Senin, 26 Maret 2012

Plularitas Yes Plularisme No

Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab  kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya 
(QS. Ali Imran: 19)

Akhir-akhir ini isu plularisme sedang hangat dibicarakan. Isu ini dielu-elukan oleh kaum liberalist (orang yang menginginkan kebebasan dalam segala hal tanpa batas) untuk menyampaikan pesan kedamaian, meskipun di balik pesan itu ada misi pendangkalan akidah dan keyakinan pada umat Islam.

Bahkan mereka menokohkan seorang “ulama” yang dianggap tokoh plularisme,  agar diikuti oleh generasi berikutnya. Padahal tokoh tersebut justru banyak membela kaum kafir ketimbang membela nasib umat Islam.

Dalam menyampaikan idenya, mereka menyampaikan dalil-dalil al-Quran dengan tafsir hawa nafsunya. Dialihkannya makna ayat kepada makna yang diinginkannya. Terkadang mengutip ayat pun tidak utuh sehingga maknanya pun tidak utuh lalu di alihkan ke makna yang dikehendakinya. Ada pula, ayat-ayat tersebut maknanya lebh cenderung bersifat plularitas bukan plularisme. Plularitas dibolehkan dalam agama, sedang plularisme dilarang dalam agama. Lalu apa perbedaan antara plularisme dan plularitas?

Plularitas adalah kondisi objektif bahwa manusia beraneka ragam, baik suku, agama, ras, budaya  maupun warna kulitnya. Kondisi objektif ini tidak bisa dipungkiri karena merupakan sunnatullah. Allah swt berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal “ (QS. Al-Hujurot: 13)

Kemudian dalam memilih agama pun,  Islam tidak pernah memaksakan, firman Allah swt: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus “ (QS. Al-Baqarah: 256)

Akan tetapi Allah swt menegaskan bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah agama Islam. Firman Allah SWT: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam “ (QS. Ali Imran: 19)

Pada zaman Rasulullah saw, saat beliau memimpin Madinah dengan penduduknya yang heterogen terdiri dari beberapa suku, yakni suku Quraisy yang merupakan kaum muhajirin, suku Aus dan Khazraj yang merupakan kaum Anshar, dan suku Yahudi yang terdiri dari beberapa ras Bani Quraizhah, Bani Nadhir dan lainnya. Rasulullah saw telah membuat kesepakatan dengan bangsa Yahudi dalam bentuk Piagam Madinah (Watsiqoh al-Madinah) yang berisikian hidup rukun dan damai serta tidak menganggu penganut agama masing-masing dan tidak berkhianat. Akan tetapi bangsa Yahudi selalu melanggar perjanjian dengan penghinaan kepada wanita berjilbab saat  turun ayat hijab (jilbab). Ini berarti telah melanggar perjanjian  karena telah menggagu keyakinan umat lain. Belum lagi pengkhianatan mereka saat menyerang Madinah bersama suku Arab lain pada perang Ahzab.

Intinya, Islam mempersilahkan orang non muslim hidup damai dengan orang Islam, dan mengakui adanya kebhinekaan dan keragaman. Itulah yang disebut plularitas.

Sedangkan plularisme adalah suatu ajaran atau isme yang meyakini bahwa semua agama dibangun atas dasar relativisme, yakni bahwa kebenaran agama-agama itu bersifat relatif (nisbi). Artinya, dalam ajaran plularisme, tidak boleh meyakini bahwa kebenaran agamanya bersifat mutlak. Dan oleh karena itu harus meyakini bahwa di agama lain juga ada kebenaran. Sehingga timbul ungkapan bahwa “semua agama sama.”

Keyakinan seperti jelas akan mendangkalkan akidah. Sebab agama yang benar di sisi Allah adalah agama Islam. Dalam ayat lain Allah swt berfirman,  Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Ali Imaran: 85).

Bersifat fanatik kepada agama yang dianutnya adalah kewajiban. Sebab jika tidak, berarti masih meragukan akan kebenaran agama yang diyakininya. Akan tetapi sifat fanatik ini tidak akan menghilangkan sifat tolerans. Justru memaksa-maksa agar meyakini agama lain adalah benar adalah sifat tidak toleran. Biarlah setiap penganut agama meyakini bahwa agama yang dianutnya benar, jangan memaksa untuk berkata semua agama benar.

