“Dan agar kamu menyempurnakan bilangan (puasa) dan membesarkan (asma) Allah atas apa yang Allah beri petunnjuk kepadamu, dan agar kamu bersyukur ”
(QS.Al-Baqarah; 186)
Tidak terasa waktu bergulir cepat. Ramadhan kini sudah berada di penghujungnya. Beberapa hari lagi Ramadhan yang agung akan meninggalkan kita. Bagi umat Islam yang beriman tentu terasa pedih dan sedih akan ditinggal Ramadhan yang suci. Betapa tidak, di bulan Ramadhan ini terasa indahnya beribadah, sejuknya suasana, dan bertambahnya imaniyah. Suasana ini tentu saja hanya dirasakan oleh orang-orang yang berburu karunia dan ampunan Allah. Tidak semua orang dapat merasakan kenikmatan tersebut. Jika saja semua orang tahu keagungan dan keindahan Ramadhan, pastilah mereka menginginkan sepanjang tahun itu Ramadhan. Rasulullah saw bersabda, “Andaikata umat-ku mengetahui apa yang terdapat dalam bulan Ramadhan, pastilah mereka berangan-angan agar sepanjang tahun itu Ramadhan.”
Ibarat tamu agung dan dermawan yang memberi segala apapun kepada mereka yang memohonnya, tentu saja kita sebagai “tuan rumah” yang dikunjungi tamu agung dan dermawan itu tidak akan menyia-nyiakan hari-hari terakhir sebelum tamu itu berpamitan. Apalagi tamu itu agung, dermawan, dan baik lagi. Tentu saja kita akan gunakan waktu yang sempit ini dengan banyak memohon kepada Allah. Apalagi Rasulullah saw telah mencontohkan, ketika sepuluh terakhir Ramadhan datang, beliau mulai mengikat erat-erat ikat kain (pinggang) sebagai suatu kiasan bahwa beliau melipat gandakan amal ibadah. Beliau melakukan ibadah i’tikaf dan seratus presen berkonsentrasi pada ibadah mahdhoh (murni).
Mengapa demikian? Karena hari-hari ini merupakan hari penentuan, apakah kita termasuk minal a’idin wal faizin (orang yang kembali pada kesucian dan beruntung/juara) atau tidak? Memang, kalau diibaratkan dengan suatu kompetisi pertandingan, semakin masuk pada babak akhir, semakin gencar persiapan agar dalam kompetisi tersebut menjadi juara/faizin. Para pelari atau pembalap yang semakin dekat ke garis finish, maka ia akan semakin mempercepat dan melipatgandakan kecepatannya agar sampai ke garis finish sebagai juara.
Demikian juga seharusnya kita. Semakin dekat pada garis finish/akhir Ramadhan, maka seyogyanya kita melipatgandakan amal ibadah kita. Apalagi Nabi saw melalui hadits-haditsnya, dan para ulama melalui pengalaman amaliyahnya banyak menyebutkan, bahwa “tropy dan piala” Lailatul Qodar terdapat pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Siapakah yang dapat meraihnya? Tentu hanya mereka yang dapat menghidupkan malam-malam sepuluh terakhir Ramadhan saja.
Apakah “tropy” lailatul Qodar itu? Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami menurunkan al-qur’an pada malam Lailatul Qodar. Tahukah kamu apakah Lailatul Qodar itu? Lailatul Qodar adalah (malam) yang lebih baik daripada (beribadah) seribu bulan. (Malam itu) para malaikat beserta Jibril (ruh) turun ke bumi dengan idzin dan perintah dari Tuhannya. (Malam itu penuh) kedamaian hingga terbit fajar.” (QS. Al-Qodr: 1-5)
Para ulama berbeda pendapat tentang waktu datangnya malam ‘lailatul qodar’ itu. Sebagian ulama berpendapat, ia datang pada suatu malam di bulan Ramadhan. Sebagian lagi berpendapat, ia datang pada salah satu malam ganjil Ramadhan. Ada pula yang berpendapat, ia datang pada salah satu malam di sepuluh malam terakhir Ramadhan. Sebagian lagi berpendapat, ia datang pada malam ganjil di 10 terakhir bulan Ramadhan. Ada pula yang berpendapat, ia datang pada malam ke duapuluh tujuh Ramadhan.
Ketidakpastian waktu datangnya lailatul qodar itu karena memang ia merupakan rahasia Allah. Dan hikmah dirahasiakannya adalah agar kita tetap menghidupkan seluruh malam-malam Ramadhan. Akan tetapi, dari apa yang dilakukan dan diamalkan Rasulullah saw, beliau lebih konsentrasi lagi pada sepuluh terakhir Ramadhan, yakni dengan melakukan i’tikaf di masjid.
Oleh karena itu, kita sebagai umatnya, maka setidaknya kita mengikuti apa yang dicontohkan Rasulullah saw.
Bila saja walikota atau bupati megeluarkan suatu pernyataan atau SK yang berbunyi seperti ini, “Bagi siapa saja dari warga yang berdiam di masjid raya/pendopo selama sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, maka akan saya beri masing-masing uang sebesar 2 juta rupiah”. Bila saja itu terjadi, pasti semua warga berbondong-bondong berdiam di masjid raya/pendopo selama waktu yang ditetapkan itu. Uang senilai 2 juta rupiah barangkali tidak akan habis dipakai selama seminggu, apalagi saat mendekati idul fitri/lebaran seperti ini. Namun demikian, bila pernyataan dan SK itu benar-benar ada pasti semua warga berbondong-bondong ke mesjid.
Namun anehnya, mengapa bila Allah dan Rasul-Nya menjanjikan pahala besar pada i’tikaf di sepuluh terakhir Ramadhan itu, umat tidak berbondong-bondong beri’tikaf? Bukankah Allah telah menjanjikan pahala seperti beribadah selama 1000 bulan atau setara 83 tahun? Kalau uang 2 juta rupiah diatas hanya habis dalam waktu seminggu, namun pahala Allah tidak akan habis selama 83 tahun bahkan lebih (Khoirun min alfi syahrin).
Fenomena ini tentu kembali kepada sedalam apa keimanan umat. Bagi umat yang percaya dan kuat imannya, maka titah Allah dan Rasulnya lebih dia percayai dan dahulukan, daripada titah pejabat atau manusia lainnya. Ketika orang kafir bertanya kepada Abu Bakar tentang peristiwa Isra Mi’raj yang menurut mereka tidak masuk akal, Abu Bakar malah berkata, “Jika hal itu yang berkata adalah Muhammad, maka lebih dahsyat dari peristiwa itu pun aku pasti percaya dan membenarkannya”. Sehingga Abu Bakar dijuluki gelar “Ash-shiddiq” (orang yang membenarkan).
Ramadhan akan berakhir meninggalkan kita, karenanya mari sama-sama kita gunakan sisa waktu yang ada dengan melipatgandakan amal sebelum tamu agung Ramadhan itu berpamitan.
Menjelang garis finish Ramadhan, mari kita lipatgandakan ibadah, sehingga kita benar-benar melewati garis finish menjadi faizin (juara). ##
Muhammad Jamhuri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar