Sabtu, 26 April 2014

Membiasakan Muhasabah



Rasulullah saw bersabda, “Berbahagialah orang yang disibukkan dengan menghitung aibnya daripada sibuk  mencari aib orang lain”
Hadist ini singkat, namun jika diterapkan oleh setiap muslim, maka dahsyat manfaatnya. Baik dalam kehidupan individu maupun sosial. Orang yang selalu disibukkan dengan menghitung aibnya, dia tidak akan sempat mencari-cari keburukan orang lain. Disamping itu, dia akan selalu berusaha mengurangi kesalahannya dan mencari solusi untuk keluar dari keburukannya itu, sehingga setiap hari kualitas hidupnya semakin baik dan baik. Berbeda dengan orang yang selalu mencari keburukan orang lain, keburukan yang terjadi padanya selalu menyalahkan pihak lain.
Seorang guru misalnya, tatkala merasa dirinya tidak disukai muridnya, atau pelajaran yang diajarkannya tidak disukai muridnya, maka tipe orang yang disibukkan dengan kekurangan dirinya, selalu melakukan muhasabah (instrspeksi) diri, apakah penyampaian pelajarannya kurang jelas, ataukah kurang persiapan, atau boleh jadi sering berbuat marah pada murid-muridnya?. Sebaliknya,. Orang yang terbiasa disibukkan mencari kekurangan orang lain, maka dalam kasus di atas, dia bukan merenung kekurangan dirinya, namun dia selalu menyalahkan murid-muridnya dengan berbagai argumentasi. Akibatnya perbaikan diri tidak ada, sedangkan murid tidak mendapatkan kenyamanan dalam menerima pendidikan.
Seseorang yang tidak membiasakan muhasabah ketika tidak disukai tetangganya, maka akan selalu introspeksi diri dan berusaha memperbaiki diri, sehingga kualitas hidupnya akan terus membaik. Sedangkan orang yang selalu mencari keburukan orang lain, maka yang terjadi adalah menyalahkan tetangga dengan memperbesar masalah yang sebenarnya kecil menjadi masalah besar. Dapat dibayangkan, jika tetangganya bersifat seperti itu pula, maka yang akan terjadi adalah cekcok dengan argumentasi yang saling menyalahkan. Berbeda dengan jika keduanya membiasakan muhasabah, maka cekcok akan terhindar, dan setiap anggota masyarakat akan memperbaiki diri, sehingga kualitas kehidupan masyarakat akan menjadi lebih baik, lebih empati, dan lebih berhati-hati dalam bersikap serta saling hormat menghormati.
Sikap membiasakan muhasabah inilah yang selalu dilakukan oleh para Sahabat Nabi saw. Mereka setiap kali membaca ayat al-Quran tentang ciri-ciri orang Munafiq dan nasib orang-orang kafir di hari Kiyamat selalu mengucurkan air mata, karena mereka mengaca diri dan merasa khawatir jangan-jangan sifat-sifat tersebut ada pada diri mereka. Abu Bakar Ash-Shiddiq jika bertemu dengan orang yang lebih tua usianya, selalu berkata dalam hatinya, “Oh, alangkah bahagianya orang ini, usianya lebih tua dari diriku, berarti amal shalehnya lebih banyak ketimbang diriku”. Sedangkan bila beliau bertemu orang yang usianya lebih muda, beliau berkata dalam dirinya, “Oh, alangkah bahagianya anak muda ini, usianya masih muda yang berarti dosa-dosanya masih sedikit, dibandingkan dengan diriku yang sudah tua dan dosa pun lebih banyak didibanding anak muda itu.
Pada saat Rasulullah saw menitipkan kepada sekretarisnya data-data orang munafiq dan beliau berpesan padanya agar data itu tidak dibuka, Umar bin Khattab cepat-cepat bertanya kepada sekretaris Nabi saw tersebut, apakah nama dirinya tercantum dalam daftar tersebut? Beliau tidak bertanya tentang nama orang lain yang ada dalam daftar orang-orang munafiq, namun beliau lebih sibuk mengkhawatirkan dirinya masuk dalam daftar orang-orang munafiq. Beliau juga pernah berkata kepada para sahabat, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab”.
Para ulama dahulu sering membiasakan muhasabah dalam bentuk “al-Khouf dan al-Roja” (takut dan harap). Rasa takut (al-khouf) dihadirkan saat melakukan amal-amalnya apakah amal-amal mereka tidak direstui dan tidak diterima Allah swt?. Sedangkan rasa harap (al-Roja) dihadirkan saat diri mereka menghamba kepada Allah dan merasa bahwa tidak ada tempat berharap kecuali kepada Allah swt.
Alangkah indahnya hidup ini jika setiap anggota masyarakat membiasakan muhasabah. Coba bayangkan jika terjadi kesalahpahaman antar tetangga misalnya, jika mereka membiasakan muhasabah, maka akan terungkap dialog seperti ini. Tetangga A: “Maaf pak saya salah, maaf ya saya yang salah” Tetangga B: “Oh tidak, sebenarnya saya yang salah kok.., gak apa-apa bu,,,,harusnya saya yang minta maaf”. Sedangkan dalam lingkungan dimana anggota masyarakatnya tidak membiasakan muhasabah, maka akan terjadi dialog seperti ini: Tetangga A: “Bapak ini bagaimana sih…ini kan menganggu kita-kita pak?” Tetangga B: “Seenaknya aja bapak ngomong, apa bapak gak merasa perbuatan bapak itu juga menganggu orang lain”.. dan seterusnya menjadi debat yang tak berujung, bahkan dapat menimbulkan kericuhan…Benarlah apa yang disebutkan Nabi saw dalam hadistnya diatas (Shodaqo Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Wallahu a’lam bis showab…

Tidak ada komentar: