Rabu, 11 April 2012

Ilmu dan Harta


Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan 
 (QS. Al-Mujadilah: 11)

Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda, “Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya.”.

Mendengar hadits ini, ada tiga orang yang ingin membuktikan kebenaran hadits ini, sehingga tiga orang ini bersepakat akan menguji sahabat Ali ra dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Disepakati, bahwa pertanyaan yang akan diajukan oleh tiga orang ini adalah sama, sedangkan  jika jawabannya sama berarti ilmu Ali bin Abu Thalib cetek/sedikit, dan hadits ini tidak sesuai dengan realita, namun jika jawaban Ali akan bervariasi dan berbeda, berarti hal itu akan menunjukkan keluasan ilmu Ali ra, dan hadits itu dianggap sesuai dengan realita.

Kemudian orang pertama datang ke hadapan Ali bin Abu Thalib ra mengajukan pertanyaan kepadanya, “Wahai Ali, manakah yang lebih utama, Ilmu atau harta dan mengapa?.

Ali bin Abu Thalib ra menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta, karena ilmu itu adalah warisan para Nabi, sedangkan harta adalah warisan Qorun”.

Kemudian orang kedua datang menghadap Ali bin Abu Thalib dan mengajukan sebuah pertanyaan yang sama dengan orang pertama. Ali ra menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta, karena ilmu itu dapat menjagamu, sedangkan harta engkaulah yang menjaganya.”

Hari berikutnya, orang ketiga datang ke hadapan Ali ra dan bertanya dengan pertanyaan yang sama dengan kedua orang yang datang sebelumnya. Ali ra menjawab, “Ilmu itu lebih utama daripada harta, karena ilmu itu jika engkau berikan pada orang, maka ilmu engkau akan lebih melekat dan bertambah. Sedangkan harta jika dibelanjakan akan habis.”

Dari kisah itu jelas, bahwa ilmu lebih utama daripada harta. Selain kisah di atas, ayat yang tercantum di atas pun menunjukkan bahwa orang beriman dan berilmu akan diangkat derajatnya oleh Allah swt.

Allah swt berfirman seraya mengajak diskusi kepada kita dengan mengajukan pertanyaan, “Apakah sama orang berilmu (mengaeahui) dan orang yang tidak berilmu (tidak mengetahui).? “ (QS. Az-Zumar: 9). Tentu, jawaban atas pertanyaan ini adalah tidaklah sama orang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Buktinya adalah sebagai berikut::

Suatu hari, Sir Isac Newton, sang ahli fisika, sedang berjalan-jalan di sebuah kebun apel. Tiba-tiba salah satu buah apel jatuh dari pohonnya tepat di hadapan Newton. Kemudian diambilnya, lalu dilemparnya buah itu ke arah atas, tetapi dibiarkan jatuh kembali. Kemudian eksperimen itu diulang-ulang, hingga beliau menemukan sebuah teori ‘Gravitasi Bumi’.

Akan tetapi ada sebuah kisah yang sama, seorang  pengembala kambing di Tanah Air ini sedang berjalan-jalan di sebuah kebun mangga, tiba-tiba sebuah mangga jatuh di hadapannya. Kira-kira apa yang akan dilakukan pengembala tersebut? Ya, ternyata dia mengupasnya dan memakan buah mangga itu. Tidak ada teori atau rumus yang keluar dari kepala sang pengembala itu.

Mengapa kejadian dan peristiwanya sama, akan tetapi hasilnya berbeda? Karena Isac Newton adalah seorang yang berilmu, ahli fisika dan ahli matematika. Sedangkan pengembala kampung ini belum pernah mengecap pendidikan sedikiitpun. Itulah bedanya antara orang yang berilmu dan tidak berilmu. Dan dalam hal ini, tidak ada pengecualian kafir atau muslim. Orang yang berilmu akan tetap mempunyai nilai tambah daripada orang yang tidak berilmu.

Ada kisah lain. Ada dua orang sahabat yang sama-sama berprofesi sebagai padagang kaki lima. Orang pertama bersuku pribumi sedang orang kedua bersuku Tonghoa. Keduanya sama-sama membuka lapak berjualan pakaian di pinggir jalan. Saat itu, belum ada peraturan yang melarang orang berjualan di pinggir jalan. Keduanya sering mendapat untung dari hasil penjualannya. Akan tetapi orang pribumi ini bersikap royal, makan pun maunya serba enak, bahkan kadang sering boros dan menikah-cerai hingga tiga kali. Sedangkan orang Tionghoa menggunakan keuntungan penjualan untuk melanjutkan kuliah di waktu-waktu senggang saat tidak berdagang. Tidak tanggung-tanggung dia kuliah di fakultas ekonomi.

Dalam perjalanan bisnisnya, orang pribumi mengelola keuangan dan keuntungan secara tradisonal dan apa adanya. Sedangkan orang tionghoa ini mulai menerapkan ilmu ekonominya pada bisnis penjualannya. Sehingga lebih rapi dan terkontrol dalam mengatur keuangannya.

 Setelah beberapa tahun, orang tionghoa ini sudah memiliki toko hasil manajemen keuangan yang ia terapkan pada kakli-limanya, sehingga dia mempunyai dua tempat; toko dan kaki-limanya Sedangkan orang pribumi ini masih tetap saja sebagai pedagang kaki-lima .

Tahun demi tahun berjalan, kota tempat mereka berdagang semakin ramai dan sempitnya. Hingga akhirnya pemerintah kota setempat merazia dan membongkar tempat pedagang kaki-lima yang kini dianggap mengganggu ketertiban. Apa yang terjadi? Orang pribumi tadi kini tidak punya tempat usaha, dan lambat laun dia menjadi pengangguran. Sedang orang tionghoa tadi tetap nyaman berbisnis karena kini dia mempunyai toko, para pelanggannya tidak pergi, bahkan pelanggan temannya yang pribumi itu pun kini berpindah ke toko sang tionghoa tadi.

Mengapa nasib dua orang sahabat itu berbeda? Karena orang pribumi tidak mau terus belajar. Sedang orang tionghoa tadi selain hidup prihatin, dia juga mempunyai semangat belajar dan mendapat ilmu. Itulah makna ayat diatas, Apakah sama orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu? (QS. Az-Zumar: 9).

Dalam hidup ini, marilah investasikan ilmu pada anak-anak kita. Jangan biarkan anak-anak kita menjadi bodoh dan tak berilmu. Biarkan ayahnya jadi tukang ojek, asal anaknya berpendidikan tinggi. “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dengan beberapa derajat” (QS. Al-Mujadilah: 11).#       Jamhuri


1 komentar:

syaefudin mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.