“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memanggil Rasul seperti kamu memanggil sebagian kamu dengan sebagian lainnya “ (QS. Al-Nahl: ).
Akhir-akhir ini umat Islam sedunia dikejutkan oleh suatu gambar karikatur yang bersifat menghina pribadi Rasulullah saw yang dimuat oleh salah satu harian di Denmark. Dalam gambar nista itu, Raslullah SAW digambarkan seolah-olah seperti seorang teroris. Tidak heran bila kemudian timbul reaksi protes dari umat Islam dunia agar pemerintah Denmark meminta maaf kepada umat Islam. Namun sampai saat ini pemerintah Denmark dengan kesombongannya enggan meminta maaf atas kekeliurannya yang menyinggung perasaan umat Islam tersebut. Bahkan negera Amerika dan negara-negara Eropa dengan sombongnya mendukung sikap Denmark dengan alasan kebebasan berpendapat.
Sikap mereka yang penuh kecongkakan dan arogan itu dikarenakan mereka memiliki sifat phobi (anti) kepada Islam.
Sebagai umat Islam, tentu kita sangat menghormati Nabi Muhammad saw. Bahkan dalam hubungan antar umat beragama, kita tidak pernah menghina agama lain.
Jika kini umat Islam membela kehormatan Nabi dan agamanya, tidak lain karena hal ini pun pernah dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW.
Suatu ketika orang-oran Makkah menyeret Zaid bin Dutsnah dari Tanah Haram untuk membunuhnya. Berkatalah Abu sufyan bin Harb, “Demi Allah, wahai Zaid. Bagaimana jika Rasulullah sekarang ada di tempatmu di pedang lehernya, sedang kamu duduk di rumahmu?.”
“Demi Allah,” jawab Zaid mantap, “Bahkan aku tidak rela jika dia di tempatnya kini tertusuk duri sedangkan aku berada di rumahku.”
Pada peristiwa lain, seorang perempuan dari Anshar dtinggal pergi oleh ayah, saudara, dan suaminya ketika perang Uhud meletus. Ketika peperangan sudah usai. Para sahabat menemui beliau dan meyampaikan bahwa ayah, saudara, dan suaminya telah syahid dalam peperangan tersebut. “Bagaimana dengan Rasulullah?” tanyanya. “Alhamdulillah, beliau sebagaimana yang kau inginkan.” jawab sahabat itu. “Mana beliau? Izinkan aku melihatnya.” desak sang perempuan. Tatkala ia berhasil melihat wajah Rasulullah saw, ia berseru dari kedalaman hatinya, “semua musibah terasa ringan setelah melihatmu, wahai Rasulullah saw”.
Kisah lain, tatkala Bilal menghadapi sakaratul maut, keluarga besarnya berkata, “Duhai susahnya!”. Bilal menjawab, “Duhai bahagianya! Esok bertemu kekasih: Rasulullah dan sahabatnya.”
Maha besar Allah. Kisah Zaid bin Dutsnah, Bilal dan seorang perempuan dari Anshar hanyalah sebagian kecil dari potret kecintaan sahabat kepada Rasulullah SAW. Besarnya cinta mereka sampai-sampai mereka rela berpeluh, berdarah-darah bahkan meregang nyawa demi membela Rasulullah SAW. Bagi mereka, Rasulullah SAW bukan sekedar Rasul. Ia adalah pemimpin, sahabat, sekaligus ayah.
Mereka memiliki kesan tersendiri dari pergaulannya dengan Rasululah SAW. Kebaikan, kasih sayang dan perhatian Rasulullah kepada mereka begitu berbekas, sehingga kalau mereka diminta menjelaskan akhlak Rasul, linangan air matalah jawabannya, karena mereka terkenang akan junjungan mereka. Seperti yang dialami oleh Umar bin Khattab, sahabat terkenal galak ini menangis tatkala ada seorang Badui yang bertanya tentang akhlak Rasul.
Subhanallah, seperti apakah sebenarnya akhlak Rasulullah SAW? Istrinya, Aisyah dengan gamblang menggambarkannya sebagai khuluquhul Qur’an. Akhlak beliau itu al-Qur’an. Seakan-akan Aiysah ingin memberitahukan bahwa akhlak Rasulullah itu sangat sempurna, tidak ada cela seperti al-Qur’an. Atau Aisyah ingin menunjukkan bahwa Rasulullah SAW itu al-qur’an berjalan.
Bukan hanya di mata sahabat, kemuliaan akhlak Rasul juga diakui oleh musuhnya. Terbukti dengan masih saja orang-orang musyrik Quraisy menitipkan barang-barangnya kepada beliau, sehingga ketika beliau hendak berhijrah, barang-barang tersebut dikembalikan oleh Ali bin Abi Thalib.
Sikap-sikap para sahabat yang membela pribadi Rasulullah saw tersebut menunjukkan mulianya kedudukan Rasulullah saw. Bahkan dalam al-Qur’an, kemuliaan Rasulullah diabadikan dan dibuktikan oleh firman-firman Allah SWT. seperti firman Allah SWT, “Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (QS. Al-Qolam)
Bahkan dalam hal perintah, tidak ada perintah dari Allah yang dimulai dengan memberi contoh kecuali perintah bersholawat. Sebab dalam perintah shalat atau zakat umpamanya, Allah langsung mengatakan, “dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat”. Namun dalam perintah bersholawat kepada Nabi, Allah memberitahu dahulu bahwa diri-Nya dan para malaikatpun bersholawat kepadanya. Firman Allah SWT, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersholawat kepada Nabi, hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menyampaikan sholawat dan salam kepadanya (nabi)’.
Dalam banyak hadits ditegaskan bahwa kecintaan kepada Rasul adalah salah satu indikator keimanan seseorang. Sabdanya, “Aku bersumpah dengan nama Dia (Allah) yang menggenggam hidupku, tidaklah seseorang di antara kalian dipandang beriman sebelum kecintaannya terhadap diriku melebihi kecintaannya terhadap ayahnya dan anaknya.” (HR: Bukhori)
Perintah Allah dan penegasan Rasulullah yang diajarkan dari kecil ini membuat umat Islam terikat hatinya dengan beliau walau tidak pernah bertemu dan bergaul dengannya. Ditambah dengan informasi akhlak beliau yang ada di catatan sejarah, semakin membuat umat Islam merasa terikat dengannya.
Tidak dikatakan cinta kalau diam saja ketika ada yang mengganggu atau menghina kekasihnya. Begitupun ketika Rasul dihina maka sudah seharusnya kita membela kehormatannya. ##
Tidak ada komentar:
Posting Komentar