Jumat, 30 April 2021

*HIKMAH RAMADHAN HARI KE-18: AL-QURAN ADALAH KITAB “PUSAKA”

Jika Anda memiliki seorang ayah yang sangat baik hati, sangat perhatian kepada keluarga dan masayarakatnya, sehingga dia dicintai semua orang, sukses dalam segala bidang hidupnya, disegani orang, dicintai banyak orang termasuk oleh kaum miskin dan anak-anak yatim, bijak dan kharismatik dalam memimpin, penuh perhatian, termasuk kepada diri Anda. Maka pastinya Anda pun sangat menyayangi beliau. Lalu ketika ayah Anda itu terbaring sakit, panas tinggi dan menjelang ajalnya, dia memanggil Anda, lalu membisikkan wasiat kepada Anda, “Nak. Ayah mungin tidak akan lama lagi tinggal di dunia, ayah akan pergi selama-lamanya. Hanya saja, sebelum ayah pergi, ayah pesan kepadamu, ada dua buku yang ayah simpan di dalam  sebuah kotak kayu dalam lemari, ayah simpan dengan rapi agar dapat dibaca dan dipraktekkan olehmu. Dia berisi jurus sukses hidup. Ambillah olehmu, pelajari dan praktekkan, maka engkau pasti akan sukses nak.” Usai berpesan dengan wasiat itu itu, sang ayah wafat.

Nah, bagaimana perasaan Anda bila hal itu kejadian nyata dalam hidup Anda? Pastinya sangat sedih yang mendalam. Rasa sedih itu akan lama, karena kenangan bersamanya yang begitu indah. Namun, di tengah kesedihan itu, pastinya Anda akan teringat dengan wasiat terakhir ayah yang diucapkan sebelum kematiannya, yakni dua buku kiat sukses yang harus Anda baca.

Nah, kira-kira begitulah gambaran saat Rasulullah saw beberapa hari sebelum meninggal, beliau mewasiatkan kepada kita semua dua hal, yang apabila kita pelajari dan amalkan maka kita tidak akan pernah sesat dan gagal hidup selama-selamanya dan kita pasti akan sukses. Dua hal itu adalah kitab Allah (al-Quran) dan sunnah Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Aku tinggalkan kepada kalian dua hal, yang jika kalian berpegang teguh kepada kedua hal tersebut, kalian tidak akan sesat selamanya, yakni kitab Allah dan sunnah ku”.

Tentu saja Rasulullah saw lebih mulia dari ayah kita, lebih berwibawa dan sukses dari semua manusia. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya dan seharusnya kita menjaga, memelihara dan mengamalkan apa yang beliau wasiatkan kepada kita semua.

Dalam kisah-kisah kependekaran atau persilatan, sering dikisahkan bahwa kedigjayaan dan kehebatan seorang pendekar terletak dalam sebuah “buku pusaka”, yang sering disimpan rahasia di sebuah gua atau gunung oleh orang sakti atau sang master. Jika para pendekar dari setiap perguruan silat mendengarnya, mereka pasti berusahan untuk mendapatkannya, walau harus mengarungi lautan, memasuki hutan, melewati lembah dan ngarai bahkan mendaki gunung, untuk mendapatkan “buku pusaka” itu. Karena kitab itu berisi keunggulan semua jurus-jurus yang dimilki para pendekar di dunia. Jika buku wasiat itu dimiliki dan isinya dikuasai oleh seorang pendekar, maka pendekar itu dipastikan akan mengungguli ilmu yang dimiliki semua pendekar di seluruh jagad raya.

Nah, kini kita tidak perlu menyeberangi sungai dan lautan, tidak perlu melewati lembah dan mendaki gunung untuk mendapat “kitab pusaka” . Cukup membelinya, lalu membaca, mempelajari, dan mengamalkannya, maka “kesaktian” kita akan mengugguli umat-umat lain. Karena di dalam kitab pusaka (al-Quran) ini mengandung semua jurus di jagad raya ini, bahkan di alam ghoib, ada jurus ekonomi, jurus bernegara, jurus pendidikan, jurus berkeluarga, jurus etika, jurus hubungan luar negeri, jurus berperang dan jurus-jurus lainnya.

Dan ketahuilah, bahwa seluruh mukjizat (baca: kedigjayaan) para nabi sirna bersamaan wafatnya mereka, baik berupa tongkat Nabi Musa as, perahu nabi Nuh as, dan lain-lain. Akan tetapi kemukjizatan (kedigjayaan) nabi Muhammad asw bersifat abadi “mukjizat kholidah” (mukjizat yang kekal). Jadi mari kita kembali kepada al-Quran, back to al-Quran.

Saudaraku, bulan Ramadahan adalah momen untuk kembali membaca, menelaah dan mempelajari al-Quran, untuk kemudian kita amalkan jurus-jurusnya. Bukankah Allah telah memilih bulan Ramadhan ini sebagai bulan diturunkannya al-Quran?.  “Bulan Ramadhan yang diturunkan di dalam al-Quran, sebagai guidance (petunjuk) bagi manusia, dan sebagai penjelas dari petunjuk itu serta sebagai al-fuqon (pembeda antara kebenaran dan kebatilan)”. (QS. Al-Baqarah: 184)


Muhammad Jamhuri,
18 Ramadhan 1442 H.

Kamis, 29 April 2021

HIKMAH RAMADHAN HARI KE-17: PUASA; PENYIAPAN UMAT SIAP DALAM SEGALA KONDISI

Puasa Ramadhan yang dijalankan umat Islam yang beriman sesungguhnya suatu proses peyiapan umat agar siap dalam segala kondisi. Hal ini terlihat dari bulan Ramadhan yang dijadikan sebagai waktu berpuasa. Bulan Ramadhan dan bulan lainnya dalam Islam adalah bulan yang berlandaskan pada perputaran bulan, dan bukan matahari. Berbeda dengan bulan-bulan tahun masehi yang perhitungannya berdasarkan perputaran matahari. Kalau bulan masehi yang menjadi standar, maka berpuasa sebulan pada setiap tahunnya akan mengalami satu musim yang sama. Sehingga tidak ada tantangan perubahan. Misalnya, jika puasa adalah bulan Desember saja, maka kita mengalami puasa hanya merasakan di musim dingin atau penghujan saja. Akan tetapi dalam bulan Ramadhan, setiap perputaran 4-5 tahun akan berganti musim, bisa musim dingin, panas, semi, dan musim gugur. Inilah yang disebut puasa merupakan penyiapan umat dalam segala kondisi.

Andaikata seorang muslim mengalami puasa Ramadhan selama 20 tahun, maka keempat musim dalam berpuasa akan dia alami. Dan setiap musim punya karakter dan dampak tersendiri bagi kehidupan muslim yang sedang berpuasa. Musim dingin relatif ringan namun badan terasa cepat lapar, namun jika puasa di musim panas, maka sangat terasa lebih sulit. Bukan hanya udara yang panas, namun durasi masa puasa sehari bisa lebih lama, bisa sampai 18 jam berpuasanya, alias menunggu maghribnya sangat lama. Memang, kondisi ini lebih dirasakan kaum muslim di negeri yang memilki empat musim di atas.

Yang jelas, puasa mendidik umat siap menghadapi kondisi apapun serta dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang terjadi. Sehingga dapat melakukan ibadahnya dengan fleksibel. Apalagi didukung oleh syariat dan ajarannya yang sangat fleksibel. Salah satu kaidah fiqih berbunyi “Idza dhoqot ittasa’at, wa idza ittasa’at dhoqot’ (jika sempit maka dapat lapang, dan jika lapang maka akan dipersempit/ketat). Luas dan luwes.

Beberapa pekan yang lalu, Presiden Kanada mengucapkan rasa terima kasihnya kepada umat Islam. Dan itu disiarkan di semua televisi nasional. Alasannya umat Islam sangat disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan di masa pandem ini meskipun dalam suasana ibadah puasa Ramadhan. Karena umat Islam bisa melakukan ibadahnya di rumah, baik shalat tarawehnya, maupun puasanya. Sebaliknya, akahir-akhir ini Pemerintah Kanada  agak  keras kepada kaum Nasrani, karena mereka agak kurang disiplin dalam menjaga protocol kesehatan. Pasalnya berkumpulnya jemaat gereja banyak menimbulkan cluster baru dalam penularan corona. Bahkan menurut penelitian, berkumpul dan melantunkan lagu-lagu secara bersama dan dalam durasi lama akan lebih cepat menularkan corona. Sehingga banyak gereja di sana dipagari besi atau polisi line oleh oleh pihak berwajib lantaran sikap antisipasi pemerintah. Hal ini tentu saja membuat jemaat gereja kecewa, bahkan beberapa di antara mereka memprotes tindakan polisi ini. Kekecewaan mereka terjadi, karena dalam ajaran mereka tidak ada ibadah sendiri-sendiri, walau pun ada sifatnya pribadi. Saat mereka ingin beribadah seacara bersama di gereja yang dalam konsep ajaran mereka dilakukan dalam sepekan sekali, pun tidak diperbolehkan, maka timbullah kekecewaan dan protes. Berbeda dengan umat Islam yang ibadahnya bisa dilakukan berjamaah di rumah atau di masjid. Bahkan sistem gereja ada yang mengharuskan jemaatnya hanya beribadah di gereja tertentu saja dan dengan pendeta tertentu saja. Sehingga mereka menemukan kesempitan dalam menjalankan agamanya di masa-masa pandemi ini. Banyak gereja nganggur sepanjang pandemi corona ini. Sedangkan ajaran Islam sangat fleksibel, sehingga wajar jika mendapat pujian dari Presiden Kanada karena umat Islam dianggap mematuhi aturan pemerintah.

Lain di Kanada, lain pula di India, hari-hari ini India mengalami tsunami covid-19. Dalam hitungan 1 x 24 jam lonjakan angka terpapar covid 19 mencapai 300.000 orang. Penyebabnya antara lain yang utama adalah adanya kerumunan dalam pelaksanaan ibadah Hindu di sungai Gangga yang mereka anggap suci. Pelaksanaan ibadah yang terjadi 12 tahun sekali ini di dukung oleh Pemerintah India dari partai yang disinyalir didukung kaum Hindu Ekstrimis. Kaum Hindu ektrimis ini yang telah menghancurkan Mesjid bersejarah milik umat Islam di Ayodha dua tahun lalu dan didukung penuh pemerintah India.

Pemerintah India yang sangat pro kaum Hindu ekstrimis dilema antara melarang pengikutnya melakukan upacara peribadatan di Sungai Gangga atau membiarkan?. Tapi demi memuaskan konstituen dan rakyatnya yang bergama Hindu itu, upacara pun dibiarkan bahkan didukungnya. Akibatnya, beberapa hari setelah acara itu, tsunami covid 19 pun menerjang India, maklum saat itu prokes sama sekali tidak diterapkan, mereka tidak memakai masker dan terjadi kerumunan yang besar sehingga tidak ada jarak sosial lagi. Bahkan saat mandi sungai tersebut, mereka bertelanjang badan, karena di antara mereka bahkan meyakini, bahwa sungai dianggap suci ini dapat menghalau pandemi corona. Namun yang terjadi malah sebalaiknya.

Adakah ini yang dinamakan “tentara Allah”? wallahu a’lam. Namun kita patut bersyukur dengan ajaran Islam yang fleksibel dan sempurna ini. Wajar Allah mengingatkan kita dalam ayat puasanya yang artinya “Dan hendaklah kamu mengagungkan nama Allah atas apa yang telah Dia hidayahkan kepadamu, dan agar kalian bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Muhammad Jamhuri, 17 Ramadhan 1442 H.

 

Rabu, 28 April 2021

HIKMAH RAMADHAN HARI KE-16: UPAYAKANLAH MERAIH LAILALTUL QODAR

Tidak syak lagi bahwa usia kita sebagai umat Nabi Muhammad hanya antara 60 – 80 tahun. Sedangkan usia umat nabi-nabi sebelumnya mencapai ratusan tahun, sehingga kesempatan beribadahnya mereka lebih lama dan panjang. Namun demikian umat nabi Muhammad saw yang usianya lebih pendek diberi keistimewaan, yaitu diberinya moment-moment ibadah yang pahalanya lebih panjang dari jatah usia yang diberikan. Salah satunya adalah “Lailatul Qodar” (malam kemuliaan). Nilai pahala ibadah di dalamnya setara dengan 1000 bulan atau lebih “Lailatul Qodri khoirun min alfi syahrin”. Jika dikonversikan sama dengan nilai ibadah selama 82 tahun. Suatu hitungan usia yang boleh jadi lebih panjang dari usia yang diberikan kepada kebanyakan manusia di zaman ini.

Lalu bagaimana cara meraih Lailatul Qodar? Tidak diberitahu secara pasti tanggal berapa lailatul qodar datangnya. Hanya saja, jika melihat kebiasaan nabi saw, beliau seringkali beri’tikaf di sepuluh malam terakhir. Maka para ulama menyimpulkan bahwa lailatul qodar ada di malam-malam sepuluh terakhir Ramadhan. Ada juga yang menginformasikan di malam-malam ganjil malam 10 terakhir Ramadhan itu. Ada pula yang mengatakan di tiga malam gnjil terakhir Ramadahan, yakni malam 25, 27 dan 29. Ada pula yang mengatakan dengan spesifik bahwa malam lailatul Qodar itu jatuh pada malam 27. Imam al-Ghazali bahkan membuat rumus (prediksi), malam lailatul qodar dikaitkan dengan permulaan hari pertama bulan Ramadhan.

Penulis sendiri punya pengalaman saat tinggal di Tanah Suci Makkah. Pusat keramaian jamaah shalat taraweh di masjidl Haram sering terjadi di malam 27 dan 29 Ramadhan. Jika kita melaksanakan shalat taraweh di tanggal-tanggal tersebut, maka dipastikan masjid padat dan krowdit dengan jamaah shalat taraweh (saat normal belum pandemi Corona merebak). Bahkan jamaah shalat taraweh membludak hingga ke jalan-jalan raya. Ramainya dua malam Ramadhan ini karena ada kepercayaan dari mereka bahwa malam 27 adalah malam lailatul qodar. Sedangkan malam 29 lebih kepada keinginan mereka ikut mengikuti pembacaan doa khotmul quran bersama imam Masjidil Haram. Karena di sana, dalam setiap tarawehnya imam membaca satu juz lebih setiap satu rakaat tarawehnya, sehingga di malam 29 merupakan malam khotmul qurannya.

Kayakinan warga Saudi bahwa malam al-Qodar jatuh pada 27 Ramadhan sangat beralasan, karena dalam ulama madzhab Hambali mayoritas mengatakan seperti itu. Dikuatkan juga oleh pendapat Ibnu Katsir, bahwa kata LAILATUL QODAR dalam al-Quran hanya disebutkan 3 X dalam surat al-Qodar saja. Sedangkan kata itu terdiri dari Sembilan huruf, yakni LAM, YA, LAM, TA, ALIF, LAM, QOF, DAAL dan RO (ليلة القدر), sehingga jika dijumlahkan 3 x 9 = 27, atau malam 27.

Bagaimana dengan kita? Ketika Allah dan Rasul-Nya merahasiakan kapan ketepatan datangnya lailatul qodar, maka sejatinya kita dianjurkan untuk menghidupakan seluruh malam-malam Ramadhan. Namun andaikata kita tidak mampu, maka berjaga-jagalah di malam-malam ganjilnya, sebab al-Quran juga saat diturunkan terjadi pada malam ke 17, sama tanggalnya dengan tanggal bertemunya dua kelompok pada perang Badar (yaumal talqol jam’an). Namun jika tidak mampu juga, maka hendaklah berjaga-jaga di 10 malam terkahir bulan Ramadahan dengan beri’tikaf seperti yang disunnahkan Nabi saw. Jika itupun tidak mampu, maka beritikaflah di malam-malam ganjil 10 terakhirnya. Dan jika ini pun belum disanggupi, maka beritikaflah di tiga malam ganjil terakhir Ramadhan, yakni malam 25, 27 dan 29. Akan tetapi jika semua yang disebutkan di atas masih belum mampu, maka setidaknya beri’tikaflah di malam 27 Ramadahan.

Jika opsi terkahir pun belum juga bisa atau tidak sempat dilakukan, malulah kepada Allah. Karena sudah berapa waktu usia yang Allah berikan kepada kita?. Jika usia 40 tahun, maka Allah telah memberi waktu 40 x 360 = 14.000 malam/hari kita hidup dengan beragam rezeki-Nya yang dianugrahkan kepada kita. Tidak relakah kita sisihkan waktu barang 10 malam atau setidaknya 1 malam saja menginap berzikir di rumah Allah (masjid)?

Muhammad Jamhuri, 16 Ramadhan 1442 H.

 

Selasa, 27 April 2021

HIKMAH RAMADHAN HARI KE-15: RAMADHAN MENJADI BULAN PERUBAHAN

Tidak disangkal lagi, datangnya bulan Ramadhan telah banyak merubah segala sektor kehidupan. Dari yang skala kecil dan bersifat pribadi, hingga skala besar dan bersifat komunal bahkan negara dan dunia. Dalam skala kecil misalnya, gaya hidup tiap muslim terjadi perubahan. Mulai dari jadwal tidur hingga kehidupan ibadah. Usai shalat isya kaum muslimin tidak langsung tidur atau pulang ke rumah, akan tetapi melaksanakan taraweh secara massal yang tidak dilakukan di bulan lainnya. Intensitas membaca al-Quran pun meningkat dibanding di bulan lain. Dalam skala komunal dan negara, terlihat perputaran ekonomi pun cepat dan menggeliat. Produksi barang dan jasa pun meningkat di bulan Ramadhan. Di bidang media dan telekomunikasi pun, konten-konten acara pun berubah. Acara penuh nuansa religi, bahkan hingga konten iklan pun bernuansa religi.

Namun. perubahan-perubahan di atas bersifat masih parsial dan hanya menyentuh pinggiran-pinggirannya saja dari kehidupan. Perubahannya tidak menyentuh sesutau yang fundamental dan substansial. Sehingga setelah Ramadhan usai, usai pula tradisi kebiasaan yang telah baik itu.

Sebenarnya, ketika Allah menjadikan bulan Ramadhan sebagai satu-satunya nama bulan yang disebut kitabNya, itu karena kemuliaan bulan ini. Dan kemuliaan bulan ini disebabkan karena di bulan ini diturunkannya al-Quran, kitab yang mulia. Jadi, tersebab al-Quran-lah Ramadhan ini menjadi mulia. Sementara itu al-Quran adalah kitab perubah manusia. Dengan al-Quran lah masyarakat yang tadinya masih berada di zaman gelap gulita, menjadi masyarakat yang tercerahkan dan mencerahkan, dari masyarakat terkebelakang menjadi masyarakat yang maju, dari masyarakat yang masih jahiliyah menjadi masyarakat yang berperadaban maju. Jadi, sebenarnya melalui Ramadhan ini Allah menghendaki kita perubahan yang essensial. Yakni terwujudnya masyarakat yang serba keterbelakang menjadi masyarakat yang maju, masyarakat yang dungu menjadi masayarakat yang berakal sehat. Sehingga tercipta peradaban besar yang dapat menegakkan dan menebarkan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan di atas muka bumi. Jadi, bulan Ramadahan hanyalah wasilah (sarana) untuk suatu perubahan besar yang diinginkan oleh misi turunnya al-Quran. “Dan bulan Ramadhan yang diturunkan di dalamnya  al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia, penjelas dari petunjuk itu serta sebagai pembeda antara yang haq dan batil (al-furqon)”. (QS. Al-Baqarah: 184)

Amirul Mukminim Umar bin Khattab berkata, “Innallaah rofa’a bi hadzal kitaab qouman wa yadho’u bihil aakhoriin”. Sesungguhnya Allah telah meninggikan suatu bangsa dengan sebab kitab (al-Quran) ini, dan dengannya juga Allah merendahkan bangsa lain.”

Sejak dahulu bangsa Arab dipandang sebagai bangsa terbelakang. Tak ada peradaban apalagi potensi alam yang dilirik oleh bangsa lain. Sebaliknya, bangsa-bangsa besar yang dikenal maju peradabannya saat itu adalah Romawi dan Persia serta sisa-sisa peradaban bangsa lainnya, seperti Yunani, China, dan India. Bangsa Arab benar-benar bangsa yang tak diperhitungkan sama sekali. Namun berkat al-Quran, bangsa Arab menjadi bangsa yang diperhitungkan dalam kancah percaturan dunia.

Kini, Ramadhan yang kita alami saat ini memang telah banyak merubah sisi kehidupan kita sehari-hari, mulai dari jadwal bangun tidur, kondisi ibadah yang meningkat hingga perubahan sektor ekonomi. Tapi itu hanya bersifat temporer dan sementara. Padahal, Ramadahan yang didalamnya diturunkan al-Quran sejatinya menghendaki kita perubahan dalam kehidupan sehari-hari kita kepada yang lebih baik lagi di setiap waktu. Dan itu hanya bisa terjadi saat kita kembali kepada al-Quran sang Kitab Perubah Semua Bangsa dan umat manusia. Sementara Ramadhan adalah sebagai entry point-nya saja.

Muhammad Jamhuri, 15 Ramadhan 1442 H.

Senin, 26 April 2021

HIKMAH RAMADHAN HARI KE-14: KISAH DARI TOILET, PUASA MENCIPTAKAN RASA KEBERSAMAAN DENGAN ALLAH

Rudi, sebut saja begitu namanya, adalah seorang anak muda baik hati. Suatu hari ia membaca sebuah iklan lowongan kerja di suatu surat kabar dari perusahaan besar. Ia langsung tertarik, karena kebetulan dia belum mendapat pekerjaan sejak lulus dari sebuah kampus swasta sebulan lalu. Ia menulis dan mengirim lamarannya. Beberapa hari kemudian dia mendapat surat panggilan dari perusahaan tersebut untuk sebuah interview. Ia mendatangi lantai lima suatu gedung perusahaan yang sepertinya baru disewa oleh perusahaan yang sedang berkembang dan membuka cabang di daerah itu. Saat tiba di sana, ternyata ada puluhan pelamar yang sedang menunggu antrian diinterview. Di tengah menunggu panggilan antrian, ia ingin buang air kecil, ia pun pergi menuju toilet yang ada di lantai itu. Saat memasuki area toilet, dilihatnya beberapa bagian wastapel dan kacanya masih berdebu. Ia pun mengambil tissue yang ada disitu, dan membersihkan debu-debu tipis yang ada wastafel dan kaca-kacanya.

Saat dia melakukan hal itu, seseorang berpakaian dasi masuk ke area toilet untuk membuang hajat. Ia menemukan anak muda sedang mengelap kaca wastapel. Lalu ia pun masuk ke dalam toilet. Usai buang hajat, sambil berkaca ia melihat anak muda bernama Rudi itu masih terus mengelap-elap wastapel dan kacanya. Orang itu bertanya, “Anda siapa?” Rudi menjawab, “Saya Rudi pak,” Jawabnya sopan. “Apakah Anda karyawan di sini?” Tanya orang berdasi lagi. “Bukan, pak.” Jawab Rudi singkat. “Lalu, jika Anda bukan karyawan sini, mengapa Anda mau membersihkan tempat ini?”. Rudi menjawab, “Anu pak, saya percaya Tuhan saya, Allah, Dia pasti melihat saya, jadi saya percaya pastinya saya akan mendapat pahala.” Sambil ngangguk-ngangguk kagum dan mengelap wajah dengan tissue, orang berdasi itu keluar sambil hanya berucap.”hmmmm”.

Ketika Rudi duduk kembali di tempat antrian, tiba-tiba namanya dipanggil, “Rudi..!” begitu suara panggilan memaanggilnya. Rudi pun datang dan duduk di kursi wawancara. Ternyata orang yang menginterview dan duduk di depan Rudi adalah orang yang ditemuinya tadi di toilet. Orang itu bertanya, “Apakah Anda Rudi yang tadi di toilet, yang bersi-bersih wastapel?”. Rudi menjawab, “Iya pak. Betul.” Tanpa banyak Tanya dan wawancara, Orang berdasi berkata, “Kalau gitu, Anda diterima di perusahaan kami.”

Mengapa Rudi langsung diterima di perusahaan yang dia ajukan lamarannya tanpa banyak pertanyaan saat interview? Karena sang pemilik perusahaan sudah mengenal integritas dan tanggung jawabnya. Belum jadi karyawan saja, dia sudah peduli dan loyal kepada lingkungannya. Apalagi jika jadi karyawan? Begitu mungkin pikir sang pemilik perusahaan.

Inilah contoh sikap-sikap seorang yang merasa dilihat Allah. Dia yakin bahwa Allah swt selalu membersamainya, kapan pun dan di mana pun. Dia bekerja bukan sekedar upah atau dilihat atasan. Akan tetapi dia meyakini bahwa setiap aktifitas kebaikan pasti akan diganjar pahala kebaikan oleh Allah swt. Sebagaimana berbuat kejahatan atau kecurangan akan dibalas Allah swt. Baik dilihat orang atau pun tidak. Inilah sebenarnya pendidikan puasa yang ditanamkan Allah swt kepada setiap diri Mukmin. Seorang Mukmin, meski tak dilihat siapa-siapa, dia malu jika makan atau minum di siang hari, meskipun dalam keadaan dahaga yang sangat. Karena merasa sedang dilihat oleh Allah swt.

Orang yang merasakan kebersamaan dengan Allah swt, setidak mendapat dua manfaat. Pertama, ia selalu berhati-hati dalam berbuat dan bersikap, karena semua aktifitas dipantau Allah. Kedua, dia selalu optimis dalam menghadapi kondisi apapun. Karena ia yakin Allah swt yang bersamanya tidak akan membiarkan dia begitu saja jika tetap mau berusaha. Sikap-sikap ini dalam suatu hadist disebut “Ihsan” dan pelakunya adalah “Muhsin”. “Innallaha Yuhibbul MuhsininSesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan. (QS. Al-Baqarah: 195).

 Muhammad Jamhuri, 14 Ramadhan 1442 H.

Minggu, 25 April 2021

HIKMAH RAMADHAN HARI KE-13: ZAKAT FITRAH DI ZAMAN NOW, LEBIH AFDHOL DENGAN UANG

Setiap tahun di bulan Ramadhan, selalu saja muncul kontroversi tentang zakat fitrah terkait dengan barangnya, apakah harus pakai makanan pokok atau dapat dikonversi dengan uang?. Perdebatan ini akan terus ada. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau. Sama dengan lagu bimbo, setiap datang bulan Ramadhan, pasti terulang lagunya yang berbunyi, “Ada anak bertanya pada ayahnya…buat apa berlapar-lapar puasa…? Ada anak bertanya pada ayahnya buat apa sembahyang taraweh…..?

Perdebatan tentang perbedaan benda yang dikeluarkan dalam zakat fitrah sejak imam mazhab sudah ada. Sama halnya dengan perdebatan masalah rakaat sholat taraweh. Ia akan menjadi pertanyaan sekaligus diskusi di setiap zaman. Sikap terbaik kita adalah toleransi antar umat se-agama. Jika kita saja dituntut untuk beroleransi dengan umat agama lain, maka mestinya kita harus bisa lagi bertoleransi  sesama umat seagama.

Di antara empat madzhab fiqih yang ada, hanya madzhab Hanafi yang membolehkan zakat fitrah dapat dilakukan dengan harga (uang). Memang madzhab Hanafi banyak memberikan kemudahan-kemudahan  dalam masalah keuangan (muamalah). Maklum, selain sebagai ulama, beliau juga seorang pebisnis. Jadi tahu kondisi lapangan. Oleh sebab itu para sarjana ekonomi Islam banyak mengambil fatwa dan pendapatnya dalam melakukan transaksi bisnis dan ekonomi. Pendapatnya banyak menyelasaikan persoalan kontemporer di zaman now. Sehingga mendatangkan kemasalatan bagi kehidupan manusia. Dan zakat sendiri adalah ibadah maaliyah (ibadah bernuansa ekonomi)

Oleh sebab itu, DR. Yusuf al-Qordhowi mengambil pendapat madzhab ini dalam kitabnya Fiqih Zakat yang kemudian diadopsi oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam penentuan kadar harga bagi zakat fitrah di Indonesia. Saya sependapat dengan ini dengan alasan sebagai berikut:

Pertama, di antara hikmah adanya  zakat fitrah adalah agar orang fakir miskin di hari Idul Fitri semua berbahagia dengan tersedianya makanan di hari itu. Nah, di zaman sekarang, yang dimakan fakir miskin dan kebutuhan mereka bukan hanya bisa makan makanan pokok saja di hari itu, tapi juga perlu lauk-pauknya, sayurnya dan makanan lainnya. Nah kalau mereka hanya mendapat makanan pokok, maka mereka tidak bisa membeli lauk-pauknya. Sedangkan jika mereka mendapat zakat fitrahnya berupa uang, mereka dapat membeli beras, lauk-pauk, sayur mayur bahkan bisa beli pembungkus ketupat. Nah disinilah lebih utama zakat fitrah dengan uang.

Kedua, pada beberapa negara kaya dan yang penduduknya minim fakir miskin, sementara kesadaran membayar zakat itu tinggi, maka pada saat tidak ditemukan fakir miskin di sana, mereka akan mendistribusikan zakatnya ke negara lain. Jika berupa makanan pokok, maka mereka akan terkendala waktu. Jangan lupa, kewajiban zakat fitrah adalah pada saat malam takbiran, dan sebagian orang hanya akan membayar zakat fitrahnya di malam takbiran itu karena itulah wakt al-wujub (waktu wajibnya fitrah). Pendistribusian zakat berupa makanan pokok ini akan memakan biaya transportasi lagi. Selain juga waktu tempuh akan lama, dan bisa melewati hari idul fitri sehingga kehilangan hikmah diwajibkannya zakat fitrah yang harus didistribusikan sebelum idul fitri. Sedangkan jika zakat fitrah berupa uang, maka dengan sangat mudah kita transfer ke mana pun. Dan membayar zakat fitrah dengan uang dalam kondisi pendistribusian ke negara-negara yang terkena musibah atau konflik akan terasa terlihat lebih utama karena mereka memerlukan bantuan dengan cepat.

 Ketiga, mungkin orang akan berkata, yang penting bayar dengan makanan pokok, nanti kan untuk kebutuhan lain, fakir miskin itu bisa menjual berasnya lalu dibelikan kebutuhan lauk pauk.? Atas alasan ini, saya punya pengalaman saat kuliah di Arab saudi. Orang Saudi, rame-rame membayar zakat fitrahnya di malam idul fitri karena itulah wakt-al-wujub nya. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan konsumen membeli paket zakat fitrah, banyak dijumpai orang-orang menjual beras paket zakat fitrah menjajakan nya di jalan-jalan. Nah, disamping penjual paket zakat fitrah itu, beberapa orang miskin takroni (negro) duduk siap menerima zakat fitrah. Lalu saya lihat orang Saudi dalam mobil membeli paket zakat fitrah itu dengan harga  15 real, lalu mobil maju sedikit menghampiri orang misikin dan langsung menyerahkan zakat fitrah tadi ke orang miskin itu, kemudian datang lagi pengendara mobil lain, membeli paket zakat dan meyerahkan kepada orang miskin negro lagi seperti orang pertama. Nah, saya ketawa, pada saat pengendara itu menjauh meninggalkan mereka, si miskin yang menerima zakat tadi, menjual kembali paket zakat itu kepada penjual paket zakat dengan harga 10 real. Sampai sini, bapak bisa bayangkan kan ketidak efektifan zakat berupa bahan pokok. Andai saja, muzakki itu memberi zakat fitrah kepada si miskin seharga paket beras fitrah dalam bentuk uang, , pasti dia mendapat zakatnya 15 real perkepala, dan tidak repot-repot lagi harus menjual kepada penjaja paket zakat tadi.” Ujar ustadz menjelaskan panjang lebar.

Kenapa bisa berubah fatwa, sehingga zakat fitrah di zaman sekarang lebih utama? Para ulama Arab Saudi, baik asli orang Arab maupun ualama Arab asal Indonesia semisal Syaikh Yasin al-Fadani saja mengatakan, melempar jumroh di zakan sekarang lebih afdhol malam hari. Padahal para ulama dahulu seperti Imam Nawawi menyatakan bahwa melempar jumroh yang afdhol adalah bakda zawal (wktu zhuhur). Perubahan pendapat ini disebabkan pertimbangan maslhah mursalah (lebih maslahat).

 Muhammad Jamhuri, 13 Ramadhan 1442 H.

Sabtu, 24 April 2021

HIKMAH RAMADHAN HARI KE-12: MEMBIASAKAN BERSEGERA DENGAN AMAL YANG PALING UTAMA

Diceritakan, DR. Mahmud at-Thohhan, dosen  ilmu hadist di Universitas Kuwait, dan penulis banyak buku, yang salah satu karyanya kitab” Taysir Mustholah al-Hadist”, yang dipakai di banyak pesantren Tanah Air,  suatu hari sedang asyik menulis salah satu karya bukunya. Di tengah sedang menulis, terdengar suara adzan dari masjid yang tidak jauh dari rumahnya. Ibunya yang bersahaja dan sekolah dasar mengingatkan puteranya seraya bekata kepadanya, “Ya Mahmud !, sudah adzan, ayo segera pergi ke masjid.” . Karena Mahmud at-Thohhan sedang tanggung menulis, dia menjawab, “Baik, bu..nanti saya ke masjid. Ini tanggung sedang ada ide yang harus ditulis sekarang..”. Ibunya berkata lagi, “Ayo segera berangkat untuk ibadah kepada Allah.” Mahmud menjawab, “Bukankah menulis kitab lalu bermanfaat bagi orang banyak juga adalah ibadah, bu?”. Ujar Mahmud memberi alasan.  Ibunya menasehati,seraya berkata,  “Sesungguhnya ibadah yang utama itu adalah ibadah yang dilakukan pada waktunya, nah sekarang waktunya adzan, pergilah ke masjid.” Mendengar ucapan ibunya, Mahmud Thohhan tertegun, dan ia langsung berangkat ke masjid sambil kagum kepada ibunya yang hanya sekolah SD saja dapat mengucapkan satu “kaidah” luar biasa, “Ibadah yang afdhol (utama) itu adalah ibadah yang dilakukan sesuai waktunya.”

Banyak di antara kita menunggu ibadah hanya jika saat datang bulan Ramadhan. Zakat misalnya, dikeluarkan hanya menunggu datangnya Ramadhan, padahal perputaran harta dan keuntungannya di hitung sejak dia memulai usahamya satu haul (setahun), namun dia menunda pengeluaran zakatnya  hingga datang bulan Ramadhan. Alasannya agar mendapat pahala berlipat ganda di Ramadahan. Bahkan harta yang tidak disangka-sangka, seperti bonus atau hadiah yang bersifat tiba-tiba, oleh ulama diqiyaskan dengan harta rikaz (temuan), harus dikeluarkan sesegera setelah diterima, tapi kita menunggunya hingga datang Ramadhan. Lagi-lagi alasannya, agar pahala amal di bulan Ramadhan dilipat-gandakan. Meski berniat baik, tapi ini sikap egois. Hanya memikirkan “keuntungan” dirinya. Bayangkan, jika ada bencana dan musibah yang terjadi sebelum Ramadahan, dan para korban sangat membutuhkannya di saat itu, apakah kita akan mengeluarka zakat atau sedekah menunggu datangnya bulan Ramadhan?.

