Kamis, 05 November 2009

Kiat Agar Dapat Pergi Haji

Dapat melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Makkah adalah dambaan setiap muslim. Akan tetapi untuk mencapai nya terkadang terasa sulit karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga tidak semua orang mendapat kesempatan untuk dapat melaksanakannya.

Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak melaksanakan ibadah haji. Faktor ketidakmauan, faktor takut, biaya yang mahal, bahkan faktor kesibukan dijadikan alasan untuk belum berangkat melaksanakan ibadah haji.

Akan tetapi dari semua faktor yang ada yang dominan menyebabkan terhambatnya seseorang untuk melaksanakan ibadah haji adalah faktor niat atau kemauan. Berapa banyak kita temukan orang muslim kaya raya belum juga berangkat menunaikan ibadah haji, dikarenakan faktor ketidakmauan atau belum ada niat.

Niat adalah cermin ketetapan hati. Ia adalah gambaran visi dari cita-cita hidup kita. Masa depan kita akan seperti apa banyak tergantung kepada visi kita. Dan visi itu dapat dijabarkan dengan niat.


Coba Anda sehari tidak makan dan minum, pastilah Anda merasa lapar dan dahaga. Namun jika di malam harinya Anda berniat untuk berpuasa, rasa lapar dan dahaga tidak seberat jika Anda tidak berniat puasa.


Demikian juga dengan sebuah cita-cita atau visi. Niat dan visi akan mengantarkan seseorang kepada tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Termasuk niat dan visi untuk berangkat haji ke Tanah Suci. Tidak ada salahnya bila saat ini kita menetapkan niat untuk pergi menunaikan ibadah haji. Karena berniat untuk melaksanakan suatu kebaikan akan mendapat kebaikan itu. Meskipun seseorang tidak jadi melaksanakan kebaikan yang diniatkan itu, ia tetap mendapat satu pahala kebaikan yang diniatkannya. Dan jika mampu melaksanakan kebaikan yang diniatkannya itu maka dia mendapat sepuluh kebaikan. Rasululllah saw bersabda, “Barangsiapa berkehandak suatu kebaikan kemudian tidak terlaksana maka baginya satu kebaikan itu, dan barangsiapa berkehendak suatu kebaikan lalu ia dapat melaksanakannnya maka ia mendapat sepuluh kebaikan itu”


Jadi, apa susahnya jika sekarang juga kita memasang niat untuk berhaji? Toh tidak terlalu susah? Tidak pula memerlukan modal? Serta tidak rumit prosesnya? Berniat hajilah Anda sejak kini, maka anda akan mendapat pahala kebaikan yang anda niatkan.


Untuk memantapkan terealisirnya niat di atas, maka kita harus menampakkan kesungguhan kita. Salah satunya adalah dengan bertawakkal kepada ALLAH. Allah SWT berfirman:
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (QS. Ali Imran: 159).

Tawakkal juga akan memudahkan segala urusan menuju apa yang dicitakan. Firman Allah SWT: “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya” (QS. At-Thalaq: 3)


Yang dimaksud tawakkal disini tentu tawakkal yang sebenarnya, yakni tawakkal yang disertai usaha. Rasulullah saw pernah meluruskan makna tawakkal yang salah yang dipahami salah seorang sahabat. Rasulullah saw bertanya, “Manakah untamu?.” sahabat itu menjawab: “Saya letakkan di luar”. Nabi saw bertanya, “Apakah sudah engkau ikat?” orang itu menjawab, “Tidak, karena saya sudah bertwakkal”. Nabi menjelaskan “Ikatlah dahulu untamu baru kemudian bertawakkallah!”.


Lalu, tawakkal seperti apakah agar kita dapat mencapai cita-cita pergi haji? Menabung!, ya menabung. Meskipun simpanan uang untuk berhaji hanya Rp.1000,. Timbul pertanyaan: Dapatkah dengan menabung sehari hanya Rp.1000 berangkat haji? Jangan-jangan kita keburu meninggal dunia?


Yakinlah bahwa keberangkatan kita ke tanah suci bukan semata karena kemampuan kita. Dia adalah kemampuan dan kekuasaan Allah,, dia adalah panggilan Allah. Yang harus kita usahakan adalah kesungguhan kita meraih kuasa dan panggilan Allah semampu yang bisa kita lakukan.


Ada pedagang bubur yang hanya menabung recehan penjualan buburnya ditakdirkan Allah berangkat haji dengan kekuasan-Nya. Ada pula seorang ustdaz kampung yang manabung selama tiga tahun baru terkumpul sepersepuluh harga ONH yang berlaku saat itu, namun pada akhirnya dapat berangkat menunaikan ibadah haji dengan takdir Allah. Ada pula orang yang mendapat beasiswa kuliah di Tanah Suci sehingga dapat melaksanakan ibadah haji. Ada pula seorang dokter yang gajinya pas-pasan ditakdirkan menjadi tim kesehatan jamaah haji sehingga ia dapat berhaji. Ada pula yang cuma jago pasang soundsystem diajak biro Haji Plus semata untuk mengatur sound pada acara wukuf di Arafah dan mabit di Mina, sehingga ikut melaksanakan ibadah haji. Bersiaplah dengan keajaiban dari Allah setelah usaha. #

Selasa, 03 November 2009

Haji; Ibadah Komprehensif

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji;
(QS. Al-Baqarah: 189)


Kutipan ayat diatas sangat singkat namun padat. Mengapa dalam ayat di atas hanya ibadah haji saja yang disebut? Bukankah ibadah-ibadah lain pun mempunyai waktu-watu tertentu?
Ibadah shalat umpamanya, mempunyai waktu-waktu tertentu, sepertu zhuhur, ashar, maghrib, isya dan subuh. Keterikatan pelaksanaan ibadah shalat dengan waktu ditegaskan Allah SWT dalam surat An-nisa: 103: “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”

Demikian pula halnya dengan ibadah zakat. Pelaksanaannya dikaitkan dengan waktu berupa haul (satu putaran setahun). Ibadah puasa pun dilakukan pada bulan tertentu saja, atau hari-hari dalam bulan Ramadhan saja (ayyaman ma’dudat), sebagaimana yang Allah jelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 183-185.

Adapun ibadah haji, keterikatannya dengan waktu dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat al-Baqarah: 197: (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi .(asyhurun ma’lumat)
Lantas mengapa hanya ibadah haji yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 189 di atas?
Syeikh Mutawally Sya’rawi, ulama ahli tafsir mengklasifikasi ibadah ritual kepada empat macam:

Pertama, ibadah zikir. Ibadah ini tidak membutuhkan kepada tenaga atau fisik yang kuat. Tidak juga memerlukan modal harta dalam pelaksanaannya, seperti membaca takbir, istighfar, tahlil dan lainnya.

Kedua, ibadah gerakan dan zikir. Ibadah ini membutuhkan sedikit tenaga fisik. Seperti ibadah shalat, karena dalam shalat terdapat gerakan sujud, ruku’ berdiri, duduk dan lainnya. Ibadah fardhu jenis ini adalah shalat lima waktu, sedangkan shalat sunnah-nya berjumlah banyak dan beraneka ragam, seperti shalat dhuha, tahajjud, witir, taraweh, hajat dan lainnya.

Ketiga, ibadah harta. Jenis ibadah ini jelas memerlukan modal harta dalam pelaksanaannya. Jenis ibadah ini yang bersifat fardhu adalah zakat. Sedangkan yang berbentuk sunnah adalah: infak, shadaqah, wakaf, hibah dan lainnya.

Keempat, ibadah menahan nafsu dan emosi. Ibadah jenis ini ada dalam ibadah puasa. Jenis ibadah ini yang bersifat fardhu adalah puasa di bulan Ramadahan. Sedangkan ibadah yang bersifat sunnah dari jenis ini antara lain; puasa senin-kamis, enam hari di bulan Syawwal, ayyamul bidh, puasa Nabi Daud dan lainnya.

Lalu, dimanakah posisi ibadah haji? Di sinilah letak konfrehensifitas ibadah haji, dan ini pula jawaban dari penyebutan hanya ibadah haji pada ayat di atas dan tidak menyebut ibadah lainnya. Mengapa demikian? Sebab, ibadah haji mengandung empat jenis ibadah yang disebutkan dalam surat al-Baqarah 189 di atas.

Dalam ibadah haji terdapat ibadah zikir, karena di dalamnya terdapat zikir-zikir tertentu seperti membaca talbiyah, tasbih, tahmid dan tahlil. Dalam ibadah haji pula terdapat ibadah gerakan yang membutuhkan tenaga bahkan fisik yang kuat, terutama saat melaksanakan thawaf, sa’I dan melontar jumroh. Lalu dalam ibadah haji pun terdapat ibadah harta, sebab orang yang pergi haji harus mengeluarkan biaya pergi haji (ONH/ongkos naik haji) atau Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH). Dan dalam ibadah haji pun terdapat ibadah menahan hawa nafsu dan emosi, kerana itu dalam ibadah haji tidak boleh melakukan rofats (berkata dan berlaku porno), fusuk (kedurhakaan) dan jidal (perdebatan). Itulah sifat konfrehensifitas ibadah haji. Sehingga ibadah ini hanya diwajibkan sekali saja dalam hidup seseorang. Adapun selebihnya adalah bersifat sunnah.

Bila hal-hal di atas adalah berkaitan dengan hablum minallah (hubungan manusia dengan Allah), maka hablum minannas (hubungan antar manusia) pun terdapat dalam ibadah haji.
Dalam ibadah haji, antara satu bangsa dengan bangsa lain saling mengenal, mereka bersimpuh dalam satu tempat (Makkah), melaksanakan satu aktifitas (ibadah) dan bertujuan satu harapan (mencari ridho Allah SWT). Dengan demikian ibadah haji telah mengajarkan kepada umat Islam akan kesatuan umat (ummatan wahidatan) dan persaudaraan Islami (ukhuwah Islamiyah). Nilai persaudaraan adalah nilai yang universal dalam membangun sebuah peradaban.

Ibadah haji memang ibadah yang konfrehensif, bukan hanya dilihat dari kandungan ibadahnya saja yang mencakup jenis-jenis ibadah yang ada dalam Islam, namun juga dapat dilihat dari peserta ibadahnya yang datang dari seluruh dunia. Jika orang yang datang pada pesta olahraga dunia (olimpiade) masih terbagi kepada dua kelompok: pemain dan penonton, maka dalam ibadah haji, mereka yang datang semuanya adalah “para pemain”, dan peserta, karena mereka seluruhnya ikut dalam “perlombaan” mencari keridhoan Allah SWT , sehingga mereka berusaha berbuat terbaik untuk mabrurnya ibadah haji mereka. )I(

http://muhammadjamhuri.blogspot.com

Rabu, 21 Oktober 2009

Gempa Bumi dan Kita

Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat ) dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: "Mengapa bumi (menjadi begini)?", pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya. (QS.Al-Zalzalah: 1-5)

Kutipan ayat di atas sangat relevan dengan kondisi musibah belakangan ini yang menimpa negeri kita. Dalam sepekan saja sudah lima kali terjadi gempa bumi dengan ukuran skala rikhter yang berbeda-beda. Belum selesai recovery korban gempa bumi Jawa Barat, telah terjadi gempa dengan kekuatan 7,6 skala rikhter di Padang sumatera Barat, selang dua hari terjadi lagi di wilayah Papua dengan kekuatan 4 skala rikhter. Disusul kemudian di daerah cilegon Banten, dan kemudian disusul gempa di Gorontalo.

Sementara itu, kasus meluapnya lumpur Lapindo dari perut bumi hingga kini masih menampakkan keatifannya. Maka benarlah apa yang difirmankan Allah SWT di atas dalam surat al-Zalzalah.

Persoalnnya, apa yang harus kita lakukan menghadapi musibah yang datang bertubi-tubi tersebut?

Ada dua tindakan yang kita lakukan; pertama menahan agar musibah itu tidak terjadi lagi. Kedua jika pun terjadi maka harus mempersiapkan diri menghadapi kejadian tersebut.

Untuk menghindari terjadinya peristiwa musibah gempa dan musibah lainnya, seperti banjir, tanah longsor dan gunung meletus, adalah dengan memperbanyak istighfar. Istighfar ini harus menjadi kesepakatan seluruh bangsa agar bangsa ini terhindar dari segala macam marabahaya. Istighafar atas berdiri dan legalnya tempat-tempat maksiat, istighfar atas tindak korupsi yang dilakukan para pejabat dan rakyat, istighfar para ulama dari kesalahan niat dakwahnya, istighfar dari segala macam kecongkakan pada Tuhannya, istighfar dari jual beli hukum yang dilakukan para penegak hukum. Dengan istighfar yang dilakukan bangsa ini maka musibah tidak akan menimpa mereka. Sebagaimana firman Allah SWT:

Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu (Muhammad) berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun “ (QS. Al-Anfal: 33)

Abu Musa al-’Asy’ari ra ketika mengomentari ayat di atas berkata; “Kami (sahabat) dahulu memiliki dua perisai dari segala macam musibah, yakni masih adanya Rasulullah saw di tengah-tengah kami, dan kami masih rajin beristighfar, sedangkan saat ini kita hanya punya satu perisai, yakni beristighfar, sedang Nabi saw sudah wafat. Maka jika suatu kaum meninggalkan istghfar maka kaum itu tidak dapat menghindar dari musibah”.

Dengan begitu sikap istighafar akan menjadi perisai dari segala macam musibah. Bukankah gempa bumi yang terjadi bukan sekedar gelombang lempengan bumi yang berjalan? Namun dia terjadi karena diperintah Allah? Sebagaimana yang dijelaskan pada ayat di atas.surat al-zalzalah.

Tindakan kedua agar terhindar dari musibah adalah dengan menjaga lingkungan dan bumi tempat kita berpijak. Ebite G Ade pernah menuturkan dalam syairnya; “Mungkin Tuhan mulai bosan, melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa, atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita, coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang”.

Betapa banyak anak manusia yang menggunduli hutan demi sekeping uang, betapa kita masih membuang sampah sembarangan, betapa kita sering melakukan kerusakan pada alam? Karena itulah bumi ‘melampiaskan amarahnya kepada manusia”

Itulah dua langkah yang kita bisa lakukan agar terhindar dari musibah, atau agar musibah tidak datang lagi kepada kita.

Adapun jika kita sulit terlepas dari intaian musibah, maka dua langkah yang harus kita persiapkan: pertama adalah menyiapkan diri kita agar jika musibah datang kepada kita dan kita diwafatkan oleh Allah, maka kita wafat dalam keadaan husnul khatimah, antaral lain:

Pertama, selalu berzikir kepada Allah SWT, yakni hati dan pikirannya, bahkan lidahnya selalu mengingat Allah. Rasulullah saw bersabda, “Hendaklah lidahmu basah dengan zikir kepada Allah”. Jika suatu saat musibah gempa atau lainnya menimpa kita dan kita diwafatkan Allah saat berzikir, maka itu termasuk husnul khatimah (kesudahan yang baik).

Kedua, jika kita tidak sempat untuk selalu berzikir, atau lupa karena kesibukan, maka kita berusaha selalu menjaga kesucian baik dari dosa maupun dari najis serta hadats. Oleh karena itu, usahakan agar kita selalu dalam leadaan suci dengan cara menjaga wudhu. Jika wudhu kita batal karena ingin buang air kecil atau lainnya, maka usahakan untuk berwudhu lagi, agar kondisi kita selalu dalam keadaan suci, bahkan saat kita akan tidur pun sebaiknya bersuci (berwudhu) terlebih dahulu. Allah SWT menyukai orang yang bersuci. Sebagaimana firman Allah yang artinya:

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS, al-Baqarah: 222)

Cara lainnya agar kita mendapat husnul khatimah saat kita wafat adalah berjaga-jaga dengan berpuasa sunnah. Ketika Rasulullah saw ditanya kenapa beliau berpuasa di hari senin dan kamis, maka jawab beliau adalah karena hari senin adalah hari kelahiranku, dan hari kamis adalah hari diangkatnya amal dalam sepekan, dan beliau menyukai jika pada saat diangkat amalnya dalam keadaan beribadah (yakni puasa).

Jika suatu saat gempa atau bencana alam datang tiba-tiba dan kita tidak dapat menghindar dari bencana itu, hingga kita diwafatkan akibat musibah itu, maka alangkah bahagianya saat meninggal dunia kita dalam keadaan beribadah (yakni puasa) atau dalam keadaan diri suci dari hadast karena menjaga kesucian berwudhu.. )I(

Kamis, 09 Juli 2009

Urgensi Amal Jama'i

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara” (QS. Ali Imran: 103)

Amal Jama’i secara harfiyah berarti bekerja sama, atau bekerja kolektif. Dalam kehidupan, amal jama’i (kerja sama) adalah sebuah kemestian. Tidak ada satu orang pun dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan pertolongan orang lain. Orang yang kaya membutuhkan si miskin untuk membantu tugas-tugas sehari-harinya. Orang miskin pun membutuhkan orang kaya.

Jika dalam kehidupan saja kita tidak terlepas dari amal jama’i, maka dalam sebuah perjuangan mencapai tujuan tertentu, atau cita-cita tertentu, maka amal jama’i lebih sangat dibutuhkan. Para pendahulu kita dahulu tidak mungkin dapat mewujudkan Indonesia Merdeka tanpa adanya amal jama’i (kerja sama). Demikian juga, sehebat apapun seorang Nabi atau Rasul tidak mungkin dapat mewujudkan negara Madinah tanpa adanya kerja sama antara kaum muslimin, terutama kaum Muhajirin dan Anshar. Oleh karena itu kerja sama atau amal jama’i mutlak dilakukan dalam mewujudkan sebuah cita-cita atau tujuan. Kenapa demikian?

Pertama, karena amal jama’i adalah tabiat alam (natural). Bangsa semut tidak dapat membuat sarang atau menyimpan makanan tanpa adanya kerjasama di antara mereka. Bila kita melihat kehidupan semut, betapa mereka ulet dan saling bergotong royong dalam bekerja. Bahkan bila seekor semut bertemu dengan kawannya dia berhenti sejenak dan saling besalaman. Demikian juga pada kehidupan lebah, mereka mempunyai tugas masing-masing dalam mengembangkan dirinya dan di antara mereka tercipta kerjasama yang harmonis dalam bekerja.

Kedua, karena manusia adalah makhluk sosial. Meskiupun nabi Adam telah disediakan segala kenikmatan surga, namun beliau masih saja merasa kurang jika tidak ada teman dalam hidupnya. Sehingga Allah menciptkan Hawa sebagai teman hidupnya. Demikian pula kita dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat hidup sendiri, melainkan membutuhkan bantuan orang lain.

Ketiga, karena persatuan itu kekuatan dan bercerai berai itu adalah kelemahan. Ibarat lidi, bila dia sendirian, maka dia mudah dipatahkan. Namun jika hidup bersama dalam sebuah jamaah (kumpulan) sapu lidih, maka ia sulit dipatahkan.

Seekor singa tidak akan menerkam seekor rusa yang berkumpul bersama kawanan rusa lainnya. Namun jika rusa itu telah terpisah dari kawanan rusa lainnya, maka ia akan mudah diterkam dan di mangsa oleh singa.

Oleh sebab itu Rasulullah saw telah mengingatkan kepada kita bahwa suatu saat umat Islam akan menjadi santapan umat lain. Padahal pada saat itu jumlah umat Islam begitu banyak. Akan tetapi banyaknya tidak memiliki kekuatan. Mereka bagaikan buih yang terombang-ambing kesana kemari. Hal itu disebabkan karena mereka memiliki penyakit berupa wahan. Para sahabat apakah wahan itu? Rasulullah menjawab wahan adalah cinta dunia dan takut mati.

Cinta dunia akan menimbulkan sikap egois dan jauh dari amal jamai. Cinta dunia juga membuat lemahnya semangat perjuangan meraih pahala surga. Sehingga umat lain dapat mudah menyantap umat Islam seperti kawanan srigala menyantap kambing-kambing.

Keempat, karena kemampuan invidu atau perorangan itu sangat terbatas. Setiap kita bukanlah Superman atau Avatar yang dapat mudah merubah dunia secara sendirian. Ada di antara kita yang hanya mampu menjadi pedagang, namun tidak mampu menjadi politikus. Ada yang mampu menjadi sekretaris yang bekerja di kantor namun tidak mampu menjadi kurir atau marketing di lapangan.

Oleh sebab itu kita membutuhkan bantuan orang lain. Terlebih dalam mewujudkan sebuah cita-cita, karena tidak mungkin dilakukan oleh perorangan. Dengan berhimpunnya manusia-manusia dengan latar belakang dan keahliannya masing-masing maka hal itu akan saling melengkapi, sehingga cita-cita atau tujuan yang dicapai akan terwujud.

Dalam perjuangannya, Rasulullah saw memiliki sahabat-sahabat yang memiliki karakter masing-masing. Abu Bakar dikenal sebagai orang yang paing arif karena kematangan usianya. Umar bin Khattab dikenal sebagai orang yang tegas da berwibawa dalam memutuskan suatu perkara. Utsman bin Affan dikenal sebagai konglomerat yang banyak menginfakkan harta di jalan Allah SWT. Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai anak muda yang cerdas serta penuh hikmah.

Keragaman karakter seperti itu memperkaya khazanah serta saling melengkapi satu sama lainnya, sehingga Islam dapat tersebar luas hampir ke seluruh benua dalam jangka waktu yang singkat.

Kelima, karena umat lain pun bersatu dan bekerja sama dalam menghadapi umat Islam. Allah SWT berfirman yang artinya, Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu (QS. Al-Baqarah: 120)

Oleh sebab itu, umat Islam pun harus bersatu dan tidak boleh terpecah belah. Bukan saatnya lagi umat Islam dipecah-belah karena perbedaan organisasi atau partai, apalagi menghasut dan memfitnah sana sini. Sebagaimana firman Allah SWT: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu -Karena nikmat Allah– menjadi orang-orang yang bersaudara” (QS. Ali Imran: 103) . Wallahu a’lam. )I(

Selasa, 30 Juni 2009

Memohon Jalan Yang Lurus

"Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat."(QS. Al-Fatihah: 6-7)

Sebanyak tujuhbelas kali –dalam sehari semalam– minimal kita memohon jalan yang lurus. Betapa tidak? Setiap kita melaksanakan shalat lima waktu, maka surat al-Fatihah harus kita baca dalam setiap rakaatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw “Tidaklah sah shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah (pembuka kitab)”.
Mengapa surat al-Fatihah begitu penting kita baca dalam shalat kita? Mengapa dia menjadi rukun shalat sehingga jika ditinggal maka akan batal shalat kita? Karena al-Fatihah adalah inti isi al-qur’an seluruhnya. Dia adalah pokok seluruh ajaran al-Quran. Di dalamnya ada kandungan akidah, ibadah, sejarah, serta manhaj (sistem) hidup bagi manusia. Al-fatihah, di dalamnya ada doa yang selalu kita panjatkan “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.(QS. Al-Fatihah: 6-7).
Dalam ayat itu, kita selalu memohon jalan yang lurus. Sebenarnya, apa sih jalan yang lurus itu? Dijelaskan bahwa jalan yang lurus itu adalah jalan yang pernah ditapaki oleh orang-orang yang telah Allah beri nikmat pada mereka, dan bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan pula jalam orang yang sesat. Pertanyaannya, siapakah orang yang pernah diberi nikmat oleh Allah SWT? Siapa pula orang yang pernah dimurkai? Dan siapa orang yang pernah sesat itu?
Dalam surat An-Nisaa ayat 69 Allah SWT berfirman yang artinya: 69. “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman baiknya.
Dalam ayat diterangkan bahwa orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah adalah Para Nabi, shiddiqin (orang yang teguh dan jujur keimananannya), orang yang berjuang membela agama Allah hingga mati syahid dan orang-orang shaleh. Dengan kata lain, bahwa jika kita menghendaki jalan yang lurus yang selalu kita mohonkan kepada Allah, maka kita harus berusaha mengikuti dan menapaki jalan yang pernah ditempuh oleh empat tipe manusia di atas:
Pertama, jalan yang pernah ditapaki para Nabi. Yakni jalan dakwah. Tugas para Nabi saw di dunia ini adalah berdakwah dan mengajak manusia kepada jalan kebaikan. Tugas mulia ini tentu saja bukan jalan mulus yang dihamparkan permadani. Melainkan jalan yang penuh dengan onak dan duri. Kesabaran dalam menjalani jalan dakwah ini adalah sebuah kemestian. Jika kita bisa melewati dengan baik dan sabar, maka kita akan selalu berada dalam jalan yang lurus. Para Nabi juga tidak segan-segan untuk memberikan peringatan kepada para penguasa yang keluar dari jalan kebenaran. Oleh karena itu tugas ini sangat berat, apalagi dituntut istiqomah dalam ajaran agama. Banyak di antara manusia yang berteriak membela agama, namun justru mereka menjual agama setelah mengetahui gemerlapnya dunia. Keistiqomahan dalam beragama sekaligus istiqomah dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah berat, namun jika bisa dilaluinya maka ia akan mencapai derajat para nabi.
Kedua, jalan yang pernah ditapaki para shiddiqin. Shiddiqin adalah orang-orang jujur dan teguh akan keimanannya. Abu Bakar mendapat gelar ash-shiddiq karena begitu kuat dan jujurnya keimanan beliau. Tidak ada secuil ruang pun dalam hatinya keraguan akan kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad saw. Tidak ada sedikit pun ruang keraguan kepada Allah SWT, hingga saat Rasulullah dan umat membutuhkan biaya besar dalam sebuah pertempuran, Abu Bakar meng-infakkan seluruh kekayaannya untuk perjuangan Islam. Ketika beliau diitanya Nabi “Lalu apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?” Abu Bakar menjawab dengan segala kemantapan, “Allah dan Rasulnya”.
Shiddiq secara bahasa adalah orang jujur. Kenapa dalam ayat itu tidak disebut orang alim atau pintar? Karena orang pintar itu banyak, namun sedikit sekali orang berlaku jujur. Banyak sarjana hukum, tapi tidak jujur dalam memutuskan perkara hukum,.Banyak sarjana ekonomi dengan segala rumus matematikanya tapi sering dengan sengaja memanipulasi angka, kok bisa angka di mark-up? Banyak sarjana pendidikan yang menjadi guru, namun saat menulis angka raport atau ijazah tidak sesuai dengan angka nilai sebenarnya.
Ketiga, jalan yang pernah ditapaki para syuhada. Syuhada adalah bentuk jamak dari kata syahid, yang berarti “saksi”. Mereka yang berjuang menegakkan Allah itulah disebut saksi (syahid). Hingga jika mereka wafat dikebumikan apa adanya, sebagai saksi di hadapan Allah nanti. Merekalah yang pantas menjadi pahlawan. Pahlawan adalah mereka yang bekerja dan berjuang dengan penuh ikhlas, dedikasi, serta semangat yang tinggi, sehingga menghasilkan karya-karya yang bermanfaat dan dikenang banyak orang. “Karya”nya menjadi saksi dan pelajaran untuk generasi berikutnya.
Keempat, jalan orang-orang shaleh. Jika kita tidak mampu berdakwah seperti para nabi, atau berkorban harta seperti Abu Bakar, atau tidak bisa berjuang hingga menjadi syahid, maka minimal kita memiliki sifat-sifat orang yang shaleh. Mereka adalah orang selalu baik, menebar kebaikan serta tidak melakukan sesuatu yang kontra kebaikan.
Sudahkah kita mengikuti jalan salah satu dari empat jalan yang ditempuh mereka? Jika belum, berarti permohonan kita akan petunjuk jalan yang lurus cuma main-main, bacaan al-fatihah yang kita baca tujuh belas kali sehari semalam baru sampai tenggorokan, dan belum masuk ke dalam relung hati, belum menggetarkan tulang dan sumsum kita, belum menggetarkan kulit kita, dan belum menggetarkan anggota tubuh kita sehingga ia tergerak untuk menampilkan sikap seperti yang ditampilkan oleh empat tipe manusia di atas;
Mulailah melangkah menapaki jalan yang lurus, ikuti langkah mereka, jika tidak mampu, setidaknya ikuti jalan orang-orang yang shaleh. )I(

Selasa, 16 Juni 2009

Karakteristik Syari’ah Islam

“Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS.Al-Baqarah: 143)

Syari’ah secara bahasa berarti sumber air yang mengalir. Sedangkan secara istilah syari’ah berarti aturan yang ditentukan Allah SWT melalui Rasulnya agar dijalankan manusia untuk kebahagian mereka. Korelasi makna bahasa dan makna istilah adalah bahwa manusia membutuhkan syariah sebagaimana kebutuhan mereka terhadap air yang menjadi sumber kehidupan. Tanpa air, manusia tidak akan hidup layak dan baik. Demkian juga hal-nya dengan syariah. Tanpa syariah, manusia tidak akan hidup layak dan baik.
Syari’ah, yang meskipun telah turun berabad-abad lalu, namun keberadaannya selalu relevan dalam kehidupan manusia, baik dahulu, kini, maupun masa depan. Baik di Arab, Indonesia, Eropa, Amerika bahkan di seluruh belahan bumi ini. Karena pada hakekatnya, seluruh alam ini adalah milik Allah, Tuhan yang menurunkan aturan atau syariah itu.
Berbeda dengan aturan dan undang-undang yang diciptakan manusia, syari’ah atau Islamic Law mempunyai kelebihan dan karakteristiknya. Antara lain:
Pertama, robbaniyah, artinya berorientasi ketuhanan, baik secara tujuan maupun sumbernya. Secara tujuan, jelas, syariah Islam ditujukan agar manusia hanya menyembah dan mengabdi kepada Allah. Sebagaimana firman Allah SWT: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu” (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Selain tujuan mengabdi hanya kepada Allah, syari’ah juga bertujuan membebaskan manusia dari penyembahan kepada sesama manusia serta kepada makhluk lainnya. Manusia harus bebas dari tekanan manusia lainnya, terlebih mengaggap dirinya sebagai Tuhan yang dapat mengatur segala hal.
Dari segi sumbernya, robbaniyah-nya syari’ah Islam adalah bahwa dia berasal dan bersumber dari wahyu Allah SWT. Dia bukan ciptaan manusia, bukan pula karangan manusia yang penuh hawa nafsu. Berbeda undang-undang dan peraturan dunia yang diciptakan manusia yang bersifat relatif dan dipengaruhi oleh hawa nafsu manusia.
Efek dari karakteristik robbaniyah ini membuat manusia melaksanakan undang-undang dan aturan Allah tidak hanya dilihat saat dipantau aparat atau atasan. Tetapi dia tetap patuh melaksanakan aturan itu meskipun tidak dipantau oleh aparat. Puasa misalnya, tetap ditaati oleh muslim yang patuh, meskipun jika ia makan atau minum di siang hari tidak diketahui aparat.
Kedua, Insaniyah, yang berarti sesuai dengan peri-kemanusiaan. Bukti atas hal itu adalah dijadikan Rasul dari kalangan manusia, bukan dari jin atau malaikat. Hal itu terjadi, agar manusia melihat langsung bagaimana aplkasi hukum Allah yang ideal melalui persaksian mereka terhadap perilaku dan nasehat Rasulullah saw. Andaikata rasul itu berupa jin atau malaikat, maka akan terjadi kesulitan bagi kita tentang bagaimana mengaplikasikan isi ajaran Allah SWT, karena jin dan malaikat adalah makhluk non-fisika yang tidak terlihat oleh kasat mata. Ketika Aisyah ditanya tentang bagaimana perilaku kehidupan Rasulullah? Beliau menjawab, perilakunya adalah al-Qur’an.
Bukti insaniyah syariah Islam juga adalah bahwa Islam mengajarkan persamaan derajat manusia. Keunggulan dan kemuliaan manusia tidak terletak kepada ras, suku, bangsa, warna kulit, kekayaan, ilmu dan pangkat-jabatan. Akan tetapi kemuliaan dan keunggulan manusia hanya terletak pada ketakwaannya kepada Allah SWT.
Dengan demikian hukum dan syariah Allah berlaku sama untuk semua manusia. Tidak ada perbedaan antara pejabat dan rakyat kecil, tidak ada perbedaan antara darah biru dan darah merah. Di depan hukum Allah semua manusia sama.
Ketiga; al-Syumul, artinya syariah Islam bersifat komprehensif (menyeluruh). Syariah Islam tidak hanya mengatur tentang ibadah ritual saja, namun juga mengatur seluruh kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, negara bahkan dunia internasional. Dengan demikian syariah Islam dapat diterapkan dimana saja, dan dibelahan bumi mana saja. Selain itu, ia juga dapat diterapkan di segala zaman dan era.
Keempat, al-wasathiiyah, yang berarti menengah, moderat dan adil. Syariah islam bersifat menengah dan adil. Tidak ghuluw (keterlaluan), tafrith (berlebihan), dan ifrath (serba kekurangan). Umat Islam yang komitmen melaksanakan ajaran Islam yang moderat ini juga bersifat menengah. Sebagaimana firman Allah SWT: “Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS.Al-Baqarah: 143)
Menengah dan adil adalah sifat ber-keseimbangan. Keseimbangan dalam sikap, keseimbangan akhlak, ibadah, akidah, dan lainnya. Sikap ekstrim adalah sikap yang jauh dari karakteristik ajaran Islam. Baik ekstrim dalam hal akidah, sikap, maupun ibadah.
Kelima, al-Waqi’iyyah, artinya bahwa syariah dan ajaran Islam itu bersifat realistis. Ia membumi dan mudah diaplikasikan oleh semua manusia. Bukti realistis ajaran Islam adalah adanya rukhsoh (dispensasi) serta bersifat memudahkan. Oleh karena itu ajaran Islam bisa masuk ke semua negara dan ke semua suku dengan beraneka ragam budaya sosial mereka. Ia juga dapat masuk di tengah kondisi yang berbeda-beda di suatu negara, baik hukum, undang-undang maupun model sistem negara yang dianut. Kaidah fiqih mengatakan, Al-Hukmu yaduuru ma’al illati wujudan wa ’adaman. “Hukum berlaku sesuai dengan illat (sebab)nya, ada atau tidak adanya”. #

Selasa, 09 Juni 2009

Kriteria Pemimpin Ideal

“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. “(QS. Al-Ahzab: 21)

Tidak syak lagi, pemimpin ideal yang pernah ada di atas permukaan bumi adalah: Rasulullah saw. Dialah pemimpin abadi bagi umatnya dan umat manusia umumnya. Tidak ada nama pemimpin besar yang namanya disebut hingga kini sebanyak nama Muhammad saw. Dalam adzan nama beliau disebut, dalam bacaan shalat pun disebut. Demikian juga dalam segala kesempatan acara tertentu, ia disebut namanya. Apalagi dalam buku-buku sejarah, nama beliau tertulis dengan tinta emas dengan keharuman semerbak bagi yang membacanya. Beliaulah Muhammad saw pemimpin abadi karena memiimpin umat dengan hati dan sepenuh hati.
Ada empat kriteria sehingga beliau menjadi pemimpin ideal hingga saat ini:
Shiddiq, artinya benar. Kata dan ucapan yang keluar dari mulut beliau selalu benar dan tak ada kata dusta. Beliau disegani oleh sahabat, umat, kawan, bahkan lawan karena ucapannya sesuai dengan laku perbuatannya. Apa yang diinformasikannya tidak ada sedikitpun kandungan dusta. Beliau tidak pernah memerintah suatu perintah kecuai beliau memulai sendiri melaksanakan perintah itu. Dan tidak pernah melarang akan sesuatu kecuali beliau memulainya pada dirinya sendiri untuk menjauh dari larangan tersebut. Inilah rahasia mengapa kata-kata beliau menjadi “bermutu” di dengar oleh siapapun. Itulah yang menyebabkan keluar kata “sami’na wa atho’na” (kami dengar dan kami taat) dari mulut sahabat bila beliau memeintah atau melarang mereka. Tidak ada reserve, tidak ada protes apalagi demontrasi atas ketidakpercayaan kepemimpinan beliau. Beliau saw pernah bersabda, “Andaikata Fatimah puteri Muhammad mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya.” Kebenaran kata dan perbuatan inilah yang menyebabkan supremasi hukum berjalan, sehingga hukum berwibawa di hadapan rakyatnya. Hukum tidak hanya berlaku bagi rakyat jelata, namun juga ditegakkan kepada para elite dan pemimpinnya.
Amanah. Artinya adalah jujur. Sejak sebelum menjadi rasul-pun, Muhammad saw remaja telah mendapat gelar al-Amin (yang dipercaya). Sifat amanah telah menjadi darah daging beliau dalam kehidupan sehari—hari, tidak pura-pura dan tidak dibuat-buat. Rasa amanah inilah yang menyebabkan tercipta kemakmuran di kota Madinah. Tidak jarang Rasulullah melakukan operasi pasar untuk melihat tingkat kejujuran para pelaku ekonomi. Suatu saat Rasulullah mencelupkan tangan di atas onggokan gandum dan ditemuinya gandum yang bagian bawahnya basah, sementaa si penjual gandum menghargainya dengan harga gandum kering yang bagus. Maka Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang menipu kami maka bukan termasuk golongan kami”.
Kejujuran Rasulullah saw tidak hanya ditunjukkan kepada sesama kaum muslimin saja, bahkan beliaupun tetap berbuat jujur kepada kaum kafir. Pada saat beliau akan berhijrah ke Madinah, beliau kembalikan dahulu semua amanah dan titipan orang-orang Quraisy kepada pemiliknya masing-masing, padahal para pemilik barang yang dititipkan kepada Rasulullah saw adalah dari golongan non muslim. Padahal jika mau, bisa saja beliau membawa kabur barang-barang itu ke Madinah, apalagi pada saat itu beliau perlu bekal yang tidak sedikit. Akan tetapi beliau tetap mengembalikan semua titipan itu kepada sang pemiliknya.
Tabligh, artinya menyampaikan. Atau dalam bahasa modernnya adalah transparan (keterbukaan, menyampaikan apa adanya), akuntabel dan bertanggungjawab. Tidak ada satu ayat pun yang beliau korupsi atau sembunyikan. Semuanya disampaikan apa adanya oleh beliau kepada para sahabat. Meskipun ayat tersebut berisi oto-kritik kepada beliau, namun beliau tetap menyampaikan kepada umatnya dengan terbuka, transparan dan semangat tabligh (menyampaikan). Adalah surat “Abasa” berisi kritik keras kepada Rasulullah akan sikapnya saat menerima orang buta miskin yang ingin bergabung dengan Rasulullah. Namun, mesti isinya menyinggung dan mengkritik diri beliau, beliau tetap menyampaikan isi surat ‘abasa itu kepada umatnya. Sikap transparan akuntable dan responsblity inilah yang membuat beliau sukses dalam kepemimpinannya. Hingga hari-hari menjelang wafat beliau pun, beliau masih menanyakan kepada para sahabatnya, “Adakah diantara kalian yang pernah aku zhalimi?” Bahkan dalam khutbah Wada’ di padang Arafah yang terkenal itu bertanya meyakinkan para sahabatnya, “Hal Ballaghtu?” (Sudahkah semua telah aku sampaikan?). Para sahabat menjawab. “Balaa ya Rasulullah” (benar, engkau telah menyampaikan, wahai Rasulullah).
Fathonah, artinya cerdas, smart dan inovatif. Rasulullah saw adalah pemimpin yang cerdas dan inovatif. Banyak strategi dakwah dan perang yang tidak terjangkau oleh pasukan musuh. Demikian juga dalam mendamaikan antar anggota warga Madinah. Penduduk Madinah sebelum datangnya Islam seringkali bertikai, bahkan ratusan tahun mereka dalam pertikaian. Namun setelah memeluk Islam, mereka menjadi bersaudara melebihi cinta mereka kepada saudara kandung mereka sendiri.
Kita merindukan sang pemimpin bagai kepemimpinan Rasulullah saw. Meski tidak mirip benar, setidaknya sifat-sifat itu harus menjadi ciri para pemimpin ke depan, meki tidak sampai 100%. Namun, faktor lain yang membuat suatu kepemimpinan itu berwibawa adalah para pembantunya yang juga memiliki keempat sifat di atas. Jika seorang pemimpin berada di lingkungan para pembantu dan pendukunnya yang shiddiq, Amanah, tabligh dan fathonah maka suasana kepemimpinan seperti itu bukan hanya dirasakan di level tertentu, namun juga di semua level hingga ke pelosok terdalam sekalipun. Wallahu a’lam. )I(

Selasa, 05 Mei 2009

Kedahsyatan Bertawakkal

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya” (QS. Ath-Thalaq: 2)

Tawakkal berasal dari kata wakkala-yuwakkilu, yang berakar dari dari kata wakala. Yang berarti menyerahkan suatu urusan. Jika kita menyerahkan suatu urusan untuk diselesaikan kepada seseorang, maka orang yang diserahkan suatu urusan tersebut disebut al-wakil. Demikian juga saat kita menyerahkan segala urusan kehidupan kita kepada Allah maka Allah disebut Ni’mal Wakiil (sebaik-baik tempat penyerahan diri). Seperti yang disebutkan dalam hadits Rasulullah saw: “Kalimat Hasbunallah wa Ni’mal Wakil pernah diucapkan oleh Nabi Ibrahim as saat beliau dilempar ke dalam bara api” (HR: Bukhori). Hasbunallah wa Ni’mal Wakil sendiri artinya adalah “Cukuplah bagi kami hanya Allah, Dialah sebaik-baik tempat menyerahkan diri”
Perintah bertawakkal kepada Allah terulang dalam al-Qur’an dalam bentuk tunggal (tawakkal) sebanyak 9 kali, dan dalam bentuk jamak (tawakkalu) sebanyak 2 kali. Semuanya didahului oleh perintah melakukan sesuatu, lalu disusul dengan perintah bertawakkal. Ini menunjukkan bahwa makna tawakkal yang benar adalah tawakkal yang didahului oleh suatu action untuk mencapai cita-cita dan harapan, setelah itu barulah kita serahkan hasilnya kepada Allah SWT. Seperti pada ayat-ayat berikut:
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 61)
"Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman." (QS. Al-Maidah: 23)
Kedua ayat ini menegaskan bahwa sebelum perintah tawakkal, ada perintah melakukan sesuatu atau action, yakni berusaha berdamai dan menerobos memasuki kota, baru kemudian perintah bertawakkal.
Dalam sebuah riwayat dikisahkan, datanglah seorang sahabat yang mengendarai seekor unta ke majelis Rasulullah saw. Lalu Rasulullah saw bertanya kepada sahabat itu, “Mana unta-mu?” Sahabat itu menjawab, “Aku lepas diluar dan aku tawakkalkan kepada Allah”. Rasulullah saw langsung meralat sikap salah sahabat tersebut seraya bersabda, “Ikatlah dulu untamu barulah engkau bertwakkal!”.
Ini menunjukkan bahwa perintah tawakkal harus didahului oleh suatu usaha terlebih dahulu.
Ada tiga jenis tingkatan tawakkal kepada Allah: Pertama, Mempercayakan segala sesuatunya kepada Allah, baik tentang jaminan hidupnya maupun perhatiannya. Jenis tawakkal ini adalah serendah-rendahnya tawakkal. Sebab setiap manusia pasti meyakini bahwa Allah-lah yang menjamin dan mengatur hidup kita. Sayangnya, masih banyak di antara kita yang masih menyandarkan jaminan hidup kita kepada selain Allah. Bila demikian, kita belum benar-benar bertawakkal kepada Allah.
Kedua, Menjadikan keadaan dirinya selalu bersama Allah, seperti seorang bayi yang hanya mengenal ibunya saja dan tidak mau dipegang orang lain. Jadi kita hanya menyandar kepada Allah. Seorang bayi, meskipun wanita tetangga lebih cantik dari ibunya sendiri, dia tetap merasa lebih nyaman jika dipegang oleh ibunya dibanding oleh tetangganya. Meskipun tetangganya lebih kaya dan lebih cantik. Demikian pula jika kita bertawakkal kepada Allah. Kita tidak akan tergiur dengan silaunya dunia, gaji besar tapi syubhat apalagi haram. Sebab apa yang ada disisi Allah itu lebih baik secara dunia-akhirat.
Ketiga, Menjadikan setiap geraknya selalu bersama Allah, seperti mayit yang diperlakukan apa saja kepada orang yang mengurusnya. Ini tingkatan tertinggi dari tawakkal. Orang yang bertawakkal pada tingkatan ini selalu ridho dan qona’ah dengan apapun yang Allah berikan kepadanya. Dan tidak tergiur dengan jaminan dari selain Allah SWT.
Manfaat Tawakkal
1. Menghilangkan stress dan defresi.
Orang yang bertawakkal berarti telah menyandarkan dirinya kepada Allah yang Maha Kuat, Maha Kuasa dan Maha Meliputi. Sebagai hamba, kita lemah dalam segala hal, termasuk dalam menghadapi persoalan hidup dan kenyataan hidup, yang terkadang menimbulkan defresi dan stress. Oleh karena itu, jika kita menyandarkan hidup kita kepada Allah yang serba Maha tadi, maka kita akan mendapat kekuatan mental dan spiritual sehingga sanggup menghadapi segala kenyataan.
2. Dicukupkannya Kebutuhan .
Allah SWT berfirman: “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya” (QS. Ath-Thalaq: 2)
3. Dijaminnya Rezeki.
Rasulullah saw bersabda: •“Jika kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, maka Dia akan memberikan rezeki padamu seperti Dia memberi rezeki pada burung, berangkat pagi dalam keadaan perut kosong, dan pulang sore hari hari dalam keadaan perut berisi. (HR: Tirmidzi)
4. Dijaganya keselamatan
Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang membaca –yaitu pada saat keluar rumahnya- “bismillahi tawakkaltu ‘alallah wala haula wala quwwata illa billahi. (dengan nama Allah, aku bertawakkal pada Allah, tiada daya dan kekuatan kecuali milik Allah) maka ada malaikat yang berkata padanya, Kamu telah diberi petunjuk, diberi kecukupan, dan dipelihara serta dilindungi dari Syaithan.” (HR: Abu Daud, Tirmidzi dan an-Nasai)“
Wallahu a’lam bish showab #

Senin, 13 April 2009

Filsafat Nahwu

H. Muhammad Jamhuri, Lc. MA. *)

Dalam kitab “Al Kawakib Al Durriyah” diceritakan, Syeikh Imam Al-Sonhaji, pengarang sebuah kitab nahwu, tatkala telah rampung menulis sebuah buku tentang kaidah nahwu yang ditulisnya dengan menggunakan sebuah tinta, beliau mempunyai azam untuk meletakkan karyanya tersebut di dalam air. Dengan segala sifat kewara’annya dan ketawakkalannya yang tinggi, beliau berkata dalam dirinya: “Ya Allah jika saja karyaku ini akan bermanfaat, maka jadikanlah tinta yang aku pakai untuk menulis ini tidak luntur di dalam air”. Ajaib, ternyata tinta yang tertulis pada lembaran kertas tersebut tidak luntur. Dalam riwayat lain disebutkan, ketika beliau merampungkan karya tulisnya tersebut, beliau berazam akan menenggelamkan tulisannya tersebut dalam air mengalir, dan jika kitab itu terbawa arus air berarti karya itu kurang bermanfaat. Namun bila ia tahan terhadap arus air, maka berarti ia akan tetap bertahan dikaji orang dan bermanfaat. Sambil meletakkan kitab itu pada air mengalir, beliau berkata : “Juruu Miyaah, juruu miyaah” (mengalirlah wahai air!). Anehnya, setelah kitab itu diletakkan pada air mengalir, kitab yang baru ditulis itu tetap pada tempatnya.

Itulah kitab matan “Al-Jurumiyah” karya Imam Al Sonhaji yang masih dipelajari hingga kini. Sebuah kitab kecil dan ringkas namun padat yang berisi kaidah-kaidah ilmu nahwu dan menjadi kitab rujukan para pelajar pemula dalam mendalami ilmu nahwu (kaidah bahasa Arab) di berbagai dunia. Selain ringkas, kitab mungil ini juga mudah dihafal oleh para pelajar.

Di sini penulis tidak hendak mengemukakan kaidah ilmu nahwu dengan segala pembagiannya. Yang akan penulis kemukakan adalah, bahwa di dalam kitab yang melulu membahas tata bahasa Arab, ternyata kalau dikaji lebih dalam lagi, ia memiliki filsafat-filsafat hidup dan nasehat yang sangat berharga bagi setiap generasi terutama bagi kita sebagai ummat Islam. Filsafat hidup yang termaktub dalam kitab itu sendiri merupakan “hukum” atas suatu kalam atau kalimat dalam ilmu nahwu. Berikut ini adalah contohnya:

Bersatu Kita Terhormat
Dalam ilmu nahwu, “dhommah” adalah salah satu tanda dari tanda-tanda “rofa’”. Secara lafdziah kata dhommah berarti bersatu. Sedang kata rofa’berarti tinggi. Maksudnya, bila kita dapat bersatu dengan sesama, dapat menjaga kesatuan dan persatuan, dapat mempererat tali ukhuwah, bukan tidak mungkin kita akan menjadi umat yang terhormat dan tinggi (rofa’) di antara bangsa dan umat lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :”Bersatulah kalian pada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian berpecah belah” (Ali Imran: 103). Sementara untuk mendapatkan derajat tinggi harus memenuhi syarat, di antaranya adalah iman. Firman Allah SWT: “Janganlah kalian merasa hina dan sedih, padahal kamu tinggi jika kamu beriman (Ali Imran: 139).
Ada beberapa keriteria sehingga orang bisa mendapatkan derajat rofa’ (tinggi). Sebagaimana dijelaskan dalam Al Jurumiyah, bahwa di antara kedudukan kalimat yang mendapat hukum rofa’ atau marfu’ (yang diberi penghargaan tinggi) adalah: fa’il, naib fa’il, mubtada’, khobar dan tawabi’ marfu’(sesuatu yang mengikuti segala kalimat marfu’) seperti sifat (na’t), badal, taukid dan ‘atof. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Fa’il (aktivis). Bila kita ingin menjadi orang yang dihargai, tinggi dan tidak terhina, maka hendaklah kita berbuat, bekerja dan berusaha, tidak berpangku tangan atau hanya mengharap belas kasih orang lain. Hanya orang yang aktif dan pro aktiflah (fa’il) yang membuahkan karya-karya dan amal dan menjadi terhormat di lingkungannya. Firman Allah SWT: “Dan katakanlah (hai Muhammad): "Bekerjalah kalian! sesungguhnya pekerjaan kalian akan dilihat oleh Allah, RasulNya dan kaum mu’minin” (At Taubah : 105). Sabda Nabi Muhammad SAW: “ tangan di atas (pemberi) lebih baik dari tangan di bawah(peminta)”.
  2. Naib fa’il (mewakili tugas-tugas aktivis) adalah tipe kedua orang yang mendapat derajat tinggi. Meskipun ia berkedudukan sebagai wakil, tapi ia menjalankan pekerjaan yang dilakukan fa’il walau harus menjadi penderita dalam kedudukannya sebagai kalimat. Sebagai contoh dalam hal ini adalah sahabat Ali ra. Beliau pernah menggantikan Rasulullah di tempat tidurnya dengan resiko yang tinggi berupa pembunuhan yang akan dilakukan para pemuda musyrikin Makkah saat Rasulullah berencana melaksanakan hijrah ke Madinah. Contoh lain adalah para huffadz yang diutus Rasulullah untuk mengajarkan agama atas permintaan salah satu suku di jazirah Arab, namun nasib mereka naas dikhianati dan dibunuh para pengundang. Mendengar hal itu, Rasulullah pun membacakan do’a qunut nazilah sebagi rasa ta’ziyah. Dengan do’a dari Rasul tersebut, tentu saja mereka yang wafat mendapat kedudukan mulia di sisi Allah, juga oleh sejarah.
  3. Mubtada (pioneer), orang yang pertama melahirkan ide-ide positif kemudian diaplikasikannya di tengah-tengah masyarakat sehingga berguna bagi kehidupan manusia adalah orang yang pantas mendapat derajat rofa’ (tinggi). Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda: “ Barang siapa memulai sunnah hasanah (ide positif dan konstruktif) maka baginya pahala dan pahala orang yang melakukan ide (sunnah) tersebut”. Ada pepatah Arab mengatakan demikian:

