Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa
(QS. Al-Baqarah: 183)
Tidak sedikit di antara umat Islam yang tidak melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Padahal pahalanya begitu besar yang Allah sediakan buat kaum muslimin yang berpuasa. Datangnya bulan Ramadhan seakan tidak membawa nuansa tertentu pada dirinya. Bahkan datangnya bulan Ramadhan - untuk sebagian orang - dianggap sebagai moment yang mempersempit hidupnya, karena tidak bisa makan dan minum secara terbuka, atau bahkan membuat diri merasa lemas sehingga mengganggu aktivitas sehari-harinya.
Oleh karena itu, dalam ayat di atas, Allah hanya memanggil orang-orang yang beriman, yang meyakini bahwa ia akan mengalami pertemuan dengan Allah. Mereka-lah yang Allah wajibkan untuk berpuasa. Hanya orang yang beriman kepada Allah lah yang sanggup melaksanakan ibadah puasa. Makna iman disini tentu saja bukan sekedar percaya, tapi lebih dari itu adalah suatu ketaatan totalitas kepada sang Khaliq.
Oleh karena itu, ibadah puasa Ramadhan berpatokan pada penanggalan bulan (qomariyah), yang terkadang puasa jatuh pada bulan Desember (musim dingin), dan terkadang jatuh pada bulan Juli (musim panas). Hal itu memberikan pesan kepada kita semua bahwa umat Islam dalam kondisi apapun harus siap taat memenuhi seruan Allah SWT, baik musim dingin atau musim panas. Untuk kita yang tinggal di Indonesia dengan cuaca tropis namum lembab, mungkin panas dan dinginnya masih dalam kondisi sedang dan wajar. Namun, di beberapa belahan negara lain, musim panas suhunya bisa mencapai 50 derajat celcius, dan musim dingin bisa mencapai dibawah nol derajat celcius.
Oleh karena itu, jika kita kaum muslimin di Indonesia tidak mau berpuasa di bulan Ramadhan hanya karena alasan musim dingin yang membuat tubuh cepat lapar, atau karena alasan musim panas yang menyebabkan tubuh kekurangan air dan cepat merasa haus, maka alasan itu adalah alasan yang tidak logis. Kenyataannya, kaum muslimin di Timur Tengah dengan kondisi tanahnya yang tandus dan dengan terik matahari yang sangat tinggi, mereka tetap berpuasa. Demikian juga kaum muslimin yang tinggal di Negara-Negara Eropa dan Amerika yang mengalami suhu dingin, toh mereka masih melaksanakan ibadah puasa hingga selesai.
Mungkin sebagian mereka yang enggan melaksanakan ibadah puasa mempunyai banyak alasan untuk tidak berpuasa. Namun Allah SWT telah menepis alasan-alasan tertentu selain alasan sakit dan perjalanan (safar) serta uzur. Sebab –menurut firman Allah– kewajiban puasa bukan hanya dikenakan kepada umat Nabi Muhammad saw saja seperti kita, namun kewajiban puasa itu juga dikenanakan dan diberlakukan kepada umat-umat sebelum umat Nabi Muhammad saw “Kamaa Kutiba ‘alalladzina min qoblikum” (Sebagaimana diwajibkan atas umat-umat sebelum kamu). Padahal umat-umat terdahulu berusia panjang-panjang, ada yang usianya bahkan mencapai 900 tahun dan 1000 tahun. Jika masa akil baligh mereka jatuh pada usia 17 tahun saja, maka mereka mengalami puasa spanjang hidupnya selama 983 tahun. Bukankah mereka lebih lama dan lebih lelah menjalani ibadah puasa dibanding dengan kita? Sedangkan salah satu kelebihan dan keutamaan yang diberikan umat Nabi Muhammad adalah dilipatgandakannya pahala ibadah meskipun diberi jatah usia tidak panjang (sekitar 60 hingga 90 tahun).
Coba kita tanyakan kepada kakek atau orang tua kita yang sudah berusia lanjut. Tanyakan tentang perasaan kondisi waktu yang dilewati antara zaman dahulu dengan zaman sekarang. Salah seorang ibu yang berusia 80 tahun pernah bercerita, “Waktu-waktu yang kami jalani di zaman sekarang ini berlalu begitu cepat, berbeda dengan waktu yang kami jalani saat kami muda. Dahulu saat kami muda, setelah bangun tidur, lalu shalat subuh, memasak makanan, mempersiapkan sarapan, memandikan anak, membersihkan rumah dan berbenah, mencuci pakaian, lalu sarapan. Ternyata hal itu semua dilakukan tidak sampai melewati jam 07.00 pagi. Sekarang, zaman sekarang ini, jika kami melakukan hal yang sama, lalu setelah selesai mengerjakan pekerjaan tersebut, maka jam sudah menunjukkan pukul 09.00 pagi”.
Cerita ibu tua itu menggambarkan bahwa hari-hari yang dilewatinya di zaman terasa begitu cepat berjalan, terlalu cepat berlalu. Sementara hari-hari yang dilewatinya zaman dahulu begitu lambat berjalan. Fenomena ini menunjukkan bahwa puasa yang kita alamai di zaman sekarang ini sebenarnya tidak begitu terasa kita lewati dilihat dari segi waktu. Sedangkan orang-orang dahulu, waktu-waktu puasa menuju berbuka puasa berjalan begitu lamban dan terasa lama.
Dengan demikian jika ada orang muslim sekarang yang enggan melaksanakan ibadah puasa karena alasan merasa berat, sebenarnya alasan itu tidak logis. Sebab jika kita melaksanakan puasa dengan kondisi waktu yang berjalan terasa cepat seperti di zaman sekarang ini, maka masa puasa pun akan terasa cepat berlalu.
Oleh karena itu, sebenarnya, bukan karana lemas atau tidak mampu yang menjadi alasan orang tidak berpuasa, tapi karena keimanannya yang masih harus diperbaiki. Karena kurang keyakinan terhadap kekuatan yang Allah berikan kepada kita jika beribadah serius kepadaNya. Oleh karena itu, yang dipanggil untuk berpuasa dalam ayat di atas adalah orang-orang beriman (Yaa ayyuhal ldazina Aamanuu) “HAi orang-orang yang beriman”. Kemudian diajaknya orang beriman untuk berpuasa agar mereka menjadi orang bertaqwa (la’allakum tattaqun). Disini berarti derajat taqwa lebih tinggi dari iman. Dan untuk meraih taqwa adalah dengan puasa yang dilakukan orang beriman.
Jika derajat taqwa dapat diraih dengan puasa, lalu puasa hanya bisa dilakukan orang beriman. Bagaimana hal nya dengan orang yang tidak mau berpuasa? Bukankah puasa hanya bisa dilakukan orang beriman?Jangankan derajat taqwa, derajat iman hakiki saja masih belum.
Karena itu marilah berpuasa, karena dengan puasa menunjukkan bahwa kita beriman. Lalu kita tingkatkan ke derajat taqwa dengan ibadah puasa.##
Tidak ada komentar:
Posting Komentar