Sependek  pengetahuan saya, ment-ta’khir (mengakhirkan) zakat tidak dijelaskan oleh ulama sebagai kebolehan (mubah), apalagi sunnah. Tetapi sebaliknya, justru kalau ta’jil (mendahulukan) zakat dari waktunya masih ada qoul (pendapat) yang membolehkan. Bahkan hampir disepakati jumhur (mayoritas) ulama. Misalnya, waktu wajib (waktul wujub) mengeluarkan zakat fitrah itu adalah pada  malam idul fitri. Akan tetap  dibolehkan dita’jil (dipercepat) pengeluarannya sebelum malam idul fitri. Malahan kalau dita’khir (ditunda) pengeluaran zakatnya hingga usai shalat idul fitri, maka zakat fitrah itu tidak sah dan hanya berfungsi sedekah biasa.

Agaknya,” kaidah”  yang diucapkan oleh seorang ibu sholehah sederhana yang cuma tingkat SD itu  perlu kita pikirkan. Bayangkan banyak keutamaan diperoleh jika diterapkan. Misal datang saat shalat Jumat, datang di awal waktu shalat lima waktu, mengeluarkan zakat atau sedekah kepada para korban musibah, melakukan tugas kantor sesuai ketentuan kantor dan tidak terlambat, datang ke ruang kuliah tepat pada waktunya.. dan lain sebagainya. Aktifitas datang ke masjid pada waktunya saja, kita akan mendapat beberapa keutamaan; pahala mendengar dan menjawab adzan, pahala sholat qobliyah, pahala mendengar dan menajawab iqomah, dan pahala bertakbir ihrom tepat setelah imam bertakbir.

Bukankah Rasulullah saw pernah bersabda saat ditanya amal apa yang paling utama? Beliau menjawab, “Sholat tepat pada waktunya.". Sam Bimbo melantunkan lagunya: “Berbuat baik, janganlah ditunda-tunda….”

Muhammad Jamhuri, 12 Ramadhan 1442 H.

 

 

Jumat, 23 April 2021

HIKMAH RAMADHAN HARI KE-11: PUASA AJARKAN KESETARAAN KITA

Sengaja Hikmah Ramadhan kali  ini saya tampilkan ilustrasi gambar perbandingan besarnya sebagian planet dengan planet lain yang ada di dalam tata surya kita. Anggaplah kita sedang terbang di luar angkasa dan menyaksikan planet-planet dari dalam pesawat ruang angkasa, lalu membandingkan besarnya satu planet dengan planet lain. Maka kita memdapat gambaran bahwa –katakanlah- besarnya planet matahari (sun) itu sebesar bola. Dan besarnya planet Jupiter sebesar klereng. Sedangkan planet bumi (earth) yang kita diami ini hanya sebesar titik (noktah). Pertanyaannya, jika bumi sebesar titik noktah, lalu kita berdiam di atasnya  sebesar apa ya?,  jika dimasukkan dalam skala gambar di atas? Sungguh kita kecil dan tak ada apa-apanya dibanding kebesaran Allah swt. Lalu apa yang mau kita sombongkan?

Itulah sebabnya, setiap kita saat menghadap Allah swt dalam shalat, kita mengucapkan takbir “Allahu Akbar”. Allah Maha Besar. Ke-MahaBesar-anNya tiada tara, Dia yang mengatur seluruh planet di alam raya. Sementara kita tidak ada apa-apanya di hadapanNya. Kita hanya bagai ikan-ikan kecil yang sedang bermain puter sana-sini di akuarium lalu disaksikan anak-anak kecil. Walau kita sudah berulang kali ke luar negeri, tetap masih berada di dalam “aquarium” bumi ittu. Hidup hanya berputar di sekitar situ saja (planet bumi). Sedangkan Allah swt menyaksikan diri kita dari luar ruang alam raya (Allah tak dibatasi ruang dan waktu).  Maka hanya ketundukan yang bisa kita lakukan, ruku dan bersujud dengan segala kepatuhan.

Itu juga yang menjadi aturan puasa yang Allah swt wajibkan kepada kita. Puasa adalah bentuk ibadah  sekaligus aturan dan undang-undangnya Allah swt yang harus ditaati oleh setiap muslim. Tidak pandang bulu, apakah dia seorang presiden atau rakyat jelata, kaya raya atau misikin, pejabat atau rakyat kecil, lelaki atau perempuan. Semuanya punya kewajiban sama di hadapanNya. Sama-sama berlapar-lapar di siang hari. Senang atau tidak, harus tunduk.

Apakah ada orang kaya atau pejabat muslim yang berani mempertontonkan diri melanggar aturan puasa ini, lalu makan di siang hari dan disiarkan televisi nasional dan disaksikan orang banyak?. Tidak. Kecuali dia seorang atheis.  Apakah ada pejabat yang berani membuat aturan bahwa puasa hanya berlaku untuk rakyat, tapi tidak berlaku untuk para petinggi negara?. Tidak. Adakah hakim yang berani memvonis bersalah pada rakyat yang melanggar hukum puasa, sementara membiarkan pejabat dengan pelanggaran yang sama divonis bebas tak bersyarat?.

Itulah semestinya sikap kita saat diajarkan Allah untuk berpuasa. Bersikap sama patuh kepada semua peraturan yang ada, tidak pilih kasih atau tidak tebang pilih. Oleh sebab itu, Allah swt menyebutkan bahwa muara akhir dari ibadah puasa adalah agar kita menjadi orang yang bertakwa “la’allakum tattaqun”. Karena taqwa-lah sebenar-benar faktor kemuliaan seorang hamba bernama manusia. Dan pengejawantahannya adalah ketundukan.

Allah swt berfirman yang artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurot: 13)

 

 Muhammad Jamhuri, 11 Ramadhan 1442 H.

Kamis, 22 April 2021

HIKMAH RAMADHAN HARI KE-10: PUASA, MESTINYA DAPAT MEMBELENGGU SYETAN DIRI

Setiap kali saya menyampaiakan tausiyah Ramadhan, pertanyaan yang sering muncul dari jamaah adalah, “Ustadz, kan kata Nabi saw, syetan-syetan dibelenggu di bulan Ramadhan, tapi kenapa masih banyak manusia yang tidak puasa, bahkan berbuat maksiat?. Berarti syetan masih ada yang belum dibelenggu”.?

Saya sering menjawab dengan jawaban seperti ini, “Ya.., mereka itulah syetannya”. 

Begini, hadist Nabi saw yang menyebut tentang dibelenggunya syetan kan panjang. Dan semuanya terkait dengan alam ghaib. Coba perhatikan isi kandungan hadistnya. Di sana  disebut tentang pahala yang dilipat gandakan, dosa yang diampuni, pintu surga yang dibuka, pintu neraka yang ditutup. Semua itu kan hal-hal yang ghaib. Maka dalam memahami “syetan” yang dibelenggu pun adalah syetan yang dari kalangan bangsa ghaib. Yakni jin. Bukan syetan yang nampak atau zhahir. Al-Quran memakai redaksi kalimat syetan kepada dua, yakni “Syaithonal insi wal jinn (setan manusia dan jin).  Atau dengan ungkapan lain “minal jinnati wan naas” (dari kalangan jin dan manusia). Itulah sebabnya, jika ada manusia yang masih tidak puasa padahal tak ada udzur, atau masih ada manusia yang berbuat maksiat di bulan puasa, dia tidak termasuk syetan yang dibelenggu. Karena syetan jenis manusia bukan makhluk ghaib.

KH. Musthofa Bisri , seorang ulama dan budayawan, pernah berkata, “Sekarang banyak muslim, yang tidak mau lagi membaca al-Quran.  Karena al-Quran itu suka menyinggung dirinya.” Ungkapan ini dalam sekali. Kenapa? Karena banyak manusia yang lebih banyak berjiwa kesyetanannya dari pada kemanusaiaannya, apalagi berjiwa kemalaikatannya, jauh.  Koruptor, penipu, pecundang, pembohong itu kan syetan makhluk zhahir?.

Sementara, fungsi al-Quran  itu menyentuh jiwa manusia. Namun, orang-orang munafik selalu merasa tersinggung dan khawatir jika turun wahyu, karena akan membongkar watak asli mereka. “Yahsabuuna kulla shoyhatin ‘alaihim” (mereka selalu menyangka setiap ucapan adalah menyinggung pribadi mereka). Padahal, sikap ketersinggungan oleh al-Quran, dirasakan juga oleh kaum mukminin. Hanya penyikapannya yang berbeda. Para sahabat jika membaca al-Quran dan menyentuh kalbunya, mereka menangis karena khawatir akan ancaman Tuhan, tetapi orang-orang munafiq malah bersikap membenci, kesal, dan ngedumel, jika hatinya disinggung oleh al-Quran. Sikap-sikap ini lah sikap syetan yang sesat yang masih ada dalam diri manusia.

Allah sudah mengubah suasana Ramadhan menjadi suasana kondusif bagi peningkatan iman tiap manusia yang beriman. Itulah makna lain “dibelenggunya syetan-syetan” dalam hadits tersebut. Lalu, apakah kita tega menggantikan peran syetan-syetan terkutuk itu dalam diri kita?. Sejatinya, puasa dapat membeleggu syetan dalam diri kita. Wallahu a’lam.

