Jumat, 26 Desember 2008

Muhasabah di Tahun Baru

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok; dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan” (QS. Al-Hasyr: 18)

Banyak tidak sadar di antara kita. Saat pergantian tahun baru kita terbawa huru hara dalam kegembiraan yang terlewat batas. Dari peniupan terompet yang membisingkan telinga, hingga acara muda mudi yang berpesta pora bebas etika. Padahal saat pergantian tahun, sebenarnya satu tahun jatah hidup kita berkurang. Pada saat kita menyobek dan mengganti lembar kalender kita, pada hakekatnya kita sedang “merobek” jatah satu tahun umur kita. Namun sedikit sekali orang yang merenung akan hakekat itu.

Ayat di atas menegur kita dengan tegas. hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Pergantian tahun hendaknya dijadikan sebagai momentum untuk merenung diri dan muhasabah. Seberapa amal kebaikan yang telah kita tanam pada tahun lalu? Atau bahkan sudah seberapa banyak amal keburukan yang kita perbuat? Jangan-jangan amal buruk kita tahun kemarin lebih banyak dari pada amal kebaikan yang kita lakukan. Oleh karena itu, hendaklah memperhatikan apa yang telah diperbuatnya tahun lalu, untuk kemudian merencanakan target-target hidup untuk tahun mendatang.
Yang dimaksud target dan rencana hari esok pada ayat di atas adalah lebih jauh lagi, bukan rencana tahun depan saja, bukan rencana lima atau sepuluh tahun kedepan. Tetapi rencana hidup di akhirat nanti. Tujuan hidup kaum muslimin bukan terbatas pada lima atau sepuluh tahun kedepan, tapi lebih dari itu, rencana hidup kaum muslimin adalah kehidupan di akhirat yang akan panjang. Sebab, kehidupan dunia hanya bersifat sementara. Rasulullah saw bersabda, “Jadlilah kalian di dunia seperti orang menyeberang jalan”. Sifat dan karakter orang yang menyebrang jalan adalah:

1. Dia berkonsentrasi pada tujuan yang di hadapannya, bukan jalan yang akan diseberanginya. Dia selalu berpikir agar selamat sampai di seberang sana, dan merasa lega apabila tiba di tempat tujuannya dengan selamat. Artinya seorang muslim selalu konsentrasi pada akhirat yang menjadi akhir perjalanan hidupnya.

2. Dalam menyeberang jalan, dia akan bersikap hati-hati jangan sampai tertabrak kendaraan. Dia akan menengok ke kanan dan ke kiri agar tidak ada sesuatu yang mencelakakan dirinya. Setelah dirasa aman barulah dia menyeberanginya. Artinya, saat hidup di dunia, dia akan bersifat berhati hati dalam menjalaninya, jangan sampai menabrak norma dan hukum Islam, dia selalu akan memperhatikan mana yang halal dan mana yang haram. Dia berhenti jika itu haram, dan dia terus jalani jika itu halal

3. Dalam menyeberangi jalan, dia berjalan atau berlari dengan cepat. Dia tidak akan berlama-lama di tengah jalan dan segera menuju tempat tujuan yang ada di hadapannya. Artinya, dunia ini bersifat sementara sama sebentarnya saat kita menyeberangi jalan dibanding tempat tujuan kita. Kenikmatan dunia laksana setetes air dari jari yang kita celupkan di samudera yang maha luas, dibanding kenikmatan akhirat yang luas bagai air di samudera.

4. Dia merasa lega dan bersyukur saat tiba di tempat tujuan setelah menyebarang. Kemudian di sanalah dia berlama-lama beraktifitas dan menjalani kehidupannya. Artinya, kehidupan sesungguhnya dan kehidupan yang panjang dan selamanya adalah kehidupan akhirat. Di sanalah dia akan mendapat nikmat yang kekal.

5. jika penyeberang jalan tidak berhat-ihati dalam menyeberang, maka ia akan ditabrak atau mendapat kecelakaan. Rasa sakit akibat kecelakaan tadi bisa membuat kita merasa sakit yang tidak terkira. Artinya, jika selama hidup di dunia kita tidak berhati-hati, maka kita akan sengsara hidup di akhirat, rasa sakit dari siksa neraka begitu panjang dan pedih.
Sudahkah kita memperhatikan dan merenungi hal itu? Sudahkah kita mempersiapkan diri saat bertemu Allah nanti?
Suatu saat, seorang wanita ahli maksiat mendatangi Ibrahim bin Adham mengajukan pertanyaan, “Saya masih ingin tetap maksiat tapi ingin tidak masuk neraka. Bagaimana caranya?” Ibrahim bin Adham tidak langsung melarang, kemudian beliau menjawab, “Engkau boleh tetap bermaksiat dan tidak masuk neraka, tapi harus kau penuhi lima syarat.” Sang wanita itu berkata, “Apa lima syarat itu?”
Ibrahim bin Adham berkata, “Pertama, engkau boleh bermaksiat tapi tidak boleh makan rezeki Allah. Kedua, engkau boleh tetap bermaksiat, tapi tidak tinggal dan melakukannya di bumi Allah. Ketiga, engkau boleh bermaksiat, tapi jangan kau lakukan di tempat yang tidak terlihat Allah. Keempat, engkau boleh bermaksiat jika engkau nanti mampu menolak kedatangan malaikat maut. Kelima, engkau boleh bermaksiat jika engkau mampu menolak malaikat zabaniyah yang menghukum ahli neraka.”
Mendengar persyaratan yang diajukan Ibrahim bin Adham, wanita itu pun mengucurkan airmata sambil berkata, “Mana mungkin aku melakukan sesuatu di selain bumi Allah, tidak terlihat Allah dan tanpa rezeki Allah? Apalagi jika aku kedatangan malaikat maut dan malaikat Zabaniyah yang kasar itu?” Iya tersungkur menangis dan saat itu juga bertaubat nasuha.
Kalau itu ditanyakan pada diri kita, “Silakan berpesta tahun baru yang sia-sia itu asal dilakukan di selain bumi Allah, sanggupkah kita?” Semoga tahun baru ini menjadi tahun perenungan kita. Amin ##
Jamhuri

Selasa, 16 Desember 2008

Penyebab Hati Menjadi Keras

"Dan karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat)"
(QS. Al-Maidah: 13)

Ayat di atas menceritakan hukuman Allah SWt kepada Bani Israil berupa kutukan dan dijadikannya hati mereka menjadi keras. Hati keras adalah hati yang tidak mau menerima petunjuk kebenaran, meskipun kebenaran itu sudah di dapan mata. Menurut ayat di atas, ada lima sebab yang membuat seseorang atau suatu kaum menjadi keras hatinya, antara lain:

Pertama, Melanggar perjanjian. Perjanjian yang dimaksud dalam ayat ini adalah segala perjanjian, terutama perjanjian kepada Allah. Perjanjian kepada Allah adalah kesiapan kita melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya. Pada saat di alam ruh, Allah bertanya kepada kita, ”Bukankah Aku adalah Tuhan kalian? Mereka menjawab, ”Ya, kami bersaksi (atas hal itu)”. Keasyikan kita melanggar perintah Allah SWT dan tidak mengindahkan perintahNya akan mengakibatkan hati kita keras. Jika hati keras, maka segala nasehat, masukan, dan kritikan tidak akan diterima. Baginya, nasehat dan kritikikan disikapinya sebagai penghinaan. Jika demikian, maka akan lahir sikap-sikap sombong. Sebagaimana bangsa Bani Israel yang merasa superior dibanding bangsa lainnya. Bagaimana nasehat orang lain akan masuk ke dalam hatinya, sementara janji Allah pun dilanggarnya?. Oleh karena itu, semakin diri kita asyik melanggar perintah Allah, maka lama-kelamaan hati kita akan keras dan menjauh dari hidayah Allah SWT.

Kedua, merubah perkataan Allah SWT. Orang-orang Bani Israel dikutuk dan hatinya menjadi keras disebabkan mereka sering merubah firman-firman Allah SWT. Allah menjelaskan bahwa Allah Maha Esa dan tidak mempunyai anak, namun Bani Israel menganggap bahwa Uzair adalah anak Allah SWT, mereka diharamkan memakan riba (bunga hutang), tapi mereka menafsirkan sendiri bahwa larangan itu berlaku jika dilakukan sesama Bani Israel, adapun jika dilakukan kepada orang lain maka memakan riba diperbolehkan.
Saat ini, usaha-usaha merubah ayat Allah SWT sulit dilakukan, karena setiap kali mereka melakukan pemalsuan al-Qur’an, setiap kali itu pula perbuatan itu segera diketahui umat Islam dan mendapat reaksi yang luas. Oleh karena itu kini mereka beralih dengan merubah tafsir al-Qur’an yang sesuai dengan hawa nafsunya. Ironisnya, program penafsiran al-Qur’an secara sesat itu ikut melibatkan umat Islam, terutama kalangan intelektual Islam. Slogan bahwa ”al-Qur’an sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman”, ”Semua agama sama saja”, ”Iblis juga masuk surga” adalah bentuk-bentuk penafsiran sesat. Mereka merubah makna dan tafsir al-Qur’an dari tempat-tempat yang semestinya. Penafsiran seperti ini adalah termasuk merubah al-Quran dari tempat semestinya. Termasuk penafsiran jenis ini juga adalah menafsirkan al-Quran sesuai dengan hawa nafsunya, tanpa melihat kaitannya dengan ayat lain serta penjelasan dari Nabi saw dan para Sahabat.
Termasuk merubah al-Quran juga adalah menggunakan ayat-ayat sebagai alat justifikasi suatu kebijakan yang jelas-jelas terlihat kezalimannya dan bertentangan dengan al-Qur’an itu sendiri.

Ketiga, lupa akan hal yang telah diperingatkannya. Ini boleh jadi ciri hati keras yang nampak. Sebab hati yang keras, meskipun diingatkan berkali-kali, dia tidak mengindahkannya alias melupakannya. Uniknya, bahasa al-Qur’an menyebutnya dengan redaksi ”melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya”. Kata ”sebagian” dalam ayat tersebut berarti tidak melupakan seluruhnya. Jadi disebabkan mereka melupakan “sebagain” saja dari yang diperingatkannya maka akan mengantarkan mereka menjadi keras hatinya, yakni akan bersikap masa bodoh dengan segala peringatan dan nasehat.
Bani Israel adalah bangsa yang masa bodoh dengan berbagai peringatan. Allah pernah memperingatkan mereka tentang nikmat yang Allah berikan berupa terbebasnya Bani Israel dari kejaran Fir’aun dan tentaranya, namun sesampainya mereka di daratan dengan selamat, mereka meminta kepada nabi Musa as untuk membuat sesembahan selain Allah. Mereka jua pernah diingatkan dengan nikmat para Nabi yang lahir dari kalangan keturunan bangsa mereka, namun mereka justru membunuh para Nabi tersebut.

Keempat, pengkhianatan. Inilah puncak dari akibat penyakit hati yang keras. Jika kita hidup dalam sebuah jama’ah, bisa dianalogikan bahwa benih-benh pengkhianatan adalah dimulai dari (1) melanggar perjanjian dari AD/ART yang sudah disepakati bersama, (2) merubah ayat-ayat dan pasal, atau setidaknya merubah penafsiran dari ayat-ayat dan pasal-pasal tersebut, (3) Ketika penyimpangan terjadi, mereka pun diberi nasehat, namun mereka tidak mau menerima nasehat itu dengan ikhlas. (4) Melupakan segala masukan dan nasehat yang masuk ke hati mereka, bahkan mereka merasa benar sendiri, (5) Melakukan pengkhianatan terhadap jamaahnya.
Jika lima hal itu terjadi pada setiap individu muslim, maka alangkah dikutuknya ia, sebagaimana Allah mengutuk kaum Bani Israel. Wal’iayadzu billah. Wallahu a’lam.# )I(

Sabtu, 29 November 2008

Meneladani Nabi Ibrahim as

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia “ (QS. Al-Mumtahanah: 4).

Untuk kedua kalinya Nabi Ibrahim as diuji oleh Allah SWT, apakah dia lebih sayang dan cinta pada puteranya atau lebih cinta pada perintah Allah swt? Pada ujian pertama Ibrahim as lulus, yakni saat dikaruniai seorang putera yang bersih, tampan dan lucu, setelah sekian lamanya mendambakan seorang anak, Ibrahim as diuji agar meletakkan isteri dan anaknya di suatu lembah yang tidak ada pepohonan dekat Baitullah. Ayah mana yang rela meletakan ana keturunannya dan keluarganya di daerah yang asing dan tandus? Ayah mana yang rela berjauhan dengan anaknya padahal sekian lama dia merindukan keturunan? Namun,karena keimanan yang kuat pada dada Ibrahim as, perintah Allah yang berat itu tetap dilaksanakannya.
Namun, ujian Allah tidak sampai disitu. Saat Ismail as menginjak usia dewasa, Allah menguji kembali dengan memerintahkan Ibrahim as untuk menyembelih putera yang sangat dicintainya itu. Ada keraguan, apakah betul perintah yang datang lewat mimpi itu benar-benar perintah Allah atau hanya “bunga-bunga tidur” belaka?. Namun karena malam berikutnya beliau bermimpi hal yang sama, maka beliau yakin mimpi itu adalah perintah Allah swt. Maka Ibrahim as berkata, “"Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Nabi Ismail as menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (QS. Ashofaat: 102).

Setelah segala sesuatunya dipersiapkan, berangkatlah mereka untuk melaksanakan perintah Allah yakni mengorbankan Ismail as.
Melihat Ibrahim dan Ismail as akan melaksanakan perintah Allah, Iblis tidak senang dan berusaha menggagalkan rencana mereka. Maka datanglah iblis kepada Nabi Ibrahim as dan berkata, “Hai Ibrahim, mengapa engkau mau-maunya menyembelih puteramu? Bukankah dahulu kau mengharapkan mempunyai anak? Bukankah dia anak satu-satunya bagimu? Abaikan saja perintah Tuhanmu itu!” Namun Ibrahim menjawab tegas sambil melontar batu kepada iblis, “Pergilah kau Iblis, Sebab aku telah rela mengorbankan anak yang ku cintai demi perintah Allah yang lebih aku cintai”.

Setelah gagal menggoda Ibrahim as, sang Iblis datang kepada Ismail. Dia berkata, “Hai Ismail, kau masih muda dan mempunyai masa depan cerah, mengapa kau mau saja dibunuh oleh ayahmu? Pergilah jauh, karena kau masih memiliki masa depan”. Dengan tegas Ismail as menjawab sambil melontar Iblis dengan batu, “Pergilah kau Iblis terlaknat, aku diciptakan Allah, maka aku harus patuh pada perintah Tuhanku.”

Usaha iblis ternyata tidak sampai disitu, dia mendatangi Siti Hajar isteri Ibrahim as dan membujuknya, “Hai Siti Hajar!, mengapa kau membiarkan suamimu yang akan menyembelih puteramu? Bukankah kau dulu yang melahirkannya antara hidup dan matimu? Bukankah kau yang telah susah payah menyusuinya dan mengasuhnya, lalu setelah dewasa, suamimu begitu saja akan membunuhnya?”

Siti Hajar pun tidak kalah tegasnya seperti suami dan anaknya, dia berkata kepada iblis sambil melontarnya dengan batu, “Enyahlah kau Iblis!, jangankan anakku yang disembelih, jika ini perintah Tuhan, aku bahkan siap menjadi korban!”.
Iblis pun merasa sia-sia dengan segala rayuan dan godaannya menggagalkan rencana Ibrahim dan keluarganya melaksanakan perintah Allah SWT.
Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari peristiwa di atas?

  1. Tidak ada obsesi dan cita-cita pada diri Iblis kecuali hanya ingin menggelincirkan umat manusia. Allah SWT telah menegaskan bahwa Iblis dan syaithan adalah musuh manusia yang nyata, karena itu kita tidak boleh berkompromi sedikitpun dengan musuh itu. Firman Allah SWt yang artinya, “Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS. Al-baqarah: 168)
  2. Iblis selalu mencari jalan agar kita tersesat. Jika ia gagal menggoda melaui cara pertama, maka ia akan mencari cara kedua, jika gagal, maka ia akan mencari cara ketiga dan seterusnya. Sebagaimana yang dilakukannya terhadap keluarga Ibrahim as.
  3. Ujian keimanan kita lebih banyak dikarenakan masalah rumah tangga. Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa saat syaitan melaporkan kerjanya kepada kepala Iblis, sang kepala tidak memberikan pernghargaan kepada syaitan yang dapat menggoda dengan zina, mencuri dan lain sebagainya. Namun pada saat syaitan bisa membuat suatu keluarga retak dan terjadi perceraian dan permusuhan, maka syaitan yang telah berhasil membuat suatu keluraga bercerai itu mendapat penghargaan dan pujian dari kepala Iblis (pimpinan syaitan).
  4. Untuk membentengi godaan, maka hendaknya keluarga harus dibentengi oleh keimanan yang kuat. Sebagaimana Nabi Ibrahim as telah membetengi anak dan isterinya dengan keimanan, sehingga ketahanan keluarga dapat tercipta dan tidak tergoyahkan, baik godaan itu dari internal keluarga maupun dari eksternal keluarga.
  5. Nabi Ibrahim dan keluarganya adalah contoh buat kita dalam menciptakan ketahanan keluarga yang dibutuhkan dalam zaman yang penuh dengan cobaan seperti sekarang ini. Benarlah firman Allah SWT yang artinya, “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia “ (QS. Al-Mumtahanah: 4).#
    Wallahu a’lam

    Muhammad Jamhuri

Minggu, 16 November 2008

Haji: Mengenal Perjalanan Mati

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal “ (QS.Al-Baqarah: 197)

Karena untuk pertama kalinya akan berangkat ke Tanah Suci, seorang ibu tua berusia 75 tahun diantar oleh rombongan sanak keluarganya ke Bandara Soekarno-Hatta. Mulai dari anak-anaknya, mertua hingga cucu dan cicit serta tetangga ikut mengantar kepergian sang ibu dan nenek ini ke Tanah Suci melalui Bandara Cengkareng. Ketika kepala rombogan menginstruksikan agar para jamaah segera memasuki ruang chek-in Bandara, semua anggota keluarga satu persatu menyalami kepergian ibu tersebut. Nampak di mata mereka tetesan air mata keluar saat bersalaman dan berpelukan. Pada saat itulah sang ibu yang akan segera beranjak memasuki chek-in Bandara berkata, ”Rasanya, ibu seperti akan meninggal dunia saja.” Serta merta para anggota keluarga yang mendengar sang ibu mengucapkan kata-kata tersebut, bertambah histeris tangisnya. Sebab, dalam benak mereka jangan-jangan ucapan itu menjadi kenyataan dan pertemuan ini adalah pertemuan terakhir bagi mereka dengan sang ibu.
Kemudian salah seorang di antara mereka sambil menangis berkata, ”Bu, jangan berkata begitu, kami masih sangat sayang dengan ibu. Kami masih ingin bersama ibu, semoga ibu selamat hingga kembali ke Tanah Air”. Mendengar kekhawatiran anak-cucunya, sang ibu berkata, ”Tidak, maksud ibu, perjalanan ke Tanah suci ini seperti orang mau meninggal dunia ingin bertemu Tuhannya. Sebab, orang mati pasti diantar oleh semua sanak keluarga ke kuburan. Namun, setelah jenazah pergi ke dalam kuburan, sanak saudara yang mengantar pasti kembali ke rumah masing-masing. Nah, demikian juga orang yang pergi ke Tanah Suci. Dia diantar oleh sanak keluarganya, namun setelah naik pesawat, para pengantar kembali ke rumahnya masing-masing.”
Kisah nyata seperti diatas menggambar bahwa orang yang pergi melaksanakan ibadah haji itu memang seperti training mengenal perjalanan mati. Betapa tidak? Hampir semua prosesi yang terdapat dalam ibadah haji adalah menggambar perjalanan kematian seorang manusia.
Saat berangkat, jamaah haji diantar oleh para sanak saduaranya. Namun mereka hanya mampu mengantar hingga asrama haji atau bandara. Persis jika kita mengantar orang meninggal dunia. Pada saat orang yang meninggal dunia dimasukkan ke dalam kuburan, kita sebagai rombongan yang mengantarnya hanya berhenti di atas kuburan. Selebihnya sang mayit akan ditanyai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT.
Saat jamaah haji tiba di suatu miqot (batas tertentu untuk berihram), mereka mulai melakukan ritual mandi sunnat ihram dan berpakaian ihram yang terdiri dua helai kain putih yang membalut sekujur tubuhnya. Tidak diperkenankan memakai baju berjahit apalagi baju kebesaran dengan segala atribut pangkatnya. Meskipun di Tanah Air mereka seorang pejabat atau jenderal. Pakaian mereka sama dengan jamaah haji lainnya; hanya dua helai kain putih.
Hal ini hampir sama yang kita temukan saat mengurus jenazah. Jenazah dimandikan dengan baik, kemudian dibungkus dengan kain kafan berwarna putih. Meskipun sang jenazah dari kalangan pejabat tinggi atau jenderal, kenyataannya pakaian mereka sama yang dipakai oleh orang rendahan jika telah wafat atau meninggal dunia. Ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa derajat manusia saat menghadap Allah SWT adalah sama. Yang membedakan kemuliaan seseorang adalah ketakwaannya. Oleh karena itu, dalam berhaji Allah SWT berpesan agar para jamaaah haji berbekal diri, dan bekal yang terbaik adalah bekal TAQWA. Sebagaimana firman Allah SWT yang tersebut diatas Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal “ (QS.Al-Baqarah: 197). Tentu saja, pesan ini bukan hanya untuk yang berhaji saja, namun juga berlaku bagi semuanya. Sebab, bekal terbaik dalam hidup kita adalah bekal taqwa.
Kemudian, dalam prosesinya, para jamaah haji pun akan berkumpul di padang Arafah guna melaksanakan ibadah wukuf yang menjadi inti ibadah haji. Rasulullah SAW bersabda: “Ibadah haji adalah wukuf di Arafah”. Di padang Arafah inilah semua jamaah haji berkumpul di waktu yang bersamaan, yakni tanggal 9 Dzulhijjah. Seluruh jemaah haji dari berbagai bangsa, suku dan Negara berbaur di padang Arafah ini. Tidak ada perbedaan antara bangsa maju dan bangsa berkembang, semuanya berbaur di tempat ini dengan pakaian sederhana berupa dua helai kain putih.
Hal ini mirip dengan gambaran orang-orang yang meninggal dunia dan datangnya hari Kiamat. Mereka yang telah wafat akan dibangkitkan lagi di akhirat dan akan dikumpulkan di padang Mahsyar. Mereka dikumpulkan mulai manusia yang hidup di zaman nabi Adam as hingga manusia yang hidup di akhir zaman nanti untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatannya di hadapan pengadilan Allah SWT yang Maha Adil.
Singkatnya, ibadah haji merupakan training mengenal perjalanan kematian. Oleh sebab itu, jika para jamaah haji mengerti akan pesan ini, maka sekembalinya mereka ke tanah air, mereka akan bertambah nilai iman, taqwa dan spritualnya. Hidup mereka akan berorientasi untuk kehidupan akhirat, sehingga mereka melipatkan gandakan etos kerja dan ibadah demi sebanyak-banyak bekal untuk kehidupan abadi di akhirat nanti. Itulah haji mabrur. Sebaliknya, jika niatnya hanya ingin kesohor dengan gelar hajinya atau tamasya saja, maka ia kembali sia-sia. Itulah haji mardud (haji yang tertolak). #

Selasa, 04 November 2008

PAHLAWAN

“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin[, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya” (QS.Al-Nisaa: 69)

Setiap tanggal 10 Nopember biasanya diperingati sebagai Hari Pahlawan bagi bangsa Indonesia. Memperingati hari pahlawan berarti memperingati semangat perjuangan mereka dalam meraih kemerdekaan bangsa dan tanah air Indonesia dari penjajah asing. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang mengingat dan melanjutkan perjuangan para pendahulunya.
Kata pahlawan, menurut sebagaian ahli bahasa, adalah bentuk subjek dari akar kata pahla atau pahala. Dengan demikian kata pahlawan adalah orang yang suka rela berjuang dalam suatu kebaikan demi mendapatkan pahala dari Allah SWT. Seorang yang telah berjuang merebut kemerdekaan disebut pahlawan. Guru yang telah memberi kebaikan berupa pendidikan dan pengajaran juga disebut pahlawan. Kadang juga disebut pahlawan tanpa tanda jasa.
Jika kata ”pahlawan” dimaknai sebagai orang yang dengan sukarela mempersembahkan kebaikan adalah pahlawan, maka sebenarnya setiap kita mempunyai peluang menjadi seorang pahlawan, meskipun pahlawan tanpa tanda jasa seperti yang dijulukkan kepada profesi guru.
Ayat di atas (QS. An-Nisaa: 69) memberikan informasi kepada kita agar kita mengikuti langkah empat tipe manusia serta menjadikan mereka sebagai kebanggaan teman kita:
1. Para Nabi. Mengapa kita dianjurkan mengikuti langkah para Nabi? Karena mereka adalah manusia pilihan Allah SWT. Dalam perjuangan menegakkan kebenaran, merekalah tipe manusia yang mendapat cobaan yang sangat keras dari para penentangnya. Namun mereka tetap sabar dan tabah. Bahkan di antara para Nabi, ada lima Nabi yang mendapat julukan Ulul ’Azmi, Yakni: Muhammad saw, Musa as, Isa as, Nuh as dan Ibrahim as. Merekalah yang memperjuangkan kemerdekaan manusia dari sikap penghambaan kepada sesama manusia dan hanya menyembah Allah saja. Dalam perjuangannya, mereka mendapat tantangan yang sangat berat dari para penentangnya seperti Fir’aun, Namrudz, Abu Lahab dan lainnya. Rasulullah saw bersabda, ”Manusia yang sangat keras cobaannya adalah para Nabi”. Setiap kita yang ingin menjadi pahlawan hendaknya harus mempunyai sifat dan sikap para Nabi, yakni konsisten dalam perjuangan menegakkan kebaikan serta sabar dalam menghadapi segala tantangan.
2. Ash-Shiddiqin. Menurut sebagian ulama, makna ash-shiddiqin adalah orang-orang yang benar dan jujur akan keimanannya. Abu Bakar mendapat gelar ash-Shiddiq dikarenakan keimanannya yang begitu kokoh kepada kebenaran Islam. Tidak banyak orang-orang yang jujur di masa kini. Mungkin orang pintar dan cerdas banyak, mungkin lulusan perguruan tinggi seperti doktor dan gelar profesor berjumlah banyak. Namun yang bergelar ”Jujur” sangatlah sedikit. Oleh karena itu, seseorang bisa dikatakan pahlawan jika ia berjiwa benar dan jujur. Orang yang tidak korupsi dan manipulasi sementara kemungkinan untuk melakukan itu ada, adalah seorang pahlawan. Karena dia sudah menyelamatkan uang negara dan uang rakyat untuk kepentingan rakyat. Sebaliknya jika ia berkorupsi, maka sebenarnya ia sudah berkhianat kepada rakyat.
3. Para Syuhada. Syuhada adalah bentuk jama’ dari kata ’syahid’ yang berarti orang yang telah mati di jalan Allah dalam memperjuangkan kebenaran (agama Allah SWT). Oleh sebab itu, di Yogyakarta kita mengenal suatu mesjid yang dinamai masjid Syuhada. Dibangunnya mesjid itu adalah dalam rangka mengenang para pahlawan (syuhada) yang telah gugur di medan jihad melawan penjajah kafir. Mengapa mereka disebut syahid atau syuhada? Secara etimologi kata syahid bermakna ”saksi”. Merekalah saksi suatu perjuangan agar dapat dicontoh oleh generasi berikutnya. Dengan demikian seorang pahlawan haruslah berjiwa berkorban. Siap mengorbankan jiwa, raga, waktu dan harta demi sebuah kebenaran yang diyakininya serta demi kemaslahatan yang diridhoi Allah SWT. Sikap selalu berkorban demi orang lain dengan rasa ikhlas dan tanpa pamrih adalah jiwa kepahlawanan.
4. Ash-Sholihin. Yakni orang-orang baik. Maksudnya adalah orang yang baik dalam segala hal, mulai dari niatnya, caranya dan tujuannya. Boleh jadi seseorang bercita-cita baik, namun caranya tidak baik dan menghalalkan berbagai cara. Boleh jadi seseorang caranya baik, namun dibalik itu ada niat dan tujuan busuk. Kedua hal ini tidak bisa dikatakan ”sholih”. Oleh karena itu, jiwa kepahlawanan harus dilandasi niat yang baik, cara dalam memperjuangkannya pun baik, serta dengan tujuan yang baik pula.
Rasulullah saw pernah diajak kompromi dalam ber-agama. Hal mana setiap warga Mekkah, demi menjaga persatuan dan kesatuan, diharuskan beribadah secara bergiliran. Hari ini menyembah Allah SWT, besok menyembah berhala Latta dan Uzza. Kontan saja Allah SWT menurunkan ayat-Nya dengan tegas dalam surat Al-Kafirun. ”Katakanlah, Wahai orang kafir, ”Kami Tidak menyembah apa yang kamu sembah...”dan seterusnya.
Ketika Rasulullah saw dirayu akan diberi tahta dan jabatan asal beliau meninggalkan dakwahnya, beliau menjawab, ”Meskipun mereka mampu meletakkan matahari di tanganku atau bulan di tangan kiriku supaya aku meninggalkan dakwah ini, maka tidak pernah akan aku lakukan, hingga Allah memenangkan agamaNya atau aku binasa karenanya.” #

Hakikat Kemenangan

”Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS.Al-Mulk: 1-2)

Suatu hari, Imam Ahmad bin Hambal dijebloskan ke dalam penjara karena tidak sejalan dengan kebijakan dan kamauan penguasa. Setelah beberapa lama tinggal di dalam penjara, beberapa murid Imam Ahmad bin Hambal datang mengunjungi sang Imam. Salah seorang muridnya bertanya, ”Wahai tuan guru, bukankah Kita berada di pihak yang benar?” Imam Ahmad bin Hambal menjawab, ”Ya, kita berada di pihak yang benar. Apakah selama ini engkau tidak yakin kita berada di pihak yang benar?”tanya Imam balik bertanya. Muridnya berkata, ”Jika kita berada di pihak yang benar, mengapa kita kalah? Mengapa tuan guru di penjara seperti ini?” Imam Ahmad bin Hambal menjawab, ”kemenangan itu berada saat kita berpegang teguh kepada kebenaran yang kita yakini. Kemenangan itu adalah keistiqomahan dalam mempertahankan suatu kebenaran. Kemenangan itu saat kita tidak bermaksiat kepada Allah SWT. Justru jika kita mengikuti penguasa yang zalim dan tidak mengindahkan lagi cara-cara kemaksiatan, meskipun kita menang, pada hakikatnya kita sudah kalah.”
Ahmad bin al-Hawari meriwayatkan dari Ibrahim bin Abdullah berkata, Ahmad bin Hambal berkata: ”Aku tidak pernah mendengar satu kalimatpun yang lebih dahsyat sejak aku di penjara ini selain ucapan seorang Badui kepadaku, ”Wahai Ahmad !, jika engkau terbunuh karena membela kebenaran, maka engkau akan mati dalam keadaan syahid. Dan jika engkau masih hidup maka engkau hidup dalam kemuliaan.” Dengan ucapan itu hatiku pun menjadi teguh”..
Allah SWT berfirman: ”Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS.Al-Mulk: 1-2)
Dari kisah Ahmad bin Hambal di atas dan juga firman Allah yang mulia tersebut, kita bisa memahami bahwa hakekat kemenangan itu adalah pada saat kita istiqomah dalam perjuangan al-Haq. Orang lain mungkin juga berpendapat sedang memperjuangkan al-Haq. Sama hal-nya dengan khalifah yang memenjarakan Imam Ahmad bin Hambal. Namun jika cara-cara yang dilakukan adalah dengan cara kemaksiatan, baik berupa intimidasi, ancaman, memasung rasa kemerdekaan manusia, pemukulan dan cara kotor lainnya, maka sebenarnya apa yang mereka lakukan adalah sebuah kekalahan. Kekalahan karena mengikuti langkah syaitan, kekalahan karena mengikuti hawa nafsu. Sebaliknya, orang yang istiqomah memperjuangkan sebuah kebenaran serta dengan cara yang benar maka sebenarnya dia lah yang menang, meski di hadapan manusia dia kalah.
Bukan hal yang tidak diketahui oleh Hasan cucu Rasulullah saw bahwa ia akan kalah dan menjadi korban jika datang ke Karbala melawan pasukan Yusuf bin al-Hajjaj al-Tasqofi panglima Yazid bin Muawiyah yang suka minum-minuman keras. Hasan telah dinasehati oleh Thalhah, Aisyah dan para sahabat lainnya agar tidak berangkat melawan pasukan Yazid. Namun ia tetap berangkan ke Karbala bersama para pendukungnya untuk menunjukkan suatu kebenaran, untuk melawan suatu kezaliman. Sebab Yazid telah mengkhianati perjanjian yang telah disepakti bersama dia dan ayahnya yang bernama Muawiyah. Keberangkatan Hasan ke Karbala untuk menunjukkan bahwa kebenaran harus menasehati kekeliruan, atau izharul haq, meskipun harus menanggung resiko kematian. Kenyataannya, cucu Rasulullah dipenggal kepalanya oleh Yusuf bin al-Hajjaj al-Tsaqofi. Namun cucu Rasulullah saw datang untuk memberi pelajaran bahwa kekeliruan harus diluruskan. Peristiwa ini pun bukan tidak diprediksi oleh Rasulullah saw saat beliau masih hidup. Sebagai seorang Nabi, beliau mendapat berita dari Allah akan nasib akhir cucunya ini. Itulah yang membuat beliau sangat sayang kepada kedua cucunya saat beliau masih hidup, hingga beliau tidak tega jika menyakiti cucunya saat menaikki beliau saat bersujud hingga beliau memperpanjang lamanya bersujud agar cucunya merasa puas bermain di atas punggung Rasulullah nan suci. Sabda beliau, ”Bagaimana aku akan menyakiti mereka, sementara aku mengetahui akhir hidup mereka?”
Segala sesuatu memang sudah termaktub di Lauhil Mahfudz; kaya, miskin, senang, susah, berkuasa, dan tidak berkuasa, semuanya sudah termaktub di Lauhil Mahfudz.. Namun yang Allah nilai dari segala proses hidup ini adalah, apakah kita mempersembahkan amal yang terbaik? Ataukah kita melakukan cara dan amal yang buruk?.Apakah kita tetap dalam taqwa?, apakah kita lebur dalam maksiat kepada Allah?
Jika kita tetap istiqomah dalam kebenaran, dan tetap memperjuangkan kebenaran tanpa kemaksiatan maka itulah hakikat kemenangan. Semoga Allah SWT meridhoi kita dan tetap mempercayai kita sebagai pejuang agamaNya pada masa-masa mendatang, hingga Allah mewariskan bumi ini kepada orang-orang Sholihin. Amin. ##

Selasa, 21 Oktober 2008

Sudahkah Daerah Kita Sejahtera? Sejahtera Dalam Pandangan Al-Qur’an

Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah)
Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan
(QS. Quraisy: 3-4)

Banyak orang yang mendfinisikan kesejahteraan hanya berkutat pada masalah ekonomi saja. Jika seseorang sudah melimpah harta kekayaannya maka disebut sebagai orang yang sejahtera. Jika negara sudah melimpah kekayaan dan pembangunannya maka negara itu sudah sejahtera. Padahal, pada ayat di atas Allah SWT telah menjelaskan bahwa ada tiga sisi sehingga seseorang, daerah atau negara disebut sejahtera. 1) Ia menyembah Allah SWT, 2) Terjamin kebutuhan dasar hidupnya, 3) Terciptanya rasa aman serta tidak diselimuti rasa takut.
Menyembah kepada Allah SWT adalah syarat mutlak untuk menggapai kesejahteraan. Allah SWT berfirman: Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah) (QS. Quraisy: 3). Disebutnya ka’bah dalam ayat ini sebagai simbol pemersatu umat, persaudaraan dan ketundukkan kepada Allah SWT. Tanpa persatuan dan kesatuan umat, mustahil kesejahteraan itu akan tercipta. Dalam ayat lain Allah SWT berfirman yang artinya: ”Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (QS. Thaha: 124)
Ciri lain kesejahteraan adalah terjaminnya kebutuhan dasar hidup. Dalam hal ini Allah SWT berfirman: ”Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar”. (QS. Quraisy: 4) Meski yang disebut dalam ayat ini adalah makanan, namun kesejahteraan juga dikembangkan kepada pemenuhan kebutuhan dasar manusia seperti makanan, minuman, kesehatan, pendidikan, distrubis energi (BBM) dan lain sebagainya. Dengan demikian negara sejahtera adalah negara yang memberi pelayanan kebutuhan dasarnya secara manusiawi kepada rakyatnya. Seperti pembukaan lapangan kerja, pelayanan kesehatan gratis, pendidikan gratis serta akses mendapatkan kebutuhan bahan bakar dengan mudah dan murah. Karena semua kebutuhan itu adalah termasuk kebutuhan dasar hidup manusia.
Ciri ketiga kesejahteraan adalah tercipta dan terjaminnya rasa aman serta tidak diselimuti rasa takut. Dalam hal ini Allah SWT berfirman yang artinya: ”dan mengamankan mereka dari ketakutan” (QS. Quraisy: 4). Rasa aman merupakan syarat mutlak terciptanya kesejahteraan selain terpenuhinya kebutuhan dasar fisik hidup manusia. Sebab, meskipun manusia sudah terpenuhi kebutuhan dasarnya namun masih dilingkupi rasa ketakutan maka pada hakikatnya mereka belum merasakan kebahagiaan dan kesejahteraan.
Perasaan aman dan bebas rasa takut meliputi aman dari segala macam bentuk kejahatan kriminal. Disini Negara dan pemimpin wajib menyediakan perangkat keamanan seperti polisi, sistem keamanan lingkungan, perangkat hukum yang berwibawa dan lain-lain. Sehingga mereka aman jika bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Dalam sebuah atsar disebutkan ”Jika Islam berkuasa maka orang akan aman berjalan malam dari Madinah ke San’a (Yaman)”
Perasaan aman juga meliputi aman dari rasa tekanan dan intimidasi serta ancaman. Meskipun fasilitas hidup telah terpenuhi namun masyarakat masih merasa dalam cengkraman rasa takut akibat tekanan, intimidasi dan ancaman, maka negara itu belum dikatakan sebagai negara sejahtera. Apalagi jika negara belum memberi fasilitas kebutuhan dasar hidup manusia dan rasa aman, maka negara itu masih jauh dari sejahtera.
Setiap warga negara mempunyai hak berpendapat dan pilihan hidupnya selama pendapat dan pilihan hidupnya tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang ada. Pada suatu hari, Umar bin Khattab berpidato di hadapan rakyatnya, belum lagi melanjutkan khutbahnya, tiba-tiba seseorang berdiri dan berkata dengan lantang, ”Wahai Amirul Mu’minin, jangan engkau lanjutkan pidatomu sebelum engkau jelaskan dari mana pakaianmu itu? Sebab setahu kami, setiap warga mendapat jatah 1 hasta kain, sedangkan engkau adalah orang dengan poster tubuh tinggi, tidak mungkin jatah kain satu hasta cukup untuk membuat baju seukuranmu”. Mendengar protes warganya, Umar bin Khattab tidak marah meskipun dia seorang Khalifah. Kemudian Umar berkata kepada anaknya yang bernama Abdullah, ”Wahai Abdullah anakku, jelaskanlah kepada mereka tentang jatah kain baju ini”. Kemudian Abdullah berkata, ”Sesungguhnya jatah kain bagianku aku berikan kepada ayahku, karena ayahku berposter tubuh lebih tinggi.” Mendengar jawaban putera Khalifah, orang yang protes tadi berkata, ”Sekarang engkau boleh melanjutkan pidatomu, wahai Amirul Mu’minin”.
Kondisi kebebasan berpendapat dan pilihan yang dicontohkan oleh Umar bin Khattab adalah model kesejahteraan, karena mereka mendapat hak berpendapat dan dilindungi oleh negara. Jika seorang pemimpin masih melakukan intimidasi, tekanan, ancaman serta warga dihinggapi rasa takut jabatannya dicopot, karirnya dihentikan serta ancaman lainnya, maka sebenarnya pemimpin itu sama sekali belum memberikan kesejahteraan hakiki kepada rakyatnya. Itulah yang dijelaskan dalam sura Quraisy ayat 3 dan 4. ##
Wallahu a’lam

Senin, 29 September 2008

Idul Fitri: Titik Menuju Harapan Baru

Sebulan lamanya umat Islam melaksanakan ibadah puasa. Suatu ibadah yang sarat dengan dimensi makna dan hikmah, mulai hikmah keimanan, kejujuran, sosial, kesehatan, kejiwaan, hingga hikmah ekonomis. Sungguh Maha Besar Allah yang telah menurunkan syariat dan aturan-Nya yang sempurna. Melalui puasa, umat islam di seluruh dunia telah ”ditraining” dengan massif, massal dan spektakuler. Sungguh kita sangat bersyukur memeluk agama fitrah ini. Agama yang ajarannya begitu lengkap dan detail, yang jelas dan terang bagai matahari di siang hari, yang sejuk dan lembut bagai rembulan purnama di malam hari. Tidak ada kata yang layak kita ucapkan di hari fitrah nan suci ini selain ungkapan keagungan Tuhan, ungkapan takbir yang disunnahkan Nabi saw tercinta ”Allahu Akbar, Allahu Akbar” (Allah Maha Besar- Allah Maha Besar!). Sebagaimana perintah Allah SWT dalam firman-Nya:
”Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS. Al-Baqarah: 185)
Selama Ramadhan, kita telah dilatih untuk berlaku jujur. Betapa tidak? Meskipun kita berada di suatu tempat yang tidak terlihat oleh anak, isteri, suami bahkan bos dan atasan kita, kita tetap berlaku jujur, kita tidak berani memasukkan makanan atau minuman ke dalam rongga mulut kita di siang hari. Mengapa hal itu terjadi? Karena kita meyakini bahwa Allah SWT melihat kita, Allah mengawasi kita, Allah bersama kita kemanapun kita berada. Betapa indahnya bila perasaan kebersamaan dengan Allah selalu kita bawa di setiap keadaan dan tempat; di kantor, di pasar, di toko, di kampus, di kendaraan dan dimanapun. Mungkin tidak akan kita temukan lagi orang berani curang, korupsi, manipulasi, menguragi timbangan dan takaran, menjual barang yang kadaluwarsa, melanggar lalu lintas meski polisi tidak berada di tempat, serta perbuatan-perbuatan tercela lainnya.
Suatu hari Umar bin Khattab berkeliling kampung mengamati kondisi negerinya, beliau bertemu dengan seorang budak yang sedang menggembala kambing yang banyak jumlahnya. Umar bertanya, ”Milik siapakah kambing-kambing ini?.” Si budak menjawab, ”Milik tuanku, tuan!” ”Berapa ekor jumlahnya?” tanya Umar. ”Sepanjang mata tuan memandang, itulah jumlah kambing tuan kami, tuan!” jawab sang budak. ”Bagaimana jika aku beli satu ekor kambing saja? Ini uangnya.” Rayu Umar seraya menguji keimanan sang budak. ”Maaf, tuan!, saya tidak diperkenankan menjual tanpa seidzin tuan saya.”. jawab sang budak. ”Lho, bukankah tuanmu tidak melihat? Dan lagi, kambing sebanyak ini, mana mungkin tuanmu tahu kalau satu ekor saja dijual?” kata Umar. ”Benar tuan, tuan saya tidak mengetahui, tetapi Allah Maha Mengetahui apa yang hamba lakukan.”. Jawab sang budak yang penggembala itu. Umar pun kagum akan kejujuran budak itu hingga beliau memerdekakan status kebudakannya karena keimanannya.
Alangkah indahnya jika sikap jujur dan amanah yang dimiliki budak tersebut, ada pada setiap kita; baik pejabat maupun rakyat, karyawan maupun atasan, guru maupun siswa, suami maupun isteri.
Dalam Ramadhan pun, kita dilatih untuk bisa mengendalikan hawa nafsu. Kita bahkan dilatih untuk tidak mengkonsumsi barang yang mubah di siang hari selama Ramadhan. Fungsi pengendalian nafsu ini amat penting lagi jika diterapkan di tengah kehidupan yang cenderung hedonistis, sikap konsumer serta matriarlistis. Kita sering mengkonsumsi barang yang tidak perlu, atau tidak seimbang dengan keuangan kita demi mengejar suatu prestise kemewahan. Kita juga sering termakan dengan prestise merek asing tertentu, padahal kualitasnya tidak lebih baik dari karya anak negeri sendiri. Semua demi hawa nafsu prestis. Dengan puasalah kita diajarkan mengendalikan keinginan-keinginan yang berdampak negatif.
Puasa Ramadhan pun mengajarkan kita hidup berdisiplin. Menurut Dr. Musthofa al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi-nya menyatakan, bahwa puasa dapat melahirkan pribadi muslim yang berdisiplin. Sebab, orang yang berpuasa tidak akan makan dan minum sebelum datang waktu berbuka yakni saat maghrib. Sikap disiplin dalam segala hal akan melahirkan keteraturan, bekerja dengan perencanaan, terprogram dan terukur.
Puasa Ramadhan juga melahirkan pribadi-pribadi yang peduli terhadap sesama. Rasa lapar dan dahaga yang kita rasakan sepanjang hari mengingatkan kita pada kondisi kaum dhuafa (lemah) yang tidak menentu hidup dan pemenuhan kebutuhannya. Hal ini akan melahirkan sikap sosial dan kepedulian kepada sesama. Rasulullah saw bersabda, ”Tidaklah beriman salah seorang di antaar kalian hingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri” (HR: Muslim)
Dan masih banyak lagi hikmah yang terkandung dalam ibadah puasa Ramadhan.
Jika semua hikmah itu dapat dicapai oleh setiap muslim yang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan itu, maka akan lahir manusia muslim yang jujur, amanah, profesinal, disiplin, mampu mengendalikan diri, peduli kepada sesama dan sikap rendah hati. Itulah yang disebut Allah SWT sebagai orang-orang yang bertaqwa ”La’allakum tattaqun”. Sebagaimana firman Allah SWT:
”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-baqarah: 183).
Jika suatu negeri telah diisi oleh orang-orang yang bertaqwa yang memilki sifat-sifat positif di atas, bukan tidak mungkin negeri itu akan dipenuhi keberkahan dari segala arah. Perhatikan firman dan janji Allah SWT berikut:
”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi” (QS. Al=A’raf: 96)
Idul Fitri berarti kembali kepada fitroh (kesucian). Itulah ciri orang-orang yang bertaqwa, yang menjauhkan diri dari segala sifat-sifat tamak dan serakah, serta kembali kepada sifat kemanusiaannya yang mencintai keharmonisan, kedamaian, keteraturan dan kebaikan. Idul ftri berarti juga kembali kepada nol (zero) sebagai titik awal melangkah ke masa depan dalam menata kehidupan yang lebih cerah. Dengan pola tazkiyah (penyucian) jiwa-lah masyarakat Jahiliyah berubah menjadi masyarakat yang berperdaban dan berilmu pengetahuan. Firman Allah SWT:
”Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS. Al-Jumu’ah: 2).
Dalam ayat lain dijelaskan bahwa hanya orang yang berusaha mensucikan dirilah yang akan sukses, yakni orang yang senantiasa mengingat nama Allah dan melaksanakan shalat. Sebab merekalah yang mendudukkan diri sebagai hamba Allah yang harus mengabdi sesuai dengan aturan dan pedoman Tuhannya. Firman Allah SWT:
”Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang” (QS. Al-A’la: 14-15)
Marilah kita jadikan moment idul fitri ini sebagai titik awal menuju masa depan yang cerah. Kita yakin bahwa baik-buruk masa depan kita ditentukan oleh kita seberapa kuat kemauan kita untuk menjadi manusia-manusia dengan sifat-sifat kemanusiaannya yang cenderung cinta kebaikan. Allah SWT berfirman:
”Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Al-Ra’d: 11)
Selamat Raya Idul Fitri, selamat kembali kepada fitrah nan suci, minal ’aidin wal faizin, mohon maaf lahir batin. Semoga seluruh amal kita diterima Allah SWT. Amin ya Rabbal Alamin.

Sabtu, 20 September 2008

Menjelang Garis Finish Ramadhan

“Dan agar kamu menyempurnakan bilangan (puasa) dan membesarkan (asma) Allah atas apa yang Allah beri petunnjuk kepadamu, dan agar kamu bersyukur ”
(QS.Al-Baqarah; 186)

Tidak terasa waktu bergulir cepat. Ramadhan kini sudah berada di penghujungnya. Beberapa hari lagi Ramadhan yang agung akan meninggalkan kita. Bagi umat Islam yang beriman tentu terasa pedih dan sedih akan ditinggal Ramadhan yang suci. Betapa tidak, di bulan Ramadhan ini terasa indahnya beribadah, sejuknya suasana, dan bertambahnya imaniyah. Suasana ini tentu saja hanya dirasakan oleh orang-orang yang berburu karunia dan ampunan Allah. Tidak semua orang dapat merasakan kenikmatan tersebut. Jika saja semua orang tahu keagungan dan keindahan Ramadhan, pastilah mereka menginginkan sepanjang tahun itu Ramadhan. Rasulullah saw bersabda, “Andaikata umat-ku mengetahui apa yang terdapat dalam bulan Ramadhan, pastilah mereka berangan-angan agar sepanjang tahun itu Ramadhan.”
Ibarat tamu agung dan dermawan yang memberi segala apapun kepada mereka yang memohonnya, tentu saja kita sebagai “tuan rumah” yang dikunjungi tamu agung dan dermawan itu tidak akan menyia-nyiakan hari-hari terakhir sebelum tamu itu berpamitan. Apalagi tamu itu agung, dermawan, dan baik lagi. Tentu saja kita akan gunakan waktu yang sempit ini dengan banyak memohon kepada Allah. Apalagi Rasulullah saw telah mencontohkan, ketika sepuluh terakhir Ramadhan datang, beliau mulai mengikat erat-erat ikat kain (pinggang) sebagai suatu kiasan bahwa beliau melipat gandakan amal ibadah. Beliau melakukan ibadah i’tikaf dan seratus presen berkonsentrasi pada ibadah mahdhoh (murni).
Mengapa demikian? Karena hari-hari ini merupakan hari penentuan, apakah kita termasuk minal a’idin wal faizin (orang yang kembali pada kesucian dan beruntung/juara) atau tidak? Memang, kalau diibaratkan dengan suatu kompetisi pertandingan, semakin masuk pada babak akhir, semakin gencar persiapan agar dalam kompetisi tersebut menjadi juara/faizin. Para pelari atau pembalap yang semakin dekat ke garis finish, maka ia akan semakin mempercepat dan melipatgandakan kecepatannya agar sampai ke garis finish sebagai juara.
Demikian juga seharusnya kita. Semakin dekat pada garis finish/akhir Ramadhan, maka seyogyanya kita melipatgandakan amal ibadah kita. Apalagi Nabi saw melalui hadits-haditsnya, dan para ulama melalui pengalaman amaliyahnya banyak menyebutkan, bahwa “tropy dan piala” Lailatul Qodar terdapat pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Siapakah yang dapat meraihnya? Tentu hanya mereka yang dapat menghidupkan malam-malam sepuluh terakhir Ramadhan saja.
Apakah “tropy” lailatul Qodar itu? Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami menurunkan al-qur’an pada malam Lailatul Qodar. Tahukah kamu apakah Lailatul Qodar itu? Lailatul Qodar adalah (malam) yang lebih baik daripada (beribadah) seribu bulan. (Malam itu) para malaikat beserta Jibril (ruh) turun ke bumi dengan idzin dan perintah dari Tuhannya. (Malam itu penuh) kedamaian hingga terbit fajar.” (QS. Al-Qodr: 1-5)
Para ulama berbeda pendapat tentang waktu datangnya malam ‘lailatul qodar’ itu. Sebagian ulama berpendapat, ia datang pada suatu malam di bulan Ramadhan. Sebagian lagi berpendapat, ia datang pada salah satu malam ganjil Ramadhan. Ada pula yang berpendapat, ia datang pada salah satu malam di sepuluh malam terakhir Ramadhan. Sebagian lagi berpendapat, ia datang pada malam ganjil di 10 terakhir bulan Ramadhan. Ada pula yang berpendapat, ia datang pada malam ke duapuluh tujuh Ramadhan.
Ketidakpastian waktu datangnya lailatul qodar itu karena memang ia merupakan rahasia Allah. Dan hikmah dirahasiakannya adalah agar kita tetap menghidupkan seluruh malam-malam Ramadhan. Akan tetapi, dari apa yang dilakukan dan diamalkan Rasulullah saw, beliau lebih konsentrasi lagi pada sepuluh terakhir Ramadhan, yakni dengan melakukan i’tikaf di masjid.
Oleh karena itu, kita sebagai umatnya, maka setidaknya kita mengikuti apa yang dicontohkan Rasulullah saw.
Bila saja walikota atau bupati megeluarkan suatu pernyataan atau SK yang berbunyi seperti ini, “Bagi siapa saja dari warga yang berdiam di masjid raya/pendopo selama sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, maka akan saya beri masing-masing uang sebesar 2 juta rupiah”. Bila saja itu terjadi, pasti semua warga berbondong-bondong berdiam di masjid raya/pendopo selama waktu yang ditetapkan itu. Uang senilai 2 juta rupiah barangkali tidak akan habis dipakai selama seminggu, apalagi saat mendekati idul fitri/lebaran seperti ini. Namun demikian, bila pernyataan dan SK itu benar-benar ada pasti semua warga berbondong-bondong ke mesjid.
Namun anehnya, mengapa bila Allah dan Rasul-Nya menjanjikan pahala besar pada i’tikaf di sepuluh terakhir Ramadhan itu, umat tidak berbondong-bondong beri’tikaf? Bukankah Allah telah menjanjikan pahala seperti beribadah selama 1000 bulan atau setara 83 tahun? Kalau uang 2 juta rupiah diatas hanya habis dalam waktu seminggu, namun pahala Allah tidak akan habis selama 83 tahun bahkan lebih (Khoirun min alfi syahrin).
Fenomena ini tentu kembali kepada sedalam apa keimanan umat. Bagi umat yang percaya dan kuat imannya, maka titah Allah dan Rasulnya lebih dia percayai dan dahulukan, daripada titah pejabat atau manusia lainnya. Ketika orang kafir bertanya kepada Abu Bakar tentang peristiwa Isra Mi’raj yang menurut mereka tidak masuk akal, Abu Bakar malah berkata, “Jika hal itu yang berkata adalah Muhammad, maka lebih dahsyat dari peristiwa itu pun aku pasti percaya dan membenarkannya”. Sehingga Abu Bakar dijuluki gelar “Ash-shiddiq” (orang yang membenarkan).
Ramadhan akan berakhir meninggalkan kita, karenanya mari sama-sama kita gunakan sisa waktu yang ada dengan melipatgandakan amal sebelum tamu agung Ramadhan itu berpamitan.
Menjelang garis finish Ramadhan, mari kita lipatgandakan ibadah, sehingga kita benar-benar melewati garis finish menjadi faizin (juara). ##
Muhammad Jamhuri

Senin, 15 September 2008

Nuzulul Qur’an

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil )”
(QS: al-Baqarah: 185)

Ayat di atas menjelaskan dengan tegas bahwa bahwa al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT di bulan yang agung, yakni Ramadhan. Bulan Ramadhan yang merupakan bulan agung menjadi tambah keagungannya dengan dipilihnya sebagai waktu turunnya al-Quran. Dalam ayat lain dijelaskan pula bahwa al-Quran diturunkan pada malam kemuliaan (lailatul qodar). Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan” (QS.al-Qodar: 1). Malam kemuliaan adalah malam yang penuh berkah atau malam yang diberkati Allah SWT. Hal ini ditegaskan lagi oleh Allah SWT dengan firmanNya yang artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi[ dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan” (QS. Al-Dukhon: 2)
Ada dua model turunnya al-Qur’an: Pertama, al-Qur’an turun secara sekaligus berjumlah 30 juz dan 114 surat, yang Allah turunkan dari Lauhil Mahfudz ke langit dunia. Redaksi al-Qur’am saat menjelaskan turunnya al-Qur’an secara sekaligus itu menggunakan lafadz “anzala” dan sejenisnya. Sebagai contoh ayat-ayat yang disebutkan di atas adalah model turunnya al-Quran secara sekaligus.
Kedua, al-Qur’an diturunkan secara bertahap, dari langit dunia ke bumi. Dalam hal menerangkan turunnya al-Quran menurut model ini, al-Qur’an menggunakan redaksi “nazzala” dan sejenisnya. Seperti firman Allah SWT yang artinya, “Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS.Al-Isra: 82). Juga firman Allah SWT yang artinya: “Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al-Furqon: 32). Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah: Al Quran itu tidak diturunkan sekaligus, tetapi diturunkan secara berangsur-angsur agar dengan cara demikian hati nabi Muhammad s.a.w menjadi kuat dan tetap, serta kuat hafalannya.
Pada tahap turunnya al-Quran secara berangsur atau bertahap, maka ada ayat yang turun di bulan Ramadhan, ada pula ayat yang turun di bulan Syawal, Dzulhijjah dan bulan-bulan lainnya, sesuai dengan peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat tersebut. Itulah yang disebut dengan dengan asbabun nuzul (sebab turunnya ayat).
Meskipun pada tahapan turunnya ayat al-quran secara berangsur terjadi pada berbagai bulan, namun ayat dan wahyu pertama yang diturunkan ke bumi, yakni surat al-Alaq ayat 1-5, adalah ayat yang diturunkan pada malam bulan Ramadhan, tepatnya pada malam ke 17 bulan Ramadhan. Demikian menurut pendapat sebagian ulama
Jika mengamati ayat-ayat di atas, maka jelas bagi kita bahwa ada hubungan dan korelasi antara turunnya al-Qur’an dengan bulan Ramadhan. Oleh sebab itu Ramadhan sering pula dijuluki sebagai “Syahrul Qur’an” (bulan al-Qur’an). Selain karena al-Qur’an turun pada bulan Ramadhan, Nabi saw pun banyak mengulang bacaan al-Qur’an (tasmi’) di hadapan malaikat Jibril di bulan Ramadhan. Oleh sebab itu, banyak umat Islam memperbanyak baca al-Quran pun di bulan Ramadhan. Bahkan tidak sedikit para sahabat mengkahatamkan al-Qur’an dalam sehari sebanyak tiga kali khatam, ada pula yang sehari sekali khatam, ada pula yang khatam dalam waktu tiga hari.
Al-Qur’an berfungsi sebagai hudan (petunjuk), bayyinat (penjelas) dan furqon (pembeda antara kebenaran dan kebatilan). Tiga fungsi ini tidak akan berdaya apa-apa jika umat Islam tidak kembali mempelajarinya, memahaminya dan mengamalkannya. Betapa masih banyak umat Islam tidak mengerti akan ajaran Islam itu sendiri. Betapa masih banyak umat Islam yang tidak menggunakan al-Quran sebagai petunjuk dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam skala individu, masyarakat maupun Negara. Betapa banyak umat islam masih bingung untuk membedakan antara hak dan batil, antara kebenaran dan kebatilan akibat serangan media yang bertubi-tubi dalam memberikan fakta dan informasi yang bias. Oleh sebab itu tidak ada kata lain agar al-Quran dapat berfungsi sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Baqarah ayat 185 kecuali umat Islam harus mempelajari dan mengamalkan isi ajaran al-Qur’an.
Dewasa ini, masih banyak umat Islam yang memperlakukan al-Quran pada tataran kulitnya saja. Mereka menggunakan al-Quran hanya dalam acara-acara ceremonial saja, seperti pada peringatan hari-hari besar Islam, saat selamatan kematian sanak saudara serta saat pernikahan. Dalam acara pernikahan bahkan al-Qur’an dijadikan sebagai mas kawin atau mahar bagi calon pengantin. Setelah mereka menikah dan memiliki banyak anak, terkadang al-quran sudah tidak disentuh lagi, diletakkan di lemari hingga berdebu-debu. Padahal seharusnya ia dibaca setiap hari. Sebab, setiap kali Allah SWT menyebut kata “membaca” selalu menggunakan redaksi fiil mudhore (present continius tense) yakni “yatluu aayatiihi” (membaca ayat-ayatNya). Penggunaan kata kerja present continius tense mengisyaratkan bahwa al-qur’an hendaknya dibaca secara kontinyu dan terus menerus, setidaknya ia dibaca setiap hari.
Seorang pengamat mengatakan, “Umat Islam dapat maju jika dia berpegang teguh dan mengamalkan Kitabnya, sementara umat lain dapat maju dengan meninggalkan kitabnya (sekulerisme)”. Jika analisa pengamat itu benar, maka tidak ada kata lain agar umat Islam maju selain kembali kepada al-Qur’an, yakni dengan cara mempelajari, memahami dan mengamalkannya.##

Jumat, 12 September 2008

Ramadhan dan Pemanfaatan Waktu

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, yakni beberapa hari yang telah ditentukan”. (Al-Baqarah: 183-184)

Ibadah, dalam Islam, telah ditentukan waktu-waktunya. Ditentukannya waktu-waktu ini mengajarkan kepada kita agar memiliki sifat disiplin dalam hidup. Bekerja dan beribadah sesuai dengan waktunya. Sehingga target-target kerja dapat terealisir sesuai waktunya.
Dalam shalat, kita diperintahkan untuk memperhatikan waktu-waktunya. Perputaran matahari dari pagi hingga malam menjadi perhatian kita dalam melaksanakan ibadah shalat.
Dalam zakat, kita juga diperintahkan memperhatikan waktu dan nishab harta yang kita miliki. Haul adalah ukuran waktu setahun harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Demikian juga zakat fitrah; kewajiban mengeluarkannya dimulai sejak malam idul Fitri hingga sebelum selesainya sholat id. Sebagian ulama memperbolehkan mempercepat pembayaran zakat fitrah sebelum malam id untuk mempermudah pendistribusian kepada mustahiq dengan tepat.
Dalam ibadah puasa, Allah telah menentukan waktu berpuasa, yakni selama sebulan Ramadhan penuh. Kecuali bagi mereka yang udzur atau karena sakit dan bepergian. Maka boleh ditunda (qodho) pada hari-hari lain sebanyak hari yang ditinggalkannya.
Dalam ibadah haji, Allah pun menentukan bulan-bulan tertentu sebagai waktu musim haji, yakni pada bulan Syawal, Dzulqo’dah dan Dzulhijjah. Tidak boleh seseorang melaksanakannnya di bulan Muharram misalnya. Selain itu tempat untuk melaksanakan ibadah haji juga telah ditentukan; yakni di Tanah Suci Makkah al-Mukarramah dan padang Arafah. Tidak boleh melaksanakan ibadah haji di tempat lain seperti Lahore, Qodhiyan, Jakarta atau kota lainnya.
Penentuan waktu-waktu dalam ibadah ini disebabkan karena hidup manusia juga terikat dengan waktu. Waktu adalah hidup. Sebagaimana firman Allah SWT, “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah ia adalah waktu-waktu yang disediakan bagi manusia dan ibadah haji”.
Manusia diibaratkan seperti bulan. Pada saat awal bulan, bulan tampak kecil. Kemudian ia membesar pada saat purnama. Dan akhirnya lama kelamaan bulan pun mengecil kembali hingga tidak tampak lagi. Demikian juga manusia. Dahulu kita belum terlahir di dunia, lalu lahir dalam keadaan bayi yang kecil dan lemah. Lalu besar menjadi dewasa dengan segala kekuatannya, setelah itu kita akan memasuki usia tua dengan melemahnya segala tenaga, gigi, rambut serta anggota tubuh lainnya. Dan pada saat ajal tiba, kita pun tidak berada lagi di dunia. Selesailah peran kita di dunia. Tinggal menunggu keputusan Allah, apakah kita akan disiksa atau dimasukkan dalam surga.
Umat Nabi Muhammad seperti kita ini adalah umat yang diberi jatah usia lebih pendek dibanding jatah usia yang diberikan kepada umat Nabi-nabi sebelumnya. Nabi Nuh AS saja berusia 900 tahunan, demikian juga nabi-nabi lainnya. Sedangkan Nabi Muhammad meninggal dunia dalam usia 63 tahun.
Namun berkat rahmat dan karunia Allah kepada Nabi Muhammad saw dan umatnya, Allah menyediakan pahala ibadah berlipat ganda jika dilakukan pada waktu, tempat dan kondisi tertentu. Seperti halnya ibadah puasa dan i’tikaf. Dalam bulan Ramadhan Allah memberi ganjaran setingkat pahala wajib atas amalan sunnah. Allah juga melipat gandakan pahala atas amalan wajib.
Dalam malam Lailatul Qodar, Allah memberi pahala bagi orang yang beribadah pada malam itu senilai ibadah selama 1000 bulan (kurang lebih 83 tahun). Sebagaimana firman Allah SWT, “Lailatul Qodar itu lebih baik dari (ibadah) seribu bulan” (QS; Al-Qodar:3).
Untuk tempat, Allah telah memberi 100.000 kali lipat pahala bagi orang sholat di Masjidil Haram, 10.000 kali lipat di Masjid Nabawi dan 1000 kali lipat di Masjidil aqsha, dibanding sholat di masjid-masjid lain.
Untuk kondisi, Allah akan memberi pahala 27 kali lipat bagi mereka yang melaksanakan sholat dalam kondisi berjamaah, dibanding sholat sendirian (infirodi).
Oleh karena itu, alangkah meruginya kita bila tidak memanfaatkan dengan sebaik-baiknya kesempatan waktu, tempat dan kondisi yang Allah lipatgandakan pahalanya itu.
Mungkin tidak semua dari kita mempunyai kesempatan untuk pergi ke Makkah, Madinah dan Masjidil Aqsha. Namun ada waktu-waktu tertentu yang Allah berikan untuk mendapat ibadah yang pahalanya berlipat ganda. Salah satunya adalah ibadah di bulan Ramadhan. Demikian juga qiyamullail pada malam Lailatul Qodar yang biasanya ada di sepuluh terakhir bulan Ramadhan.
Demikian juga sholat berjamaah yang pahalanya 27 kali lipat dibanding dengan pahala sholat sendirian. Kesempatan-kesempatan itu Allah berikan kepada kita yang memang jatah usia kita tidak sepanjang umat-umat sebelum Nabi Muhammad saw.
Oleh karena itu, kesempatan Ramadhan kali ini tidak boleh kita sia-siakan. Karena boleh jadi Ramadhan kali ini adalah Ramadhan terakhir dalam hidup kita. Boleh jadi kita tidak akan bertemu Ramadhan tahun depan. Sementara ‘tabungan’ pahala kita baru sedikit dibanding dosa yang kita lakukan di dunia. Lalu, apa yang kita siapkan saat kita dibangkitkan dalam kubur nanti untuk menjawab segala pertanyaan malaikat yang Allah utus? Jawaban apa yang kita siapkan untuk menjawab pengadilan Allah di hari kiamat nanti? Bekal pahala apa yang kita siapkan saat menghadap Allah?
Allah telah memberi jamuanNya kepada kita di Ramadhan yang mulia ini. Sambutlah jamuanNya dengan suka cita dengan meningkatkan amal ibadah. ###

Rabu, 03 September 2008

Tak Ada AlasanTak Berpuasa

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa
(QS. Al-Baqarah: 183)

Tidak sedikit di antara umat Islam yang tidak melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Padahal pahalanya begitu besar yang Allah sediakan buat kaum muslimin yang berpuasa. Datangnya bulan Ramadhan seakan tidak membawa nuansa tertentu pada dirinya. Bahkan datangnya bulan Ramadhan - untuk sebagian orang - dianggap sebagai moment yang mempersempit hidupnya, karena tidak bisa makan dan minum secara terbuka, atau bahkan membuat diri merasa lemas sehingga mengganggu aktivitas sehari-harinya.
Oleh karena itu, dalam ayat di atas, Allah hanya memanggil orang-orang yang beriman, yang meyakini bahwa ia akan mengalami pertemuan dengan Allah. Mereka-lah yang Allah wajibkan untuk berpuasa. Hanya orang yang beriman kepada Allah lah yang sanggup melaksanakan ibadah puasa. Makna iman disini tentu saja bukan sekedar percaya, tapi lebih dari itu adalah suatu ketaatan totalitas kepada sang Khaliq.
Oleh karena itu, ibadah puasa Ramadhan berpatokan pada penanggalan bulan (qomariyah), yang terkadang puasa jatuh pada bulan Desember (musim dingin), dan terkadang jatuh pada bulan Juli (musim panas). Hal itu memberikan pesan kepada kita semua bahwa umat Islam dalam kondisi apapun harus siap taat memenuhi seruan Allah SWT, baik musim dingin atau musim panas. Untuk kita yang tinggal di Indonesia dengan cuaca tropis namum lembab, mungkin panas dan dinginnya masih dalam kondisi sedang dan wajar. Namun, di beberapa belahan negara lain, musim panas suhunya bisa mencapai 50 derajat celcius, dan musim dingin bisa mencapai dibawah nol derajat celcius.
Oleh karena itu, jika kita kaum muslimin di Indonesia tidak mau berpuasa di bulan Ramadhan hanya karena alasan musim dingin yang membuat tubuh cepat lapar, atau karena alasan musim panas yang menyebabkan tubuh kekurangan air dan cepat merasa haus, maka alasan itu adalah alasan yang tidak logis. Kenyataannya, kaum muslimin di Timur Tengah dengan kondisi tanahnya yang tandus dan dengan terik matahari yang sangat tinggi, mereka tetap berpuasa. Demikian juga kaum muslimin yang tinggal di Negara-Negara Eropa dan Amerika yang mengalami suhu dingin, toh mereka masih melaksanakan ibadah puasa hingga selesai.
Mungkin sebagian mereka yang enggan melaksanakan ibadah puasa mempunyai banyak alasan untuk tidak berpuasa. Namun Allah SWT telah menepis alasan-alasan tertentu selain alasan sakit dan perjalanan (safar) serta uzur. Sebab –menurut firman Allah– kewajiban puasa bukan hanya dikenakan kepada umat Nabi Muhammad saw saja seperti kita, namun kewajiban puasa itu juga dikenanakan dan diberlakukan kepada umat-umat sebelum umat Nabi Muhammad saw “Kamaa Kutiba ‘alalladzina min qoblikum” (Sebagaimana diwajibkan atas umat-umat sebelum kamu). Padahal umat-umat terdahulu berusia panjang-panjang, ada yang usianya bahkan mencapai 900 tahun dan 1000 tahun. Jika masa akil baligh mereka jatuh pada usia 17 tahun saja, maka mereka mengalami puasa spanjang hidupnya selama 983 tahun. Bukankah mereka lebih lama dan lebih lelah menjalani ibadah puasa dibanding dengan kita? Sedangkan salah satu kelebihan dan keutamaan yang diberikan umat Nabi Muhammad adalah dilipatgandakannya pahala ibadah meskipun diberi jatah usia tidak panjang (sekitar 60 hingga 90 tahun).
Coba kita tanyakan kepada kakek atau orang tua kita yang sudah berusia lanjut. Tanyakan tentang perasaan kondisi waktu yang dilewati antara zaman dahulu dengan zaman sekarang. Salah seorang ibu yang berusia 80 tahun pernah bercerita, “Waktu-waktu yang kami jalani di zaman sekarang ini berlalu begitu cepat, berbeda dengan waktu yang kami jalani saat kami muda. Dahulu saat kami muda, setelah bangun tidur, lalu shalat subuh, memasak makanan, mempersiapkan sarapan, memandikan anak, membersihkan rumah dan berbenah, mencuci pakaian, lalu sarapan. Ternyata hal itu semua dilakukan tidak sampai melewati jam 07.00 pagi. Sekarang, zaman sekarang ini, jika kami melakukan hal yang sama, lalu setelah selesai mengerjakan pekerjaan tersebut, maka jam sudah menunjukkan pukul 09.00 pagi”.
Cerita ibu tua itu menggambarkan bahwa hari-hari yang dilewatinya di zaman terasa begitu cepat berjalan, terlalu cepat berlalu. Sementara hari-hari yang dilewatinya zaman dahulu begitu lambat berjalan. Fenomena ini menunjukkan bahwa puasa yang kita alamai di zaman sekarang ini sebenarnya tidak begitu terasa kita lewati dilihat dari segi waktu. Sedangkan orang-orang dahulu, waktu-waktu puasa menuju berbuka puasa berjalan begitu lamban dan terasa lama.
Dengan demikian jika ada orang muslim sekarang yang enggan melaksanakan ibadah puasa karena alasan merasa berat, sebenarnya alasan itu tidak logis. Sebab jika kita melaksanakan puasa dengan kondisi waktu yang berjalan terasa cepat seperti di zaman sekarang ini, maka masa puasa pun akan terasa cepat berlalu.
Oleh karena itu, sebenarnya, bukan karana lemas atau tidak mampu yang menjadi alasan orang tidak berpuasa, tapi karena keimanannya yang masih harus diperbaiki. Karena kurang keyakinan terhadap kekuatan yang Allah berikan kepada kita jika beribadah serius kepadaNya. Oleh karena itu, yang dipanggil untuk berpuasa dalam ayat di atas adalah orang-orang beriman (Yaa ayyuhal ldazina Aamanuu) “HAi orang-orang yang beriman”. Kemudian diajaknya orang beriman untuk berpuasa agar mereka menjadi orang bertaqwa (la’allakum tattaqun). Disini berarti derajat taqwa lebih tinggi dari iman. Dan untuk meraih taqwa adalah dengan puasa yang dilakukan orang beriman.
Jika derajat taqwa dapat diraih dengan puasa, lalu puasa hanya bisa dilakukan orang beriman. Bagaimana hal nya dengan orang yang tidak mau berpuasa? Bukankah puasa hanya bisa dilakukan orang beriman?Jangankan derajat taqwa, derajat iman hakiki saja masih belum.
Karena itu marilah berpuasa, karena dengan puasa menunjukkan bahwa kita beriman. Lalu kita tingkatkan ke derajat taqwa dengan ibadah puasa.##

Selasa, 02 September 2008

Mari Sambut Ramadhan

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (QS. Al-Baqarah: 183)

Ramadhan telah diambang pintu, ada baiknya kita mempersiapkan diri dari sekarang, .
Ada beberapa hal yang harus kita persiapkan agar kita mampu untuk mengisi bulan yang penuh berkah ini dengan kegiatan yang dapat menambah bobot umur kita ketika kita menghadap Allah SWT.? Kenapa kita melakukan persiapan ini ?
Setiap Waktu-waktu yang kita lewati masing-masing mempunyai kelebihan dan keutamaan yang berbeda, maka kita harus bisa memperlakukannya secara proposional dan cerdas. Termasuk dalam menyiapkan kedatangan bulan suci Ramadan yang banyak mempunyai keutamaan.
Karena Ramadan adalah bulan diwajibkannya puasa, dianjurkan memperbanyak amalan sunnah, dianjurkannya memperbanyak memberikan santunan, serta memperbanyak membaca Al-Quran. Disamping itu bulan Ramadhan adalah bulan pengendalian diri dari syahwat perut, dari hawa nafsu serta pengendalian anggota tubuh dari hal-hal yang dapat mengurangi nilai puasa.
Secara pribadi kita harus mempersiapkan kedatangan bulan ini secara optimal, karena persiapan ini akan mempengaruhi baik tidaknya kita mengisi amaliah ramadhan. Diantara persiapan pribadi yang harus kita lakukan adalah sbb:
Persiapan Secara Ruhi
Ini adalah persiapan yang paling utama karena kekuatan ruh inilah yang akan menjadi motor penggerak segala bentuk ibadah kita sebelum, ketika dan pasca Ramadhan. Maka itu apabila kita membaca sirah Rasululllah SAW, betapa persiapan beliau dari sisi ini sangat luar biasa, yaitu dengan melaksanakan puasa sya'ban. Hal tersebut beliau lakukan dalam rangka mempersiapkan dan menyongsong kedatangan bulan Ramadhan. Disamping itu kita dianjurkan untuk banyak istighfar dan memohon serta memberi maaf agar kedatangan bulan suci kita sambut dengan hati bersih dari segala bentuk dosa dan perselisihan, rasa dengki dan penyakit-penyakit hati yang lainnya.
Dan hal lain yang harus dilakukan dalam persiapan ruhi adalah banyak berdoa kepada Allah agar Dia menyampaikan kita kepada bulan Ramadhan. Ma'la ibn Fadl berkata "Para salafus shaleh berdoa selama 6 bulan agar mereka disampaikan hingga bulan ramadhan dan kemudian berdoa(pasca Ramadhan-pent) selama 6 bulan agar ibadah mereka diterima".
Yahya Ibn Katsir berkata "Diantara doa yang dibaca oleh para salaf adalah Ya Allah selamatkan aku hingga bulan ramadhan dan karuniakan aku ramadhan dan terimalah ibadah-ibadahku pada bulan ramadhan"
Persiapan Secara Fikri
Ramadhan adalah bulan didalamnya diwajibkan bagi kita untuk beribadah puasa yang mana dalam setiap ibadah kita harus mengerti ilmunya agar ibadah yang kita lakukan dapat sesuai dengan aturan yang telah ditentukan oleh Allah dan dicontohkan oleh Rasul-Nya. Maka persiapan ini pun tidak kalah pentingnya, untuk itu kita harus kembali membaca dan menelaah buku-buku yang berbicara tentang puasa agar kita dapat mengetahui syarat dan rukun puasa serta hal-hal yang dapat membatalkan serta menghilang nilai puasa.Disamping itu dengan cara mengirim ucapan "Tahniah"(Selamat) kepada saudara atau teman dalam rangka memberikan image dan kabar gembira dengan akan datangnya bulan yang mulia ini.
Hal tersebut telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabd "Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah yang telah didalamnya diwajibkan bagi kalian berpuasa, disitu Allah membuka pintu-pintu syurga dan menutup pintu-pintu neraka serta para syaitan diikat, didalamnya ada sebuah malam yan lebih mulia dari seribu malam barang siapa yang diharam/dihalangi untuk mendapatkan kebaikan malam itu sesungguhnya ia telah diharamkan dari segala kebaikan" (HR.Nasai dan Baihaqi ).
Imam Ibnu Rajab Al-Hambali ketika mengomentari hadits ini berkata " Hadits ini merupakan landasan agar kaum muslimin saling memberikan selamat dengan datangnya bulan Ramadhan".
Persiapan Secara Jasadi
Badan kita adalah salah satu komponen yang penting yang juga harus kita persiapkan dalam menyongsong bulan ramadhan, karena tanpa badan yang sehat kita tidak akan mampu melaksanakan kegiatan termasuk dalam masalah ibadah puasa, dalam hal ini Rasul SAW bersabda "Seorang mu'min yang kuat lebih baik dan lebih dicintai dari mu'min dhaif dan didalam kedua ada kebaikan". Dari hadits ini rasul mendorong kita untuk menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh karena ini sangat dicintai oelh Allah, sebab ini merupakan salah satu modal penting dalam melaksanakan segala perintah Allah dan Rasul-NYA. Maka cara yang paling tepat adalah dengan cara mengadakan latihan puasa sunnah menjelang datangnya bulan ramadhan, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasul SAW.
Persiapan Secara Materi
Dari Abi Hurairah ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda "Rasulullah SAW bersumpah tidak ada bulan yang paling baik bagi orang beriman kecuali bulan Ramadhan, dan tidak ada bulan yang paling buruk bagi orang munafik kecuali bulan Ramadhan, dikarenakan pada bulan itu orang beriman telah menyiapkan diri untuk berkonsentrasi dalam beribadah dan sebaliknya orang munafik sudah bersiap diri untuk menggoda dan melalaikan orang beriman dari beribadah" (HR.Imam Ahmad). Sabda Rasul SAW yang berbunyi " dikarenakan orang beriman telah menyiapkan diri untk berkonsentrasi dalam beribadah" diterangkan oleh para ulama sebagai berikut "Hal itu dikarenakan orang beriman telah menyiapkan diri dari sisi materi untuk memberikan nafkah kepada keluarganya karena mereka ingin konsentrasi beribadah, sebab memperbanyak Qiyam lail menyebakan mereka harus banyak tidur diwaktu siang dan memperbanyak I'tikaf menyebabkan mereka tidak bisa untuk beraktifitas diluar masjid, hal ini semua menyebabkan mereka tidak bisa untuk melakukan aktifitas mencari ma'isyah, maka itu mereka mempersiapkan diri jauh-jauh hari sebelum datang bulan Ramadhan agar mereka dapat konsern dalam beribadah serta mendapatkan keutamaan bulan yang mulia ini". ##

Senin, 11 Agustus 2008

Proklamasi Bulan Ramadhan

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)” (QS.Al-Baqarah: 185)

Hari-hari ini, hampir seluruh bangsa Indonesia merayakan dan memperingati hari kemerdekaannya. Namun tidak sedikit bangsa Indonesia –terutama umat Islam– yang mengetahui bahwa hari kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945 itu bertepatan dengan hari Jum’at tanggal 9 Ramadhan.
Hari Jum’at di mata umat Islam adalah penghulu hari-hari. Sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Sesungguhnya hari Jum’at adalah sayyidul Ayyam (penghulu hari-hari). Sedangkan bulan Ramadhan adalah bulan suci, bulan yang diturunkannya wahyu pertama kepada Nabi saw sebagaimana bunyi ayat yang tercantum di atas.
Dalam catatan sejarah, banyak peristiwa kemenangan terjadi pada bulan Ramadhan. Sebut saja perang Badr yang merupakan perang pertama dalam sejarah umat Islam. Perang yang terjadi pada tahun 2 Hijrah itu benar-benar merupakan “Perang Eksistensi”. Sebab jika umat Islam kalah pada saat itu, maka selesailah kelanjutan sejarahnya. Perang dengan jumlah pasukan muslimin yang lebih kecil sebanyak 313 pasukan melawan pasukan kaum musyrikin sebanyak 1000 pasukan, justru kemenangan diraih pihak kaum muslimin. Padahal dilihat dari segi jumlah pasukan, perlengkapan dan pengalaman yang dimiliki kaum muslimin jauh berbeda dengan yang dimiliki kaum musyrikin. Tentu saja kemenangan itu berkat bantuan Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “(ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: "Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut" (QS. Al-Anfal: 9).
Mustahil rasanya kaum muslimin mendapat kemenangan saat itu jika melihat minimnya pasukan dan perlengkapan serta pengalaman yang dimiliki kaum muslimin.
Demikian juga dengan umat Islam di Indonesia kala itu. Jika kita melihat minimnya persenjataan yang kita miliki dalam meraih kemerdekaan Indonesia dari penjajahan bangsa Belanda, agaknya mustahil kita akan meraih kemenangan dan kemerdekaan. Bayangkan saja, senjata bambu runcing melawan tank-tank yang besar? Namun karena kegigihan, semangat dan keikhlasan bangsa ini untuk merdeka, maka Allah SWT menanamkan rasa takut di hati kaum penjajah. Sama halnya Allah memberi rasa ketakutan di hati kaum Quraisy saat perang Badr. Allah SWT berfirman: “(ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, Maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang Telah beriman". kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, Maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.” (QS. Al-Anfal: 12)
Tidak aneh jika Allah SWT memberi kemenagan dan kemerdekaan kepada bangsa ini. Sehingga tidak berlebihan jika dalam pembukaan UUD 1945 tertulis: “Dengan rahmat Allah SWT bangsa Indonesia telah sampai kepada pintu gerbang kemerdekaan”. Sebab, tanpa rahmat Allah SWT, rasanya mustahil bangsa Indonesia mencapai pintu kemerdekaan. Kalimat “rahmat Allah SWT” yang tertuang pada pembukaan UUD 1945 tersebut, sesuai dengan hadits Nabi saw yang berbunyi; “Bulan Ramadhan pase pertamanya adalah rahmat, pertengahannya adalah maghfirah (ampunan) dan akhiirnya adalah kebebasan dari api neraka”. (HR: Muslim). Bukankah proklamasi kemerdekaan Indonesia terjadi pada tanggal 9 Ramadhan yang merupakan pase pertama bulan Ramadhan yang penuh rahmat? Subhanallah !!. Inilah yang harus dipahami umat islam, sehingga umat Islam tidak bersikap sekuler dan nasionalis buta.
Sisi lain yang memberi semangat perjuangan bangsa, terutama umat Islam Indonesia kala itu adalah semangat mengusir penjajah kafir. Mereka –para penjajah– selain menguasai kekayaan Indonesia juga menyebarkan agama mereka. Sehingga tidak heran, para ulama dan kyai saat itu menanamkan kebencian kepada santri dan masyarakat terhadap kaum kafir yang menjajah umat Islam. Oleh karena itu tercatat dalam sejarah, dari Sabang hingga marauke, nama-nama pahlawan yang mayoritas adalah umat Islam dan kaum ulama. Sebut saja umpamanya Teuku Umar, Imam Bonjol, Sultan Hasanudiin, Syarif Hidayatullah, Pangeran Dipenogoro, Syeikh Yusuf al-Makassari dan lain sebagainya.
Perang umat Islam dengan kaum kafir yang kemudian dimenangkan umat Islam dan terjadi pada bulan Ramadhan juga adalah perang Sabil. Pasukan umat Islam yang dipimpin oleh Sholahuddin al-Ayyubi melawan kaum Salibis dapat dimenangkan oleh kaum muslimin, dan Masjidil Aqsha pun dapat jatuh kembali ke tangan umat islam.
Untuk itu, dalam memperingati hari kemederkaan RI dan mendekati masuknya bulan Ramadhan, hendaknya umat Islam mengintrospeksi mengapa kini umat islam terpuruk di bangsanya sendiri?, mengapa umat islam menjadi tamu di negerinya sendiri. Apakah memang telah terjadi pergeseran akidah dan semangat antara umat Islam dahulu dengan umat Islam kini? Jika dulu asset bangsa yang dirampas kita rebut kembali, kini sebaliknya, asset negara dijual ke pihak asing? Jika dulu setiap kita mempersembahkan apa saja untuk negara, kini justru merampas harta negara untuk kepentingan dirinya. Jika dulu berjuang demi agama dan umat, kini berjuang hanya untuk dunia. Apakah ini yang menyebabkan bangsa ini terpuruk?.
Dalam Ramasdhan yang akan kita masuki nanti-lah waktu yang tepat untuk membersihkan hati, meluruskan niat, dan memompa semangat spritual dan semangat juang. Oleh karena itu, dalam hidupnya Nabi saw tidak pernah meninggalkan momen Ramadhan sebagai charger (pengisi) kekuatan iman dengan cara beri’itikaf.
Proklamasi kemerdekaan terjadi pada bulan Ramadhan dan kemenangan-kemenangan pun banyak terjadi pada bulan Ramadhan. Marilah kita isi kemerdekaan in dengan semangat Ramadhan. Semangat membangun lahir dan batin. Semangat berjuang mencari ridho Alllah SWT. Semoga kita dapat meraih kembali kemerdekaan yang hakiki. Amin.##

Senin, 04 Agustus 2008

Makna Kemerdekaan

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya dia adalah Maha Penerima taubat. (QS. Al-Nashr: 1-3)

Ayat di atas turun berkenaan dengan kemenangan Nabi saw saat menaklukkan kota Makkah (Fathu Makkah), kota kelahiran Nabi saw dan kaum Muhajirin yang saat mengembangkan dakwah Islam di sana, mereka diintimidasi, disiksa bahkan dibunuh. Kondisi yang sulit itu menyebabkan Nabi saw dan para sahabat berhijrah menuju Madinah. Setelah sepuluh tahun eksis dan mendirikan negara Madinah, kota Makkah pun ditaklukkan oleh Rasulullah saw dan para sahabat.
Meskipun penduduk Makkah telah menyerah dan mengaku kalah kepada Nabi saw dan umat Islam, namun Nabi saw dan umat Islam tidak serta merta menyiksa mereka, tidak membalas dendam atas kekejaman yang pernah dilakukan orang Quraisy kepada umat Islam. Bahkan Nabi saw mengatakan kepada mereka, “Antum Thulaqo” kalian adalah bebas.
Kemenangan dan penaklukkan tidak membuat kaum elit tentara Islam seperti Nabi saw dan sahabat berlaku seenaknya. Bahkan mereka tidak merayakannya dengan “bersulang”, minum-minuman keras, atau dengan tarian-tarian wanita, seperti yang kita temukan dalam film-film hollywood, atau pasukan asing yang masuk ke negara Muslim. Malah sebaliknya, umat Islam yang mendapat kemenangan itu diperintah untuk tawadhu’ (rendah diri), istighfar, tasbih dan memuji Allah SWT. Itulah yang dipesankan oleh Allah salam surat al-Nashr ayat 1-3 seperti yang tercantum di atas.
Anehnya, saat ini, ummat Islam dan bangsa Indonesia sering kali mengadakan pesta ulang tahun hari kemerdekaan RI diisi dengan acara-acara yang melupakan dan menerlenakan diri. Acara kadang diisi dengan sesuatu yang bertentangan dengan tujuan perayaan hari kemerdekaan, bahkan bertentangan dengan aturan Allah SWT yang telah memberi karunia kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Bukankah kemerdekaan yang kita raih adalah karena karunia dan rahmat Allah? Lihatlah dalam pembukaan UUD 1945, disana tercantum bahwa “Dengan rahmat Allah SWT bangsa Indonesia telah sampai kepada pintu gerbang kemerdekaan”. Lalu mengapa para pejabat, tokoh masyarakat dan rakyat mengadakan acara hari kemerdekaan dengan segala hal yang sia-sia? Bahkan melanggar norma-norma agama? Sungguh suatu perbuatan yang naif sekali !. Acara-acara yang menghiasai hari kemerdekaan seperti itu bukan saja “kurang ngajar” kepada Tuhan yang memberi nikmat kemerdekaan, tetapi juga “kurang ngajar” kepada para pahlawan yang telah gugur demi terwujudnya kemerdekaan Indonesia. Kadang, acara-acara itu tidak ada barang sejenak pun mengingat perjuangan para pahlawan dan mendoakan mereka. Yang ada hanya huru-hara dan sebagian lagi unsur-unsur erotis dan kemaksiatan. Anehnya, tekadang acara-acara tersebut didukung oleh para pejabat, tokoh masyarakat atau mereka yang dihormati oleh masyarakatnya. Jika itu telah membudaya di tengah-tengah bangsa ini, bagaimana generasi masa depan akan menghargai para pahlawannya?.
Saatnya kita bermuhasabah (introspeksi) mengapa kemerdekaan yang sudah kita raih 63 tahun lalu, tapi hingga kini kesejahteraan belum dirasakan oleh bangsa ini? Allah SWT berfirman: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. Al-A’raf: 96).
Lebih miris lagi, beberapa pejabat –seperti yang disiarkan oleh media massa– telah berkhianat pada bangsa ini. Mereka seenaknya memakan uang rakyat dan uang Negara demi kepuasan nafsu dirinya. Padahal kalau kita bercermin pada para pahlawan yang mendahulu kita, mereka selalu berfikir, “Apa yang dapat saya berikan untuk bangsa?” Namun para penanggungjawab Negara saat hanya berpikir “Apa yang dapat saya ambil dari Negara selagi menjabat?”. Akhirnya yang ada adalah jurus “aji mumpung”. Mumpung menjabat, mumpung punya kebijakan, akhirnya memanfaatkan posisinya untuk kepentingan dirinya sendiri.
Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya ketentuan Kami, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya” (QS. Al-Israa: 16)
Ayat ini menjelaskan bahwa jika Allah SWT akan menghancurkan suatu negeri, maka Allah SWT menjadikan kaum pejabat elite Negara dan konglomerat tersebut berbuat kedurhakaan, sehingga Allah SWT menghancurkan negeri itu dengan berbagai krisis multi dimensi.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita isi hari kemerdekaan RI ini dengan memberi kepada bangsa ini pencerahan, pelurusan acara, dan mengantarkan mereka dekat dengan Tuhan Allah SWT yang telah memberi nikmat kemerdekaan.
Sudah saatnya juga setiap kita, mulai dari rakyat kecil hingga pejabat, untuk mengisi kemerdekaan ini dengan pembangunan yang konstruktif, tidak mencuri harta Negara dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Menanamkan prinsip “Apa yang dapat saya persembahkan untuk Negara” sudah harus terus menjadi darah daging dan tradisi setiap warga. Dan itu hanya dapat dilakukan saat kita dekat dengan agama yang menjadi sumber moral, serta saat kita mengenal kembali sejarah perjuangan para pahlawan yang telah berjuang memerdekakan negeri ini. Dengan begitu, acara hari Kemerdekaan RI bukan hanya sekedar acara ceremonial yang tiap tahun diadakan dan menghabisi dana. Akan tetapi seharusnya dari tahun ke tahun bangsa ini semakin cerdas, sadar akan kewajibannya serta rela berjuang untuk kemaslahatan dunia dan akhirat. Semoga. Amin.#

Senin, 28 Juli 2008

Urgensi Shalat Dalam Kehidupan

Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.(QS. Thoha: 132)

Salah satu hasil “kunjungan” Nabi saw kepada Allah SWT melalui Isra Mi’raj adalah turunnya perintah shalat yang diterima langsung oleh Rasulullah saw. Berbeda dengan perintah-perintah lainnya yang diturunkan melalui perantara malaikat jibril sang pembawa wahyu, perintah shalat merupakan perintah yang sangat istimewa karena Nabi saw langsung bertemu Allah SWT. Bahkan Jibril pun tidak sanggup mengantar Nabi saw ke langit ketujuh saat peristiwa Mi’raj tersebut.
Ini menunjukkan bahwa kedudukan perintah shalat di sisi Allah sangat penting bagi manusia. Shalat adalah sarana efektif bagi seorang hamba untuk langsung berkomunikasi dan berhubungan dengan Allah secara horizontal. Oleh karena Nabi saw bersabda, “Sholat adalah mi’rojnya orang-orang Muslim”.
Seberapa urgennya perintah shalat bagi kehidupan seorang manusia, terutama muslim? Berikut jawabannya:
1. Sholat adalah tiang agama. Rumah tanpa tiang akan roboh. Begitu pun keislaman seseorang, tanpa sholat maka keislamannya akan rapuh, apalagi di zaman modern sepert sekarang ini. Tarikan dunia menyilaukan kita sehingga kita terlena dan melupakan Allah SWT. Belum lagi maraknya ajaran sesat. Tanpa sholat maka keislaman kita lambat laun akan roboh. Jika roboh, maka kita tidak mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhiirat. Seorang pujangga berkata, “Walaupun hidup seribu tahun, kalau tak sembahyang apa gunanyaa...?
2. Shalat adalah amal yang akan pertama kali dihisab/diperhitungkan. Jika di awal perhitungan nanti amal shalatnya baik dan lulus, maka amal lainnya akan mudah dan cepat dihisab. Namun jika amalan shalat masih menyisahkan masalah, maka amalan lain akan mendapat kesulitan saat akan dihisab. Jika kita ujian masuk universitas atau melamar pekerjaan, maka jika ujian tahap pertama saja sudah terindikasi tidak lulus, maka ujian tahap berikutnya akan sulit diharapkan lulus.
3. Sholat dapat menuntun kita berperilaku moralis dan berakhlakul karimah. Allah SWT berfirman: “Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar” (QS. Al-Ankabut: 45). Jika seseorang yang mengerjakan shalat masih berbuat kemungkaran, berarti shalatnya masih harus diperbaiki, termasuk pemaknaan shalat itu sendiri yang kurang dipahami.
4. Shalat itu pembuka sarana datangnya rezeki. Apalagi jika shalat itu kita tegakkan pula di tengah-tengah keluarga kita. Allah SWT berfirman: Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thoha: 132). Boleh jadi rezeki kita dan keluarga kita saat ini “seret” dan sempit, karena kita “cuek” dengan sholat, dan kita “cuek” dan membiarkan keluarga kita tidak melaksanakan shalat. Jika rezeki ingin lancar dan luas, mulailah mendirikan shalat dan perintahkan keluarga kita mendirikan shalat.
5. Shalat, ditambah sabar, adalah sarana untuk mendapatkan solusi saat kita menghadapi suatu problema. Dewasa ini, banyak orang saat menghadapi problema malah datang ke paranormal, dukun atau orang pinter (pinter ngebodoh-bodohin orang lain). Padahal Allah SWT berfirman yang artinya; “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'“ (QS.A-Baqarah: 45)
6. Shalat adalah sarana untuk membawa misi kekuasaan yang diridhoi Allah SWT. Jika para pemimpin sekarang tidak membawa kemaslahatan, hal itu disebabkan rakyat yang memilihnya pun masih banyak yang tidak mendirikan shalat, sehingga melahirkan pemimpin koruptor, penerima suap dan melakukan praktek KKN. Namun jika para pemilihnya rajin shalat, maka mereka akan memilih pemimpin yang baik, yang juga mendirikan shalat sehingga menebar kebaikan, keadilan dan kesejahteraan di tengah rakyatnya. Allah SWT berfirman yang artinya; “orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS.Al-Hajj: 41)
7. Jika salah memilih pemimpin, yakni pemimpin yang tidak peduli dengan urusan shalat, maka akan datang dibelakangnya generasi “Cuek Sholat”, hiburan berbau maksiat marajalela, kezaliman penguasa dibiarkan, narkoba merambah ke mana-mana, dan akhirnya lahir kesengsaraan di mana-mana. Allah SWT berfirman yang artinya; “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan” (QS. Maryam; 59). Sehingga tidak heran kini kita temukan polisi menjadi pengedar narkoba, pejabat menjadi beking bos narkoba. Bahkan sebagaian pejabat saat diperiksa air urine-nya terindikasi terkena narkoba. Jika para pembuat kebijakan sudah terkena narkoba, lalu negeri dan rakyat ini akan mau dibawa kemana? Itulah pentingnya setiap kita mendirikan ibadah sholat.
Oleh karena itu, Allah SWT tidak main-main dalam memerintahkan sholat, sehingga perintah sholat langsung diturunkan kepada Nabi saw tanpa perantara malaikat jibril as. Jika Allah SWT begitu serius dengan urusansholat hingga mengundang langsung Rasulullah saw melalui peristiwa isra mi’raj, mengapa kita sebagai hambanya begitu meremehkan dan “cuek” terhadap sholat?. Naudzu billahi min dzalik.#

Jamhuri

Sabtu, 19 Juli 2008

Isra Mi’raj dan Kita

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS.Al-Isra: 1)

Peristiwa Isra’ dan Mi’raj terjadi persis setelah Nabi saw mengalami ‘Aamul Huzni (tahun kesedihan) akibat ditinggal wafat oleh paman beliau Abu Thalib, dan isteri tercinta beliau bernama Khadijah. Keduanya telah banyak membantu dan menyokong dakwah Rasulullah saw di tengah kezaliman orang-orang Jahiliyah. Saat itu Nabi saw merasa sedih, sehingga sebagai manusia timbul rasa khawatir bahwa perjuangan dakwah beliau tidak ada lagi yang menyokongnya.
Di tengah kegalauan itu, Allah SWT mengundang dan ‘menjamu’ beliau dengan peristiwa Isra dan Mi’raj. Dalam peristiwa tersebut Allah memperlihatkan segala kebesaranNya, mulai dari luasnya langit, bumi dan jagad raya, hingga Allah meperlihatkan dan mempertemukan beliau dengan para nabi-nabiNya. Bahkan Allah SWT memperlihatkan surga dan neraka serta bisa bertemu Allah di langit yang ketujuh, yang malaikat sendiri tidak sanggup menjangkaunya.
Peristiwa ini tentu saja memberi pesan kepada Nabi saw, bahwa meskipun kedua orang yang dicintainya dan telah membantunya dalam dakwah nabi telah wafat, tapi Nabi tidak sendirian, masih ada penolong utama yaitu Allah SWT yang Maha Kuasa, Yang memiiiki langit dan bumi, yang mengatur seluruh alam ini. Sehingga dakwah Nabi tidak boleh berhenti hanya lantaran wafatnya kedua orang tersebut. Dakwah ini harus terus berjalan dan disebarkan, karena Allah yang akan membantu dan membelanya. Firman Allah SWT: “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)
Semangat optimisme dalam suatu perjuangan memang harus digelorakan. Peristiwa Isra dan Mi’raj hendaknya menjadi inspirasi untuk semangat terus, meski orang yang kita cintai, fasilitas yang kita andalkan dan kondisi yang terpuruk tidak menjadi penghambat dalam memperjuangkan suatu cita-cita dan idealisme. Termasuk kondisi Negara kita yang menghadapi berbagai masalah, baik ekonomi, penegakkan hukum, dan kesejahteraan.
Ayat al-Isra yang dikutip di atas memberikan beberapa pesan kepada kita, antara lain:
1. Perintah untuk mensucikan Allah SWT (Maha suci Allah). Sebab, boleh jadi bencana dan krisis yang kita hadapi saat ini karena kita telah melupakan Allah. Meskipun kita rajin shalat, dalam kehidupan kita masih menuhankan yang lain. Kita kadang menuhankan jabatan, atasan, harta, keluarga bahkan dukun. Allah sangat cemburu jika ada yang lain yang kita tuhan-kan. Firman Allah SWT: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (Qs. An-Nisa: 48) 2. Kita harus menjadi hamba Allah (‘abdullah) secara totalitas. Tidak boleh congkak kepada diri sendiri, manusia, dan apalagi kepada Allah. Rasulullah saw mendapat kehormatan ‘jamuan’ Isra Mi’raj karena totalitas kehambaannya kepada Allah. Lihatlah redaksi qur’annya “asroo bi’abdihi” (Allah Yang meng-isra-kan hambanya). Kita terkadang baru menjabat suatu jabatan, memerintah bawahan kita melebihi kapasitas dan wewenang kita. Kita bahkan seperti Tuhan kepada anak dan isteri kita. Padahal Rasulullah pemimpin besar, namun beliau selalu bersikap tawadhu’ (rendah hati).
3. Sarana yang efektif untuk mendekatkan diri kepada Allah serta melaporkan segala permasalahan hidup kita adalah dengan sholat malam (qiyamullai). Allah sendiri memilih hambanya ber-isra di malam hari (Lailan; di suatu malam). Allah SWT berfirman: “Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra: 79)
4. Kita harus kembali menghidupkan masjid (back to masjid/ minal masjid ilal masjid). Masjid adalah jantung kehidupan sosial umat Islam. Sejak dahulu masjid adalah sarana ibadah dan berjamaah, silaturrahim, saling mengenal, bahkan menjadi solusi berbagai masalah kemasyarakatan dan kenegaraan. Banyak umat Islam dewasa ini menjauh dari masjid. Bahkan ada orang muslim yang rumahnya berdekatan dengan masjid, tidak pernah datang ke mesjid kecuali pada saat taraweh dan hari raya saja.
5. Kita harus meyakini bahwa perbuatan apapun yang kita lakukan, Allah Maha Mendengar dan Melihat. (samai’un bashir) Keyakinan ini akan melahirkan sikap ihsan, yakni merasa dilihat dan didengar Allah, merasa diawasi oleh Allah. Sehingga melahirkan dua sikap: pertama, kita akan berhati-hati dalam berbuat, karena sekecil apapun perbuatan baik dan buruk kita akan diperhitungkan Allah SWt di hari kemudian. Kedua; kita akan selalu optimis, bahwa kebaikan apapun yang kita lakukan akan diperhitungkan pahalanya oleh Allah SWT. Artinya, meskipun perbuatan baik kita dianggap remeh oleh lain, yakinlah bahwa di sisi Allah perbuatan itu akan diperhitungkan. Menyingkirkan duri dari jalan adalah hal sepele, namun pahalanya besar di sisi Allah.
Ringkasnya, ayat pertama surat al-Isra, atau peristiwa Isra dan Mi’raj telah memberikan pesan kepada kita 3 hal utama:
1. Secara individual; kita harus meningkatkan kualitas kehambaan kita kepada Allah, yakni dengan memurnikan tauhid dan menjalankan ibadah, terutama ibadah di malam hari.
2. Secara sosial; umat Islam harus menghidupkan kembali fungsi masjid. Tidak ada satu anggota masyarakat muslim pun yang tidak menghidupkan masjid. Sehabis salam dalam sholatnya, Nabi langsung mengarahkan tubuhnya ke arah jamaah untuk melihat siapa yang tidak datang ke mesjid.
3. Secara kebangsaan: kita harus optimis dalam hidup, karena kekuasaan dan pertolongan Allah akan bersama orang yang beriman. Kondisi serba kekurangan tidak akan melemahkan kita dalam berjuang dan mencapai cita-cita yang kita inginkan.
Wallahu a’lam bis showab. ##


M.Jamhuri