Kamis, 15 November 2018

Keutamaan Sholawat; Sebuah Testimoni


Keutamaan Sholawat; Sebuah Testimoni

Menjelang pulang umroh, saya dan jamaah umroh ditempatkan di salah satu hotel di Jeddah. Kebetulan saat itu hari Jum’at. Kami menunaikan shalat Jumat di sebuah masjid yang terletak di belakang hotel tersebut. Sang syeikh meyampaikan khutbah Jum’atnya saat itu, bercerita tentang testimoni keutamaan shalawat. Begini kisahnya;

Ada seorang pemuda berangkat haji bersama ayahnya. Saat di perjalanan, ayahnya wafat. Setelah pengurusan jenazah, pemuda itu pun berangkat bersama kafilah haji melanjutkan perjalanannya ke Tanah Suci. Salah seorang rombongan haji menemui keanehan pada sang pemuda ini, Karena setelah diperhatikan, pemuda ini selalu membaca shalawat. Bahkan dalam setiap putaran thawaf pun hanya shalawat yang dibaca. Bukan hanya saat thawaf, bahkan saat sai, wukuf, mabit di Muzdalifah, mabit di Mina pun bacaan zikir yang dibaca hanya sholawat. Padahal jamaah haji lain membaca zikir-zikir sesuai putaran dan tempatnya (sekalipun bukan syarat sah nya haji).

Maka orang yang bersama pemuda yang ditinggal wafat oleh ayahnya di perjalanan ini pun penasaran dan mengajukan pertanyaan, “Wahai anak muda, aku perhatikan, engkau selalu berzikir shalawat dalam setiap putaran thawaf dan sai, bahkan saat wukuf dan mabit? Mengapa tidak membaca bacaan lain seperti jamaah haji lain?”

Pemuda ini menjawab, “Wahai kawan, bukankah engkau mengetahui, bahwa ayahku telah wafat di perjalanan? Ketahuilah bahwa saat beliau wafat aku melihat ayahku kepalanya berubah menjadi kepala seekor keledai. Aku pun panik dan sedih mengapa ayahku akhir hidupnya seperti itu?, padahal beliau boleh dikata rajin shalat, dan wafat dalam keadaan sedang menuju tanah suci untuk melaksanakan rukun islam yang kelima, namun mengapa di akhir hidupnya mengalami seperti ini? Aku terus menangis dan sedih seperti menangisnya anak kecil. Hingga tangisku melelahkanku, dan aku pun tertidur.”

“Saat aku pulas tertidur, tiba-tiba aku bermimpi. Dalam mimpi itu aku didatangi oleh seorang yang berwajah paras bersinar dan berwibawa. Orang itu bertanya, “Hai pemuda, mengapa engkau menangis?” Saya menjawab, “Tuan..., saya menangis karena menyesali akhir hidup ayahku, dia mati dalam kondisi kepalanya berubah seperti kepala seekor keledai, aku tidak tahu dosa apa yang penah dilakukan ayahku semasa hidupnya, padahal ayahku terlihat rajin shalat dan kini sedang dalam perjalanan menuju ke Tanah Suci.”

Kemudian orang itu bertanya, “Di mana sekarang ayahmu?” . “itu Tuan” jawab saya. Lalu orang itu membuka kain yang mentup jenazah ayah saya, kemudian diusapnya wajah ayaku itu, dan seketika kepala ayahku itu kembali menjadi normal kembali seperti biasa, bahkan lebih bercahaya daripada keaadaan semula. Melihat kenyataan itu, saya pun bertanya, “Maaf Tuan, boleh aku bertanya?, siapakah gerangan Tuan? Dan dosa apakah yang telah dilakukan ayahku sewaktu masih hidup?”

Orang itu menjawab, “Aku adalah Muhammad Rasululllah, dan ayah mu pernah meninggalkan shalat, dan jika shalat kadang mendahului imam saat bangun dari ruku atau sujud. Sehingga kepala ayahmu berubah menjadi kepala seekor keledai. Untung saja ada kebiasaan baik yang dilakukan ayahmu setiap akan tidur. Yaitu setiap akan tidur ayahmu selalu membaca shalawat kepadaku tidak kurang seratus kali, sehingga saat ayahmu mengalami akhir hidupnya dalam keadaan seperti itu, aku pun memohon kepada Allah agar aku diberi izin memberi syafaat kepada ayahmu ini, karena telah melazimkan bershalwat untukku.”

Kemudian pemuda itu melanjutkan ceritanya kepada temannya yang bertanya tadi, “Seketika, saat itu, tiba-tiba aku  terbangun dari tidurku. Lalu aku sadar bahwa peristiwa tadi hanyalah berupa mimpi. Namun aku penasaran untuk segera melihat wajah ayahku, karena dalam mimpi itu, orang yang datang kepadaku mengaku Nabi Muhammad saw, aku mendengar hadist bahwa ‘Barangsiapa bertemu Nabi saw dalam mimpi, maka ia benar bertemu beliau, karena syaitan tidak dapat menyeruipai nabi hingga dalam mimpi sekalipun’. Segera ku buka kain penutup wajah jenazah ayahku, dan ternyata benar, kini ayahku wajahnya kembali seperti semula, bahkan terlihat lebih bersinar dari kondisi sebelumnya. Aku bersyukur saat itu. Dan aku pun sadar bahwa memperbanyak shalawat kepada Nabi saw itu akan mendapat syafaat dari beliau. Sejak itulah aku melazimkan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw, bahkan dalam tiap putaran thawaf dan sa’i-ku. Juga saat aku wukuf di Arafah dan mabit di Muzdalifah dan Mina. Agar aku mendapat syafaat dari Nabi Muhammad saw, seperti ayahku.”
Begitu kisah pemuda menjawab rasa aneh kawan seperjalanan hajinya ke Tanah Suci.

Kawan, ketahuilah, bershalawat itu sangat penting.  Jika Allah memerintahkan kita akan shalat atau zakat, Allah tidak perlu melaksanakan shalat dan zakat. Namun pada saat memerintahkan kita bershalawat kepada Nabi saw, Allah bahkan memberi contoh bahwa diriNya dan para Malaikat-Nya menyampaikan shalawat pada Nabi saw.
Firman Allah swt; “Sesungguhnya, Allah dan para malaikatNya menyampaikan shalawat kepada Nabi, Hai orang-orang yang beriman, bershalawat dan ber taslim-lah kepada Nabi saw.” (QS. Al-Ahzab: 56)

KH. Muhammad Jamhuri, Lc.MA
Pengasuh Pesantren TEI Multazam – Bogor
Pembimbing Haji dan Umroh

Tidak ada komentar: