Keutamaan Sholawat; Sebuah Testimoni
Menjelang pulang umroh, saya dan
jamaah umroh ditempatkan di salah satu hotel di Jeddah. Kebetulan saat itu hari
Jum’at. Kami menunaikan shalat Jumat di sebuah masjid yang terletak di belakang
hotel tersebut. Sang syeikh meyampaikan khutbah Jum’atnya saat itu, bercerita
tentang testimoni keutamaan shalawat. Begini kisahnya;
Ada seorang pemuda berangkat haji
bersama ayahnya. Saat di perjalanan, ayahnya wafat. Setelah pengurusan jenazah,
pemuda itu pun berangkat bersama kafilah haji melanjutkan perjalanannya ke
Tanah Suci. Salah seorang rombongan haji menemui keanehan pada sang pemuda ini,
Karena setelah diperhatikan,
pemuda ini selalu membaca shalawat.
Bahkan dalam setiap putaran thawaf pun hanya shalawat yang dibaca. Bukan hanya
saat thawaf, bahkan saat sai, wukuf, mabit di Muzdalifah, mabit di Mina pun
bacaan zikir yang dibaca hanya sholawat. Padahal jamaah haji lain membaca zikir-zikir sesuai putaran dan
tempatnya (sekalipun bukan syarat sah nya haji).
Maka orang yang bersama pemuda
yang ditinggal wafat oleh ayahnya di perjalanan ini pun penasaran dan
mengajukan pertanyaan, “Wahai anak muda, aku perhatikan, engkau selalu berzikir
shalawat dalam setiap putaran
thawaf dan sai, bahkan saat wukuf dan mabit? Mengapa tidak membaca bacaan lain
seperti jamaah haji lain?”
Pemuda ini menjawab, “Wahai kawan,
bukankah engkau mengetahui, bahwa ayahku telah wafat di perjalanan? Ketahuilah
bahwa saat beliau wafat aku melihat ayahku kepalanya berubah menjadi kepala
seekor keledai. Aku pun panik
dan sedih mengapa ayahku akhir hidupnya seperti itu?, padahal beliau boleh dikata rajin
shalat, dan wafat dalam keadaan sedang menuju tanah suci untuk melaksanakan
rukun islam yang kelima, namun mengapa di akhir hidupnya mengalami
seperti ini? Aku terus menangis dan sedih seperti menangisnya anak kecil. Hingga tangisku
melelahkanku, dan aku pun tertidur.”
“Saat aku pulas tertidur,
tiba-tiba aku bermimpi. Dalam mimpi itu aku didatangi oleh seorang yang
berwajah paras bersinar dan berwibawa. Orang itu bertanya, “Hai pemuda, mengapa
engkau menangis?” Saya menjawab, “Tuan..., saya menangis karena menyesali akhir hidup ayahku, dia mati
dalam kondisi kepalanya berubah seperti kepala seekor keledai, aku tidak tahu
dosa apa yang penah dilakukan ayahku semasa hidupnya, padahal ayahku terlihat
rajin shalat dan kini sedang dalam perjalanan menuju ke Tanah Suci.”
Kemudian orang itu bertanya, “Di
mana sekarang ayahmu?” . “itu Tuan” jawab saya. Lalu orang itu membuka kain
yang mentup jenazah ayah saya, kemudian diusapnya wajah ayaku itu, dan seketika
kepala ayahku itu kembali menjadi normal kembali seperti biasa, bahkan lebih
bercahaya daripada keaadaan semula. Melihat kenyataan itu, saya pun bertanya, “Maaf
Tuan, boleh aku bertanya?, siapakah gerangan Tuan? Dan dosa apakah yang telah
dilakukan ayahku sewaktu masih hidup?”
Orang itu menjawab, “Aku adalah
Muhammad Rasululllah, dan ayah mu pernah meninggalkan shalat, dan jika shalat
kadang mendahului imam saat bangun dari ruku atau sujud. Sehingga kepala ayahmu
berubah menjadi kepala seekor keledai. Untung saja ada kebiasaan baik yang
dilakukan ayahmu setiap akan tidur. Yaitu setiap akan tidur ayahmu selalu
membaca shalawat kepadaku tidak kurang seratus kali, sehingga saat ayahmu
mengalami akhir hidupnya dalam keadaan seperti itu, aku pun memohon kepada
Allah agar aku diberi izin memberi syafaat kepada ayahmu ini, karena telah
melazimkan bershalwat untukku.”
Kemudian pemuda itu melanjutkan
ceritanya kepada temannya yang bertanya tadi, “Seketika,
saat itu, tiba-tiba aku terbangun dari
tidurku. Lalu aku sadar bahwa peristiwa tadi hanyalah berupa mimpi. Namun aku
penasaran untuk segera melihat wajah ayahku, karena dalam mimpi itu, orang yang
datang kepadaku mengaku Nabi Muhammad saw, aku mendengar hadist bahwa ‘Barangsiapa bertemu Nabi saw dalam mimpi, maka
ia benar bertemu beliau, karena syaitan tidak dapat menyeruipai nabi hingga
dalam mimpi sekalipun’. Segera ku buka kain penutup wajah jenazah
ayahku, dan ternyata benar, kini ayahku wajahnya kembali seperti semula, bahkan
terlihat lebih bersinar dari kondisi sebelumnya. Aku bersyukur saat itu. Dan
aku pun sadar bahwa memperbanyak shalawat kepada Nabi saw itu akan mendapat
syafaat dari beliau. Sejak itulah aku melazimkan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw,
bahkan dalam tiap putaran thawaf dan sa’i-ku. Juga saat aku wukuf di Arafah dan
mabit di Muzdalifah dan Mina. Agar aku mendapat syafaat dari Nabi Muhammad saw,
seperti ayahku.”
Begitu kisah pemuda menjawab rasa
aneh kawan seperjalanan hajinya ke Tanah Suci.
Kawan, ketahuilah, bershalawat itu sangat penting. Jika Allah memerintahkan kita akan shalat
atau zakat, Allah tidak perlu melaksanakan shalat dan zakat. Namun pada saat
memerintahkan kita bershalawat kepada Nabi saw, Allah bahkan memberi contoh
bahwa diriNya dan para Malaikat-Nya menyampaikan shalawat pada Nabi saw.
Firman Allah swt; “Sesungguhnya,
Allah dan para malaikatNya menyampaikan shalawat kepada Nabi, Hai orang-orang
yang beriman, bershalawat dan ber taslim-lah kepada Nabi saw.” (QS. Al-Ahzab: 56)
KH. Muhammad Jamhuri, Lc.MA
Pengasuh Pesantren TEI
Multazam – Bogor
Pembimbing Haji dan Umroh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar