Jumat, 27 Maret 2015

Pendidikan Model Pesantren Kini Lebih Diminati



Meskipun dewasa ini banyak pihak, termasuk pemerintah, mengindentikkan pesantren dengan radikalisme, namun model pendidikan pesantren justru lebih diminati oleh masyarakat. Hal itu terlihat dengan banyaknya beberapa pesantren yang sudah memenuhi koata penerimaan santri baru, padahal tahun pendidikan dimulai bulan Juli. Beberapa pesantren bahkan membuat iklan pendaftaran “inden” untuk menerima calon santri baru untuk 2, 3, bahkan 4 tahun ke depan, layaknya waiting list dalam sistem pendaftaran ibadah haji. Jika kita mendaftar anak untuk diterima tahun ini, pesantren tersebut sudah tidak bisa menampung, padahal pesantren tersebut sudah menyebarkan calon santri ke beberapa cabangnya.

Ada pula pesantren menerima hampir 1000 calon santri baru, padahal kapasitas untuk menerima calon santri baru hanya 300 orang. Sehingga pada saat diselenggarakan tes masuk santri baru, pesantren ini tidak bisa menampung calon santri baru itu, sampai-sampai untuk mengadakan tes masuk, pesantren tersebut menyewa beberapa ruang convention PUSPIPTEK milik BPPT di kawasan Serpong, Banten.

Kenyataan ini bukan hanya terjadi di daerah jabotabek, di daerah Jawa Tengah, Jawa Barat dan Pulau Jawa saja, namun terjadi pula di beberapa daerah di luar Jawa. Bahkan beberapa pesantren dengan  spp yang tinggi pun tetap  banyak diminati oleh masyarakat.

Fenomena ini terjadi banyak faktor. Secara internal, pesantren kini banyak berbenah diri. Pesantren kini bukan hanya mengajarkan ilmu agama, namun juga memadukan antara ilmu agama dengan sains. Bahkan memadukan antara ilmu agama dengan kewirausahaan (ekonomi). Itulah sebabnya banyak pesantren menggunakan kata “TERPADU” karena memadukan ilmu agama dengan keterampilan (life skill) yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Selain itu, pesantren juga telah bergeser kepada model modern. Sehingga, pesantren tidak lagi dikesankan dengan situasi kumuh, kotor, dan terbelakang. Di samping itu, secara manajerial pesantren pun tidak kalah dengan sekolah-sekolah elit lainnya. Bobot pengetahuan sains dan agama diberikan secara seimbang sehingga tidak ada dikotomi antara ilmu agama dan sains. Oleh sebab itu banyak anak pesantren menjadi duta dalam pertukaran pelajar antar negara serta menjuarai berbagai olimpiade di tingkat internasional.

Secara eksternal, sekolah-sekolah umum telah “gagal” membangun karakter siswa yang berbudi pekerti mulia. Faktor inilah yang membuat masyarakat kini kurang memberi kepercayaan kepada sekolah-sekolah umum, baik swasta maupun negeri. Bahkan beberapa sekolah negeri di beberapa daerah kini “kurang laku”, hingga ada pemerintah daerah yang mengeluarkan surat edaran atau perda, bahwa anak daerah harus bersekolah di sekolah yang berada di daerahnya karena kekhawatiran sekolah-sekolah daerah tersebut akan kekurangan murid.

Banyaknya siswa yang terlibat kasus-kasus asusila, narkoba, kriminal, tauran bahkan pergaulan bebas di lingkungan sekolah akhir-akhir ini menunjukkan bahwa sekolah umum tidak lagi memberikan rasa aman kepada siswanya. Kenyataan inilah yang membuat masyarakat mulai melirik psantren. Belum lagi kebijakan pemerintah yang gonta-ganti kurikulum setiap pergantian rezim kekuasaan. Berbeda dengan pesantren, yang sebagian kitab atau buku klasiknya masih eksis menggunakan buku tersebut dan selalu aktual, sehingga jika ada seorang adik yang masuk pesantren, dia masih dapat menggunakan buku kakaknya yang juga dari pesantren. Coba bayangkan dengan buku umum, setiap tahunnya terus berganti tergantung “lobi” penerbit dan bongkar pasang kurikulum oleh pemerintah. Faktor-faktor inilah, sekali lagi, yang menyebabkan model pendidikan pesantren sangat diminati.

Faktor lain adalah jiwa kehidupan pesantren yang dibingkai dengan panca jiwa pesantren, yaitu keikhlasan, ketaatan, kesederhanaan, kemandirian, dan ukhuwah yang diamalkan dalam kehidupan pesantren selama 24 jam sehari. Kebiasaan yang dilakukan berkali-kali, terutama pada usia remaja akan menjadi karakter santri. Ada faktor lain yang mungkin tidak dimiliki oleh sekolah umum. Yaitu dalam masyarakat industri yang serba sibuk, dimana terkadang suami dan isteri sibuk bekerja di luar, maka pilihan tepat untuk “menitipkan” anaknya adalah pesantren. Karena di pesantren, anak dididik dan diawasi selama 24 jam. Sedangkan di sekolah umum, keberadaaan mereka hanya 5-7 jam di dalam suasana pendidikan. Di luar itu, anak di luar pengawasan orang tua dan guru. Sehingga tidak aneh jika anak berada di mall bahkan di dalam jam pelajaran sekalipun.

Muhammad Jamhuri
Pengasuh Pesantren Terpadu Ekonomi Islam MULTAZAM
Jum’at, 27 Maret 2015

Tidak ada komentar: