Senin, 28 Mei 2018

Zakat Fitrah Dengan Uang di Zaman Now Lebih Afdoll



Sentilan-Sentilun Ala U.J.(Ustadz Jamhuri)
Zakat Fitrah Dengan Uang di Zaman Now Lebih Afdhal
.

“Ustadz, saya mau tanya nih, katanya kalau kita mau bayar zakat fitrah nggak boleh pake uang, harus pake beras. Apa betul begitu ustadz?” Tanya jamaah.

“Kata siapa?” Ustaz balik bertanya.

“Yaa...kan sekarang banyak share-share broadcast, ustadz, saya juga dapat dari bradcast masalah zakat fitrah ini, ustadz”.Jawab jamaah

“Lalu, selama ini, bapak kalau bayar zakat fitrah, pake apa?” Ustdaz balik tanya lagi

“Pake uang ustadz. ..mungkin sejak saya lahir juga, dibayarin zakatnya oleh orang tua pake uang. Makanya saya jadi ragu nih setelah baca di medsos itu. Nah, sekalian dah nanya juga, kalau seandainya bertahun-tahun bayar fitrah saya pake uang dan jika itu tidak sah, bagaimana dong ustadz cara membayarnya?”  Tanya jamaah.

“Ribet amat sih pak?. Nih, biar bapak tenang saya keluarin jawabannya, zakat fitrah pake uang itu hukumnya sah, bahkan di zaman sekarang boleh disebut lebih afdhal dari pada beras.” Jelas ustadz santai.

“Hah..? kok bisa gitu ustadz?. Padahal yang saya baca di medsos itu, hadits-hadits Nabi menjelaskan bahwa zakat fitrah dibayar dengan BERAS, juga para sahabat bayar zakat fitrahnya dengan BERAS. Malahan tiga mazhab fiqih juga berpendapat yang sama, kok bisa ustadz mengatakan bahwa bayar zakat fitrah dengan uang lebih afdhol?” Tanya jamaah protes.

“Ntar..ntar...saya koreksi dulu ya? Nabi, sahabat, tabiin dan para ulama mazhab gak pernah menyuruh kita membayar zakat fitrah dengan BERAS. Yang ada adalah MAKANAN POKOK!”. Jelas ustadz memotong pembicaraan jamaah.

“Oh iya ustadz, maksud saya itu..makanan pokok” Ujar jamaah meralat sambil cengengesan.

“Begini. Dari dulu sampai sekarang, para ulama berselisih pendapat tentang penyikapan pada suatu nash atau teks dalil. Ada yang melihat pesan yang tersirat (mafhum), ada juga yang melihat pada yang tersurat (mantuq). Contoh..: Baru aja selesai perang Khandaq, Nabi saw langsung menyuruh sahabat segera berangkat ke kampung Bani Quraizhah untuk memberi pelajaran kepada mereka karena telah berkhianat pada perang tersebut. Nabi saw berpesan, “Jangan kalian shalat ashar, hingga kalian tiba di Bani Quraizhah”. Nah, sebagian sahabat ada yang memahami pesan Nabi saw itu secara mantuq (tersurat). Sehingga mereka tidak shalat ashar sebelum tiba di sana, sekalipun di jalan sudah masuk waktu ashar. Namun sebagian sahabat memahaminya secara tersirat (mafhum). Pesan tersiratnya adalah “Usahakan datang ke sana sebelum masuk waktu shalat ashar”. Sehingga saat di perjalanan masuk waktu ashar, mereka langsung melaksanakan shalat tepat waktu.”
“Demikian juga, saat menyikapi hadist tentang barang ribawi  yang diriwayatkan Abbdullah bin Shamit yang menyebut bahwa barang ribawi itu ada 6: emas, perak, kurma, gandum, tepung, dan garam. Imam Daud Azh-Zhahiry menyikapinya dengan mantuq (tersurat) sehingga beliau tidak memasukkan fulus (uang kertas atau logam yang non emas perak) masuk dalam kategori barang ribawi. Sementara ulama lain memahaminya secara mafhum (tersirat) bahwa penyebutan emas dan perak adalah perwakilan dari segala macam uang dan mata uangnya, apapun bahan bakunya..sehingga jika ada pembungaan (tambahan) pada fulus (uang kertas) pun  maka berlaku hukum riba. Bayangkan, jika kita hanya memahaminya secara mantuq (tersurat) maka tidak berlaku riba pada fulus (uang kertas), meskipun ada pembungaan.”

“Demikian juga perdebatan ulama tentang wudhu, apakah dia ibadah mahdhah (ritual) atau ibadah untuk nazhofah (kebersihan)? Perbedaan itu masih terjadi.”
Perbedaan-perbedaan itu sebenarnya memberi rahmat dan kegunaan bagi kondisi zaman yang kita hadapi. Oleh sebab itu, permasalahan apakah zakat fitrah dibayar dengan  makanan pokok atau uang, tidak lepas dari perbedaan sudut pandang mantuq atau mafhum ?” Ustadz menjelaskan panjang lebar.

“Aduh...saya kok tambah pusing ustazd. Coba langsung saja jelaskan, mengapa ustadz mengatakan membayar zakat fitrah dengan uang untuk zaman sekarang ini lebih afdhol?” Pinta jamaah.

“Nah, ditinjau dari mafhum kegunaan dan tujuan zakat fitrah serta hikmahnya, maka boleh dikatakan –untuk zaman sekarang- membayar zakat fitrah dengan uang adalah lebih utama , dengan alasan sebagai berikut:

Pertama, di antara hikmah adanya  zakat fitrah adalah agar orang fakir miskin di hari Idul Fitri semua berbahagia dengan tersedianya makanan di hari itu. Nah, zaman sekarang, yang dimakan fakir miskin dan kebutuhan mereka bukan hanya dapat makan makanan pokok saja di hari itu, tapi juga perlu lauk-pauknya, sayurnya dan makanan lainnya. Nah kalau mereka hanya mendapat makanan pokok, maka mereka tidak bisa membeli lauk-pauknya. Sedangkan jika mereka mendapat zakat fitrahnya berupa uang, mereka dapat membeli beras, lauk-pauk, sayur mayur bahkan bisa beli pembungkus ketupat. Nah disinilah lebih utama zakat fitrah dengan uang.

Kedua, pada beberapa negara kaya dan yang penduduknya minim fakir miskin, sementara kesadaran membayar zakat itu tinggi, maka pada saat tidak ditemukan fakir miskin di sana, mereka akan mendistribusikan zakatnya ke negara lain. Jika berupa makanan pokok, maka mereka akan terkendala waktu. Jangan lupa, kewajiban zakat fitrah adalah pada saat malam takbiran, dan sebagian orang hanya akan membayar zakat fitrahnya di malam takbiran itu karena itulah wakt al-wujub (waktu wajibnya fitrah). Pendistribusian zakat berupa makanan pokok ini akan memakan biaya transportasi lagi. Selain juga waktu tempuh akan lama, dan bisa melewati hari idul fitri sehingga kehilangan hikmah diwajibkannya zakat fitrah yang harus didistribusikan sebelum idul fitri. Sedangkan jika zakat fitrah berupa uang, maka dengan sangat mudah kita transfer ke mana pun. Dan membayar zakat fitrah dengan uang dalam kondisi pendistribusian ke negara-negara yang terkena musibah atau konflik akan terasa terlihat lebih utama karena mereka memerlukan bantuan dengan cepat.

Ketiga, mungkin orang akan berkata, yang penting bayar dengan makanan pokok, nanti kan untuk kebutuhan lain, fakir miskin itu bisa menjual berasnya lalu dibelikan kebutuhan lauk pauk.? Atas alasan ini, saya punya pengalaman saat kuliah di Arab saudi. Orang Saudi, rame-rame membayar zakat fitrahnya di malam idul fitri karena itulah wakt-al-wujub nya. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan konsumen membeli paket zakat fitrah, banyak dijumpai orang-orang menjual beras paket zakat fitrah menjajakan nya di jalan-jalan. Nah, disamping penjual paket zakat fitrah itu, beberapa orang miskin takroni (negro) duduk siap menerima zakat fitrah. Lalu saya lihat orang Saudi dalam mobil membeli paket zakat fitrah itu dengan harga  15 real, lalu mobil maju sedikit menghampiri orang misikin dan langsung menyerahkan zakat fitrah tadi ke orang miskin itu, kemudian datang lagi pengendara mobil lain, membeli paket zakat dan meyerahkan kepada orang miskin negro lagi seperti orang pertama. Nah, saya ketawa, pada saat pengendara itu menjauh meninggalkan mereka, si miskin yang menerima zakat tadi, menjual kembali paket zakat itu kepada penjual paket zakat dengan harga 10 real. Sampai sini, bapak bisa bayangkan kan ketidak efektifan zakat berupa bahan pokok. Andai saja, muzakki itu memberi zakat fitrah kepada si miskin seharga paket beras fitrah dalam bentuk uang, , pasti dia mendapat zakatnya 15 real perkepala, dan tidak repot-repot lagi harus menjual kepada penjaja paket zakat tadi.” Ujar ustadz menjelaskan panjang lebar

“Hmmm..iya juga ya ustadz...? jadi kalau kita bayar zakat fitrah dengan beras atau makanan pokok tidak sah ustazd? Karena kan pake uang -kata ustadz- lebih afdol?” Tanya jamaah membandingkan.

“Tidak...tetap saja membayar zakat dengan beras atau makanan pokok pun sah. Karena afdoliyah (keutamaan) itu tidak menafikan sah-nya cara lain jika memenuhi syarat.” Jelas ustadz singkat.

“Terus, orang yang menyebarkan broadcast zakat fitrah tidak sah dengan uang itu, tidak benar, ustadz?” Tanya jamaah memastikan.

“Memangnya, bapak kenal dengan orang yang menyebarkan broadcast itu?” Ustadz balik bertanya

“Kenal sih utadz, teman sekantor  dan masih tetangga saya, bahkan teman main saya waktu kecil.” Jawab jamaah singkat

“Coba tanya ke teman bapak itu, waktu dia masih anak kecil dan remaja dulu, hingga dia belum baca broadcast itu, dulu orang tua dia dan dia, bayar zakatnya pake beras apa uang?” Tanya Ustadz memohon.

“Seinget saya...sama dengan saya pak ustadz, orang tuanya juga bayar zakat fitrah dia ke guru ngajinya pake uang, bukan beras...dulu kan dia satu pengajian di kampung dengan saya.” Jawab jamah

“Nah, terus, kalo gitu, yang dulu-dulu gak sah dong? Terus kalo mau dirapel  atau diakumulasi bayar sekarang dengan beras, sudah lambat dong? Kan zakat fitrah itu harus dikeluarkan sebelum bubar shalat idul fitri di tahun itu? Lha, dia udah 30 tahun , berarti udah kelewatan 30 idul fitri dong?” Ujar ustadz ngajak berpikir.

“Iya ustadz,memang enakan ikut pendapat ustadz, lebih menenangkan dan menentramkan. Istilah kantor pajak-mya ‘Menyelsaikan Masalah Tanpa Masalah’..”Ujar jamaah..

“Ciee...bapak bisa aja ahh.....ini bukan pendapat saya, saya cuma ngutip dari ulama Hanafiyah dan ulama kontemporer DR. Yusuf al-Qordhowi dalam karyanya Fiqih al-Zakat” jawab ustadz tersanjung, sampe hidungnya merah karena dipuji.


Tidak ada komentar: