilmu menjadi santri. Lambat laun si penggali itu belajar dengan baik walau mulai dari ilmu-ilmu dasar. Dan dia ajak anak-anak dan cucunya agar menjadi santri.

Syeikh Hisyam al-Burhani pun berkata, Kini anak keturunannya dikenal dengan para sebutan imam dan alim (kyai). Dan mereka cukup dikenal di tengah-tengah masyarakat. Maka kini jika ada ulama besar dengan nama akhirnya ada sebutan "Al-Haffar" itu lah keluarga  dan keturunan dari sang penggali kubur itu.

Sumber kisah: Syeikh Hisyam al-Burhani