Jumat, 21 Desember 2012

Tiga Karakter Utama Pribadi Muslim

 
Kitab al-Quran ini yang tidak ada keraguan didalamnya menjadi petunjuk bagi orang yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka (QS. Al-Baqarah: 2-3)

 
 
Menurut  ayat di atas, sifat  dan karakter Muslim yang bertakwa adalah memiliki aqidah dan keimanan (beriman kepada yang ghaib), melaksanakan ibadah (mendirikan shalat), serta berakhlak sosial yang baik (menafkahkan sebagian rezeki yang dianugerahkan). Adapun ayat berikutnya berupa keimanan kepada kitab-kitab sebelumnya dan kepada hari kiamat adalah penegas dari tiga karakter di atas.

Dengan demikian, karakter utama pribadi muslim dapat dikatakan ada tiga perkara:

Pertama, Salimul Aqidah (Aqidah yang benar). Yakni keyakinan kepada  kepada rukun iman dengan benar. Tidak dicampuri dengan kepercayaan di luar yang dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya serta para ulama yang istiqomah dan takut kepada Allah. Keimanan yang tidak disusupi dengan kesyirikan; kecil atau besar. Keimanan yang lurus yang menjadikan ridho Allah sebagai tujuan hidupnya, menjadikan aturan Allah sebagai satu-satunya aturan hidup (way of life). Keimanan kepada Allah yang dapat menggelorakan daya juang dan optimis dalam hidup. Sebagaimana firman Allah swt:  “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu” (QS. Fushilat: 30)

Banyak muslim yang belum salimul aqidah (benar aqidahnya). Sebagai contoh; mereka masih mempercayai ramalan bintang atau zodiak tentang rezeki, kekasih dan nasibnya, masih mempercayai ramalan yang diungkapkan paranormal/dukun, baik melalui media tv, koran maupun acara intertaitmen. Masih mendatangi dukun-dukun dan orang “pinter” untuk memohon petunjuknya tentang pesugihan maupun tanggal suatu kegiatan. Masih meyakini ada hari buruk dan bulan buruk. Masih ada yang meyakini bahwa benda-benda pusaka memiliki tenaga magis sehingga beriman pada benda tersebut, bahkan menggantungkan hidupnya pada benda tersebut. Semua perbuatan itu dapat mengikis aqidah kita, bahkan mengantarkan kepada perbuatan syirik, sehingga amal shaleh kita tidak akan diterima oleh Allah swt, wal iyadzu billah. Sebagaimana firman Allah swt: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An-Nisaa: 48)

Kedua, Shahihul Ibadah (benar ibadahnya). Ibadah yang benar adalah ibadah yang akan diterima oleh Allah swt. Para ulama menyatakan bahwa ibadah yang akan diterima Allah swt itu harus memiliki dua syarat. Pertama, ibadah itu dilakukan dengan ikhlas karena Allah swt. Kedua, ibadah itu dilakukan sesuai dengan petunjuk Nabi saw atau ajaran Islam yang benar. Jika salah satu dari kedua syarat itu tidak terpenuhi, maka ibadah kita tidak akan diterima. Sebagai contoh; seseorang melaksanakan suatu ibadah, shalat misalnya, bukan dengan niat ikhlas karena Allah, akan tetapi karena ingin dikatakan oleh manusia bahwa ia orang yang rajin shalat, atau ia ingin dipuji oleh orang lain, atau agar dikatakan sebagai orang shaleh, maka ibadah yang dia lakukan tidak akan diterima oleh Allah swt. Perbuatan ini disebut dengan riya (pamer) yang merupakan bentuk syirik kecil (al-syirk al-ashghor). Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan kepada kalian adalah syirik kecil”. Para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud syirik kecil?” Rasulullah saw menjawab, “Ketahuilah, dia adalah perbuatan riya (ingin dipuji orang)”

Ada pula orang yang beribadah dengan niat ikhlas karena Allah, akan tetapi cara ibadahnya tidak sesuai dengan petunjuk Nabi saw dan ajaran Islam yang benar, maka ibadah seperti ini pun tidak akan diterima oleh Allah swt. Misalnya menambah rakaat shalat zuhur menjadi lima rakaat, padahal bukan dikarenakan lupa, maka “tambahan” yang tidak diajarkan Nabi saw dan ajaran Islam yang benar itu membuat ibadahnya tidak diterima oleh Allah swt.

Jadi, ibadah yang benar adalah ibadah yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah, serta sesuai dengan petunjuk Nabi saw atau ajaran Islam yang benar.

Ketiga, Matinul Khuluq (Akhlak yang kokoh). Seorang muslim tidak cukup berakidah dan beribadah yang benar saja. Namun dia juga harus berakhlak baik kepada semua makhluk Allah. Hal itu agar akidah dan ibadah yang dia persembahkan kepada Allah swt dapat memberi efek poistif bagi perilaku terhadap makhluk-makhluk Allah. Oleh sebab itu, Islam telah mengajarkan dan mengatur adab dan akhlak terhadap orang tua, sanak saudara, suami/isteri, kaum miskin, anak yatim, terhadap hewan, bahkan terhadap pepohonan dan alam seluruhnya.

Sebagian cendekiawan muslim memberi tamsil pohon untuk tiga kriteria di atas; yakni; aqidah laksana akar yang menghujam kuat ke dalam bumi, ibadah bagaikan batang dan ranting pohon yang memberi kesejukan, sedangkan akhlak bagaikan buah yang dapat dinikmati oleh orang lain. Oleh sebab itu, Allah swt memberi perumpamaan kalimat thoyibah laksana Syajaroh Thoyibah (pohon yang baik). Allah swt berfirman yang artinya:

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim: 24-25)

Jamhuri

 

Senin, 03 Desember 2012

Urgensi dan Keunggulan Kalender Hijriyyah


“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus “ (QS: At-Taubah)
 Sudah maklum bagi kita, bahwa umat Islam mempunyai kalender  tersendiri, yaitu kalender Hijriyyah. Kalender ini diberlakukan pertama kali pada masa Amirul Mukminin Umar bin Khattab atas usul sahabat Ali bin Abu Thalib dan disepakati oleh seluruh sahabat.

Perhitungann Kalender Hijriyyah  dimulai pada peristiwa hijrah Rasulullah saw dan para sahabat dari Makkah ke Madinah. Sehingga pada peristiwa itu disebut sebagai tahun pertama hijrah. Dari peristiwa itu juga kalender ini dinamakan kalender Hijriyyah berasal dari kata hijrah. Perhitungan kalender ini berdasarkan pada perederan bulan.  Berbeda dengan kalender masehi yang berdasarkan pada peredaran matahari.

Jumlah bulan yang terdapat pada kalender hijrah sebanyak 12 bulan, mulai dari bulan Muharram dan berakhir pada bulan Dzulhijjah. Sedangkan jumlah hari dalam setiap bulannya tidak ada yang berjumlah 28 atau 31 hari. Akan teteapi Jumlah harinya dalam sebulan hanya 29 atau 30 hari.

Permulaan tanggal pada kalender hijriyyah pun berbeda dengan permulaan tanggal yang terdapat pada kalender Masehi. Jika pergantian tanggal pada kalender masehi dimulai pada jam 00.00 tengah malam, maka dalam kalender hijryyah permulaan tanggal dimuali pada saat waktu maghrib tiba.

Meskipun kalender hijriyyah sudah menjadi maklum bagi umat Islam, akan tetapi masih banyak umat Islam yang belum mengenalnya, bahkan untuk menyebutkan nama-nama bulan yang terdapat dalam kaelnder ini saja masih banyak yang belum mengetahuinya, apalagi menghafalnya. Tidak seperti kalender masehi yang sejak usia masih kecil kita sudah menghafalnya. Ketidaktahuan sebagian umat Islam tentang kalender hijriyyah disebabkan kurangnya sosialisasi kepada umat Islam. Selain itu, penanggalan masehi yang menjadi penanggalan resmi negara ikut menyebabkan umat iIslam tidak mengenal penanggalan hijriyyah. Namun, ada pula sebab lain yang membuat umat Islam tidak peduli dengan kalender hijriyyah, yaitu kurangnya pengetahuan tentang urgensi dan pentingnya kalender hijriyyah.

Lalu apa urgensi dan keunggulan kalender hijriyyah? Berikut ini adalah alasan mengapa kalender hijriyyah itu amat sangat penting bagi umat Islam:

1. Kalender ini dilahirkan oleh orang-orang yang sangat mulia, yakni para sahabat Nabi saw, di antaranya Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Thlaib yang notebone mereka adalah para sahabat yang dijamin akan masuk surga. Kemudian disepakati pula oleh para sahabat-sahabat lainnya. Nabi saw bersabda, “sebaik masa adalah masaku kemudian masa setelah ku, kemudian masa setelahnya..”. Nabi saw pun bersabda, “Para sahabatku laksana bintang gemintang, kemana saja kalian mengambil petunjuk dari mereka, maka kalian akan mendapat petunjuk..”. Ini memberi isyarat kepada kita bahwa jika kita menggunakan kalender hijriyyah yang telah dilahirkan oleh para sahabat, maka kita sudah berjalan di atas jalan petunjuk.

2. Kalender hijriyyah adalah kalender yang resmi untuk menentukan moment-moment ibadah dan hari besar umat Islam. Sebagai contoh: hari raya Idul Fitri bukan jatuh  pada tanggal 1 Januari umapanya, tetapi jatuh pada tanggal 1 Syawal. Demikian juga hari raya Idul Adha terjadi setiap tanggal 10 Dzulhijjah, bukan  tanggal 25 Desember. Puasa sebulan penuh terjadi pada bulan Ramadhan, bukan pada bulan Mei. Ibadah haji terjadi pada bulan Syawal, Dzulqo’dah dan Dzulhiijjah. Puasa sunnah ‘Asyuro terjadi pada tanggal 10 Muharram, bukan 10 Januari. Puasa Sunnah Ayyamul Bidh terjadi pada tiga hari pertengahan bulan Hijriyyah, yakni setiap tanggal 13, 14, 15 setiap bulannya menurut kalender hijriyyah, Puasa sunnah Arafah terjadi pada tanggal 9 Dzulhijjah yang bertepatan dengan saat wukufnya Jamaah haji di padang Arafah.

3. Salah satu bulan hijriyyah disebutkan dalam al-Quran dan difirmankan oleh Allah swt, yakni bulan Ramadhan (syahru Romadhan). Dan beberapa bulan lainnya disebutkan oleh Rasulullah saw. Dan Allah dan Rasul-Nya tidak pernah menyebut nama bulan yang terdapat pada kalender masehi, baik Januari ataupun Desember..

4. Dalam kalender hijriyyah, hari terbagi dua ; siang (hari/yaum) dan malam (lail), dan permulaan malam dimulai maghrib, dan hal itu menjadi awal pergantian tanggal. Sehingga sejak maghrib hingga subuh disebut malam, sedangkan mulai subuh hingga maghrib disebut siang atau hari. Jika saat ini kita berada di malam hari pukul 01.00 misalnya maka disebut kita berada di malam jum’at umpamanya. Berbeda halnya dengan kalender masehi, maka jam 01.00 dianggap pagi hari, padahal saat itu masih malam hari. Oleh sebab permulaaan hari menurut kalender hijriyyah dimulai pagi hari dan berakhir saat maghrib, maka hal ini berkaitan dengan hukum puasa. Dimana puasa adalah menahan dari makan, minum dan jima’ sejak terbit matahari (subuh) hingga terbenam matahari (maghrib). Demikian juga halnya kewajiban zakat fitrah, terkait dengan hari terakhir Ramadhan dan malam Idul Fitri.

Dengan beberapa keunggulan kalender hijriyyah yang disebutkjan di atas, maka sudah sepantasnya umat Islam menghidupkan kembali kalender Islam yang telah ditetapkan oleh para sahabat Nabi itu. Jika bukan kita, siapa lagi? Wallahu a’lam.

 

 Jamhuri