Sabtu, 25 September 2010

Mudik dan Fitrah Manusia

(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS.Ar-Ruum: 30).

Mudik merupakan fenomena tahunan di setiap hari raya idul Fitri. Fenomena ini menjadi problema sekaligus peluang tersendiri dalam hal ekonomi. Problema, karena banyak sekali terjadi kecelakaan akibat kegiatan mudik ini, belum lagi masalah yang ditimbulkan akibat kemacetan kendaraan. Akibatnya, semua pihak terlibat dalam mengurangi dampak masalah mudik ini. Selain itu, mudik pun menjadi peluang bagi terbukanya perputaran dan distribusi ekonomi. Dengan mudik, terjadi desentralisasi perputaran kekayaan, dan melahirkan pemerataan ekonomi, terutama dari kota ke desa. Belum lagi peluang ekonomi lainnya, baik di bidang transportasi, akomodasi dan lainnya.

Mengapa mudik menjadi daya tarik sendiri bagi setiap warga di saat Idul Fitri?
Idul Fitri berarti kembali kepada fitrah. Fitrah adalah kesucian. Makna ini sejalan dengan asal kejadian manuisa yang diciptakan atau dilahirkan dalam keadaan suci.

Dalam surat At-Tiin, Allah SWT bersumpah dengan tiga tempat suci sebelum Dia menyatakan bahwa Dia menciptakan manusia dalam sebaik-baik kejadian. Tempat itu adalah Yerusaleh, tempat kelahiran Nabi Isa as, yang banyak ditumbuhi dengan buah Tin dan Zaitun. Kemudian bersumpah dengan bukit Thursina, sebuah bukit yang pernah disinggahi oleh Nabi Musa as pada saat berdialog dengan Allah SWT. Berikutnya Allah bersumpah dengan negeri Makkah, negeri yang aman yang merupakan tempat kelahiran Rasulullsh saw. Firman Allah SWT: “Demi buah tin dan zaitun, dan bukit Thursina serta negeri yang aman ini, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk” (QS.At-Tiin: 1-2).

Fitrah juga berarti sunah yang berlaku bagi manusia, atau sifat bawaan dan yang telah Allah berikan kepada manusia. Sebagaimana firman Allah SWT: “Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS.Ar-Ruum: 30).
Dalam makna inilah, mudik merupakan sebuah fitrah atau naluri manusia, yang ingin selalu bertemu dengan sesuatu yang menjadi asal kejadiannya.

Ada dua kecendrungan manusia mempunyai naluri atau fitrah kepada asal kejadiannya, yakni Allah SWT dan kedua orang tua. Allah SWT adalah pencipta manusia, sedangkan orang tua adalah sarana terlahirnya manusia ke dunia.

Beribu bahkan berjuta manusia pada saat menjelang idul fitri ingin menemui orang tua mereka di kampung halamannya masing-masing, meskipun mereka menemukan kesulitan, kemacetan, keletihan dan bahkan mengeluarkan biaya, namun hal itu tidak menghalangi mereka untuk kembali kepada orang tua yang menjadi penyebab dia dilahirkan ke dunia.
Setelah mereka menemui orang tua atau keluarganya di kampang halaman, mereka merasakan kenikmatan yang tiada taranya, apalagi mereka dapat membawa sesuatu yang dapat dipersembahkan kepada keluarganya di kampong.

Kecendrungan dan naluri ingin bertemu keluarga dan orang tua disebabkan karena itu adalah fitrah yang telah Allah fitrahkan kepada setiap manusia. Bahkan kewajiban untuk berbuat baik kepada kedua orangtua diposisikan pada posisi kedua setelah perintah menyembah Allah SWT. Allah SWT berfirman: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya” (QS. Al-Isra: 23)

Jika kita hendak mengkorelasikan peristiwa mudik yang merupakan naluri atau fitrah manusia ini dengan makna fitrah yang berarti suci, maka tidak mengherankan jika rasa fitrah mudik ini datang setelah ada proses pensucian diri melalui ibadah puasa selama bulan Ramadahan. Dorongan untuk bertemu dengan orang tua justru datang setelah proses pensucian itu.
Jika firah ingin bertemu orang tua di kampung halaman begitu tinggi daya tarik magnetnya, maka terlebih perasaan ingin bertemu dengan Allah di “kampung halaman”-Nya, yakni di Baitullah. Untuk itu, tidak mengherankan bila setiap tahun, manusia berbondong-bondong berdatangan ke Tanah Suci Makkah. Bahkan tidak sedikit manusia yang siap antri menunggu koata keberangkatan ke Tanah Suci itu.

Sekali lagi, jika kita kaitkan makna fitrah berhaji dengan fitrah Ramadhan dan fitrah idul fitri, maka ramadhan adalah penyucian diri sebelum menghadap Allah di bulan haji, kemudian penyucian dosa kepada orang tua dan keluarga serta sesame di bulan Syawal dengan saling memaafkan, lalu dilanjutkan “bertemu” dengan Allah di Makkah al-Mukarramah.
Mudik dan haji adalah dua fenomena tahunan yang menyentuh segala aspek kehidupan. Ini adalah fitrah dan ketentuan Allah yang tidak dapat dirubah oleh siapapun kecuali oleh Allah sendiri. (M.Jamhuri)