Muhammad Jamhuri, 10 Ramadhan 1442 H.

Selasa, 20 April 2021

HIKMAH RAMADHAN HARI KE-9: PUASA: CARA MATI HUSNUL KHOTIMAH

Pada tahun 2008, saya pernah membimbing jamaah haji. Di antara jamaah haji yang saya bimbing adalah pasangan suami isteri usia tua baya asal Makasar, mereka berusia sekitar 55 tahun. Saat itu kami telah melaksanakan puncak rukun haji, yaitu wukuf di Arafah dan langsung mabit melewati Muzdalifah tengah malam. Tinggal rukun thowaf ifadhoh yang belum dilaksanakan di hari krowdit itu. Karena thowaf harus dilakukan dalam keadaan suci (berwudhu), maka kami pun mampir ke hotel sejenak untuk berwudhu demi menghindari  kepadatan di masjidil haram jika berwudhu di sana.

Istri dari jamaah asal Makasar itu sudah berwudhu, sambil menuggu jamaah yang lain, ia duduk-duduk di shofa lobi hotel. Namun dia mulai tidak enak badan. Sambil minta dibacakan al-Quran kepada suaminya, ia pamit kepada suami nya sambil bersyahadat, dan ibu itu pun meninggal dunia dengan mudah.

Semua jamaah di hotel  kaget. Namun mereka harus segera berangkat thowaf ifadoh. Esoknya jenazah pun dimandikan dan dibawa ke masjidil Haram. Lalu disemayamkan di Hijir Ismail di samping kabah. lalu usai zhuhur dishalatkan oleh jutaan jamaah yang sedang beribadah haji.

Melihat fenomena langka ini  dan saya anggap kematian yang indah, saya memberanikan diri bertanya kepada suaminya. “Apa amalan isteri bapak sehingga mendapat kemulian wafat dalam keadaan thoharah (suci)?, di tanah suci, pula, di tengah ibadah yang amat suci, dan dikebumikan di Tanah yang suci?” Suaminya menjawab, “Ada dua kebiasaan isteri saya yang saya kagumi. Pertama, dia tidak pernah bertanya/curiga  kenapa saya pulang malam, padahal saya sering pulang malam karena urusan bisnis, saya ini pengusaha. Malah dia menyambut kedatangan saya dengan hangat setiap saya datang kapanpun. Kedua, kebiasaan isteri saya adalah berwudhu setiap akan keluar rumah, walau hanya pergi ke tempat yang tidak terlalu jauh. Dia yakin, dalam keadaan berwudhu, dia akan dijaga oleh Allah swt.”

Saya melongo dan tertegun mendengar jawabannya yang terakhir ini, lalu muhasabah betapa saya tidak semulia ibu itu? Saya langsung ingat ayat yang dulu pernah didapat di pesantren, namun seakan baru belajar lagi ayat itu, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan bersuci (mutathohhirin)” (QS. Al-Baqarah: 222)

Dari peristiwa itulah saya menyimpulkan, berwudhu (bersuci) adalah Cara Mati Husnul Khotimah. Bayangkan jika kita bersuci, kemudian  tetiba ada kecelekaan yang merenggut nyawa kita, betapa indahnya jika menghadap Allah dalam keadaan suci dan dicintaiNya?

Selain bersuci. Puasa. Saya ingat hadist nabi saw saat puasa hari kamis ditanya, “Mengapa engkau puasa senin dan kamis?” Nabi saw menjawab, “Karena hari  senin adalah hari kelahiranku, sedangkan hari kamis adalah hari dimana amal sedang diangkat/disetor  dan aku menyukai  saat diangkatnya aku dalam keadaan sedang beribadah (puasa).”

Bayangkan, andai orang berpuasa sedang tidur pun tetap dicatat sedang beribadah. Bagaimana saat berpuasa kita di takdirkan tidur selamanya?.Berarti tidur terakhir itu dalam keadaan sucim bukan?  Bukan kematian yang harus dikhawatirkan, karena ia pasti akan datang. Yang perlu kita khawatirkan adalah cara atau kondisi saat kita mati. Semoga Allah swt mencatat kita wafat dalam kondisi husnul khotimah.

Muhammad Jamhuri, 9 Ramadhan 1442 H.

HIKMAH RAMADHAN HARI KE-8: KELEBIHAN DIMENSI RUANG DAN WAKTU UNTUK UMAT NABI MUHAMMAD SAW

Oleh: Muhammad Jamhuri

Diceritakan, seorang lelaki usia tua baya bekerja sebagai supir pribadi  sang Kyai. Dia rela hanya dibayar makan dan biaya pendidikan satu-satunya puteri yang dia miliki. Sudah 20 tahun dia membawa kendaraan mengantar sang Kyai kemanapun Sang Kyai itu pergi. Baik dalam rangka berdakwah maupun untuk keperluan pribadinya. Dia sangat bahagia dapat berkhidmat kepada sang Kyai meskipun tidak menerima nominal honor kecuali sesekali diberi tip oleh Kyai. Dia selalu ikut shalat berjamaah di belakang sang kyai, baik di dalam maupun luar kota. Kebiasaan itu terus dilakukan selama 20 tahun.

Suatu kali ada seorang pengusaha Madura datang ke pesantren. Pengusaha yang percaya dengan berkah sang Kyai bermaksud ingin menikahkan putranya kepada putri sang Kyai. Namun sang Kyai tidak mempunyai anak puteri. Setelah sempat ngobrol lama dengan supir sang kyai sebelum bertemu sang Kyai menyelesaikan urusannya di dalam rumah, pengusaha itu pun memohon kepada sang Kyai untuk dapat menikahkan puteranya dengan puteri supir kyai. Dia yakin supir kyai yang telah mengabdi  pada kyai selama 20 tahun pasti akan turun berkah kepadanya. Awalnya sang supir tidak mau puterinya dilamar pengusaha besar itu, namun karena sang kyai pun  merestui, maka diterimalah lamaran tesebut. Jadilah sang supir berbesan dengan sang Pengusaha

Subhanallah…, pasangan kedua mempelai nampak sangat bahagia. Dan setelah beberapa bulan, pengusaha itu pun menghibahkan sebagain harta kekeyaannnya kepada sang supir Kyai itu. Dia memberikan rumah, sawah, ladang dan memberangkatkan haji sang supir itu.

Salah seorang ustadz yang menganali supir kyai itu melihat fenomena keberkahan sang supir  ini berkomentar, “Sesungguhnya, meskipun supir itu honornya yang jika dinominalkan hanya satu juta rupiah, sebenarnya dia menerima 27 juta rupiah. Sebab dia tidak pernah meninggalkan sholat berjamaah bersama sang Kyai selama 20 tahun. Sebab kualitas hidup dan sholat dia sebenarnya 27 derajat. Hanya saja yang 26 juta “dicelengin” (disimpan) oleh Allah. Dan Allah pecahin/buka celengannya di Timing (waktu) yang Allah Maha Mengethui kapan waktunya.”

Saudaraku, Kita sebagai umat Nabi Muhammad saw memang diberi usia lebih pendek dibanding dengan usia umat nabi-nabi sebelumnya. Namun Allah berikan keistimewaan kepada umat nabi Muhammad berupa dimensi  ruang dan dimensi waktu. Dimensi  ruang, Allah sediakan Masjdil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha, yang jika kita beribadah di sana nilainya sangat besar dan dilipatgandakan. Namun, tidak setiap kita mampu berangkat ke sana. Namun ada keistimewaan dimensi waktu  yang diberikan buat kita, antara lain sholat berjamaah yang pahalanya 27 kali lipat, ibadah di bulan Ramadhan yang pahalanya dilipat gandakan berkali-kali. Bahkan Allah swt  telah siapkan jamuan istimewa berupa malam lailatul qodar yang pahalanya lebih baik dari ibadah 1000 bulan “lailatul qodri khoirun min alfi syahrin”. Jadi jangan sia-siakan kesempatan dimensi waktu yang Allah berikan ini.

Muhammad Jamhuri, 8 Ramadhan 1442 H.

HIKMAH RAMADHAN HARI KE-7: OPTIMALISASI RAMADHAN SEBELUM MENYESAL KEMUDIAN

“Adakah dalil yang menyuruh atau menjelaskan akan kesunnahan tidur setelah subuh di bulan Ramadhan?  Sepanjang saya hidup, saya belum pernah menemukan dalil  yang menganjurkan tidur setelah shalat subuh di bulan Ramadhan”. Begitulah salah satu kutipan ceramah yang dikemukakan oleh Habib DR. Salim Segaf al-Jufri  dalam suatu kesempatan acara yang sebagian besar hadirin adalah para da’i.

Saya lalu merenung dan membatin, “iya ya? Kenapa yang terjadi saat ini fenomena tidur setelah subuh di bulan Ramadhan menjadi seperti  “sunnah”/kebiasaan dan “amalan” kebanyakan kaum muslimin di Tanah Air?, bahkan mungkin di negeri Arab, seperti yang saya alami saat tinggal Arab Saudi”?. Lalu saya kotak-katik pelajaran dan buku yang terkait dengan bab puasa.  Benar, tidak ada hadist atau ayat tentang itu. Kalau pun ada, hanya hadits “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah.” Kalau pun ini hadis bersifat umum, tapi tetap tidak bisa dijadikan dalil disunnahkannya  tidur setelah subuh, sebagaimana yang telah kami jelaskan di Hikmah Ramadhan Hari ke 3 (lihat : https://muhammadjamhuri.blogspot.com/2021/04/hikmah-ramadhan-hari-ke-3-keunggulan.html )

Memang mestinya , di bulan yang penuh berkah dan dilipatgandakannya segala ibadah, kita harus optmalkan. Karena Allah swt sudah begitu kasih sayang kepada kita. Allah sudah beri kesempatan sekali lagi pertemuan kita dengan Ramadhan. Tahun depan belum tentu kita dapat bertemu lagi dengan Ramadhan. Kalau bisa,  hari-hari kita selama Ramadhan tidak melepas kesempatan ibadah “pergi haji dan umroh” . Kita bisa melaksanakan “iumroh dan haji” setiap hari. Bagaimana caranya? Jangan tidur setiap habis shalat subuh.

Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa melaksanakan shalat fajar (subuh) berjamaah, kemudian dia tetap duduk berdzikir kepada Allah hingga terbit matahari, kemudian shalat sunnah dua rakaat, maka baginya pahala haji dan umroh, sempurna, sempurna, sempurna” (HR: Tirmidzi). Lihat juga : https://muhammadjamhuri.blogspot.com/2012/01/berhaji-dan-umroh-tanpa-ke-mekkah.html

 Muhammad Jamhuri 7 Ramadhan 1442 H.

HIKMAH RAMADHAN HARI KE-6: DENGAN PUASA, KITA BELAJAR JATI DIRI

Ada orang bertanya, kenapa ulama memakruhkan bersikat gigi atau bersiwak  di siang hari saat puasa? Bukankah Islam mengajarkan kebersihan dan wewangian? Kenapa hadits yang berbuyi, “Bau mulut orang yang sedang puasa lebih wangi dari minyak kesturi?” menjadi  dasar hukum di atas?

Inti sebagai hamba itu sebenarnya kepatuhan.  Kepatuhan pada segala perintah dan larangan yang datang dari Tuhan. Dalam bahasa al-Quran sering disebut “Sami’na wa atho’na”.  Nabi Ibrahim as diuji bertubi-tubi oleh Allah swt, selalu patuh. Bahwa ada pergolakan pemikiran itu biasa. Tapi intinya kepatuhan dengan sempurna. “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan) dia melaksanakannya dengan sempurna.” (QS.2:124)

Kembali ke masalah bau mulut. Ini sama dengan larangan tidak dibolehkannya  memakai wewangian pada saat ihrom di haji atau umroh. Bahkan di sini lebih  radikal lagi, tidak boleh memakai baju berjahit bagi laki-laki. Itu semua diatur agar manusia mengenal  jati dirinya. Bahwa, dia akan bau seperti mayit. Pakaian ihrom yang mirip dengan kain kafan serta tidak boleh memakai wewangian tersiimpan pesan agar manusia mengenal  jati dirinya. Dia akan mati atau membau. Dengan begitu dia harus lebih patuh kepada Allah swt.

Andai kita menjadi peserta outbond, kadang dua hari kita tidak sempat mandi. Para traininer begitu padat membuat acara di alam terbuka, bahkan kita harus berkotor-kotor dengan tanah merah. Tapi kita tidak melanggar segala aturan yang ditentukan panitia.  Kita patuh dan manut, karena di sana reward dan punishment.  Itu sikap kita kepada manusia. Bagaimana dengan Allah?.

Allah Maha mengetahui, bahwa di antara hambaNya ada segolongan elit dan kaya,  atau golongan orang yang tidak biasa mulutnya bau. Baik karena tidak makan, diam lama, atau lama tidak merokok.  Maka Allah menguji mereka dengan puasa.  Apakah mereka berani meninggalkan kebiasaan makan dan merokoknya selama berpuasa. Apakah mereka siap mulutnya bau karena itu? Nah, untuk sugesti itulah,  Rasulullah saw memberi  kabar gembira, bahwa meskipun menurut manusia bau, namun di sisi Allah swt  wangi bagai harum minyak kesturi.

 

Muhammad Jamhuri 6 Ramadhan 1442 H.


Sabtu, 17 April 2021

HIKMAH RAMADHAN HARI KE - 5 : DOSA PERUT ADALAH YANG SANGAT MEMBINASAKAN

Oleh ; Muhammad Jamhuri

Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda: "Jauhilah olehmu sikap sombong, karena Iblis tidak mau bersujud kepada Adam disebabkan oleh sikap sombong. Jauhilan olehmu sikap serakah, karena Adam as melanggar memakan pohon yang dilarang karena sikap serakah. Jauhilah olehmu sikap dengki, karena anak Adam membunuh saudaranya karena disebabkan sikap dengkinya" (HR: Ibnu Asakir dari Ibnu Mas'ud)

Imam al-Ghozali dalam Ihya Ulumuddin, Kitab  Kasr Syahwatain (Menghancurkan Dua Syahwat) menyebut bahwa, dosa yang sangat membinasakan (a'zhom al-Muhlikaat) manusia adalah perut. Karena urusan perutlah nabi Adam as dikelurkan dari surga. Beliau juga menyebut bahwa sumber syahwat dan bencana adalah perut. Nafsu perut ini -menurut beiau- pada gilirannya akan menimbulkan nafsu syahwat kelamin (syahwat al-farj). Nafsu kelamin nanti akan menyebabkan  nafsu jabatan dan nafsu harta (syahwat al-jaah wal maal). Dari nafsu jabatan dan harta ini akan menimbulkan sifat dengki dan kebanggaan diri (al-hasad wal al-riya) serta rasa bangga dan berlomba dalam keduniaan. Dan pada akhirnya itu semua akan melahirkan sikap aniaya dan lalim, kemungkaran dan perilaku keji (al-baghy, al-munkar wal fahsya).(ihya ulumudin jilid 3 hal. 87)

Jika kita memperhatikan ucapan Al-Ghazali, betapa dahsyatnya bahaya perut. Mulai dari dampaknya kepada pribadi hingga menyeret kepada dampak komunal dan negara. Karena dosa kezhaliman dan timbulnya fitnah di tengah masyarakat pangkalnya adalah ketamakan perut. 

Puasa adalah jalan terbaik untuk mengendalikan nafsu perut yang menjadi penyebab segala nafsu ikutannya. Almarhum KH. Abuya Uci Turtusi pernah memberi pesan, "Kurangilah makan, kurangilah tidur dan kurangilah ngomomg. Karena kebiasaan orang-orang shaleh adalah puasa, qiyamullail dan banyak berzikir."

Kita sebagai muslim patut bersyukur kepada Allah yang telah memberi syariat puasa. Tak ada agama yang memiliki aturan puasa selengkap yang terdapat dalam Islam. Itulah sebabnya di akhir ayat puasa, Allah memerintahkan kita untuk bersykur kepada Allah swt : "Dan besarkanlah nama  Allah atas hidayah (puasa) yang Allah berikan padamu agar kamu bersyukur" (QS.Al-Baqarah: 185)

Jumat, 16 April 2021

HIKMAH RAMADHAN HARI KE-4: SEBAB KEMULIAAN RAMADHAN

 Allah swt memang menyebut jumlah bulan-bulan dalam setahun ada dua belas bulan “inna ‘iddatas Syuhuuri ‘ indalllahist tsana ‘asyaro shayron”. Tapi Allah tidak menyebut satu nama bulan pun kecuali hanya bulan Ramadhan saja, yaitu pada Surat Al-Baqarah: 185. Meskipun Allah menyebut ada tiga bulan yang disebut bulan haram, tapi tidk menyebut nama-nama bulan tersebut. Nama-nama tersebut kita dapati dari hadist-hadist dan tafsir para ulama. Dan penyebutan bulan Ramadhan pun di dalam al-Quran dikaitkan dengan diturunkannya al-Quran. “Bulan Ramdahan yang diturunkan di dalamnya al-Quran”

 Redaksi ini pengkaitan ini memberi kesan, bahwa sebab kemulian bulan Ramdahan –sehingga menjadi satu-satunya bulan yang disebut Allah dalam kitabNya- adalah karena dikaitkan dengan peristiwa turunnya al-Quran. Sehingga sumber penyebab bulan ini menjadi bulan yang mulia adalah karena diakitkan dengan al-Quran yang merupakan firman Allah yang bisa kita resapi pesan-pesannya secara langsung di alam dunia ini lewat kitab itu.

 Jika kita renungkan, nampak bahwa segala hal yang dikaitkan atau terkait dengan al-Quran, maka sesuatu itu akan menjadi mulia. Sebut saja bulan Ramadhan, ia menjadi nama bulan satu-satunya yang disebut Allah dalam kitabnya, karena terkait dengan turunnya al-Quran. Nabi Muhammad saw sebagai nabi yang termulia karena beliaulah satu-satunya nabi yang diturunkan padanya al-Quran. Lailatul Qodar menjadi malam yang mulia karena di malam itu diturunkannya al-Quran. Kota Makkah dan Madinah menjadi dua kota suci yang dimuliakan karena di kedua kota itulah diturunkannya al-Quran. Karenanya kita mengenal surat-surat al-Quran Makkiyah dan Madaniyah.

 Jadi, sesuatu apapun yang disandarkan kepada al-Quran, maka sesuatu itu akan menjadi mulia. Perusahaan yang menyilakan karyawannya diberi waktu membaca al-Quran atau mengadakan kajian tentang al-Quran, maka perusahaan itu insya Allah akan dimuliakan. Kantor yang memberi waktu pegawainya mengaji atau mengkai al-quran, maka kantor itu akan dimuliakan. Sekolah yang membuka program tahfizh atau ilmu alquran, maka sekolah itu akan dimuliakan atau maju mulia. Bersyukurlah saat ini,sudah  marak dan tumbuhnya rumah-rumah al-Quran dan pesantren-pesantren yang membuka program tahfizh al-Quran.  Semoga dengan tumbuhnya kesadaran umat dan bangsa ini pada al-Quran akan mengantarkan umat, bangsa dan negara ini menjadi mulia dan berwibawa di hadapan bangsa-bangsa lain. Aamiin.

Umar bin Khattab ra berkata: “Sesungguhnya Allah mengangkat derajat suatu umat dengan kitab (al-Quran) ini dan juga merendahkannya..(karena tidak peduli)” 

Jamhuri 4 Ramadhan 1442 H.

Kamis, 15 April 2021

HIKMAH RAMADHAN HARI KE-3: KEUNGGULAN IBADAH PUASA

Oleh: Muhammad Jamhuri

Seringkali saat dihadapkan pada teks dalil, bukan teksnya yang yang salah, tapi penyikapan kita yang salah. Sebagai contoh, tidak ada yang salah saat para ulama mendefinisikan “Sunnah adalah jika dikerjakan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan tidak apa-apa”. Yang salah adalah penyikapan kita. Kita lebih konsentrasi pada bagian akhir definisi itu, “jika ditinggalkan tidak apa-apa”. Sehingga kita meremehkan amalan yang hukumnya sunnah, seperti  sholat awal waktu, shalat berjamaah dan lainnya. Atau timbul ungkapan, “Ah itu kan cuma sunnah saja, nggak dikerjakan pun gak apa-apa”. Padahal dalam kehidupan, cuma sekarang lah saatnya kita mengumpulkan pahala. Kalau sudah berpisah dengan dunia, kita tidak bisa lagi menabung pahala amal.

Kesalahan penyikapan juga terjadi pada teks hadist Nabi saw yang terjemahannya:  “Tidurnya orang berpuasa adalah ibadah” sehingga orang memahami dan menyikapi nya dengan memperbanyak tidur saat puasa. Toh tidur orang puasa juga ibadah?.Begitu sebagaian orang menyikapi hadist itu. Lalu,  mengapa kita tidak menyikapi dengan mafhum muwafaqoh. Tidur saja sudah ibadah, maka apalagi zikirnya?, tilawahnya?

Sebenarnya,  hadits itu lebih menjelaskan keutamaan dan keunggulan puasa. Sebab ibadah yang dapat dilakukan secara pasif (berupa tidur) dan tanpa bantuan orang adalah ibadah puasa. Coba perhatikan ibadah sholat, dia tidak bisa dilakukan sambil tidur. Karena di sana ada gerakan ruku dan sujud, dan itu tidak bisa dilakukan dalam keadaan tidur. Demikian juga saat mengeluarkan zakat, tidak mungkin dilakukan dalam keadaan tidur. Sedangkan ibadah haji, meski dapat dilakukan dalam keadaan tidur, tapi saat thawaf, sa’I, wukuf dan melontar jumroh, semuanya membutuhkan bantuan orang.  Hanya puasa saja, ibadah yang dapat dilakukan sambil tidur dan tanpa bantuan pihak lain. Oleh sebab itu, hadist itu sejatinya menjelaskan tentang keadaan tidur yang masih dicatat sebagai ibadah, karena tidurnya dilakukan dalam keadaan sedang beribadah, yakni berpuasa, maka ia pun ikut terbawa sebagai ibadah.

Maka saat kita membaca dan mentadabburi  hadits itu, timbul kesimpulan, betapa ibadah puasa lebih unggul dari ibadah lainnya. Jika pahala amal lain dilipatgandakan hingga sepuluh kali, seratuskali, hingga tujuh ratus kali pahala. Akan tetapi pahala puasa dapat mengungguli pahala lainnya. Sebagaimana pernyataan Allah dalam hadits qudsi, “Puasa adalah untukKu, dan (terserah) aku yang akan memberi pahalanya”.

 Jadi, jika kita membaca al-Quran hanya kuat selama dua jam, shalat hanya  sanggup dikerjakan dalam beberapa rakaat (dua jam), zikir hanya tiga jam misalnya, maka puasa  dilakukan sepenjang hari (sekitar 12 jam bertutur-turut), meskipun dalam kondisi yang pasif (tidur).

 M. Jamhuri 3 Ramadhan 1442 H.

Rabu, 14 April 2021

HIKMAH RAMADHAN HARI KE-2 : KECERDASAN SPRITUAL PADA PUASA

Entah berapa polisi yang harus dikerahkan jika puasa adalah aturan buatan manusia. Mungkin setiap jengkal  tanah harus ada polisi untuk memastikan setiap warga mematuhi aturan ini. Tapi puasa adalah aturan Tuhan. Pengawas dan pengatur tiap inchi kehidupan.

Saat kita masih kecil awal-awal belajar puasa, betapa rasa haus menggelayut di siang hari. Tapi toh kita tidak berani minum atau makan sekalipun tak dilihat manusia. ? Itulah kecerdasan spritual. Kecerdasan tertinggi manusia.  Kecerdasan meninggalkan kecurangan dan maksiat meski  tak diketahui manusia.

Kecerdasan inilah melahirkan manusia-manusia jujur yang  kini dirasa mulai langka. Kecerdasan inilah melahirkan episode seorang hamba penggembala kambing milik tuannya tidak mau menjual kambing walau coba dirayu Umar.  Hamba itu memang tidak diketahui tuannya jika korupsi ternak milik tuannya, tapi dia yakin diketahui Tuhan tuannya.

Kecerdasan spritual ini juga yang melahirkan seorang gadis yg tidak mau mencampur susu dagangannya dengan air agar mendapat keuntungan lebih, meskipun ibunya yang menyuruhnya. Hingga Umar bin Khttab menjodohkan gadis dengan salah seorang putranya. Umar tak melihat berapa IP atau peringkat nilai kecerdasan intelektualnya. Dan perjodohan inilah  yang dikemudian hari dari keturunannya lahir tokoh Umar bin Abdul Aziz, sang khalifah yang adil dan menebar kesejahteraan pada rakyatnya.

Itulah sifat-sifat ketakwaan yang dilahirkan dari ibadah puasa. Dan derajat muttaqin itulah yg menjadi tujuan puasa, yang hari-hari ini sangat langka menemukannya di tengah masyarakat, apalagi di tengah para elit dan penguasa.

 Jamhuri 2 Ramadhan 1442 H.

Selasa, 13 April 2021

Hikmah Ramadhan Hari Ke-1 : Fadhilah Memuliakan Ramadhan

Dikisahkan seorang anak kecil Yahudi sedang bermain sambil makan di siang hari di bulan Ramadhan tanpa menghiraukan kaum muslimin sedang berpuasa. Ketika orang tua Yahudi melihat anaknya melakukan hal itu, segera ia melarang anaknya dan menyuruh anak itu untuk makan di dalam rumah, sebagai ungkapan menghormati kaum muslimin yang sedang melaksanakan puasa.

Waktu pun berjalan, dan Ayah Yahudi itu sakit. Saat itu dia menyatakan masuk Islam, dan kemudian wafat menemui ajalnya dalam keadaan muslim. Subhanallah.. hanya karena menghormati bulan Ramadhan orang tua Yahudi itu husnul khotinah. "AI-Islamu yajubbu maa qoblahu" keislamannya menghapus dosa sebelum keislamannya.Itu lah pahala seorang muallaf.
Saudaraku. Kini justru umat Islam sendiri yg menghinakan agamanya. Makan minum bebas di siang Ramadhan. Bahkan ada ungkapan "Hormatilah orang yg tidak puasa", suatu kalimat benar tapi untuk kebatilan. Ada pula yang membuat statemen yg menyakiti kaum muslim dg ungkapan bahwa islam adalah sarang teroris dan radikal dan ungkapan sampah menjijikan lainnya.
Amal baik itu sebenarnya mudah. Lakukan saja apa yg dititahkan Rasulullah saw..pahala akibatnya adalah kebaikan. Spt yg dilakukan Yahudi itu. Bukan kah ada ungkapan, "Siapa yg berbahagia dengan datangnya Ramadhan, maka jasadnya diharamkan dari api neraka.?"
Jamhuri 1 Ramadhan 1442 H