“Ustadz, saya baca broadcast di WA, katanya mengucapkan kata “Minal Aidin wal Faizin-Mohon Maaf Lahir Batin” di hari raya itu adalah perbuatan bid’ah. Apa betul, ustadz?” Tanya jamaah peserta i’tikaf.
“Kalau perbuatan itu dianggap bid’ah saja,
maka jawabannya ‘iya’. Sama dengan protes sahabat-sahabat kepada Umar bin
Khattab saat beliau mengumpulkan taraweh dengan berjamaah yang belum pernah
dilakukan Nabi saw dan Abu Bakar sebelumnya, “Bukankah ini perbuatan bid;ah?”.
Umar menjawab, “Ini bid’ah yang baik”. Bahasa arabnya “Ni’matul bid’ah
hadzihi”. Malah kalau diartikan letterlooknya “Sebaik-baik bid’ah, ya
inilah”. Jadi ada bid’ah yang bukan sekedar baik tuh, tapi sebaik-sebaik, lebih
baik dari yang baik. Ya kan?. Apa itu? Ya..dalam contoh ini shalat taraweh
berjamaah yang “dibuat-buat” Umar bin Khattab.” Jawab ustadz santai..
“Tapi kan ustadz, bukankah Rasulullah saw
telah mengajarkan ucapan yang sesuai dengan sunnah, yaitu “Taqabbalallahu
Minna wa Minkum?” Sanggah jamaah.
“Nah, itu yang terbaik. Apa saja yang
datang dari Nabi saw itu yang terbaik. Amalkan dengan rasa semangat dan
kecintaan...” Jawab ustadz menyarankan.
“Kalau begitu, ustadz setuju yang mana,
ucapan “taqabbalallahu Minna wa Minkum?” atau “Minal Aidin wal Faizin-Mohon
Maaf Lahir Batin”? Tanya jamaah minta kepastian.
“Saya gak setuju dengan yang pertama”
Jawab ustadz santai..
“Lho?, kan yang pertama itu ucapan dari
Nabi, ustadz? Kok ustadz malah gak setuju?” protes jamaah.
“Bukan, Saya gak setuju yang pertama itu,
maksudnya, isi statemen dalam
pertanyaan Bapak, bahwa mengucapkan kata “Minal Aidin wal Faizin-Mohon Maaf
Lahir Batin” itu adalah perbuatan bid’ah. Jika bid’ah itu diartikan sebagai
bid’ah yang sesat. Saya gak setuju” . Jawab ustadz.
“Maksud ustadz,?” Tanya jamaah penasaran
“Begini, Ucapan “Minal Aidin wal
Faizin-Mohon Maaf Lahir Batin” itu adalah kearifan lokal, bukan mau merubah
apalagi menyaingi apa yang disunnahkan Nabi saw. Ucapan ini sudah enak
terdengar di telinga orang Indonesia dan mereka memahami maksudnya,
ehm..walaupun belum semua masyarakat tahu makna bagian pertama ucapan itu,
yakni “minal aidin wal faizin”. Jadi, kearifan lokal jangan dibenturkan dengan
sunnah dan bid’ah. Sebagai contoh, khutbah idul fitri atau khutbah idul adha,
hampir semua khatib di Tanah Air, selain bacaan rukun khutbah, mereka
menggunakan bahasa Indonesia, bahkan bahasa daerah untuk menyampaikan pesan-pesan
khutbahnya kepada masyarakat. Lalu apakah khutbah dengan bahasa Indonesia atau
daerah itu kita sebut bid’ah?. Nggak Kan?, baik Rasulullah saw maupun sahabat
dan Tabi’in belum pernah mencontohkan khutbah pakai bahasa selain bahasa Arab
kan? . Khutbah kan juga ibadah lho..? Lalu kenapa para ulama membolehkan
khutbah dengan bahasa lokal? Karena agar pesan-pesan kebaikan itu sampai kepada
jamaah dan masyarakat. Itulah yang saya katakan “kearifan lokal”.
Nah, pada saat kita mengucapkan “Mohon
Maaf Lahir Batin” maka pesan ucapan kita sampai kepada orang yang kita ajak
bicara. Itu kira-kira” Jelas ustadz
“Tapi kan, kata “Minal Aidin Wal Faizin”
juga bahasa Arab, ustadz? Tidak semua masyarakat Indonesia mengerti artinya?
Bahkan ada yang salah kaprah, makna “minal aidin wal faizin” diartikan “Mohon
Maaf lahir batin” padahal kan artinya “Semoga menjadi orang yang kembali dan
beruntung”? Bukankah ini perlu diluruskan, ustadz?” . Sanggah Jamaah
“Nah...itu, bapak ngerti bahasa Arab...hehehe..jangan-jangan
bapak juga seorang ustadz nih..? atau setidaknya pernah nyentren di pesantren
nih....iya kan?” Tanya ustadz bercanda.
“Ah pak ustadz......Memang sih pak ustadz,
saya pernah ikut pesantren.” Jawab Jamaah
“di Pesantren mana..?”. Tanya ustadz
”di Pesantren KILAT..!” Jawab Jamaah
santai
“Astagfirullah...untung gak kesamber
geledek saya. Kirain pesantren beneran gitu.”. Sahut
ustadz
“Jadi, gimana dong ustadz, jawaban
pertanyaan saya tadi..?” Jamaah mengalihkan pembicaraan
“Itulah hebatnya orang Indonesia. Saking
semangatnya mau menyebarkan dan mensyiarkan bahasa Arab, banyak “moment” yang
tidak ada di Arab dan menjadi ciri khas Indoensia lalu di arab-arabkan, dan itu
positif untuk pengembangan bahasa Arab. Setidaknya secara vocabulary. Contoh: kata”Halal
bi Halal”. Kata ini cuma ada di Indonesia, pahadal itu bahasa Arab. Dan di Arab
sendiri gak ada istilah “Halal bi Halal”. Tapi baik kan isi acaranya? Saling
silaturrahmi dan saling memaafkan?. Terus contoh lain. Di Toilet-toilet masjid
bahkan di Pom Bensi (SPBU), ada toilet khusus pria dan toilet khusus wanita,
namun tulisannya “IKHWAN” untuk toilet pria dan “AKHWAT” untuk toilet wanita.
Nah, ini kan hal positif? Masyarakat jadi ngerti dan kenal bahasa Arab?. Begitu
juga dengan kata “Minal Aidin wal Faizin” yang berarti “Semoga kembali (kepada
fitroh) dan menjadi orang yang beruntung”. Kata ini gak pernah ada dan gak
dipergunakan oleh orang-orang Arab, -kebetulan saya pernah tinggal 6 tahun lho di
Arab - tapi kata itu dipakai oleh orang Indonesia yang semangat “meng-arabkan”
Imdonesia. Jadi, ini adalah kearifan lokal yang disemangati oleh bahasa al-Quran.
Karena itu, ini bukan bid’ah yang disesatkan itu.” Jelas ustadz panjang lebar.
“Tapi, kok masyarakat sering memahami kata
“Minal Aidin wal Faizin” dengan makna “Mohon maaf lahir batin, Ustadz?” Sanggah
jamaah.
“Gini, kesalahan anggapan makna itu ada.
Cuma saya melihatnya begini... Suatu kata bisa dikatakan indah kalau akhiran-nya antara kata-kata atau kalimat itu
sama. Sehingga kata dan kalimat itu bisa bernilai puitis, indah dan enak di
dengar. Nah. Pada kalimat “Minal Aidin wal Faizin” itu kan berakhir dengan
huruf “I” dan “N” sehingga berbunyi “IN”. Kemudian kata “Mohon maaf lahir
batin” pun diakhir dengan “I” dan “N” yang juga berbunyi “IN”. Karena kedua
kata berakhiran sama, maka enak didengar. Kalau kalimat “Minal Aidin wal Faizin”
kita terjemahkan apa adanya, sepertinya agak sulit membuat kata puitis yang
enak didengar.
Belum lagi maksud si pengucap ucapan idul
fitri ingin mengumpulkan dua hubungan dalam pergaulan, yakni hubungan dengan
Allah berupa doa “Minal Aidin wal Faizin”, juga hubungan sesama manusia berupa
permohon maaf “Mohon maaf lahir dan batin”.
Jadi, menurut saya...ini adalah kekayaan
dan kearifan lokal yang disemangati oleh ghiroh agamis. Bayangkan kalau
disemangati oleh sekuler, komunis...apa jadinya?. Jadi, yang namanya budaya, baik-buruknya,
dilatar belakangi oleh ‘civilazation and culture”. Dan alhamdulillah kultur
masyarakat kita banyak dilatar belakangi oleh ajaran agama Islam.” Jelas ustadz
panjang lebar.
“Oh ya.. satu hal lagi kearifan lokal
kita.... Yaitu budaya memasak ketupat di setiap Idul Fitri. Bahkan, Kepolisiam
saja menamai “Operasi Lebarannya” dengan istilah “Operasi Ketupat”. Dikarenakan
lebaran atau idul fitri identik dengan suguhan masakan ketupat. Ini juga
kan..kearifan lokal? Coba deh.. di Arab sana, ada gak ketupat sebagai makanan
khas idul fitri mereka? Ada gak ketupat di zaman Nabi dan para sahabat? Gak
kan? Lalu apa kita bilang ketupat di idul fitri itu bidah yang sesat?...gak kan? Nah, itulah kearifan
lokal.” Tambah ustadz
“Dengan penjelasan tentang kelebihan
ucapan “minal aidin wal faizin-mohon maaf lahir batin” tadi, berarti pak ustadz
setuju kalau ucapan itu lebih baik dari ucapan “Taqabbalallahu Minna wa
minkum?” Tanya ustadz penasaran.
“Kan sudah saya sampaikan di awal, bahwa ,
itu yang terbaik. Apa saja yang datang dari Nabi saw itu yang terbaik. Amalkan
dengan rasa semangat dan kecintaan...Jikapun saya jelaskan panjang lebar
tentang ucapan “Minal Aidin wal-faizin-mohon maaf lahir batin” untuk
menjelaskan bahwa ini adalah kearifan dan khazanah lokal yang tidak perlu
dibenturkan dengan sunnah-bid’ah. Jadi tetap.. apa yang datang dari Nabi,
ambillah! (wa maaa ataakumu al-rasul fa khuzhuuhu, apa yang didatangkan
Rasul padamu ambillah !).. tetapi yang tidak dilarang nabi saw serta baik jangan
dicegah dan dilarang... karena ayatnya hanya yang dilarang Nabi yang harus
dicegah (wa maa nahaakum ‘anhu fantahuuu..), adapaun kearifan yang tidak
ada nash yang melarangnya, lalu ia baik dan tidak melanggar agama...tidak usah
disebut sesat...Gitu luh...
Selain itu dalam ucapan “Taqabbalallhu
Minna wa minkum” juga mengandung dua hubungan vertikal dan horizantal..karena
kita pun mendoakan saudara kita.
Usul saya, saat bersalaman di idul fitri
nanti, ucapkan tahniah yang diajarkan Nabi, kemudian karena tidak semua orang
paham maknanya, silakan tambahin dengan tahniah kearifan lokal. Dan jika Bapak
merasa terlalu panjang, ya ucapkan saja tahniah yang diajarkan Nabi. Namun kalau
ada yang mengucapkan tahniah lokal, jangan dituduh ahli bid’ah.....gitu aja
repott” Jelas ustadz.
“Alhamdulillah... jadi jelas ustadz, malam
ini saya dapat pencerahan..” Ujar jamaah
“Itulah manfaat dari kita beri’tikaf.
Dalam itikaf kita dapat beribadah, dapat ruhiyah, dapat ilmiyah, dapat ukhuwah,
dan ayam serta kuwah.....he..he.. Oh
ya..ngomong-ngomong Bapak itikafnya full kan sepuluh hari..?” Tanya ustad
“He..he.. maaf pak ustadz,...saya iktikafnya
malam doang...kalau siang saya masih harus masuk kantor.” Jawab ustadz
“ini..ni..nih... yang namanya “Itikaf ala kalong
alias kampret”, malam nampak- siang gak nampak. Tahun depan niatkan dan
‘azamkan ya itikaf sepuluh hari?, itikaf ala Nabi...jangan itikaf ala kampret
melulu...” ujar ustadz menasehati.
“Kan, Kearifan lokal juga, pak ustadz..he..he....i’tikafnya
malam doang..hehe,,” Jawab jamaah
“Ha..ha... kampret lokal itu mah..! Ya sudah sana,, tilawah....saya
juga mau tadarus nih....” Kata Ustadz.
“Daripada ceboooong…pak ustadz?hehe” Jamaah menimpali..
“Huss…udah….sana
tilawah…” Ustad menutup percakapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar