Bismillah...Berangkat.
Pertama kali mengetahui
informasi tentang adanya program perjalanan ke tiga negara adalah melalui grup
what-App yang aku terima. Dalam pesan itu ada infromasi juga tentang
tempat-tempat yang akan dikunjungi dengan harga yang cukup terjangkau, hanya Rp
6,5 juta. Aku tertarik, cuma aku ragu, adakah
manfaat yang akan aku dapat? Jangan-jangan Cuma jalan-jalan belaka dan
senang-senang? bukankah uang itu bisa dimanfaatkan untuk membeli semen atau
bahan bangunan untuk pembangunan pesantren yang sedang berjalan?. ..Namun
setelah dikirim pula agenda acara dan tempat-tempat yang akan dikunjungi di
tiga negara secara detail, maka aku merasa bahwa perjalanan kali ini mengandung
banyak makna. Ya, banyak makna. Karena disana ada lima dimensi yang akan
diraih: ziarah, ilmiah, ekperience, tourisme dan shoping. Intinya adalah
manfaat dunia dan akhirat (ibadah) akan diraih.
Kemudian timbul lagi
suatu keraguan, apakah perjalananku dibenarkan? Bukankah ada hadist Nabi saw
yang menyatakan bahwa tidaklah punya keinginan bepergian kecuali ke tiga
masjid, yakni Masjidil Haram, Masjidin Nabawi dan Masjidil Haram?. Namun dalam
perenunganku, dua masjid suci sudah sering aku lakukan karena seringnya diminta
menjadi pembimbing ibadah haji dan umroh. Tinggal satu masjid yang belum aku
kunjungi dalam hadits yang disebutkan Nabi saw, yakni Masjidil Aqsha. Hmm. Keinginan
berangkat ke masjid itu memang sudah menggebu-gebu, namun belum ada “takdir”
hadir pada diriku...Sedangkan tawaran informasi yang aku terima lewat whatt-app
ini, insya Allah-lah, aku diberi kesanggupan. Belum lagi, sudah lama juga aku
ingin mengenal luar negeri selain Arab Saudi dan Pakistan. Negeri terakhir ini
memang sempat aku singgahi dan tinggal disana saat kuliah di Islamabad. Atas
pertimbangan tersebut agaknya pantas jika tawaran informasi itu aku ambil.
Belum lagi, sebagai
pengasuh pesantren yang sejak dahulu ingin mengajak dan membawa santri keliling
dunia agar wawasan mereka meng-global. Liburan kelulusan alumni angkatan
pertama hanya baru bisa aku antarkan ke Jogjakarta, mudah-mudahan pada tahun
depan atau dua tahun ke depan cita-cita berlibur ke luar negeri bersama para
santri dapat terlaksana. Pertimbangan-pertimbangan itulah yang menguatkanku
untuk ikut progam kunjungan ke tiga negara ASEAN ini.
Apapun juga, aku mulai
menancapkan niat karena Allah swt, bahwa perjalanan ini dalam rangka beribadah.
Karena siyahah (wisata/melawat/melancong) telah disebutkan oleh Allah
swt dengan kata pujian setara dengan pujian kepada orang-orang yang bertaubat.
Firman Allah swt:
التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ
الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ الْآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنْ
الْمُنكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللَّهِ وَبَشِّرْ الْمُؤْمِنِينَ
“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang
beribadat, yang memuji, yang melawat yang ruku', yang sujud, yang menyuruh
berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum
Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu” (Qs.
At-Taubah: 112)
Berangkat Dari Rumah (Kamis, 26 Mei 2016
dini hari), Hari Pertama.
Tiga hari sebelum
keberangkatan, aku diinfromasikan oleh Habib Ali Yahya-begitulah orang memanggilnya-
yang merupakan Tour Leader dalam perjalanan ke tiga negara agar kami berkumpul
di Bandara Soekarno-Hatta terminal 2D pukul 03.00 dini hari Kamis tanggal 26
Mei 2016. Maka akupun merencanakan akan berangkat dari rumah dan pesantren
pukul 00.00 wib, namun karena tertidur akhirnya aku berangkat pukul 00.45. Dan
tiba di Bandara pukul 02.30. Setelah shalat subuh di Bandara, pesawat take off
pukul 07.30 wib
Di Bandara Changi dan Singapura
Pesawat Lion yang
membawa kami mendarat Sabtu 26/5/2016 pukul 09.00 waktu Singapura di Bandara
Changi. Disana kami mengisi isian imigrasi dan keluar Bandara. Di sana sudah
ada yang menjemput dengan bis AC. Lalu langsung menuju ke Masjid Mohamad Soleh
dan maqam Habib Noh al-Attas. Di sana aku berziarah dan membaca beberapa doa
yang biasa dibaca orang saat berziarah. Aku saksikan disana ada pula jamaah
umroh yang singgah berziarah di sini sebelum melanjutkan perjalanan mereka ke
Arab Saudi. Kuburan Habib Noh al-Attas terletak di atas dengan bangunan yang
dilengkapi dengan tangga, tingginya sekitar 70 meter. Di sampingnya terdapat
masjid Mohammad Soleh, dan disampingnya lagi terdapat flyover yang melaewati di
samping masjid. Saat kunjungan kami ke sana, masjid sedang dalam renovasi, dan
pihak pemerintah sedang membuat tempat sholat darurat (temporary). Namun kami
tidak melaksankan shalat di sana, kami melaksnakan sholat zuhur dan Ashar
secara jama’ di Masjid al-Anshar di distrik Bedok, yaitu kawasan perumahan elit
di Singapura.
Kedatangan kami di
Masjid al-Anshar benar-benar disambut dengan ramah. Hanya saja, karena
kunjungan kami di hari kerja, maka yang menyambut kami adalah para pengurus
masjid dari kaum ibu. Kami dijamui makan siang berupa bihun, kwetiau dan pisang
goreng yang bentuknya mirip sosis. Ya, semula kami mengira sosis, namun
ternyata pisang goreng. Kami pun diberi cendramata oleh pengurus masjid berupa
kalender dan handuk kecil berlogo masjid al-Anshar. Selama kunjungan di masjid
al-Anshar kami diantar melihat seluk beluk dan kegiatan masjid. Masjid
al-Anshar didirikan sejak tahun 1952 dan terus terjadi beberapa pembangunan
hingga berbentuk kokoh dan modern. Masjid yang berlantai 4 ini dilengkapai
dengan lift di bagian depannya. Di area depan masjid ini terdapat sekolah islam
mulai dari tingkat TK hingga SMA. Pemerintah melarang sekolah-sekolah
pemerintah mengajarkan agama. Oleh sebab itu umat Islam Singapura mendirikan
madrasah yang berdampingan dengan mesjid untuk menjaga aqidah dan identitas
khas mereka. Semua pembiayaan pembangunan dan operasional masjid dan sekolah
dibiayai oleh swadaya kaum muslimin Singapura. Beberapa pejabat penting di
Singapura ada pula dari kalangan muslim, sehingga mereka mendapat perlakuan
baik dari pemerintah Singapura.
Ruang kelas sekolah
menggunakan furniture bagus, dilengkapi pula dengan LCD proyektor, ruangan
ber-AC, dan whiteboard.
Dari Masjid al-Anshor,
kami bertolak menuju Pusat Perbelanjaan Coklat. Disana terdapat banyak jenis
coklat, dari yang biasa hingga coklat yang beraneka ragam rasa buah. Dari
bentuk kotak hingga yang berbentuk patung singa yang menjadi icon negeri singa
itu. Setelah sekitar 1 jam di sana, kami bertolak menuju pusat perbelanjaan
cendramata. Di sana dijual banyak cendremata, mulai dari kaos bergambar khas
singapura, hingga gantungan kunci. Serta coklat-coklatan khas singapur.
Ternyata harga coklat di pasar ini lebih murah daripada di Toko coklat
sebelumnya. Misalnya, di toko coklat pertama harga 1 dus 15 dolar singapura, di
toko cenderamata harganya cuma 10 dolar Singapura.
Setelah belanja, agenda
berikutnya adalah mengunjungi Merolion, yaitu patung singa sebagai icon
singapura. Semua turis yang datang ke Singapura tidak pernah melewatkan
kunjungannya ke tempat ini. Di sini mereka hanya berfoto-foto, mulai dari gaya
biasa hingga gaya mengangkat tangan seakan menampung air mancur yang keluar
dari mulut patung singa itu. Dari
Singapura kami bertolak menuju ke Johor Bahru di Malaysia menggunakan bis dan
melewati perbatasan Malaysia-Singapura.
Di Johor Bahru (Kamis-Jum’at 26-27 Mei
2016), Hari Kedua
Melewati perbatasan
Malaysia – Singapura memasuki wilayah Johor Bahru lumayan melelahkan. Kebetulan
kami berangkat ke daerah perbatasan saat sore menjelang malam. Jalan-jalan
macet, karena sebagaian warga Malaysia yang bekerja di Singapura pulang ke
negaranya melewati perbatasan itu. Sehingga kendaraan pun padat, belum lagi dengan
antrian di imigrasi, baik imigrasi Singapura maupun imigrasi Malaysia. Bahkan
saat masuk malaysia, tas bagasi harus dibawa masing-masing untuk di x-ray di
beacukai. Orang Malaysia senang bekerja di Singapura karena mendapat gaji dengan mata uang Singapura
yang nilainya lebih mahal dari pada mata uang ringgit Malaysia.
Tiba di Johor Bahru
sekitar pukul 11.00 malam kami bermalam di hotel yang tidak jauh dari
perbatasan Malaysia-Singapura. Esoknya setelah sarapan pagi, kami siap-siap
berangkat, seluruh jamaah sudah berada di dalam bis, namun masih ada dua orang
yang belum masuk bis, lumayan cukup lama kami menunggu mereka, ternyata, wow,
keduanya masih tidur pulas di kamar. Maklum semalam datang sudah tengah malam.
Setelah seluruh jamaah dipastikan sudah berada di dalam bis, kami langsung menuju
area pemakaman Sultan-sultan Johor, namun sayang, area ini belum dibuka,
akhirnya kami berziarah ke pemakaman Mufti-mufti Johor, salah satunya adalah
makam Habib bin Thohir yang berasal dari Indonesia, beliau dikenal sebagai
orang yang alim sejak usia belia. Di usia 17 tahun beliau sudah mengajar kitab
Ihya Ulumuddin. Dalam ziarah itu yang memimpin baca al_fatihah adalah Habib Ali
Yahya yang juga Tour Leader, dan yang memimpin membaca doa adalah DR. Masykuri
Qurtubi, beliau adalah dosen di UIJ (universitas Islam Jakarta) dan merupakan
menantu dari Kyai Abdul Hamid, Prapanca Jakarta yang ikut dalam perjalanan ini.
Area pemakaman ini berada di daerah Kampung Mahmodiyah, Johor Bahru.
Dari Johor Bahru kami
bertolak menuju Kuala Lumpur, perjalanan memakan waktu sekitar 5 jam. Kami
berisitirahat di rest area jalan tol antara Johor Bahru dan Malaysia. Rest area
ini lengkap dengan segala pelayanan serta tempatnya bersih dan rapi. Perjalanan
ke Kuala Lumpur dilanjutkan, dan karena lalu lintas macet, kami tiba di Kuala
Lumpur pada malam hari, sehingga kami langsung menuju kawasan Petronas, disana
terdapat 2 menara kembar (Twin Tower) yang menjadi icon kota Kuala Lumpur,
sekaligus icon negara Malaysia. Di sana para turis yang datang menikmati tingginya
gedung tersebut sambil berfhoto, namun sayang karena sorot lampu menara
tersebut begitu kuat, hasil jepretan para pemoto kurang baik.
Dari sana kami menuju
hotel, namun sebelum sampai ke hotel kami makan di pinggir jalan yang banyak di
temukan di jalan-jalan di Kuala Lumpur. Di rumah makan ini terdapat masakan
Ayam Penyet, Sop Iga serta nasi goreng. Aku menikmati minuman khas Malaysia,
yaitu teh tarik.. wow sedap. Walau pernah mencicipi teh tarik, tapi baru kali
ini lah aku merasakan minuman khas Malaysia ini langsung di negerinya.
Di Kuala Lumpur (Sabtu, 28 Mei 2016), Hari
Ketiga.
Sampai di hotel De
Palma – Ampang kami harus menunggu kunci kamar, ternyata terdapat
miss-understanding, karena kami datang di atas jam 10 malam, kamar hotel yang
sudah diboking dijual ke tamu-tamu lain yang datang, akhirnya beberapa diantara
kami harus tidur bertujuh atau bersembilan dalam satu kamar. Tidak mengapa,
yang penting bisa meluruskan badan untuk rehat. Dan ternyata benar, baru saja
para jamaah merebahkan badannya, mereka langsung tidur pulas.
Waktu sholat Subuh di
Malaysia pukul 05.42, sebagian ada yang
bangun sebelum subuh dan sempat melaksanakan sholat tahajjud dan witir walaupun
dengan membaca surat-surat pendek. Sebagian lagi ada yang bangun tidur pas
waktu subuh dan tidak sempat qiyamullail.
Jam 07.00 pagi kami
sarapan di lantai dasar hotel. Hampir semua menu yang disediakan di restoran
cocok dengan lidah orang Indonesia.
Di Selangor (Sabtu, 28 Mei 2016), Hari
Ketiga.
Setelah sarapan di
hotel De Palma, kami chek out hotel melanjutkan perjalanan. Kali ini kami
menuju Masjid Biru yang terletak di Selangor. Masjid ini juga dinamakan Masjid
Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah. Tiba disana pukul 10.30. Segera kami turun
dan berjalan melihat-lihat seluk beluk masjid. Masjid ini berwarna biru karena
warna biru mendominasi seluruh bagian masjid, baik kubah, menara, maupun karpet
dan ornamen dalam masjid. Masjid ini
diresmikan oleh Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah pada 11 Maret 1988. Masjid
ini menjadi kebanggan warga Selangor. Ide pendirian masjid ini datang setelah ibukota
Selangor yang semula Kuala Lumpur telah diserahkan kepada Pemerintah Pusat
menjadi Shah Alam sebagai ibu kotanya pada 1 Pebruari 1974. Masjid ini dapat
menampung jamaah sebanyak 24.000 orang. Ada yang menarik –menurut kami- karena
tidak kita temukan di tanah air, yaitu kotak amal yang terletak dekat tempat
wudhu pria dan tangga masjid. Disana terdapat kotak amal dalam bentuk brangkas
uang. Ya, memang brangkas uang yang tingginya setinggi dada orang dewasa dengan
bolong kecil di atasnya tempat kaum muslimin memasukkan dana sedekah ke dalam
kotak amal brangkas tersebut.
Setelah melihat-lihat
masjid biru, kami kembali menaiki bis dan meluncur menuju Museum Islam di
Selangor yang jaraknya hanya sekitar 300 meter dari masjid Biru. Beruntung
sekali, saat kami datang baru saja dilakukan pebukaan Pameran Warisan
SalafusShalih yang memamerkan khazanah kesenian islam, teruatama mushaf
al-Quran yang diterbitkan di Malaysia dan dunia serta karya-karya kalighrafi.
Kami memasuki ruang pameran khusus dengan tiket masuk 10 ringgit bagi
pengunjung dewasa. Sedangkan bagi pengunjung berusia 50 tahun keatas dan
anak-anak hanya dikenakan 5 ringgit. Di antara replika peninggalan para orang
terdahulu (salafus shalih) yang sangat berkesan adalah saat menyaksikan replika
rumah Rasulullah saw. Tidak terasa, bulu terasa merinding mengingat
kesederhanaan hidup Rasulullah saw. Juga saat kita memasuki replika rumah
Rasulullah saw terasa seperti sedang bertamu ke rumah beliau. Selain replika
rumah beliau juga terdapat replika masjid quba tempo dulu, jabal tsur tempat
Nabi saw dan Abu Bakar bersemubnyi disana saat perjalanan hijrah.
Memasuki stand peninggalan
mushaf Palestina dan Yaman, kami menyaksikan reruntuhan “bekas” roda dorong
Syeikh Ahmad Yasin, pemimpin kaum
mujahidin di Palestina yang wafat saat keluar dari shalat subuh dan di tembak
pesawat israel. Kami juga menyaksikan foto al-Habib Umar bin Hafizh yang sedang
dialog bersama jamaahnya di Yaman.
Selesai menyaksikan
pameran, kami menaiki bis dan meluncur menuju ke Thailand. Perjalanan memakan
waktu sekitar 8 jam. Kami melaksanakan shalat zhuhur dan Ashar secara jama’
ta’khir di salah satu rest area di jalan tol antara Kuala Lumpur dan perbatasan
Thailand. Yang unik, jalan-jalan tol di Malaysia bukan hanya diperuntukkan bagi
kendaraan beroda empat atau lebih, namun kendaraan beroda dua pun diperbolehkan
melintas di jalan tol.
Rest area yang kami
singgahi merupakan rest area terluas sepanjang tol ini. Betapa tidak ? di
dalamnya terdapat banyak restoran dan Mall, belum lagi toilet dan Surau
(masjid), bahkan ada Mall yang khusus menjual hasil pertanian Malaysia.
Agaknya, Malaysia sangat peduli terhadap nasib petani hingga pemasarannya pun
difasilitasi negara. Ada pula taman bermain untuk anak-anak, sehingga masa
menunggu istirahat dapat digunakan bermain untuk anak-anak.Setelah makan siang
dan melaksanakan shalat di rest area, kami melanjutkan perjalanan.
Di Perbatasan Malaysia-Thailand
Sebelum masuk
perbatasan Thailand, kami singgah di suatu tempat yang tidak jauh dari batas
keluar negeri Malaysia, disana semua paspor didata dalam suatu invoice, kemudian
tiap paspor pun dimasukkan datanya pada kertas imigrasi Thailand. Biaya jasa
penulisan data adalah RM 2 per-paspor pada kantor agen travel yang ada disana.
Di area ini juga terdapat Money Changer yang memberi pelayanan kepada wisatawan
menukarkan uangnya ke mata uang Baht (mata uang Thailand).
Dari sana, kami
lanjutkan perjalanan, dan tibalah di perbatasan keluar Malaysia, setiap kami
diharuskan turun dari bis untuk urusan imigrasi, setiap paspor dicap oleh
imigrasi Malaysia dan kemudian melanjutkan perjalanan menuju perbatasan
Thailand. Di perbatasan Thailand kami kembali turun dari bis untuk mendapat
izin masuk (visit permit) dari pihak Imigrasi Thailand. Nampak saat itu antrian
panjang meskipun sudah hampir masuk tengah malam. Sebagian dari kami ada yang
menju toilet di sana yang terkesan mengeluarkan bau yang tidak sedap.
Usai urusan di
imigrasi, kami langsung disambut oleh sahabat karib Habib Ali bernama Babo
Muhammad Adam yang merupakan warga Thailand. Beliau bahkan sudah menyalami kami
saat antri di imigrasi. Dan beliau mengajak kami ke warung makan yang berjejer
di kiri-kanan jalan setelah melewati perbatasan. Banyak di antar kami yang
memesan “tom yam” masakan khas Thailand. 1 porsi tom yam beserta nasi dan air
jeruknya seharga 100 Baht atau setara dengan Rp. 40.000. Lumayan masih murah
dan terjangkau. Namun rasanya... mantap. Aku sendiri baru kali ini menikmati
tom-yam langsung di negeri aslinya, Thailand.
Usai maka malam, kami
langsung diantar ke hotel di Hat Yai, jarak dari perbatasan sekitar 20 km.
Malam itu kami beristirahat di hotel tersebut.
Di Thailand (Ahad, 29 Mei 2016) Hari
Keempat.
Pagi-pagi kami sarapan,
menunya sangat minimalis, yakni kwetiau, roti, salad dan minuman hangat. Nasi
tidak disediakan dalam menu makan pagi
di hotel ini. Usai makan, kami diajak ke pusat perbelanjaan cendramata Thailand
yang berada di Hat Yai, yaitu Noora Plaza, disana terdapat berbegai cendramata
khas Thalinad seperti gantungan kunci, T-Shirt, tas dan patung gajah serta
lainnya.
Usai singgah di Noora
Plaza, kami diajak mengunjungi madrasah atau sekolah yang di asuh oleh Babo
Abdullah yang terletak di wilayah Pattani. Kata “Babo” dalam bahasa Indonesianya mirip dengan kata
“Kyai”.
Setiba di tempat Babo
Abdullah, kami langsung disambut hangat dan ramah, bahkan menu makanan khas Pattani telah tersedia untuk
kami. Setelah dipersilahkan, kami langsung menyantapnya dengan lahap, karena
saat itu jam sudah menunjukkan pukul 2 siang. Cita rasa masakan Thailand yang
disediakan Babo Abdullah ini bukan main enaknya. Ada dua menu yang terasa paling
nikmat, yakni tom yam dan sambel blaco. Kami makan secara lesehan dan digelari
taplak plastik bundar, dan di atas taplak tersebut disediakan menu makanan.
Setiap bundaran taplak diisi 4 sampai 6 orang yang akan makan.
Usai makan siang, kami
melaksanakan sholat di Musholla Madrasah, lalu meninjau madrasah yang tidak
jauh dari musholla dan rumah Babo. Madrasah itu bernama “Ma’had al-Dirosat
al-Islamiyah Birutunahwu” kata “biru”
berarti tempat atau daerah, kata “tu” berarti ahli, dan kata “nahwu” berarti
nahwu yakni salah satu bidang ilmu tata bahasa Arab. Dinamakan BIRURTUBAHWU
karena sejak ratusan tahun lalu, daerah itu dikenal dengan ulama-ulamanya yang
ahli di dalam ilmu nahwu.
Setelah meninjau
kondisi sekolah, kami pun mengadakan tatap muka dan sambutan-sambutan. Babo
Abdullah menyatakan kegembiraannya didatangi kami, demikian juga Habib Ali
sebagai kepala rombongan kami menyampaikan kebahagiaannya dapat bersilaturrahim
dan diterima oleh pihak madrasah. Lalu Habib Ali memberi kenang-kenangan berupa
buku-buku agama dan biografhi ulama-ulama.
Sebelum acara ditutup,
salah seorang rombongan kami bernama DR.KH. Masykuri Qurtuby berkenan
memberikan ijazah aammah talqin dzikir “Laa Ilaaha illallah”. Beliau
adalah menantu dari alm KH. Abdul Hamid yang merupakan murid terdekat dari
Syeikh Ahmad Yasin al-Fadani yang digelari “Musnid al-Dunya” (orang yang ahli
menelusui sanad-sanad di dunia abad ini).
Dari madrasah, kami
menuju hotel islami yang berada di tengah kota Pattani. Disana kami chek-in dan
sejenak berisitirhat. Saat kami chek-in kami menyaksikan banyak mahasiswa
Indonesia yang tinggal di hotel ini. Setelah kami berkanalan dan berdialog,
ternyata mereka sedang akan melakukan tugas PKL (Praktek Kerja Lapangan) dari
kampus mereka masing-masing selama 6 bulan yang akan ditempatkan di sekolah dan
madrasah yang tersebar di tiga daerah, diantaranya Pattani, Narithawa, dan
Shongla. Mahasiswa-mahasiswi yang sempat kami tanyai mengaku berasal dari
Univeritas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT)
dan Universitas Hasyim Ashari (UHAS), Jombang. Ketika kami menanyakan kepada
salah seorang di antara mereka tentang biaya PKL selama di Thailand, mereka
menjawab hanya Rp 6 juta, selain itu mereka pun mendapat Living Cost (Cash
Back) dari pihak kampus sebesar 2000 Baht (setara dengan Rp 800.000). Dan salah
satu keunikan hotel ini adalah alunan musik di ruang lobby serta lift adalah
instrumen lagu-lagu sunda atau Jawa Barat. Jadi, saat itu kami serasa berada di
Bandung.
Usai istirahat sejenak,
kami meluncur ke sebuah masjid, bernama Masjid Muzhaffar Shah, dan masjid ini
merupakan masjid pertama yang berdiri di Asia Tenggara. Jadi, sebelum ada
masjid di Indonesia, Singapura, Malaysia dan Brunei, masjid Muzhaffar Shah lah
yang pertama berdiri di Asia Tenggara dan letaknya di Pattani. Di depan mesjid
tersebut ada gerobak pengangkut bom yang digunakan kesultanan Islam pada saat
itu dalam menghadang penjajah. Saat di masjid itu waktu maghrib telah masuk,
dan suara adzan sudah dikumandangkan dari masjid tersebut. Akan tetapi Babo
Muhammad Ahmad mengajak kita menuju ke pesantrennya yang bernama Nurul Ilmi.
Ternyata, kedatangan kami telah ditunggu para guru dan santri-santrinya. Mereka
menunda shalat maghrib karena menunggu kami, sehingga kami dapat melaksanakan
shalat berjamaah maghrib bersama santri-santri Babo Muhammad Adam. Sedangkan
rombongan kaum wanita diajaknya shalat di rumah Babo yang ditemani oleh isteri
beliau.
Usai melaksanakan shalat,
kami diminta untuk memberikan tausiyah, KH Masykuri Qurtubi memberikan tausiyah
pertamanya, kemudian dilanjutkan saya (KH. Muhammad Jamhuri) yang membahas
tentang keutamaan ilmu. Usai shalat dan tausiyah, para santri yang berpakain
jubah putih dan udeng-udeng kepala berwarna putih pula menyalami kami dengan
berbaris. Terlihat sekali mereka sopan-sopan.
Dari masjid, kami
menuju rumah kediaman Babo Muhammad Adam yang masih berada di kompek pesantren.
Rumah dan pesantrennya sangat sederhana,
berupa bentuk panggung dan terbuat dari kayu-kayu. Namun kami menyaksikan
mobilnya ada 5 yang sedang parkir di samping rumahnya, ada 2 mobil yang
terlihat masih bagus, yang satu adalah mobil yang sedang dipakai, dan satunya
lagi mobil yang sedang parkir di garasi. Menurut Habib Ali, orang sini memiliki
rumah sederhana namun kendaraannya bagus, karena mereka ingin memuliakan tamu,
sebab mobil digunakan selain untuk transportasi tapi juga untuk menjemput dan
mengantar tamu, sedangkan rumah, karena dipakai sehari-hari untuk pribadi, maka
cukuplah yang sederhana. Adapun mobil digunakan untuk mengantar dan memuliakan tamu
yang mau keliling, sedangkan tempat tidur tamu adalah hotel. Subahanallah..
suatu perinsip yang sangat mulia.
Awalnya, dalam pikiran
kami, pesantren yang dimiliki Babo Muhammad Adam adalah bangunan permanen dua
lantai seperti yang kami saksikan di Ma’had Dirosah al-Islamiyah milik Babo
Abdullah, akan tetapi ternyata, seluruh bangunan pesantrennya dan termasuk bangunan rumahnya adalah berbentuk
panggung yang sederhana terbuat dari kayu.
Di rumahnya yang sangat
sederhana namun ruang dalamnya tertata apik itu, kami disuguhi makan malam
dengan berbagai makanan khas Pattani. Kami lahap memakannya. Dan usai acara
makan malam, kami pun kembali ke hotel untuk istirahat. Kali ini kami mendapat
waktu cukup untuk istirahat, karena tiba di hotel pukul 09.00 dan acara esok
hari pun dimulai pukul 08.30. Sebelumnya, setiap masuk hotel selalu di atas
pukul 11.00 malam.
(Senin, 30 Mei 2016) Hari Kelima.
Agenda hari kedua di
Thailand lebih berkesan lagi. Pagi itu setelah sarapan di CCPattani Hotel, kami
menuju ke kantor Majelis Agama Pattani. Disana kami disambut oleh ketua Majlis
dan Ketua Bagian Pendidikan. Namun karena ketua Majelis sedang ada acara
pertemuan, kami dilayani oleh Ketua Bagian Pendidikan Majelis Agama Islam
Pattani, bernama Tuan Guru Syihabuddin. Dalam pertemuan itu beliau menyampaikan
program dan aktifitas majelis, teruatama yang menyangkut urusan kaum muslimin
di Pattani, mulai dari advokasi, catat mencatat urusan perdata hingga melayani warga
Thailand yang akan mau masuk agama Islam.
Setelah sekitar dua jam
pertemuan yang diselingi dengan tanya jawab dan obrolan ringan, kami pun pamit
akan menuju tempat lain. Sebelum berpisah, Habib Ali kepala rombongan jamaah
memberikan cendramata berupa buku sejarah dan agama kepada Majelis Agama Islam
Pattani. Dari sana, kami sudah ditunggu di markas tentara Pattani Thailand oleh
komandan Jendral Pek. Beliau adalah tentara yang beragama Budha dan telah
menjadi seorang muallaf beberapa tahun lalu. Saat keputusannya ingin masuk
islam, beliau sempat mengajak istrinya untuk ikut mesuk Islam, namun isterinya
menolak. Beliau pun tetap pada keputusannya ingin menjadi muslim, dan kini
menikah dengan muslimah keturunan Pakistan. Jendral Pek kini juga bernama
Hasan. Beliau sangat mencintai ulama dan kaum muslimin. Rombongan kami merasa
tersanjung karena begitu datang, beliau dengan atasan dan bawahnnya berbaris
menyambut kami sejak sedari tadi. Dan kami langsung dipersilakan duduk di depan
meja yang sudah tersedia makanan khas Tailand berupa ketanfau (ketan santan)
dengan menu lauknya berupa irisan mangga. Setelah berkata sepatah dua patah
kata menyambut kedatangan kami, beliau pamit karena ada undangan lain.
Dalam sambutannya,
beliau menyampaikan bahwa kami menjadikan muslim bersaudara dan hidup damai.
Bahkan jika ada pemberontak pun kami tidak memenjarainya, tapi kami bina
bersama dengan kaum muslimin di komplek ini, dan setelah insaf mereka
dibebaskan seperti warga lainnya. “Kami tidak memperlakukan mereka musuh, dan
kami tidak memenjarai mereka, karena tindakan itu hanya akan memelihara
permusuhan dan ketegangan”. Ujarnya. Suatu pendekatan persuasif yang layak
dicontoh oleh Densus yang ada di negeri kita.
Saat jamuan itu, hadir
pula seorang yang pernah ikut gerombolan pemberontak dan sudah sadar, yang
bernama Hasbullah, dia bersama guru pengasuhnya bernama Abdullah yang hampir
seusia dengannya kini berdakwah ke pelosok-pelosok Pattani dan didukung oleh
pemerintah Thailand.
Mungkin kekhawatiran
kelompok separatis yang masih dinilai ada itulah, maka pemandangan jalan-jalan
di setiap jarak 3 km terdapat pos pemeriksaan dengan pasukan tentara
bersenjata. Meski demikian, kami saksikan kehidupan beragama di Pattani cukup
bebas, bahkan lebih “islami” dari pada di Jakarta atau propinsi lain di
Indonesia. Di Pattani, semua wanita yang keluar rumah tidak lupa memakai hijab,
bahkan banyak kita saksikan kaum pria bersarung dan berpeci atau berjubah saat
mengendarai motor atau mobil. Mesjid-mesjid pun jumlahnya ratusan di Pattani
ini. Demikian pula jumlah masjid di sini. Beberapa pembangunan masjid dan
madrasah bahkan dibiayai oleh pemerintah Thailand. Bahkan siswa-siswa sekolah
dan madrasah dibebaskan dari biaya spp karena pemerintah mencanangkan program
pendidikan wajib 12 tahun.
Saat kami memasuki
komplek tentara, masih terpampang distu baleho ukuran besar ucapan selamat
datang kepada Habib Umar bin Hafidz asal Yaman, yang beberapa bulan lalu
mengunjungi Pattani Thailand. Terlihat pada baleho tersebut gambar Habin Umar
bin Hafiz serta Panglima TNI Thailand.
Komplek tentara ini
jauh dari kesan menyeramkan, lebih tepat lagi komplek ini mirip dengan pesantren.
Selain masjid besar yang sedang dibangun dalam komplek ini, terdapat pula
asrama, kantin dan toilet yang memadai.
Usai mengunjungi markas
tentara, kami meluncur menuju area makam Syeikh Abdul Somad al-Falimbani.
Jaraknya sekitar 20 km dari markas tentara. Di area ini nampak hanya satu
makam. Awalnya tanah ini milik warga beragama Budha, namun kini telah menjadi
milik umat Islam hasil gotong royong mereka membeli tanah tersebut. Saat masih
menjadi milik warga Budha, pemilik tanah mempersilakan warga muslim berziarah
ke makam ini. Kawasan ini ditemukan setelah kajian panjang, baik literatur
Thailand maupun literatur lainnya. Adalah seorang peneliti dan tim yang
dibentuk umat Islam menemukan hasil penelitiannya bahwa makam Syeikh Abdul
Samad al-Falimbani adalah di area itu.
Syeikh Abdul Samad
al-Falimbani termasuk ulama dan pahlawan yang terkenal di kawasan asia pada
zamannya. Beliau kelahiran Palembang Indonesia, tumbuh besar di Kedah Malaysia,
dan berdakwah dan berjuang di Pattani Thailand. Oleh sebab itu pintu masuk ke
kawasan makam beliau melalui jalan lain tertancap tiga bendera, yakni bendera
Indonesia, Malaysia dan Thailand. Selain itu, dalam pribadi beliau pun terdapat
tiga sosok keutamaan. Yakni, beliau adalah seorang ulama, waliyullah dan syahid. Sebagai seorang
ulama beliau memilki banyak karya, di antaranya adalah kitab Hidayatus Salikin.
Ssebagai waliyullah karena beliau dikenal memiliki banyak karomah disamping
dikenal juga sebagai seorang sufi. Sebagai
syahid, karena beliau wafat di tengah-tengah berjihad melawan penjajah.
Dalam ziarah tersebut,
Habib Ali Yahya yang memimpin rombongan menuntut jamaah membaca al-Fatihah,
kemudian dilanjutkan oleh KH. Musthofa Helmy memimpin tahlil dan doa. Beliau
adalah salah satu rombongan yang ikut dalam program ziarah di tiga negara asean
ini.
Usai melaksanakan
ziarah di makam Syeikh Abdul Somad al-Falimbani kami meluncur ke perbatasan
Thailand – Malaysia, namun di rest area kami berisitirahat terlebih dahulu
untuk melaksanakan shalat zhuhur dan ashar jama’ takdim. Lalu makan siang di
rest area dan belanja di supermarket rest area untuk bekal perjalanan menuju
Malaysia. Sebelum melanjutkan perjalanan ke perbatasan, Babo Muhammad Adam
berpamitan di dalam bis kepada para jamaah. Sampai di rest area inilah beliau
mengantarkan para jamaah, sebab perbatasan Thailand – Malaysia sudah dekat.
Sebelum mohon diri, beliau memberi ijazah doa yang beliau dapat dari Habib Umar
bin Hafiz asal Yaman saat kunjungan beliau di Pattani, bahkan doa ini yang
beliau ingatkan padanya pada saat Babo Muhammad Adam bertemu lagi di Aceh. Doa
itu adalah “Robbisyrohli sodri wa yassirli” dibaca 100 kali sehari. Menurutnya,
dengan doa ini, maka segala permasalahan yang dihadapi akan diselesaikan segera
oleh Allah swt. Setelah memberii ijazah doa, beliau pun menyalami satu-satu
para jamaah di dalam bis.
Di Perbatasan Thailand dan Malaysia
Perjalanan kami
lanjutkan ke perbatasan Thailand dan Malaysia. Sesampai disana kami turun dari
bis untuk mendapat cap keluar dari Thailand dari kantor imigrasi Thailand.
Antrian pun terjadi, namun tidak begitu banyak dan kami berada di dalam ruang
ber-AC. Berbeda saat kami memasuki Thailand. Antrian berada di tempat terbuka
dan bau tidak sedap sangat tercium sehingga terasa tidak nyaman. Usai mendapat
cap exit dari imgrasi Thailand, kami masuk kembali ke wilayah Thailand dengan
berjalan kaki untuk berbelanja. Karena meskipun kami sudah dua hari berada di
Thailand, tetapi hampir tidak waktu untuk belanja oleh-oleh khas Thailand. Maka
kami pun berhamburan menuju “pasar perbatasan”. Akhirnya kami peroleh beberapa
oleh-oleh khas Thailand, di antaranya T-shirt bertuliskan Thailand atau Hat
Yai, gantungan kunci, patung-patungan
gajah, buah leci dan salak Thailand yang ukurannya unik, kecil dan panjang.
Usai berbelanja, kami
lanjutkan perjalanan ke perbatasan Malaysia, kendaraanpun padat merayap. Tiba
di kantor imigras kami turun dari bis dan membawa semua tas, baik tas kecil
maupun besar. Bis diperiksa oleh petugas bea dan cukai, sementara kami antri di
imigrasi untuk mendapat cap izin masuk ke Malaysia. Setelah melewati imigrasi
Malaysia, kami pun kembali mengemas tas ke dalam bis, kemudian melanjutkan
perjalanan menuju Kuala Lumpur.
Di Kuala Lumpur yang Kedua (Selasa, 31 Mei
2016) Hari Keenam.
Bis terus melaju, dan
jalan tol di tengah malam pun agak lengang. Bis kami melaju dengan cepat,
sebagian dari kami sudah terlelap tidur di dalam bis. Sekitar 5 jam perjalanan,
bis kami singgah di suatu rest area. Di sana istirahat dan melaksanakan shalat maghrib
dan isya secara jama’ ta’khir. Bukan itu saja, karena selama perjalanan kami
belum makan malam, maka di tengah malam itu kami menyantap makanan yang ada di
kedai-kedai di rest Area. Setelah cukup istirahat, kami melanjutkan perjalanan
menuju mesjid Negara. Saat tiba di masjid Negara jam di bis menunjukkan pukul
04.30 pagi. Sedangkan waktu subuh pukul 05.45. Kami pun menuju toilet dan kamar
mandi yang ada di masjid Negara tersebut. Masjid ini luas dan menjadi salah
satu tujuan wisata gratis para wisatawan. Selain tandas atau toilet dan tempat
wudhu, masjid ini juga dilengkapi dengan kamar mandi shower. Sehingga membuat
jamaah yang musafir nyaman singgah di masjid ini. Selain itu tersedia juga air
mineral dan kursi pijat. Hanya saja keduanya tidak gratis. Air mineral dijual
dengan harga RM 1 dan dijual secara self service, ambil sendiri airnya dan
uangnya diletakkan di kotak seperti kotak amal.
Alunan azan subuh
membuat hati kami sejuk. Setelah shalat sunnah qobliyah, kami shalat berjamaah
dengan imam yang masih berusia muda. Demikian pula sang muadzin. Segar rasanya
melihat para petugas shalat tersebut masih muda. Di bagian estalase depan
masjid terpampang profil tokoh imam besar masjdi negara, mulai imam pertama
hingga imam saat ini.
Usai shalat, awalnya
kami segera berangkat sambil mencari kedai untuk sarapan. Namun ternyata di
depan masjid ini ada kedai menjual nasi lemak (nasi uduk) dan nasi ungu
(menurut penjualnya warna ungu itu adalah campuran daun tertentu). Rasanya
nikmat, dan harganya pun terjangkau 6-10 ringgit.
Dari masjid negara,
kami langsung menuju hotel De Palma, disana kami hanya meletakkan tas koper,
sementara panitia mengurus boking kamar. Selanjutnya, kami menaiki bis kembali
dan menuju objek-objek wisata yang ada di Malaysia, di antaranya adalah kawasan
pusat pemerintahan Putra Jaya. Semua perkantoran kementrian berada di area ini,
termasuk kantor perdana menetri Malaysia, ia berada di kawasan ini yang
letaknya berdekatan dengan masjid Putra. Di Masjid Putra kami menyaksikan
wisatawan lainnya yang datang dari berbagai negara. Para wisatawan wanita yang
berpakaian seronok “diwajibkan” memakai jubah yang disediakan pihak masjid
Putra. Dan mereka hanya diperbolehkan berfoto di pintu pertama masjid.
Sedangkan kaum muslimin di perbolehkan masuk lebih dalam dan diizinkan
melaksanakan shalat.
Di sebelah selatan masjid ini terdapat danau buatan yang besar,
dan disediakan perahu mesin bagi wisatawan yang ingin merasakan keliling danau.
Selain itu, terdapat juga kedai-kedai penjualan sovenir dan kantin-kantin.
Dari kawasan Putra
Jaya, kami langsung menuju kota baru, disana kami singgah di restoran Padang
untuk
makan siang. Lalu sebagian kami melaksanakan shalat di masjid kota Baru
yang berada tepat di depan restoran Padang. Sebagian lain ada yang akan
melaksanakan sholatnya di masjid India, tempat kunjungan terakhir kami.
Dari kota Baru kami
langsung meluncur ke kawasan Little India, disana terdapat masjid India yang
telah berdiri ratusan tahun lalu. Kondisi masyarakat pun lebih banyak didominai
oleh orang-orang asli India. Little India termasuk kawasan perbelanjaan yang
ramai. Di sana terdapat berbagai jenis barang, mulai yang harga mall hingga
harga kaki lima. Di sana kami diberi waktu tiga jam untuk berbelanja, makan
atau sekedar berkeliling. Akhirnya kami berkumpul di depan sebuah toko pada
pukul 18.30 sesuai arahan Tour Leader. Namun karena suasana semakin macet, bis
yang kami tunggu tiba hampir mendekati pukul 21.00. Kami pun naik bis, dan
meluncur menuju hotel De Palma yang terletak
di distrik Ampang.
Menuju Airport (Rabu, 1 Juni 2016) Hari Ketujuh.
Usai sarapan di hotel,
kami bergegas untuk persiapan menuju KLIA (Kuala Lumpur International Airport).
Sebelum ke airport kami sempat berfoto bersama di loby dan pintu hotel.
Selanjutnya bis kami mengantarkan kami ke airport. Perjalanan dari hotel ke airport
memakan waktu dua jam. Kami turun membawa tas bagasi masing-masing dan chek-in
pesawat di kounter L. Setelah itu kami menuju imigrasi dan menuju gate C11. Gate ini hanya dapat ditempuh dengan train (kereta)
yang disediakan airport secara gratis. Setiba di di gate C11, kami langsung
naik pesawat Lion dan tiba di Bandara Soekarno Hatta pukul 17.00
Demikianlah catatan
perjalanan kami, semoga perjalanan ini diridhoi oleh Allah swt dan membawa
keberkahan. Dan semoga kami dapat berziarah lagi di masa yang akan datang.
Wa shollallahu ‘ala
sayyidina muhammadin wa ‘ala alihi wa sohbihi ajma’in
Wal hamdulillahi robbil
‘alamin..
Muhammad Jamhuri
2 Juni 2016 M
26 Sya’ban 1437 H
3 komentar:
MasyaAllah, ust menulisnya 2016 saya membacanya 2019 setelah mengikuti perjalanan ini 2018 bersama habib ali, tabarakallah semoga kita bisa menjelajah islam di seluruh dunia amin
Posting Komentar