Sentilan-Sentilun Ramadhan
Oleh: Muhammad Jamhuri
“Ustadz, saya
baca broadcast di WA, katanya mengucapkan kata “Minal Aidin wal Faizin-Mohon
Maaf Lahir Batin” di hari raya itu adalah perbuatan bid’ah. Apa betul, ustadz?”
Tanya jamaah peserta i’tikaf.
“Kalau perbuatan
itu dianggap bid’ah saja,
maka jawabannya ‘iya’. Sama dengan protes sahabat-sahabat kepada Umar bin
Khattab saat beliau mengumpulkan taraweh dengan berjamaah yang belum pernah
dilakukan Nabi saw dan Abu Bakar sebelumnya, “Bukankah ini perbuatan bid;ah?”.
Umar menjawab, “Ini bid’ah yang baik”. Bahasa arabnya “Ni’matul bid’ah
hadzihi”. Malah kalau
diartikan letterlooknya
“Sebaik-baik bid’ah, ya inilah”. Jadi ada bid’ah yang bukan sekedar baik tuh,
tapi sebaik-sebaik, lebih baik dari yang baik. Ya kan?. Apa itu? Ya..dalam
contoh ini shalat taraweh berjamaah yang “dibuat-buat” Umar bin Khattab.” Jawab
ustadz santai..
“Tapi kan ustadz,
bukankah Rasulullah saw telah mengajarkan ucapan yang sesuai dengan sunnah,
yaitu “Taqabbalallahu Minna wa Minkum?” Sanggah jamaah.
“Nah, itu yang
terbaik. Apa saja yang datang dari Nabi saw itu yang terbaik. Amalkan dengan
rasa semangat dan kecintaan...” Jawab ustadz menyarankan.
“Kalau begitu,
ustadz setuju yang mana, ucapan “taqabbalallahu Minna wa Minkum?” atau “Minal
Aidin wal Faizin-Mohon Maaf Lahir Batin”? Tanya jamaah minta kepastian.
“Saya gak setuju dengan
yang pertama” Jawab ustadz santai..
“Lho?, kan yang
pertama itu ucapan dari Nabi, ustadz? Kok ustadz malah gak setuju?” protes
jamaah.
“Bukan, Saya gak
setuju yang pertama itu, maksudnya, isi statemen dalam pertanyaan Bapak, bahwa mengucapkan kata “Minal Aidin
wal Faizin-Mohon Maaf Lahir Batin” itu adalah perbuatan bid’ah. Jika bid’ah itu
diartikan sebagai bid’ah yang sesat. Saya gak setuju” . Jawab ustadz.
“Maksud ustadz,?”
Tanya jamaah penasaran
“Begini, Ucapan
“Minal Aidin wal Faizin-Mohon Maaf Lahir Batin” itu adalah kearifan lokal,
bukan mau merubah apalagi menyaingi apa yang disunnahkan Nabi saw. Ucapan ini
sudah enak terdengar di telinga orang Indonesia dan mereka memahami maksudnya,
ehm..walaupun belum semua masyarakat tahu makna bagian pertama ucapan itu,
yakni “minal aidin wal faizin”. Jadi, kearifan lokal jangan dibenturkan dengan
sunnah dan bid’ah. Sebagai contoh, khutbah idul fitri atau khutbah idul adha,
hampir semua khatib di Tanah Air, selain bacaan rukun khutbah, mereka
menggunakan bahasa Indonesia bahkan bahasa daerah untuk menyampaikan pesan-pesan
khutbahnya kepada masyarakat. Lalu apakah khutbah dengan bahasa Indonesia atau
daerah itu kita sebut bid’ah?. Nggak Kan?, baik Rasulullah saw maupun sahabat
dan Tabi’in belum pernah mencontohkan khutbah pakai bahasa selain bahasa Arab
kan? . Khutbah kan juga ibadah lho..? Lalu kenapa para ulama membolehkan
khutbah dengan bahasa lokal? Karena agar pesan-pesan kebaikan itu sampai kepada
jamaah dan masyarakat. Itulah yang saya katakan “kearifan lokal”.
Nah, pada saat
kita mengucapkan “Mohon Maaf Lahir Batin” maka pesan ucapan kita sampai kepada
orang yang kita ajak bicara. Itu kira-kira” Jelas ustadz
“Tapi kan, kata
“Minal Aidin Wal Faizin” juga bahasa Arab, ustadz? Tidak semua masyarakat
Indonesia mengerti artinya? Bahkan ada yang salah kaprah, makna “minal aidin
wal faizin” diartikan “Mohon Maaf lahir batin” padahal kan artinya “Semoga
menjadi orang yang kembali dan beruntung”? Bukankah ini perlu diluruskan,
ustasz?” . Sanggah Jamaah
“Nah...itu, bapak
ngerti bahasa Arab...hehehe..jangan-jangan bapak juga seorang ustadz nih..? atau
setidaknya pernah nyentren di pesantren nih....iya kan?” Tanya ustadz bercanda.
“Ah pak
ustadz......Memang sih pak ustadz, saya pernah ikut pesantren.” Jawab Jamaah
“di Pesantren
mana..?”. Tanya ustadz
”di Pesantren
KILAT..!” Jawab Jamaah santai
“Astagfirullah...untung
gak kesamber geledek saya. Kirain pesantren beneran gitu.”. Sahut ustadz
“Jadi, gimana
dong ustadz, jawaban pertanyaan saya tadi..?” Jamaah mengalihkan pembicaraan
“Itulah hebatnya
orang Indonesia. Saking semangatnya mau menyebarkan dan mensyiarkan bahasa
Arab, banyak “moment” yang tidak ada di Arab dan menjadi ciri khas Indoensia
lalu di arab-arabkan, dan itu positif untuk pengembangan bahasa Arab.
Setidaknya secara vocabulary. Contoh: kata”Halal bi Halal”. Kata ini Cuma ada
di Indonesia, pahadal itu bahasa Arab. Dan di Arab sendiri gak ada istilah
“Halal bi Halal”. Tapi baik kan isi acaranya? Saling silaturrahmi dan saling
memaafkan?. Terus contoh lain. Di Toilet-toilet masjid bahkan di Pom Bensi
(SPBU), ada toilet khusus pria dan toilet khusus wanita, namun tulisannya
“IKHWAN” untuk toilet pria dan “AKHWAT” untuk toilet wanita. Nah, ini kan hal
positif? Masyarakat jadi ngerti dan kenal bahasa Arab?. Begitu juga dengan kata
“Minal Aidin wal Faizin” yang berarti “Semoga kembali (kepada fitroh) dan
menjadi orang yang beruntung”. Kata ini gak pernah ada dan gak dipergunakan
oleh orang-orang Arab, -kebetulan saya pernah tinggal 6 tahun lho di Arab -
tapi kata itu dipake oleh orang Indonesia yang semangat “meng-arabkan”
Imdonesia. Jadi, ini adalah kearifan lokal yang disemangati oleh bahasa
al-quran. Karena itu, ini bukan bid’ah yang disesatkan itu.” Jelas ustadz
panjang lebar.
“Tapi, kok
masyarakat sering memahami kata “Minal Aidin wal Faizin” dengan makna “Mohon
maaf lahir batin, Ustadz?” Sanggah jamaah.
“Gini, kesalahan
anggapan makna itu ada. Cuma saya melihat begini... Suatu kata bisa dikatakan
indah kalau akhiran-nya
antara kata-kata atau kalimat itu sama. Sehingga kata dan kalimat itu bisa
bernilai puitis, indah dan enak di dengar. Nah. Pada kalimat “Minal Aidin wal
Faizin” itu kan berakhir dengan huruf “I” dan “N” sehingga berbunyi “IN”.
Kemudian kata “Mohon maaf lahir batin” pun diakhir dengan “I” dan “N” yang juga
berbunyi “IN”. Karena kedua kata berakhiran sama, maka enak didengar. Kalau
kalimat “Minal Aidin wal Faizin” kita terjemahkan apa adanya, sepertinya agak
sulit membuat kata puitis yang enak didengar.
Belum lagi maksud
si pengucap ucapan idul fitri ingin mengumpulkan dua hubungan dalam pergaulan,
yakni hubungan dengan Allah berupa doa “Minal Aidin wal Faizin”, juga hubungan
sesama manusia berupa permohon maaf “Mohon maaf lahir dan batin”.
