Minggu, 02 Juni 2019

Kontroversi Kapan Lebaran Dan Hikmah Zakat Fitrah yang Terabaikan.


Sentilan-Sentilun Ramadhan

Oleh: Muhammad Jamhuri


“Pak ustadz, kira-kira lebaran tahun ini jatuh pada hari Selasa atau Rabu, ya?” Tanya jamaah kepada ustadz

“Ah, Bapak sih kayak anak kecil aja!” Ustadz menaggapi santai

“Maksudnya apa ustadz? Ada yang salah kalau saya nanya begitu?” Tanya jamaah agak kecewa

“Tidak, Cuma tidak elok saja..Bahkan boleh dikata tidak dewasa.” Ustadz menanggapi

“Maksud ustadz?” Tanya jamaah lagi

“Begini, banyak orang yang konsentarsi ke hari itu, tapi lupa dia sedang berada di hari apa?
Sedang di bulan apa? Apa yang dilakukan di tengah-tengah waktu seperti ini?.  Ibarat anak
murid, baru juga beberapa hari menghadapi ujian semesteran, sudah nanya kapan liburannya? Lalu lupa tidak mempersiapkan ujiannya, tapi sibuk membicarakan liburan dengan temannya, dengan keluarganya, dengan berbagai rencana di dalamnya. Akhirnya, ketika hasil ujian diumumkan, nilainya buruk, bahkan tidak lulus. Akibat sibuk bicara tentang liburan dan perencanaannya. Tapi lalai dengan ujiannya” Ustadz coba menjelaskan.

“Bahkan, beberapa tahun lalu, ramai di media elektronik dan cetak, memberitakan perbedaan pendapat tentang hari idul fitri, antara satu ormas dengan ormas lain saling adu argumentasi, kemudian imbas ke masyarakat, hingga di sebuah kampung, masjid kampung yang satu-satunya menjadi rebutan antara kelompok yang mendukung lebaran hari ini dengan kelompok yang lebarannya besoknya.
Sudahlah...!  masalah penentuan lebaran kita serahkan kepada ulil amri, para ulama dan pemerintah, atau ormas yang menjadi naungan kita. Yang perlu kita menyibukkan diri adalah apakah sisa Ramadhan kita ini dapat selesai dengan baik? Bisa husnul khotimah? Ataukah hanya akan kita lewati begitu saja?. Istilah anak murid, ujian yang sedang dihadapi akan mendapat nilai terbaik tidak?” Ustadz menjelaskan panjang lebar.

“Betul ustadz. Tapi kenapa orang banyak meributkan hari apa lebaran jatuh ya?” Tanya jamaah.

“Ini yang harus kita evaluasi. Pengusaha garmen ingatnya kapan lebaran? Sehingga dia mempersiapkan peningkatan produksi garmennya. Pengusaha kue juga begitu. Bahkan orang miskin, atau orang-orang yang pura-pura miskin, konsentrasi nya pada lebaran, bukan pada ibadah yang rentang waktunya lebih panjang dari pada lebaran.” Ujar Ustadz menambahkan.

“Maaf ustadz, tadi ustadz mengatakan orang miskin pun konsentrasinya kapan lebaran? Apa adakeperluan mereka memikirkan hari lebaran?. Kalau pengusaha tadi kan wajar memikirkan kapan lebaran? Untuk menentukan jumlah produknya menjelang dan saat lebaran. Tapi kalau orang miskin kan gak punya pabrik?” Jamaah protes.

“Lha kan orang miskin juga tahu kapan saja waktu ramai yang dapat menghasilkan pendapatan?” Jelas ustadz

“Oh iya..ya..” . Jamaah mengangguk-angguk
“Nah..gara-gara konsentrasi kepada hal itu, konsentrasinya serba ke materi, akhirnya hikmah zakat fitrah yang diajarkan Nabi saw pun sirna.” Ustadz menimpali

“Maksudnya?” Tanya jamaah.

“Di antara hikmah zakat fitrah yang harus dikeluarkan sebelum bubar shalat ied, adalah agar di hari dan suasana berbahagia itu tidak ada lagi kesedihan, apalagi suasana kemiskinan. Semua mukmin berbahagia. Oleh karena itu, harus dipastikan semua orang yang miskin mendapat zakat fitrah. Oleh sebab itu juga, zakat fitrah kewajiban yang harus dikeluarkan untuk setiap individu, baik yang sudah berakal maupun tidak, dewasa atau anak-anak. Itu agar dipastikan orang miskin semua akan mendapat zakat fitrah dan mereka ikut berbahagia di hari lebaran. Tapi kenyataannya, setiap kita mau masuk mesjid atau lapangan untuk melaksanakan shalat idul fitri, pasti disambut oleh orang miskin, atau orang-orang yang berpura-pura miskin dengan pakaiannya yang serba kumuh. Demikian juga saat kita bubaran shalat, saat keluar masjid maka mereka sudah berbaris dengan tangan yang di tengadahakan sambil minta belas kasih sayang. Bahkan dengan pemandangan anak-anak yang digendongnya seakan mereka memang dimintai belas kasih sayang. Jika demikian, mana fungsi zakat fitrah disini yang katanya sudah dibagikan sebelum shalat id? Apakah zakat fitrah yang kita keluarkan salah sasaran? Ataukah memang mereka berpura-pura miskin di hari itu? Apapun juga alasannya, pemandangan banyaknya orang-orang miskin yang meminta belas kasih dihari raya mestinya tidak boleh ada lagi. Tidak sesuai dengan hikmat dan tujuan adanya zakat fitrah.  Karena zakat fitrah sudah didistribusikan, sebelum shalat ied selesai” Jelas ustadz panjang lebar.

“Kalau zakat fitrah sudah didistribusikan kepada mustahik, apa mungkin karena mental mereka selalu meminta-meminta ustadz, sehingga di Idul Fitri pun, malah mereka menjamur di sekitar masjid?” Ujar jamaah.

“Wallahu a’lam...kita tidak boleh su-uz zhon” Ustadz menimpali.

“Tapi ustadz,  pernah ada penilitian dan sampling, bahwa para pengemis yang biasa mengemis  merasa lebih baik jadi pengemis dari pada bekerja, karena penghasilan mengemis itu lebih besar dari pada bekerja, apalagi gak punya keterampilan. Bayangkan saja, jika jika lampu merah menyala merah selama 3 menit, dalam setiap 3 menit itu seorang pengemis mendapat pemberian sebesar Rp.6000 atau setara Rp.2000 per menit, maka jika sehari mengemis 8 jam, yang berarti 8 jam x 60 menit = 480 menit x Rp.2000 = Rp960.000/hari.  Berarti sebulan (30 hari x Rp 960.000) pendapatannya  mencapai Rp  28.800.000.  Ini berarti lebih besar dari pejabat sekalipun. Nah..apalagi musim ramadhan dan lebaran seperti ini, pak ustadz.” Terang jamaah.

“Lha inilah PR kita semua, para ulama harus tetap menanamkan jiwa kemandirian,  bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah, sementara pemerintah harus membuka lapangan pekerjaan dan pelatihannya. Saya menyaksikan di Turki, di sana nenek-nenek atau kakek-kakek yang sudah tua sekalipun tidak mengemis, mereka menjual mainan seperti gangsing, atau menjual sarung tangan, atau topi kupluk di saat musim dingin. Padahal jika mereka menjadi pengemis pun sudah pantas, namun mereka tidak lakukan. Demikian juga anak-anak remaja di Ghaza, -nah kalau ini  menurut teman- mereka tidak mengemis kepada tamu asing yang mengunjungi Gaza, tapi mereka menawarkan teh panas untuk mendapat se-sen dua sen. Padahal mereka pantas jika mengemis kepada orang asing yang datang kesana. Jiwa ini yang harus ditanamkan. Oh ya...kok kita ngobrol sampai ke Turki dan Gaza ya? Tadi di awal kita ngobrol masalah apa ya?” Tanya ustadz setelah bicara ngalor-ngidul

“Anu ustadz.....tadi bicara masalah kapan lebaran?.....Tapi....sudahlah ustadz, saya gak mau tanya lagi.....memang kayaknya gak ada guna. Saya konsentrasi aja lah beribadah yang terbaik di akhir Ramadhan ini...Masalah penentuan hari Ramadhan saya serahkan saja kepada ahlinya.... ya kan ustadz?” Tanya jamaah minta persetujuan.

“Betul...sudah .! kita lanjutkan tilawahnya saja !..” Ustadz menutup obrolannya.