Dalam al-Quran ,Allah  swt menegaskan, “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu “ (QS. Al-Baqarah: 147). Kita tidak boleh ragu bahwa agama Islam yang yang kita anut adalah agama yang benar. Adapun penganut agama lain yang meyakini bahwa agamanya itu benar menurut mereka, maka kita persilahkan, asal kita sebagai muslim tidak mengakui dan tidak meyakini bahwa agama mereka benar menurut kita. Dan mereka pun tidak dipaksa untuk meyakini bahwa agama kita benar menurutnya. Janganlah kita dipaksa berkata dan meyakini bahwa semua agama itu benar dengan alasan toleransi.

Toleransi bukan berarrti membenarkan agama lain. Toleransi adalah hidup saling menghormati dalam keragaman dan kebhinekaan, tanpa harus menggadaikan akidah dan keyakinan.

Sayangnya, banyak orang muslim, bahkan para “ulama”nya mendewa-dewakan ajaran plularisme yang berlandaskan pada relativisme semua ajaran, lalu orang yang anti plularisme dianggap sebagai anti toleransi.

Kita harus berani mengatakan, Plularitas dan toleransi Yes, tapi plularisme No ! Justru orang yang memaksakan keyakinan bahwa semua agama itu sama atau plularisme adalah orang yang tidak toleran dan anti plularitas (mengakui keanekaragaman)..

Dalam hal plularitas dan toleransi, Islam sangat menjunjung tinggi, bahkan Allah swt menegaskan bahwa kita harus berbuat baik kepada mereka non muslim selama mereka tidak menyakiti kita dan melanggar aturan (perjanjian). Allah swt berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil “ (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa (QS. Al-Maidah: 8)

Sekali lagi, toleransi tidak harus menggadaikan akidah dan keyakinan masing-masing. Orang Islam jangan dipaksa ikut natal bersama karena alasan toleransi, demikian juga orang kristen tidak usah dipaksa ikut lebaran atau idul fitri . Orang Islam tidak usah dipaksa doa dan beribadat di gereja, orang kristen pun tidak usah dipaksa berdoa dan sholat di Masjid. Akan tetapi, kita tetap saling menghormati ibadah masing-masing penganut agama.

Suatu kali, kaum Quraisy membujuk Nabi Muhammad saw agar saling ’toleransi’ menurut pemahaman mereka. Alasannya, agar tidak ada friksi dan perpecahan di tengah masyarakat, maka hendaknya diadakan ibadah bersama. Mereka menawarkan seraya berkata, “Hai Muhammad, bagaimana jika hari ini kami beribadah seperti kamu beribadah menyembah Allah, kemudian esok hari engkau dan pengikutmu beribadah seperti cara ibadah kami, sehingga kita dapat hidup damai dan berdampingan.” Atas tawaran ini,  Allah swt menurunkan ayat-Nya dalam surat al-Kafirun sebagai jawaban:

Katakanlah: "Hai orang-orang kafir Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (QS. Al-Kafirun: 1-6)

Marilah bekerja dalam kebhinekaan tanpa harus menggadaikan keyakinan dan akidah, tolaklah ajaran plularisme namun hiduplah rukun dalam kenyataan plularitas.

Wallahu a’lam bis showab.



Muhammad Jamhuri




Selasa, 20 Maret 2012

Hidupkan Keluarga Dengan Shalat


Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa  (QS. Thaha: 132)

Pada suatu hari, salah satu keluarga melakukan rekreasi menyenangkan bersama seluruh anggota keluarganya, seorang ayah berkata kepada istri dan anak-anaknya, “Anak-anakku sekalian, bagaimana rekreasi bersama kali ini? Menyenangkan tidak? Serentak, isteri dan anak-anaknya menjawab dengan hati senang, “Menyenangkankan !, kalau bisa sering-sering yah!”. Ada pula yang menimpali, “Kalau begini terus keluarga kita, maka kita akan terus bahagia nih...”

Lalu sang ayah berkata, “Jika kalian ingin kita selalu bahagia dan selalu berkumpul dalam kebahagiaan maka hendaklah kalian melaksanakan shalat, jadilah kalian orang yang rajin melaksanakan shalat, sehingga kita akan berekreasi bersama lagi selamanya di dalam surga. Di dalam surga pemandangannya lebih indah dari pemandangan yang sedang kita nikmati saat ini.”

Penjelasan seorang ayah ini sesuai dengan firman Allah swt dalam surat At-Thur ayat 21  “Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya”.

 Para ulama tafsir menjelaskan bahwa anak cucu mereka yang beriman itu ditinggikan Allah derajatnya sebagaimana derajat bapak-bapak mereka, dan dikumpulkan dengan bapak-bapak mereka dalam surga .

Alangkah indahnya, jika di dunia kita selalu berkumpul dengan keluarga, kemudian setelah sekian lama kita tidak berjumpa karena ajal kematian yang berbeda waktunya kita saling dipisahkan, lalu bertemu kembali di surga dengan segala kenikmatan melebihi moment-moment bahagia saat kita berada di dunia.

Perintah shalat kepada keluarga memang diperlukan, terutama seorang ayah sebagai kepala kelaurga. Ia harus tekun dan sabar dalam memerintahkan anggota keluarga untuk melaksanakan shalat. Sebab, shalat merupakan perkara yang berat dilaksanakan kecuali bagi orang yang beriman. Terkadang anak kita semangat shalat di awal kita memerintahnya shalat. Akan tetapi setelah berjalan waktu, mereka terkadang melupakan shalatnya. Di sinilah perlu kesabaran ekstra. Oleh karena itu kata sabar pada ayat di atas (QS. Thaha: 132) menggunakan tambahan ta’ menjadi istabhir bukan ishbir, untuk menegaskan perlunya kesabaran ekstra dalam mengajak anggota keluarga melaksanakan shalat.

Namun di balik kesabaran dan keistiqomahan kita dalam mengawasi dan mengeloni keluarga agar tetap melaksanakan shalat itu, ada janji Allah swt berupa pemberian rezeki dariNya. Sesuai lanjutan firman Allah swt : Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa “

Jadi, tetaplah memerintah, mengawasi dan mengeloni keluarga agar tetap menjalankan shalat dengan segala kesabaran, maka insya Allah rezeki keluarga kita akan dimudahkan olehNya.

Tentu saja sebagai upaya maksimal, kita tidak cukup memerintahkan saja. Kita pun harus memohon kepada Allah SWT agar keluarga kita diberi petunjuk melaksanakn shalat., seperti doa yang dicontoihkan oleh Nabi Ibrahim as: “Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa. Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” (QS: Ibrahim: 39-40)

Perintah kepada keluarga untuk melaksanakan shalat adalah dalam rangka membentengi mereka dari penyebab masuknya ke dalam neraka, sebab meninggalkan shalat adalah satu sebab seseorang dimasukkan ke dalam neraka. Firman Allah swt : “berada di dalam syurga, mereka tanya menanya tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa,  "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat .” (QS.  Al-Mudatsrir: 40-43)

Sementara itu, dalam ayat lain kita diperintahkan Allah untuk menjaga diri dan anggota keluarga kita dari siksa api neraka. Sebagaimana firman Allah swt, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At-Tahrim: 6)

Dari penjelasan di atas maka menghidupkan keluarga dengan shalat, akan mendapat beberapa keuntungan:

1. Dimudahkannya rezeki pada keluarga yang bersangkutan, seperti yang Allah jelaskan dalam surat Thaha ayat 132)

2. Anggota keluarga akan dijaga dari perbuatan yang dapat memperburuk citra dan nama baik keluarga, seperti tersangkut narkoba atau kejahatan lainnya. Sebab fungsi shalat adalah menjaga dari perbuatan keji dan mungkar

3. Allah swt menyatukan seluruh hati anggota keluarga dalam suasana iman dan persaudaraan yang hakiki, dan kebersamaan itu akan terus berlanjuit hingga di surga

4. Terhindarnya keluarga kita dari api neraka

Semoga Allah swt menjadikan keluarga kita yang sakinah, mawaddah dan rahmah, serta mengumpulkan kita dan mereka dalam surga-Nya. Amin.                 
Muhammad Jamhuri 


Minggu, 11 Maret 2012

Berperang Melawan Sistem Ekonomi Ribawi


Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya 
(QS. Al-Baqarah: 279)


 Pada ayat ini Allah menegaskan, bahwa jika kita tidak meninggalkan riba, maka Allah dan rasul-Nya akan memerangi kita.

Ini bukti keseriusan Allah swt terhadap bahaya riba dalam bidang ekonomi dan sosial. Sungguh, dampak negatif yang ditimbulkan dari sistem ekonomi ribawi begitu dahsyat. Tahun 1998 negeri kita terserang badai krisis moneter dan ekonomi. Seluruh bank saat itu bangkrut kecuali bank Muamalah yang bersendikan syariah. Baru kemudian setelah itu diikuti lahirnya bank-bank syariah lain. Tahun 2009, Amerika pun tak bisa menghindar dari krisis ekonomi yang dimulai bangkrutnya perusahaan perumahan dan otomotif akibat pemberian kredit perumahan yang tidak realistis. Dan tahun ini Eropa sedang dihadapkan dengan krisis yang akan melanda semua daratannya akibat imbas krisis moneter dan krisis ekonomi yang nelanda Yunani.

Allah swt telah menegaskan bahwa perbuatan riba adalah haram, sedangkan jual beli adalah halal. Sayangnya, banyak di kalangan umat Islam yang masih meragukan bank Islam, bahkan mereka sering mencibir dengan mengatakan, “Ah, bank Islam sama saja dengan bank konvensional.”

Perkataan mereka sebenarnya sama dengan perkataan yang pernah diucapkan kaum Jahiliyah pada masa Nabi saw. Allah swt menceritakan, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba “ (QS. Al-Baqarah: 275)

Pada masa itu, kaum Jahilliyah beralasan, jika kami membeli seekor unta seharga 100 dinar, lalu kami jual dengan harga 110 dinar, maka kami mendapat keuntungan sebesar 10 dinar,  lalu apa bedanya jika kami menghutangkan uang sebesar 100 dinar kepada seseorang kemudian kami syaratkan dia membayar 110 dinar di waktu tertentu sehingga kami mendapat keuntungan sebesar 10 dinar? Apa bedanya menjual unta dan memberi hutang?, toh modalnya sama saja sebesar 100 dinar, dan keuntungan yang di dapat pun sama sebesar 10 dinar, lalu apa bedanya jual-beli dan riba? Toh bukankah sama saja jual-beli dengan riba?

Namun Allah menjawab dengan tegas, “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Adapun Penjelasan ilmu ekonominya sebagai berikut,

1. Dalam jual-beli ada sektor ril (barang) yang diperjual belikan, sedangkan dalam riba tidak ada barang (sektor ril). Jika kita membeli handphone di Pusat Celuler seharga  Rp 1 juta lalu kita menjualnya di tempat kita dengan harga Rp 1,2 juta dan kita mendapat keuntungan Rp.200 ribu adalah merupakan bentuk jual beli yang dihalalkan, sebab di sana terjadi distribusi kekayaan pada semua pihak. Bayangkan, saat kita naik angkot ke Pusat Celluler, maka kita telah menggunakan jasa angkot sehingga supir akngkot tersejahterakan, lalu toko penjual handdphone tersejahterakan, pabrik handphone dan karyawannya pun tersejahterakan, distributor handphone ikut tersejahterakan. Dengan demikian perputaran uang dan ekonomi merata ke semua pihak sehingga menggairahkan roda kehidupan ekonomi. Berbeda dengan keuntungan bunga yang dibebankan kepada debitor (orang yang berhutang), tidak banyak pihak yang ikut tersejahterakan.

2. Dalam jual beli ada sifat ketawakkalan kepada Allah dalam mendapat keuntungan, karena jika penjual laku dagangannya maka ia mendapat untung, namun jika belum laku ia tidak atau kurang beruntung. Sehingga sifat perjuangan dan tawakkal akan tinggi. Berbeda dengan orang yang mengambil keuntungan dengan pasti melalui  bunga (interest), hal ini menimbulkan sikap kurang tawakkal kepada Allah dan masa bodoh serta bersikap zalim karena memastikan keuntungan, sementara orang yang diberi hutang belum tentu berhasil dalam usahanya.

3. Dalam jual-beli terdapat kemungkinan untung lebih besar atau kecil, sedangkan dalam sistem bunga (riba) hanya memastikan keuntungan tetap.

Dengan demikian orang yang sering membantah bahwa bank Islam sama saja dengan bank konvensional dapat dipatahkan dengan jawaban di atas.

Tapi, ada lagi orang yang berpendapat seperti ini, “Ah, apaan tuh bank Islam, kalau kita minta pembiayaan, susah dan kelebihannya terlalu mahal, sedangkan di bank konvensional sih cepat, mudah dan murah”

Alasan atas orang yang berpendapat demikian dapat kita jawab sebagai berikut,:

1. Tanyakan pada dirinya, apakah dia muslim atau bukan? Jika muslim, apakah dia mau taat kepada hukum Allah atau tidak? Lihatlah ayat dan hadits yang menjelaskan ancaman berat kepada pelaku riba, baik pemakan, pencatat maupun saksi atas transsaksi riba. Siapakah yang memberikan rezeki padanya? Bukankah Allah? Lalu mengapa dia ingkar terhadap perintah dan larangan Allah, bahkan tidak mengindahkan ancaman Allah dan rasul-Nya? Apakah dia mengerti arti keberkahan dalam rezeki? Apakah dia tidak tahu bahwa harta yang didapat dan digunakan akan dimintai pertanggungjawabannya dihadapan Allah swt?

2. Jika mereka merasa kelebihan atau marjin pembiayaan di bank Islam lebih mahal atau lebih besar dari bank konvensional, berapa sih bedanya dan selisihnya? Signifikankah? Kalaupun dia menganggap signifikan, mana yang lebih dipentingkan keberkahan atau keuntungan semu? Ketahuilah bahwa meskipun marjin pembiayaan terlihat besar namun pada hakikatnya ia bersifat fix (tetap) dan tidak mengikuti perkembangan suku bunga bank sentral. Sedangkan di bank konvensional, meskipun di awal terlihat bunganya kecil, akan tetapi dia bersifat fluktuatif mengikuti perkembangan suku bunga, sehingga di perjalanan, boleh jadi akibat kenaikan suku bunga, akhir nya pembayaran kelebihan bunga lebih besar dari marjin mudhorbah yang ditentukan bank Islam

3. Sadarilah, bahwa hanya bertransaksi dengan bank syariah berartti kita ikut memajukan institusi keuangan Islam, yang dampaknya akan kembali kepada umat Islam. Dan hal ini merupakan bentuk jihad bil mal (jihad dengan harta) yang banyak diperintahkan Allah swt dan rasul-Nya.  Beberapa ayat yang mendorong berjihad dengan harta antara lain, Firman Allah swt:  Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS. Ash-Shaff: 10-11)  Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS. At-Taubah: 41)

4. Dengan memperjuangkan institusi keuangan Islami lewat bertransaksi keuangan hanya melalui bank syariah, maka akan dapat mengembangkan dan memperkuat bank-bank syariah, sehingga suatu saat boleh jadi kemudahan, fasulitas dan margin yang lebih kompetitif dengan bank konvensional akan terjadi. Sebab, kenyataannnya saat ini, dana yang tersimpan dan berputar di bank syariah secara nasional hanya berjumlah sekitar 6% dari total dana nasional yang yang berada di seluruh bank. Sedangkan sisanya yakni sebesar 94% total dana nasional berada dan berputar melalui bank konvensional. Itulah sebabnya kita mesti berjihad dan berjuang memperkuat lembaga keuangan Islam.

5. Jadilah tentara Allah dan rasul-Nya dalam memerangi sistem ekonomi ribawi dengan bertransaksi dengan institusi keuangan syariah. Cuma ada dua pilihan, apakah kita menjadi pihak yang diperangi Allah dan rasul-Nya karena berbuat riba?, atau kita menjadi bagian dari tentara Allah dan rasul-Nya yang ikut memerangi dan berjihad dengan harta melalui penguatan terhadap seluruh lembaga keuangan syariah? Jika tidak, maka Allah berfirman: Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu (QS. Al-Baqarah: 279)

Wallahu a’lam bis showab.

Muhammad Jamhuri


Jumat, 09 Maret 2012

Merindukan Keadilan Islam

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”
(QS. Al-Maidah: 8)


Saat ini rasa keadilan begitu mahal karena begitu langkanya. Lihat saja para Koruptor dihukum ringan, sedangkan pencuri sandal jepit dihukum berat.  Bahkan beberapa tersangka koruptor masih berkeliaran dengan bebasnya dan mendapat perlindungan dari lembaga pemerintahan atau oknum pejabat pemerintah. Sebab publik tahu, jika semua terbongkar, maka banyak pejabat yang ikut terlibat.

Rakyat kini merasa putus asa mendapat keadilan. Tidak ada lagi lembaga yang bisa dipecaya membela keadilan. Orang yang punya duit seenaknya membeli hakim memutuskan perkara walau menzalimi pihak lain.

Jika kita melihat kondisi ini, maka ini merupakan tanda-tanda kehancuran suatu bangsa. Hal ini pernah dinyatakan oleh Rasulullah saw, “Wahai manusia, orang-orang sebelum kalian dahulu menjadi binasa dikarenakan jika ada seorang yang terpandang di antara mereka melakukan pencurian, mereka membiarkannya. Tetapi jika ada seorang yang lemah (jelata) di antara mereka melakukan pencurian, mereka menegakkan hukuman padanya”. (HR: Bukhori-Muslim).

Hadits ini berisi peringatan keras tentang perintah menegakkan keadilan dan tidak memandang bulu siapa pelaku kejahatan dan pencurian, apakah pejabat dan terpandang atau rakyat jelata.? Semua sama di hadapan hukum. Bahkan Rasulullah saw pernah menegaskan, “Andai Fatimah puteri Muhammad mencuri, maka aku sendiri yang akan menghukum potong tangannya” (HR: Bukhori-Muslim).

Islam sangat menjunjung tinggi keadilan. Karena ruh agama ini adalah keadilan. Ayat di atas menegaskan perintah menegakkan keadilan meskipun kepada kaum lain, meskipun kita membenci kaum itu.

Pada ayat lain Allah swt berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Keadilan dalam sejarah Islam, bukan hanya teori, tapi pernah teraplikasikan dalam kehidupan pemerintahan Islami. Selain contoh Rasulullah saw di atas, banyak pula pribadi muslim agung menorehkan sejarah keadilan.

Adalah Amr bin Ash menaklukkan Mesir dan diangkat menjadi gubernur Mesir oleh Umar bin Khattab. Saat itu Amr bin Ash ingin membangun sebuah mesjid yang terletak dekat dengan kantor kegubernuran. Akan tetapi tanah yang akan dibebaskan untuk dibangun masjid adalah milik seorang Yahudi. Meskipun Amr bin Ash telah menawarkan harga tinggi bagi tanah orang Yahudi itu, akan tetapi Yahudi pemilik tanah itu enggan melepas tanahnya karena tanah itu adalah warisan leluhur keluarganya.

Amr bin Ash tetap membangun pondasi masjid dan akan mengenai tanah Yahudi itu. Karena tidak mendapat keadilan, Yahudi itu pun langsung berangkat ke Madinah mengadukan persoalannya kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab.

Setelah Yahudi mengadukan nasibnya kepada sang khalifah, Umar bin Khattab langsung mengambil sebuah tulang unta, lalu digoresnya tulang unta itu dengan sebuah pedang hingga membentuk gambar garis lurus pada tulang itu. Umar bin Khattab berkata kepada Yahudi itu, “Bawalah tulang ini kepada Amr bin Ash gubernur Mesir, dan sampaikan padanya bahwa tulang ini dari Umar bin Khattab.”

Segera Yahudi itu kembali ke Mesir, lalu menyerahkan tulang itu kepada Amr bin Ash. Saat menerima tulang itu, tubuh Amr bin Ash gemetar, tubuhnya berkeringat. Kemudian beliau memerintahkan tentaranya untuk membongkar pondasi yang sudah dibangun di atas tanah Yahudi itu. Peristiwa itu membuat Yahudi itu terheran. Lalu Yahudi itu memberanikan diri bertanya kepada Amr bin Ash, “Wahai gubernur, mengapa engkau berlaku seperti itu?” Amr bin Ash menjawab, “Sungguh, Amirul Mu’minin telah memberi peringatan kepadaku, gambar garis lurus yang berada pada tulang ini mengingatkanku agar aku harus berlaku adil dan lurus, sedang tulang itu sendiri mengingatkan aku, bahwa suatu saat aku pun akan mati dan menjadi tulang, sehingga tidak ada gunanya berbuat kezaliman selama hidup dan akan dimintai pertanggung jawaban setelah mati nanti. Oleh sebab itu aku perintahkan tentaraku untuk membatalkan pembangunan masjid di atas tanahmu karena itu suatu kezaliman.”

Yahudi itu pun terkagum dengan ketegasan dan keadilan Islam dan pemerintahnya, Saat itu pula orang Yahudi menyatakan dua kalimat syahadat, lalu dengan suka rela mewakafkan tanahnya untuk pembangunan masjid itu.

Perintah berbuat adil selalu kita dengar minimal sepekan sekali saat mendengar khutbah Jumat. Sang khatib Jum’at biasa mengingatkan kita dengan membaca ayat, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran “ (QS. An-Nahl: 90)

Sungguh kini semua rakyat dan manusia merindukan keadilan seperti masa para khalifah dan pemerintah Islami, semoga hal itu segera terwujud. Amin #              
  Jamhuri