Senin, 29 September 2008

Idul Fitri: Titik Menuju Harapan Baru

Sebulan lamanya umat Islam melaksanakan ibadah puasa. Suatu ibadah yang sarat dengan dimensi makna dan hikmah, mulai hikmah keimanan, kejujuran, sosial, kesehatan, kejiwaan, hingga hikmah ekonomis. Sungguh Maha Besar Allah yang telah menurunkan syariat dan aturan-Nya yang sempurna. Melalui puasa, umat islam di seluruh dunia telah ”ditraining” dengan massif, massal dan spektakuler. Sungguh kita sangat bersyukur memeluk agama fitrah ini. Agama yang ajarannya begitu lengkap dan detail, yang jelas dan terang bagai matahari di siang hari, yang sejuk dan lembut bagai rembulan purnama di malam hari. Tidak ada kata yang layak kita ucapkan di hari fitrah nan suci ini selain ungkapan keagungan Tuhan, ungkapan takbir yang disunnahkan Nabi saw tercinta ”Allahu Akbar, Allahu Akbar” (Allah Maha Besar- Allah Maha Besar!). Sebagaimana perintah Allah SWT dalam firman-Nya:
”Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS. Al-Baqarah: 185)
Selama Ramadhan, kita telah dilatih untuk berlaku jujur. Betapa tidak? Meskipun kita berada di suatu tempat yang tidak terlihat oleh anak, isteri, suami bahkan bos dan atasan kita, kita tetap berlaku jujur, kita tidak berani memasukkan makanan atau minuman ke dalam rongga mulut kita di siang hari. Mengapa hal itu terjadi? Karena kita meyakini bahwa Allah SWT melihat kita, Allah mengawasi kita, Allah bersama kita kemanapun kita berada. Betapa indahnya bila perasaan kebersamaan dengan Allah selalu kita bawa di setiap keadaan dan tempat; di kantor, di pasar, di toko, di kampus, di kendaraan dan dimanapun. Mungkin tidak akan kita temukan lagi orang berani curang, korupsi, manipulasi, menguragi timbangan dan takaran, menjual barang yang kadaluwarsa, melanggar lalu lintas meski polisi tidak berada di tempat, serta perbuatan-perbuatan tercela lainnya.
Suatu hari Umar bin Khattab berkeliling kampung mengamati kondisi negerinya, beliau bertemu dengan seorang budak yang sedang menggembala kambing yang banyak jumlahnya. Umar bertanya, ”Milik siapakah kambing-kambing ini?.” Si budak menjawab, ”Milik tuanku, tuan!” ”Berapa ekor jumlahnya?” tanya Umar. ”Sepanjang mata tuan memandang, itulah jumlah kambing tuan kami, tuan!” jawab sang budak. ”Bagaimana jika aku beli satu ekor kambing saja? Ini uangnya.” Rayu Umar seraya menguji keimanan sang budak. ”Maaf, tuan!, saya tidak diperkenankan menjual tanpa seidzin tuan saya.”. jawab sang budak. ”Lho, bukankah tuanmu tidak melihat? Dan lagi, kambing sebanyak ini, mana mungkin tuanmu tahu kalau satu ekor saja dijual?” kata Umar. ”Benar tuan, tuan saya tidak mengetahui, tetapi Allah Maha Mengetahui apa yang hamba lakukan.”. Jawab sang budak yang penggembala itu. Umar pun kagum akan kejujuran budak itu hingga beliau memerdekakan status kebudakannya karena keimanannya.
Alangkah indahnya jika sikap jujur dan amanah yang dimiliki budak tersebut, ada pada setiap kita; baik pejabat maupun rakyat, karyawan maupun atasan, guru maupun siswa, suami maupun isteri.
Dalam Ramadhan pun, kita dilatih untuk bisa mengendalikan hawa nafsu. Kita bahkan dilatih untuk tidak mengkonsumsi barang yang mubah di siang hari selama Ramadhan. Fungsi pengendalian nafsu ini amat penting lagi jika diterapkan di tengah kehidupan yang cenderung hedonistis, sikap konsumer serta matriarlistis. Kita sering mengkonsumsi barang yang tidak perlu, atau tidak seimbang dengan keuangan kita demi mengejar suatu prestise kemewahan. Kita juga sering termakan dengan prestise merek asing tertentu, padahal kualitasnya tidak lebih baik dari karya anak negeri sendiri. Semua demi hawa nafsu prestis. Dengan puasalah kita diajarkan mengendalikan keinginan-keinginan yang berdampak negatif.
Puasa Ramadhan pun mengajarkan kita hidup berdisiplin. Menurut Dr. Musthofa al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi-nya menyatakan, bahwa puasa dapat melahirkan pribadi muslim yang berdisiplin. Sebab, orang yang berpuasa tidak akan makan dan minum sebelum datang waktu berbuka yakni saat maghrib. Sikap disiplin dalam segala hal akan melahirkan keteraturan, bekerja dengan perencanaan, terprogram dan terukur.
Puasa Ramadhan juga melahirkan pribadi-pribadi yang peduli terhadap sesama. Rasa lapar dan dahaga yang kita rasakan sepanjang hari mengingatkan kita pada kondisi kaum dhuafa (lemah) yang tidak menentu hidup dan pemenuhan kebutuhannya. Hal ini akan melahirkan sikap sosial dan kepedulian kepada sesama. Rasulullah saw bersabda, ”Tidaklah beriman salah seorang di antaar kalian hingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri” (HR: Muslim)
Dan masih banyak lagi hikmah yang terkandung dalam ibadah puasa Ramadhan.
Jika semua hikmah itu dapat dicapai oleh setiap muslim yang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan itu, maka akan lahir manusia muslim yang jujur, amanah, profesinal, disiplin, mampu mengendalikan diri, peduli kepada sesama dan sikap rendah hati. Itulah yang disebut Allah SWT sebagai orang-orang yang bertaqwa ”La’allakum tattaqun”. Sebagaimana firman Allah SWT:
”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-baqarah: 183).
Jika suatu negeri telah diisi oleh orang-orang yang bertaqwa yang memilki sifat-sifat positif di atas, bukan tidak mungkin negeri itu akan dipenuhi keberkahan dari segala arah. Perhatikan firman dan janji Allah SWT berikut:
”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi” (QS. Al=A’raf: 96)
Idul Fitri berarti kembali kepada fitroh (kesucian). Itulah ciri orang-orang yang bertaqwa, yang menjauhkan diri dari segala sifat-sifat tamak dan serakah, serta kembali kepada sifat kemanusiaannya yang mencintai keharmonisan, kedamaian, keteraturan dan kebaikan. Idul ftri berarti juga kembali kepada nol (zero) sebagai titik awal melangkah ke masa depan dalam menata kehidupan yang lebih cerah. Dengan pola tazkiyah (penyucian) jiwa-lah masyarakat Jahiliyah berubah menjadi masyarakat yang berperdaban dan berilmu pengetahuan. Firman Allah SWT:
”Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS. Al-Jumu’ah: 2).
Dalam ayat lain dijelaskan bahwa hanya orang yang berusaha mensucikan dirilah yang akan sukses, yakni orang yang senantiasa mengingat nama Allah dan melaksanakan shalat. Sebab merekalah yang mendudukkan diri sebagai hamba Allah yang harus mengabdi sesuai dengan aturan dan pedoman Tuhannya. Firman Allah SWT:
”Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang” (QS. Al-A’la: 14-15)
Marilah kita jadikan moment idul fitri ini sebagai titik awal menuju masa depan yang cerah. Kita yakin bahwa baik-buruk masa depan kita ditentukan oleh kita seberapa kuat kemauan kita untuk menjadi manusia-manusia dengan sifat-sifat kemanusiaannya yang cenderung cinta kebaikan. Allah SWT berfirman:
”Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Al-Ra’d: 11)
Selamat Raya Idul Fitri, selamat kembali kepada fitrah nan suci, minal ’aidin wal faizin, mohon maaf lahir batin. Semoga seluruh amal kita diterima Allah SWT. Amin ya Rabbal Alamin.

Tidak ada komentar: