Selasa, 05 Juni 2018

Ngucapin “Minal Aidin wal Faizin - Mohon Maaf Lahir Batin” itu Bid’ah? Ah..Masa sih?


Sentilan-Sentilun Ala U.J (Ust. Jamhuri)

Ngucapin “Minal Aidin wal Faizin - Mohon Maaf Lahir Batin”  itu Bid’ah? Ah..Masa sih?

“Ustadz, saya baca broadcast di WA, katanya mengucapkan kata “Minal Aidin wal Faizin-Mohon Maaf Lahir Batin” di hari raya itu adalah perbuatan bid’ah. Apa betul, ustadz?” Tanya jamaah peserta i’tikaf.

“Kalau perbuatan itu dianggap bid’ah saja, maka jawabannya ‘iya’. Sama dengan protes sahabat-sahabat kepada Umar bin Khattab saat beliau mengumpulkan taraweh dengan berjamaah yang belum pernah dilakukan Nabi saw dan Abu Bakar sebelumnya, “Bukankah ini perbuatan bid;ah?”. Umar menjawab, “Ini bid’ah yang baik”. Bahasa arabnya “Ni’matul bid’ah hadzihi”. Malah kalo diartikan letterlooknya “Sebaik-baik bid’ah, ya inilah”. Jadi ada bid’ah yang bukan sekedar baik tuh, tapi sebaik-sebaik, lebih baik dari yang baik. Ya kan?. Apa itu? Ya..dalam contoh ini shalat taraweh berjamaah yang “dibuat-buat” Umar bin Khattab.” Jawab ustadz santai..

“Tapi kan ustadz, bukankah Rasulullah saw telah mengajarkan ucapan yang sesuai dengan sunnah, yaitu “Taqabbalallahu Minna wa Minkum?” Sanggah jamaah.

“Nah, itu yang terbaik. Apa saja yang datang dari Nabi saw itu yang terbaik. Amalkan dengan rasa semangat dan kecintaan...” Jawab ustadz menyarankan.

“Kalau begitu, ustadz setuju yang mana, ucapan “taqabbalallahu Minna wa Minkum?” atau “Minal Aidin wal Faizin-Mohon Maaf Lahir Batin”? Tanya jamaah minta kepastian.

“Saya gak setuju dengan yang pertama” Jawab ustadz santai..

“Lho?, kan yang pertama itu ucapan dari Nabi, ustadz? Kok ustadz malah gak setuju?” protes jamaah.

“Bukan, Saya gak setuju yang pertama itu, maksudnya isi statemen dalam pertanyaan Bapak, bahwa mengucapkan kata “Minal Aidin wal Faizin-Mohon Maaf Lahir Batin” itu adalah perbuatan bid’ah. Jika bid’ah itu diartikan sebagai bid’ah yang sesat. Saya gak setuju” Jawab ustadz.

“Maksud ustadz,?” Tanya jamaah penasaran

“Begini, Ucapan “Minal Aidin wal Faizin-Mohon Maaf Lahir Batin” itu adalah kearifan lokal, bukan mau merubah apalagi menyaingi apa yang disunnahkan Nabi saw. Ucapan ini sudah enak terdengar di telinga orang Indonesia dan mereka memahami maksudnya, ehm..walaupun belum semua masyarakat tahu makna bagian pertama ucapan itu, yakni “minal aidin wal faizin”. Jadi, kearifan lokal jangan dibenturkan dengan sunnah dan bid’ah. 

Sebagai contoh, khutbah idul fitri atau khutbah idul adha, hampir semua khatib di Tanah Air, selain bacaan rukunnya, mereka menggunakan bahasa Indonesia bahkan bahasa daerah untuk menyampaikan pesan-pesan khutbahnya kepada masyarakat. Lalu apakah khutbah dengan bahasa Indonesia atau daerah itu kita sebut bid’ah?. Nggak Kan?, baik Rasulullah saw maupun sahabat dan Tabi’in belum pernah mencontohkan khutbah pakai bahasa selain bahasa Arab kan? . Khutbah kan juga ibadah lho..? Lalu kenapa para ulama membolehkan khutbah dengan bahasa lokal? Karena agar pesan-pesan kebaikan itu sampai kepada jamaah dan masyarakat. Itulah yang saya katakan “kearifan lokal”.

Nah, pada saat kita mengucapkan “Mohon Maaf Lahir Batin” maka pesan ucapan kita sampai kepada orang yang kita ajak bicara. Itu kira-kira” Jelas ustadz

“Tapi kan, kata “Minal Aidin Wal Faizin” juga bahasa Arab, ustadz? Tidak semua masyarakat Indonesia mengerti artinya? Bahkan ada yang salah kaprah, makna “minal aidin wal faizin” diartikan “Mohon Maaf lahir batin” padahal kan artinya “Semoga menjadi orang yang kembali suci dan beruntung”? Bukankah ini perlu diluruskan, ustasz?” . Sanggah Jamaah

“Nah...itu, bapak ngerti bahasa Arab...eeee..jangan-jangan bapak juga seorang ustadz nih..? atau setidaknya pernah nyentren di pesantren nih....iya kan?” Tanya ustadz bercanda.

“Ah pak ustadz......Memang sih pak ustadz, saya pernah ikut pesantren.” Jawab Jamaah

“di Pesantren mana..?”. Tanya ustadz

”di Pesantren KILAT..!” Jawab Jamaah santai

“Astagfirullah...untung gak kesamber geledek saya. Kirain pesantren beneran gitu.”. Sahut ustadz

“Jadi, gimana dong ustadz, jawaban pertanyaan saya tadi..?” Jamaah mengalihkan pembicaraan.

“Itulah hebatnya orang Indonesia. Saking semangatnya mau menyebarkan dan mensyiarkan bahasa Arab, banyak “moment” yang tidak ada di Arab dan menjadi ciri khas Indoensia lalu di arab-arabkan, dan itu positif untuk pengembangan bahasa Arab. Setidaknya secara vocabulary. 

Contoh: kata”Halal bi Halal”. Kata ini Cuma ada di Indonesia, pahadal itu bahasa Arab. Dan di Arab sendiri gak ada istilah “Halal bi Halal”. Tapi baik kan isi acaranya? Saling silaturrahmi dan saling memaafkan?.

Terus contoh lain. Di Toilet-toilet masjid bahkan di Pom Bensi (SPBU), ada toilet khusus pria dan toilet khusus wanita, namun tulisannya “IKHWAN” untuk toilet pria dan “AKHWAT” untuk toilet wanita. Nah, ini kan hal positif? Masyarakat jadi ngerti dan kenal bahasa Arab?. Begitu juga dengan kata “Minal Aidin wal Faizin” yang berarti “Semoga kembali (kepada fitroh) dan menjadi orang yang beruntung”. Kata ini gak pernah ada dan gak dipergunakan oleh orang-orang Arab, -kebetulan saya pernah tinggal 6 tahun lho di Arab - tapi kata itu dipake oleh orang Indonesia yang semangat “meng-arabkan” Imdonesia. Jadi, ini adalah kearifan lokal yang disemangati oleh bahasa al-quran. Karena itu, ini bukan bid’ah yang disesatkan itu.” Jelas ustadz panjang lebar.

“Tapi, kok masyarakat sering memahami kata “Minal Aidin wal Faizin” dengan makna “Mohon maaf lahir batin, Ustadz?” Sanggah jamaah.

“Gini, kesalahan anggapan makna itu ada. Cuma saya melihat begini... Suatu kata bisa dikatakan indah kalau akhirannya antara kata-kata atau kalimat itu sama. Sehingga kata dan kalimat itu bisa bernilai puitis, indah dan enak di dengar. Nah. Pada kalimat “Minal Aidin wal Faizin” itu kan berakhir dengan huruf “I” dan “N” sehingga berbunyi “IN”. Kemudian kata “Mohon maaf lahir batin” pun diakhir dengan “I” dan “N” yang juga berbunyi “IN”. Karena kedua kata berakhiran sama, maka enak didengar. Kalau kalimat “Minal Aidin wal Faizin” kita terjemahkan apa adanya, sepertinya agak sulit membuat kata puitis yang enak didengar.
Belum lagi maksud si pengucap ucapan idul fitri ingin mengumpulkan dua hubungan dalam pergaulan, yakni hubungan dengan Allah berupa doa “Minal Aidin wal Faizin”, juga hubungan sesama manusia berupa permohonan maaf kepada sesama manusia  “Mohon maaf lahir dan batin”.

Jadi, menurut saya...ini adalah kekayaan dan kearifan lokal yang disemangati oleh ghiroh agamis. Bayangkan kalau disemangati oleh sekuler...apa jadinya?. Jadi, yang namanya budaya, baik-buruknya, dilatar belakangi oleh ‘civilazation andculture”. Dan alhamdulillah kultur masyarakat kita banyak dilatar belakangi oleh ajaran agama Islam.” Jelas ustadz panjang lebar

“Oh ya.. satu hal lagi kearifan lokal kita.... Yaitu budaya memasak ketupat di setiap Idul Fitri. Bahkan, Kepolisian saja menamai “Operasi Lebarannya” dengan istilah “Operasi Ketupat”. Dikarenakan lebaran atau idul fitri identik dengan suguhan masakan ketupat. Ini juga kan..kearifan lokal? Coba deh.. di Arab sana, ada gak ketupat sebagai makanan khas idul fitri mereka? Ada gak ketupat di zaman Nabi dan para sahabat? Gak kan? Lalu apa kita bilang ketupat di idul fitri itu bidah  yang sesat?...gak kan? Nah, itulah kearifan lokal.” Tambah ustadz

“Dengan penjelasan tentang kelebihan ucapan “minal aidin wal faizin-mohon maaf lahir batin” tadi, berarti pak ustadz setuju kalau ucapan itu lebih baik dari ucapan “Taqabbalallahu Minna wa minkum?” Tanya ustadz penasaran.

“Kan sudah saya sampaikan di awal, bahwa , itu yang terbaik. Apa saja yang datang dari Nabi saw itu yang terbaik. Amalkan dengan rasa semangat dan kecintaan...Jikapun saya jelaskan panjang lebar tentang ucapan “Minal Aidin wal-faizin-mohon maaf lahir batin” untuk menjelaskan bahwa ini adalah kearifan dan khazanah lokal yang tidak perlu dibenturkan dengan sunnah-bid’ah. Jadi tetap.. apa yang datang dari Nabi, ambillah! (wa maaa ataakumu al-rasul fa khuzhuuhu, apa yang didatangkan Rasul padamu ambillah !).. tetapi yang tidak dilarang nabi saw serta baik jangan dicegah dan dilarang... karena ayatnya hanya yang dilarang Nabi yang harus dicegah (wa maa nahaakum ‘anhu fantahuuu..), adapaun kearifan yang tidak ada nash yang melarangnya, lalu ia baik dan tidak melanggar agama...tidak usah disebut sesat...Gitu luh...

Selain itu dalam ucapan “Taqabbalallhu Minna wa minkum” juga mengandung dua hubungan vertikal dan horizantal..karena kita pun mendoakan saudara kita.

Usul saya, saat bersalaman di idul fitri nanti, ucapkan tahniah yang diajarkan Nabi, kemudian karena tidak semua orang paham maknanya, silakan tambahin dengan tahniah kearifan lokal. Dan jika Bapak merasa terlalu panjang, ya ucapkan saja tahniah yang diajarkan Nabi. Namun kaalu ada yang mengucapkan tahniah lokal, jangan dituduh ahli bid’ah.....gitu aja repott”  Jelas ustadz.

“Alhamdulillah... jadi jelas ustadz, malam ini saya dapat pencerahan..” Ujar jamaah

“Itulah manfaat dari kita beri’tikaf. Dalam itikaf kita dapat beribadah, dapat ruhiyah, dapat ilmiyah, dapat ukhuwah, dan ayam serta kuwah.....he..he.. Oh ya..ngomong-ngomong Bapak itikafnya full kan sepuluh hari..?” Tanya ustadz

“He..he.. maaf pak ustadz,...saya iktikafnya malam doang...kalau siang saya masih harus masuk kantor.” Jawab ustadz

“ini..ni..nih... yang namanya “Itikaf ala Kalong”, malam nampak, siang gak nampak. Tahun depan niatkan dan ‘azamkan ya itikaf sepeluh hari?, itikaf ala Nabi...jangan itikaf ala kalong melulu...” ujar ustadz menasehati.

“Kearifan lokaaaal ... pak ustadz..he..he....” Jawab jamaah
“Ha..ha... kalong lokal itu mah..! Ya sudah sana,, tilawah....saya juga mau tadarus nih....” Ustadz menutup pembicaraan.






jj

Orang Yang Gak Puasa Gak Boleh Ikut Lebaran.? Masa..sih..?


Sentilan-Sentilun Ala U.J. (ust. Jamhuri)

Orang Yang Gak Puasa Gak Boleh Ikut Lebaran...? Masa..sih..?
.

 “Pak ustadz, apa benar orang yang tidak berpuasa  itu tidak boleh ikut lebaran?” Tanya seorang peserta itikaf

“Boleh” Jawab ustadz tenang.

“Lho? Waktu saya kecil, orang tua saya dan guru saya bilang, orang yang gak puasa gak boleh ikut lebaran?” Tanya jamaah penasaran.

“Boleh !, wong jangankan orang yang gak puasa, orang Tionghoa, orang kafir aja pada ikut lebaran kok?, iya toh?” ustadz meyakinkan.

“Bahkan, yang memanfaatkan dan merayakan lebaran justru orang-orang kafir”. Tambah ustadz.

“Maksud pak ustadz?” Jamaah tanya lagi penasaran.

“Lha, adanya ramadhan dan lebaran, yang paling merayakan keuntungan siapa? Mayoritas orang non muslim kan? Yang punya pabrik kecap siapa? Pabrik sirop? Garmen? Mall-mall?mini market? Kan mayoritas pemiliknya orang non muslim? Dan dagangan mereka laku keras kan?” Ustdaz mencoba meyakinkan.

“Hmm..iya sih....Tapi ustadz, bukan itu maksud saya, nanti di hari lebaran itu lho, yang boleh merayakan lebaran hanya yang berpuasa kan?” kata jamaah minta penegasan.

“Tetap.......saat lebaran juga orang kafir boleh  merayakan, bahkan mereka paling lama merayakannya. Buktinya, sebelum lebaran mereka sudah berliburan dan berlebaran  jalan-jalan dan tamasya ke luar negeri menikmati keuntungan selama ramadhan. Kalau kita yang muslim, paling kuat jalan-jalan ke kuburan, ziarah”  Ustadz menyanggah sekaligus menegaskan bahwa lebaran itu milik semua.

“Kalau semua boleh merayakan lebaran, kalau gitu apa dong keistimewaan orang yang berpuasa? Kalau yang ikut lebaran boleh siapa saja, apa gunanya kita berpuasa kalau begitu?” Tanya jamaah pasrah dan wajah yang nampak muram

“Begini, harus dibedakan dulu antara” Lebaran” dan “Idul Fitri”. Lebaran itu adalah tradisi yang bisa dilakukan siapa saja, baik orang yang puasa atau yang tidak puasa, baik  muslim maupun kafir. Tapi yang namanya “idul fitri” adalah kembali kepada kesucian, setelah dosa-dosanya diampuni dan amal ibadahnya diterima Allah swt.  Seseorang menjadi seperti seorang bayi yang kembali kepada kesucian. Nah, idul fitri dalam makna inilah hanya dapat dirayakan dan dirasakan oleh orang yang beribadah dengan baik selama bulan Ramadhan. Sedangkan orang yang tidak berpuasa tanpa uzur, apalagi dia kafir, mereka tidak merasakan dan merayakan idul fitri.” Jelas ustadz panjang lebar.

“Nah..itu tuh  maksud pertanyaan saya tadi pak ustadz” Tutur jamaah sambil mulai tersebyum.

“Harusnya dari awal pertanyaan bapak tuh begini, ‘orang yang gak puasa bisa ikut idul fitri gak?. Gitu, pak...” Ustadz meluruskan.

“Kan dari awal juga saya tanya begitu ustadz..?” ujar jamaah mengeles.
“Maaf,  bapak pernah menyaksikan aksi pelawak bernama BOLOT gak?” kini ustadz yang bertanya.

“Pernah, pak ustadz.” Jawab jamah, “Memang kenapa, pak ustadz..” tanya lagi
“Nanti malam, ada acara Opera Van Java, kata iklan TV,  Bolot akan menjadi bintang tamu..” Ustadz memberi informasi

“Terus?” tanya jamaah.

“Tonton sampai abis ya?  Dan perhatiin, dia ngomong “lebaran” atau “idul fitri”?

“Baik ustadz....” jawab jamaah..

“Lha...bukannya bapak sedang i’tikaf?kok mau nonton TV ” Tanya ustadz.

“Oh iya, saya bolot eh lupa amat ya?” jawabnya..



Perbedaan Waktu Puasa Dan Hikmahnya


"Pak ustadz, pramugari itu sudah mulai menyajikan makanan untuk passenger, dan sekarang jam saya menunjukkan pukul 18.00, apakah boleh saya makan buka puasa pak ustad?, sedangkan saya buka jendela pesawat, langit masih terang, masih siang? " Tanya seorang jamaah umroh yang sedang puasa di bulan Ramadhan dalam pesawat menuju Jeddah.

"Boleh..." jawab ustadz santai.

"Lho? tapi kan di sini masih siang ustadz?" Tanya jamaah penasaran.

"Lha? kan pertanyaannya boleh berbuka atau tidak? ya boleh lah... Maksud boleh berbuka puasa di sini, karena agama memperbolehkan buka puasa bagi musafir, tapi puasanya batal, alias harus diqodho di luar Ramadhan." jawab ustadz

"Ohh...? Lalu apa bedanya orang yang tidak sedang musafir atau tidak sakit, lalu dia tidak berpuasa tapi dia akan qodho, ustadz? kan yg penting bakal di-qodho?" Tanya jamaah lagi.

"Kalau seperti itu, dia berdosa, meskipun dia akan mengqadhonya, karena dia tidak berpuasa tanpa sebab syar'i yang bisa meringankannya." Sahut ustadz

"Waduh...pak ustadz, kalau kita terus puasa mengikuti waktu Jeddah, berarti kita akan puasa selama 18 jam dong? Soalnya matahari dan pesawat lagi kejar-kejaran nih"  Tanya jamaah lagi.

"Lha iya, karena patokan waktu berbuka puasa itu adalah saat maghrib di tempat orang yang berpuasa itu berada." jawab ustadz.

"Waduh...rasa lapar dan haus jadi panjang nih...?" keluh jamaah.

"Masih mendingan... !" ust menimpali

"Masih mendingan gimana ust?" Tanya jamaah lagi..

"Masih mendingan kita cuma puasa 18 jam ini cuma sehari ini saja, saudara-saudara kita di megara-negara yang memiliki  empat musim, tahun ini, sebulan Ramadhan  setiap harinya berpuasa 17 sampai 19 jam."  Ustadz menjelaskan.

"Waduh.... kalau begitu Allah tidak adil dong?" Kita puasa nya cuma 12 jam, sementara mereka 18 jam?" Jamaah mencoba mengkritik.

"Huss...hati-hati kalau ngomong. Salah satu sifat Allah itu adalah 'adil. Jadi tidak mungkin Allah itu tidak adil." Sanggah ustadz.

"Lha terus, kenapa harus ada yg puasanya 18 jam?, ada pula yang seperti kita stabil berpuasa 12 jam? bukannya itu tdk adil? Kenapa sih puasa tidak ambil bulan tahun masehi saja ustadz, umpamanya bulan puasanya bulan Desember aja, kan enak tuh, stabil musim dinginnya" Jamaah mencoba usul.

"Begini. Allah itu Maha Adil, mereka yg sekarang berpuasa 18 jam, karena kebetulan jatuh di musim panas yg siangnya lebih lama durasinya dibanding malam. Tapi nanti jika Ramadhan jatuh pada saat musim dingin, maka durasi puasanya lebih sebentar sehingga puasa mereka bisa hanya 8 jam. Nah adil kan Allah itu? Ada saatnya  lama ada saatnya sebentar piasanya. Ada gilirannya lah...Nah. sedangkan orang yang tinggal di Kutub dimana musim dinginnya abadi, para ulama telah membahas pada bahasan khusus.

Terus, Allah dan Rasulnya sdh memilih bulan-bulannya berdasarkan perputaran Qomariyah (bulan) sebagai waktu-waktu ibadah, dari Muharram hingga Dzulhijjah, bukan dari Januari hingga Desember. Itu sudah ketentuan Allah swt dan Rasul-Nya...

Adapun hikmahnya adalah, agar kaum muslimin siap menjalankan perintah Allah dalam kondisi apapun. Di negara-negara yg memiliki 4 musim, jika seseorang di sana hidup 20 tahun, maka akan mengalami puasa di empat musim tersebut: musim panas, musim dingin, musim gugur dan musim semi. " Jelas ustadz panjang lebar.

"Oh ya ustadz, lebaran juga pake kalender hijriyah-qonariyah ya ustadz? misal 1 syawal, 10 dzulhijjah dan lain-lain?" jamaah menambahkan

"Betul... mayoritas ibadah dikaitkan dengan bulan hjriyah qimariyah, dan bukan bulan syamsiyah-masehi. Seperti puasa ayyamul bidh tiap tgl 13-14-15 bulan hijriyah, puasa asyura pd tgl 10 muharram, puasa Arafah tgl 9 Dzulhijjah dan lain-lain.... Oh ya...ngomong-ngomong bapak hafal tidak nama-nama bulan hijriyah..?" Tanya ustadz

"Mmmm...anu..eh..anu... pak ustadz....gak hafal ustadz..?"Jjawab jamaah sambil nyengir

"Kalau bulan-bulan masehi, hafal?" Ustadz balik tanya..

"Hafal dong ustadz...tanggalnya aja tiap hari saya hafal....hehe...apalagi kalau deket gajian, ustadz..." Jawab jamaah..

"Itulah...   khazanah bulan-bulan Islam saja banyak dilupakan oleh orang Islam sendiri..." Ustadz menyindir

"Afwaaaaaan ustadz, iye deh, nanti pulang umroh saya rajin lagi ngajinya..." ujar jamaah berjanji

Senin, 04 Juni 2018

Ribut Kapan Lebaran, Lupa Ibadah dan Zakat


Sentilan-Sentilun Ala U.J (Ust. Jamhuri)
Lebaran Tahun ini, Kamis atau Jumat sih...?

“Pak ustadz, kira-kira lebaran tahun ini jatuh pada hari Kamis atau Jumat, ya?” Tanya jamaah kepada ustadz

“Ah, Bapak sih kayak anak kecil aja!” Ustadz menaggapi santai

“Maksudnya apa ustadz? Ada yang salah kalau saya nanya begitu?” Tanya jamaah agak kecewa

“Tidak, Cuma tidak elok saja..Bahkan boleh dikata tidak dewasa.” Ustadz menanggapi

“Maksud ustadz?” Tanya jamaah lagi

“Begini, banyak orang yang konsentarsi ke hari itu, tapi lupa dia sedang berada di hari apa?
 Sedang di bulan apa? Apa yang dilakukan di tengah-tengah waktu seperti ini?.  Ibarat anak
murid, baru juga beberapa hari menghadapi ujian, sudah nanya kapan liburannya? Lalu lupa tidak mempersiapkan ujiannya, tapi sibuk membicarakan liburan dengan temannya, dengan keluarganya, dengan berbagai rencana di dalamnya. Akhirnya, ketika hasil ujian diumumkan, nilainya buruk, bahkan tidak lulus. Akibat sibuk bicara tentang liburan dan perencanaannya. Tapi lalai dengan ujiannya” Ustadz coba menjelaskan.

“Bahkan, beberapa tahun lalu, ramai di media elektronik dan cetak, memberitakan perbedaan pendapat tentang hari idul fitri, antara satu ormas dengan ormas lain saling adu argumentasi, kemudian imbas ke masyarakat, hingga di sebuah kampung, masjid kampung yang satu-satunya menjadi rebutan antara kelompok yang mendukung lebaran hari ini dengan kelompok yang lebarannya besoknya. Sudahlah...!  masalah penentuan lebaran kita serahkan kepada ulil amri, para ulama dan pemerintah, atau ormas yang menjadi naungan kita. Yang perlu kita menyibukkan diri adalah apakah sisa Ramadhan kita ini dapat selesai dengan baik? Bisa husnul khotimah? Ataukah hanya akan kita lewati begitu saja?. Istilah anak murid, ujian yang sedang dihadapi akan mendapat nilai terbaik tidak?” Ustadz menjelaskan panjang lebar.

“Betul ustadz. Tapi kenapa orang banyak meributkan hari apa lebaran jatuh ya?” Tanya jamaah.

“Ini yang harus kita evaluasi. Pengusaha garmen ingatnya kapan lebaran? Sehingga dia mempersiapkan peningkatan produksi garmennya. Pengusaha kue juga begitu. Bahkan orang miskin, atau orang-orang yang pura-pura miskin, konsentrasi nya pada lebaran, bukan pada ibadah Ramadhan  yang rentang waktunya lebih panjang dari pada lebaran.” Ujar Ustadz menambahkan.

“Maaf ustadz, tadi ustadz mengatakan orang miskin pun konsentrasinya kapan lebaran? Apa keperluan mereka memikirkan hari lebaran?. Kalau pengusaha tadi kan wajar memikirkan kapan lebaran? Untuk menentukan jumlah produknya menjelang dan saat lebaran. Tapi kalau orang miskin kan gak punya pabrik?” Jamaah protes.

“Lha kan orang miskin juga tahu kapan saja waktu ramai yang dapat menghasilkan pendapatan?” Jelas ustadz

“Oh iya..ya..” . Jamaah mengangguk-angguk

“Nah..gara-gara konsentrasi kepada hal itu, konsentrasinya serba ke materi, akhirnya hikmah zakat fitrah yang diajarkan Nabi saw pun sirna.” Ustadz menimpali

“Maksudnya?” Tanya jamaah.

“Di antara hikmah zakat fitrah yang harus dikeluarkan sebelum bubar shalat ied, adalah agar di hari dan suasana berbahagia itu tidak ada lagi kesedihan, apalagi suasana kemiskinan. Semua mukmin berbahagia. Oleh karena itu, harus dipastikan semua orang yang miskin mendapat zakat fitrah. Oleh sebab itu juga, zakat fitrah kewajiban yang harus dikeluarkan untuk setiap individu, baik yang sudah berakal maupun tidak, dewasa atau anak-anak. Agar dipastikan orang miskin semua akan mendapat zakat fitrah dan mereka ikut berbahagia di hari lebaran. Tapi kenyataannya, setiap kita mau masuk mesjid atau lapangan untuk melaksanakan shalat idul fitri, pasti disambut oleh orang miskin, atau orang-orang yang berpura-pura miskin dengan pakaiannya yang serba kumuh. Demikian juga saat kita bubaran shalat, saat keluar masjid maka mereka sudah berbaris dengan tangan yang di tengadahakan sambil minta belas kasih sayang. Bahkan dengan pemandangan anak-anak yang digendongnya seakan mereka memang dimintai belas kasih sayang. Jika demikian, mana fungsi zakat fitrah disini? Apakah zakat fitrah yang kita keluarkan salah sasaran? Ataukah memang mereka berpura-pura miskin di hari itu? Apapun juga alasannya, pemandangan banyaknya orang-orang miskin yang meminta belas kasih dihari raya sudah tidak boleh ada lagi. Tidak sesuai dengan hikmat dan tujuan adanya zakat fitrah.  Karena zakat fitrah sudah didistribusikan, sebelum shalat ied selesai” Jelas ustadz panjang lebar.

“Kalau zakat fitrah sudah didistribusikan kepada mustahik, apa mungkin karena mental mereka selalu meminta-meminta ustadz, sehingga di Idul Fitri pun, malah mereka menjamur di sekitar masjid?” Ujar jamaah.

“Wallahu a’lam...kita tidak boleh su-uz zhon” Ustadz menimpali.

“Tapi ustadz,  pernah ada penilitian dan sampling, bahwa para pengemis yang biasa mengemis  merasa lebih baik jadi pengemis dari pada bekerja, karena penghasilan mengemis itu lebih besar dari pada bekerja, apalagi gak punya keterampilan. Bayangkan saja, jika jika lampu merah menyala merah selama 3 menit, dalam setiap 3 menit itu seorang pengemis mendapat pemberian sebesar Rp.6000 atau setara Rp.2000 per menit, maka jika sehari mengemis 8 jam, yang berarti 8 jam x 60 menit = 480 menit x Rp.2000 = Rp960.000/hari.  Berarti sebulan (30 hari x Rp 960.000) pendapatannya  mencapai Rp  28.800.000.  Ini berarti lebih besar dari pejabat sekalipun. Nah..apalagi musim ramadhan dan lebaran seperti ini, pak ustadz.” Terang jamaah.

“Lha inilah PR kita semua, para ulama harus tetap menanamkan jiwa kemandirian,  bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah, sementara pemerintah harus membuka lapangan pekerjaan dan pelatihannya. Saya menyaksikan di Turki, di sana nenek-nenek atau kakek-kakek yang sudah tua sekalipun tidak mengemis, mereka menjual mainan seperti gangsing, atau menjual sarung tangan, atau topi kupluk di saat musim dingin. Padahal jika mereka menjadi pengemis pun sudah pantas, namun mereka tidak lakukan. Demikian anak-anak remaja di Ghaza, -nah kalau ini  menurut teman saya- mereka tidak mengemis kepada tamu asing yang mengunjungi Gaza, tapi mereka menawarkan teh panas untuk mendapat se-sen dua sen. Padahal mereka pantas jika mengemis kepada orang asing yang datang kesana. Jiwa ini yang harus ditanamkan. Oh ya...kok kita ngobrol sampai ke Turki dan Gaza ya? Tadi di awal kita ngobrol masalah apa ya?” Tanya ustadz setelah bicara ngalor-ngidul

“Anu ustadz.....tadi bicara masalah kapan lebaran?.....Tapi....sudahlah ustadz, saya gak mau tanya lagi.....memang kayaknya gak ada guna. Saya konsentrasi aja lah beribadah yang terbaik di akhir Ramadhan ini...Masalah penentuan hari Ramadhan saya serahkan saja kepada ahlinya.... ya kan ustadz?” Tanya jamaah minta persetujuan.

“Betul...sudah .! kita lanjutkan tilawahnya saja !..” Ustadz menutup obrolannya.