    الفضل للمبتدئ وان أحسن المقتدى

    “Perhargaan itu hanyalah milik orang pertama memulai, walaupun orang yang datang kemudian dapat melakukannya lebih baik”
  4. Khobar (informasi). Mereka yang memiliki khobar (informasi) itulah orang yang menguasai. Demikian salah satu ungkapan dalam ilmu komunikasi. Di dunia ini sebenarnya tidak ada orang yang lebih banyak ilmunya dari seorang lain. Yang ada adalah karena orang itu lebih banyak mendapatkan dan menyerap informasi dari lainnya. Membaca buku, apapun buku itu, sebenarnya kita sedang menyerap sebuah informasi. Dan sebanyak itu informasi yang kita dapatkan sebesar itu pula kadar maqam kita. Informasi dapat kita peroleh melalui berbagai cara, termasuk di dalamnya pengalaman.
  5. Tawabi’ Marfu’ (Mereka yang mengikuti jejak langkah orang yang mendapat derajar tinggi). Jelas, siapa saja yang mengikuti langkah dan perjuangan mereka yang mendapat derajat tinggi, maka mereka akan dihargai. Allah berfirman: “Sungguh dalam diri Rasulullah ada suri tauladan yang patut ditiru bagimu”. Ayat ini menegaskan kepada kita untuk mengikuti Rasulullah yang telah mendapatkan maqoman mahmuda (kedudukan terpuji) di sisi Allah agar kita mendapat hal yang sama di sisiNya. Di samping itu, salah satu orang yang akan mendapat derajat tinggi adalah para penuntut ilmu. Firman Allah SWT : “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan mereka yang diberi ilmu dengan beberapa derajat” (Al Mujadalah: 11). Ilmu adalah warisan para nabi, dan siapa yang mengikuti (tabi’) langkah nabi ia akan mendapat kehormatan (rofa’)

Berpecah Belah Adalah Kerendahan
Tanda kasroh dalam ilmu nahwu adalah salah satu tanda hukum khofadh. Secara harfiah, kata kasroh bermakna pecah atau perpecahan. Sedangkan kata khofadh bermakna kerendahan atau kehinaan. Dengan demikian suatu umat akan mengalami kerendahan dan kehinaan apabila mereka melakukan perpecahan, tidak bersatu dan tidak berukhuwah. Wajar saja bila para musuh menyantap dengan lahapnya kekayaan kaum (muslimin) disebabkan mereka tidak mau bersatu dan menjaga persatuan. Inilah yang pernah dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad SAW empat belas abad lalu, tatkala beliau menyatakan bahwa suatu saat umat Islam akan menjadi santapan umat lain seperti srigala sedang menyantap makanan. Para sahabat bertanya: “Apakah saat itu jumlah kita sedikit ?” Rasul menjawab: “Tidak, justru kalian saat itu menjadi mayoritas, tapi kualitas kalian seperti buih. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut dari musush-musuh kalian kepada kalian dan Allah akan mencampakkan dalam diri kalian penyakit al-wahan”. Sahabat bertanya: “apakah penyakit al-wahan itu?” Rasul SAW menjawab: “cinta dunia dan takut mati”.

Dengan penyakit itulah, umat Islam mengalami perpecahan. Sebab yang diperjuangkan bukan lagi agama mereka, tetapi materi dan keduniaan yang pada akhirnya tidak lagi mengindahkan kekompakkan dan persatuan di antara sesama ummat Islam.

Di samping itu sifat buih, seberapa banyak dan sebesar apapun, ia akan terombang-ambing oleh angin yang meniupnya. Itulah tamsil umat Islam yang tidak memperkokoh persatuan.
Hal inilah yang diisyaratkan oleh Al-Sonhaji, bahwa penyebab segala isim (nama) menjadi makhfudh (rendah dan hina) adalah karena tunduk dan ikut-ikutan terhadap huruf khofad (faktor kerendahan). Atau dalam istilah nahwu lain, isim menjadi majrur (objek yang terseret-seret/mengikuti arus) karena disebabkan mengikuti huruf jar (faktor yang menyeret-menyeretnya) . Karena itu, hendaknya ummat Islam selalu menjadi ikan hidup di tengah samudera. Meskipun air samudera terasa asin, namun sang ikan hidup tetap terasa tawar. Sebaliknya, jika ummat ini bagaikan ikan mati, maka ia dapat diperbuat apa saja sesuai keinginan orang lain. Bila diberi garam ia akan menjadi ikan asin dan lain sebagainya.

Berusahalah, Maka Jalan Akan Terbuka
Dalam kaidah ilmu nahwu, di antara tanda nashob adalah fathah. Secara lafdziah, kata nashob bermakna bekerja dan berpayah-payah. Sedang kata fathah bermakna terbuka. Dalam hal ini, maka mereka yang mau bekerja dan berupaya serta berpayah-payah (nashob) dalam usaha, maka mereka akan mendapatkan jalan yang terbuka (fathah). Sesulit apapun problem yang dihadapi, jika berusaha dan berpayah-payah untuk mengatasinya, maka insya Allah akan menemukan jalan keluarnya. Oleh karena itu Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang berbuat di antara kalian dari laki-laki dan wanita”. (Ali Imran: 195). Dalam Kitab Diwan As-Syafi’i. Imam Syafi’i pernah menulis bait syair sebagai berikut:

سافر تجد عوضا عمن تفارقه # وانصب فان لذيذ العيش فى النصب
اني رأيت وقوف الماء يفسده # ان سال طاب وان لم يجري لم يطب

Pergilah bermusafir, maka anda akan dapatkan pengganti orang yang anda tinggalkan
Bersusah payahlah !, karena kenikmatan hidup ini didapat dengan bersusah payah (nashob).
Sungguh aku menyaksikan mandeg-nya air dapat merusakkan dirinya
Namun bila ia mengalir ia menjadi baik. Dan jika menggenang ia jadi tidak baik.

Dalam bait syair ini, Imam Syafi’i ingin menegaskan, bahwa orang yang berpangku tangan dan tidak mau bekerja keras akan menjadi rusak, bagaikan rusaknya air yang tergenang sehingga menjadi comberan yang kotor dan bau. Sebaliknya, bila ia mau bersusah payah dan bergerak maka ia bagaikan air jernih yang mengalir. Indahnya kenikmatan hidup ini terletak pada bersusah payah.
Bahkan al-Quran mengisyaratkan kepada kita untuk tidak berpangku tangan di tengah waktu-waktu senggang kita. Bila usai melakukan satu pekerjaan, cepatlah melakukan hal lain. Firman Allah SWT:

فاذا فرغت فانصب

“Dan jika kamu selesai (melakukan tugas), maka lakukanlah tugas lain (nashob)” (Al Insyiroh: 7).

Kepastian Akan Menimbulkan Rasa Tenang
Kaidah lain yang terdapat dalam ilmu nahwu adalah, bahwa di antara tanda jazm adalah sukun. Secara lafdziah, kata jazm bermakna kepastian. Sedang kata sukun berarti ketenangan. Ini mengajarkan kepada kita, bahwa kepastian (jazm) akan melahirkan rasa ketenangan (sukun). Orang yang tidak mendapatkan kepastian dalam suatu urusan biasanya akan merasakan kegelisahan. Sebagai contoh seorang remaja yang ingin melamar seorang gadis kemudian tidak mendapatkan kepastian, dia akan mengalami kegelisahan. Demikian juga orang yang hidupnya sendiri, ia tidak mendapatkan ketenangan. Oleh karena itu Allah SWT mengisyaratkan kita agar mempunyai teman pendamping dalam hidup ini agar mendapat ketenangan. Firman Allah SWT:

ومن آياته ان خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا اليها

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah Ia menjadikan bagimu pasangan dari jenismu (manusia) agar kalian merasa tenteram kepadanya” (Ar Rum: 21).

Wallahu’alam