Jadi, menurut
saya...ini adalah kekayaan dan kearifan lokal yang disemangati oleh ghiroh
agamis. Bayangkan kalau disemangati oleh sekuler...apa jadinya?. Jadi, yang
namanya budaya, baik-buruknya, dilatar belakangi oleh ‘civilazation dan
culture”. Dan alhamdulillah kultur masyarakat kita banyak dilatar belakangi
oleh ajaran agama Islam.” Jelas ustadz panjang lebar
“Oh ya.. satu hal
lagi kearifan lokal kita.... Yaitu budaya memasak ketupat di setiap Idul Fitri.
Bahkan, Kepolisiam saja menamai “Operasi Lebarannya” dengan istilah “Operasi
Ketupat”. Dikarenakan lebaran atau idul fitri identik dengan suguhan masakan
ketupat. Ini juga kan..kearifan lokal? Coba deh.. di Arab sana, ada gak ketupat
sebagai makanan khas idul fitri mereka? Ada gak ketupat di zaman Nabi dan para
sahabat? Gak kan? Lalu apa kita bilang ketupat di idul fitri itu bidah yang sesat?...gak kan? Nah, itulah kearifan
lokal.” Tambah ustadz
“Dengan
penjelasan tentang kelebihan ucapan “minal aidin wal faizin-mohon maaf lahir
batin” tadi, berarti pak ustadz setuju kalau ucapan itu lebih baik dari ucapan
“Taqabbalallahu Minna wa minkum?” Tanya ustadz penasaran.
“Kan sudah saya
sampaikan di awal, bahwa , itu yang terbaik. Apa saja yang datang dari Nabi saw
itu yang terbaik. Amalkan dengan rasa semangat dan kecintaan...Jikapun saya
jelaskan panjang lebar tentang ucapan “Minal Aidin wal-faizin-mohon maaf lahir
batin” untuk menjelaskan bahwa in adalah kearifan dan khazanah lokal yang tidak
perlu dibenturkan dengan sunnah-bid’ah. Jadi tetap.. apa yang datang dari Nabi,
ambillah! (wa maaa ataakumu al-rasul fa khuzhuuhu, apa yang didatangkan
Rasul padamu ambillah !).. tetapi yang tidak dilarang nabi saw serta baik
jangan dicegah dan dilarang... karena ayatnya hanya yang dilarang Nabi yang
harus dicegah (wa maa nahaakum ‘anhu fantahuuu..), adapaun kearifan yang
tidak ada nash yang melarangnya, lalu ia baik dan tidak melanggar agama...tidak
usah disebut sesat...Gitu luh...
Selain itu dalam
ucapan “Taqabbalallhu Minna wa minkum” juga mengandung dua hubungan vertikal
dan horizantal..karena kita pun mendoakan saudara kita.
Usul saya, saat
bersalaman di idul fitri nanti, ucapkan tahniah yang diajarkan Nabi, kemudian
karena tidak semua orang paham maknanya, silakan tambahin dengan tahniah
kearifan lokal. Dan jika Bapak merasa terlalu panjang, ya ucapkan saja tahniah
yang diajarkan Nabi. Namun kaalu ada yang mengucapkan tahniah lokal, jangan
dituduh ahli bid’ah.....gitu aja repott” Jelas ustadz.
“Alhamdulillah...
jadi jelas ustadz, malam ini saya dapat pencerahan..” Ujar jamaah
“Itulah manfaat
dari kita beri’tikaf. Dalam itikaf kita dapat beribadah, dapat ruhiyah, dapat
ilmiyah, dapat ukhuwah, dan ayam serta kuwah.....he..he.. Oh ya..ngomong-ngomong Bapak itikafnya full
kan sepuluh hari..?” Tanya ustad
“He..he.. maaf
pak ustadz,...saya iktikafnya malam doang...kalau siang saya masih harus masuk
kantor.” Jawab ustadz
“ini..ni..nih...
yang namanya “Itikaf ala kalong alias kampret”, malam nampak- siang gak nampak. Tahun depan niatkan dan
‘azamkan ya itikaf sepuluh hari?, itikaf ala Nabi...jangan itikaf ala kampret
melulu...” ujar ustadz menasehati.
“Kan, Kearifan lokal, pak ustadz..he..he....i’tikafnya malam doing..hehe,,” Jawab jamaah
“Ha..ha... kampret lokal itu mah..! Ya sudah sana,,
tilawah....saya juga mau tadarus nih....” Kata Ustadz.
“Daripada ceboooong…pak
ustadz?hehe” Jamaah menimpali..
“Huss…udah….sana tilawah…” Ustad menutup percakapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar