Kamis, 02 Juni 2016

CATATAN WISATA RELIGI TIGA NEGARA ASEAN



Bismillah...Berangkat.
Pertama kali mengetahui informasi tentang adanya program perjalanan ke tiga negara adalah melalui grup what-App yang aku terima. Dalam pesan itu ada infromasi juga tentang tempat-tempat yang akan dikunjungi dengan harga yang cukup terjangkau, hanya Rp 6,5  juta. Aku tertarik, cuma aku ragu, adakah manfaat yang akan aku dapat? Jangan-jangan Cuma jalan-jalan belaka dan senang-senang? bukankah uang itu bisa dimanfaatkan untuk membeli semen atau bahan bangunan untuk pembangunan pesantren yang sedang berjalan?. ..Namun setelah dikirim pula agenda acara dan tempat-tempat yang akan dikunjungi di tiga negara secara detail, maka aku merasa bahwa perjalanan kali ini mengandung banyak makna. Ya, banyak makna. Karena disana ada lima dimensi yang akan diraih: ziarah, ilmiah, ekperience, tourisme dan shoping. Intinya adalah manfaat dunia dan akhirat (ibadah) akan diraih.

Kemudian timbul lagi suatu keraguan, apakah perjalananku dibenarkan? Bukankah ada hadist Nabi saw yang menyatakan bahwa tidaklah punya keinginan bepergian kecuali ke tiga masjid, yakni Masjidil Haram, Masjidin Nabawi dan Masjidil Haram?. Namun dalam perenunganku, dua masjid suci sudah sering aku lakukan karena seringnya diminta menjadi pembimbing ibadah haji dan umroh. Tinggal satu masjid yang belum aku kunjungi dalam hadits yang disebutkan Nabi saw, yakni Masjidil Aqsha. Hmm. Keinginan berangkat ke masjid itu memang sudah menggebu-gebu, namun belum ada “takdir” hadir pada diriku...Sedangkan tawaran informasi yang aku terima lewat whatt-app ini, insya Allah-lah, aku diberi kesanggupan. Belum lagi, sudah lama juga aku ingin mengenal luar negeri selain Arab Saudi dan Pakistan. Negeri terakhir ini memang sempat aku singgahi dan tinggal disana saat kuliah di Islamabad. Atas pertimbangan tersebut agaknya pantas jika tawaran informasi itu aku ambil.

Belum lagi, sebagai pengasuh pesantren yang sejak dahulu ingin mengajak dan membawa santri keliling dunia agar wawasan mereka meng-global. Liburan kelulusan alumni angkatan pertama hanya baru bisa aku antarkan ke Jogjakarta, mudah-mudahan pada tahun depan atau dua tahun ke depan cita-cita berlibur ke luar negeri bersama para santri dapat terlaksana. Pertimbangan-pertimbangan itulah yang menguatkanku untuk ikut progam kunjungan ke tiga negara ASEAN ini.

Apapun juga, aku mulai menancapkan niat karena Allah swt, bahwa perjalanan ini dalam rangka beribadah. Karena siyahah (wisata/melawat/melancong) telah disebutkan oleh Allah swt dengan kata pujian setara dengan pujian kepada orang-orang yang bertaubat. Firman Allah swt:
التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ الْآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنْ الْمُنكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللَّهِ وَبَشِّرْ الْمُؤْمِنِينَ
Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu(Qs. At-Taubah: 112)

Berangkat Dari Rumah (Kamis, 26 Mei 2016 dini hari), Hari Pertama.
Tiga hari sebelum keberangkatan, aku diinfromasikan oleh Habib Ali Yahya-begitulah orang memanggilnya- yang merupakan Tour Leader dalam perjalanan ke tiga negara agar kami berkumpul di Bandara Soekarno-Hatta terminal 2D pukul 03.00 dini hari Kamis tanggal 26 Mei 2016. Maka akupun merencanakan akan berangkat dari rumah dan pesantren pukul 00.00 wib, namun karena tertidur akhirnya aku berangkat pukul 00.45. Dan tiba di Bandara pukul 02.30. Setelah shalat subuh di Bandara, pesawat take off pukul 07.30 wib

Di Bandara Changi dan Singapura
Pesawat Lion yang membawa kami mendarat Sabtu 26/5/2016 pukul 09.00 waktu Singapura di Bandara Changi. Disana kami mengisi isian imigrasi dan keluar Bandara. Di sana sudah ada yang menjemput dengan bis AC. Lalu langsung menuju ke Masjid Mohamad Soleh dan maqam Habib Noh al-Attas. Di sana aku berziarah dan membaca beberapa doa yang biasa dibaca orang saat berziarah. Aku saksikan disana ada pula jamaah umroh yang singgah berziarah di sini sebelum melanjutkan perjalanan mereka ke Arab Saudi. Kuburan Habib Noh al-Attas terletak di atas dengan bangunan yang dilengkapi dengan tangga, tingginya sekitar 70 meter. Di sampingnya terdapat masjid Mohammad Soleh, dan disampingnya lagi terdapat flyover yang melaewati di samping masjid. Saat kunjungan kami ke sana, masjid sedang dalam renovasi, dan pihak pemerintah sedang membuat tempat sholat darurat (temporary). Namun kami tidak melaksankan shalat di sana, kami melaksnakan sholat zuhur dan Ashar secara jama’ di Masjid al-Anshar di distrik Bedok, yaitu kawasan perumahan elit di Singapura.

Kedatangan kami di Masjid al-Anshar benar-benar disambut dengan ramah. Hanya saja, karena kunjungan kami di hari kerja, maka yang menyambut kami adalah para pengurus masjid dari kaum ibu. Kami dijamui makan siang berupa bihun, kwetiau dan pisang goreng yang bentuknya mirip sosis. Ya, semula kami mengira sosis, namun ternyata pisang goreng. Kami pun diberi cendramata oleh pengurus masjid berupa kalender dan handuk kecil berlogo masjid al-Anshar. Selama kunjungan di masjid al-Anshar kami diantar melihat seluk beluk dan kegiatan masjid. Masjid al-Anshar didirikan sejak tahun 1952 dan terus terjadi beberapa pembangunan hingga berbentuk kokoh dan modern. Masjid yang berlantai 4 ini dilengkapai dengan lift di bagian depannya. Di area depan masjid ini terdapat sekolah islam mulai dari tingkat TK hingga SMA. Pemerintah melarang sekolah-sekolah pemerintah mengajarkan agama. Oleh sebab itu umat Islam Singapura mendirikan madrasah yang berdampingan dengan mesjid untuk menjaga aqidah dan identitas khas mereka. Semua pembiayaan pembangunan dan operasional masjid dan sekolah dibiayai oleh swadaya kaum muslimin Singapura. Beberapa pejabat penting di Singapura ada pula dari kalangan muslim, sehingga mereka mendapat perlakuan baik dari pemerintah Singapura.

Ruang kelas sekolah menggunakan furniture bagus, dilengkapi pula dengan LCD proyektor, ruangan ber-AC, dan whiteboard.

Dari Masjid al-Anshor, kami bertolak menuju Pusat Perbelanjaan Coklat. Disana terdapat banyak jenis coklat, dari yang biasa hingga coklat yang beraneka ragam rasa buah. Dari bentuk kotak hingga yang berbentuk patung singa yang menjadi icon negeri singa itu. Setelah sekitar 1 jam di sana, kami bertolak menuju pusat perbelanjaan cendramata. Di sana dijual banyak cendremata, mulai dari kaos bergambar khas singapura, hingga gantungan kunci. Serta coklat-coklatan khas singapur. Ternyata harga coklat di pasar ini lebih murah daripada di Toko coklat sebelumnya. Misalnya, di toko coklat pertama harga 1 dus 15 dolar singapura, di toko cenderamata harganya cuma 10 dolar Singapura.

Setelah belanja, agenda berikutnya adalah mengunjungi Merolion, yaitu patung singa sebagai icon singapura. Semua turis yang datang ke Singapura tidak pernah melewatkan kunjungannya ke tempat ini. Di sini mereka hanya berfoto-foto, mulai dari gaya biasa hingga gaya mengangkat tangan seakan menampung air mancur yang keluar dari mulut patung singa itu.  Dari Singapura kami bertolak menuju ke Johor Bahru di Malaysia menggunakan bis dan melewati perbatasan Malaysia-Singapura.

Di Johor Bahru (Kamis-Jum’at 26-27 Mei 2016), Hari Kedua
Melewati perbatasan Malaysia – Singapura memasuki wilayah Johor Bahru lumayan melelahkan. Kebetulan kami berangkat ke daerah perbatasan saat sore menjelang malam. Jalan-jalan macet, karena sebagaian warga Malaysia yang bekerja di Singapura pulang ke negaranya melewati perbatasan itu. Sehingga kendaraan pun padat, belum lagi dengan antrian di imigrasi, baik imigrasi Singapura maupun imigrasi Malaysia. Bahkan saat masuk malaysia, tas bagasi harus dibawa masing-masing untuk di x-ray di beacukai. Orang Malaysia senang bekerja di Singapura  karena mendapat gaji dengan mata uang Singapura yang nilainya lebih mahal dari pada mata uang ringgit Malaysia.

Tiba di Johor Bahru sekitar pukul 11.00 malam kami bermalam di hotel yang tidak jauh dari perbatasan Malaysia-Singapura. Esoknya setelah sarapan pagi, kami siap-siap berangkat, seluruh jamaah sudah berada di dalam bis, namun masih ada dua orang yang belum masuk bis, lumayan cukup lama kami menunggu mereka, ternyata, wow, keduanya masih tidur pulas di kamar. Maklum semalam datang sudah tengah malam. Setelah seluruh jamaah dipastikan sudah berada di dalam bis, kami langsung menuju area pemakaman Sultan-sultan Johor, namun sayang, area ini belum dibuka, akhirnya kami berziarah ke pemakaman Mufti-mufti Johor, salah satunya adalah makam Habib bin Thohir yang berasal dari Indonesia, beliau dikenal sebagai orang yang alim sejak usia belia. Di usia 17 tahun beliau sudah mengajar kitab Ihya Ulumuddin. Dalam ziarah itu yang memimpin baca al_fatihah adalah Habib Ali Yahya yang juga Tour Leader, dan yang memimpin membaca doa adalah DR. Masykuri Qurtubi, beliau adalah dosen di UIJ (universitas Islam Jakarta) dan merupakan menantu dari Kyai Abdul Hamid, Prapanca Jakarta yang ikut dalam perjalanan ini. Area pemakaman ini berada di daerah Kampung Mahmodiyah, Johor Bahru.

Dari Johor Bahru kami bertolak menuju Kuala Lumpur, perjalanan memakan waktu sekitar 5 jam. Kami berisitirahat di rest area jalan tol antara Johor Bahru dan Malaysia. Rest area ini lengkap dengan segala pelayanan serta tempatnya bersih dan rapi. Perjalanan ke Kuala Lumpur dilanjutkan, dan karena lalu lintas macet, kami tiba di Kuala Lumpur pada malam hari, sehingga kami langsung menuju kawasan Petronas, disana terdapat 2 menara kembar (Twin Tower) yang menjadi icon kota Kuala Lumpur, sekaligus icon negara Malaysia. Di sana para turis yang datang menikmati tingginya gedung tersebut sambil berfhoto, namun sayang karena sorot lampu menara tersebut begitu kuat, hasil jepretan para pemoto kurang baik.

Dari sana kami menuju hotel, namun sebelum sampai ke hotel kami makan di pinggir jalan yang banyak di temukan di jalan-jalan di Kuala Lumpur. Di rumah makan ini terdapat masakan Ayam Penyet, Sop Iga serta nasi goreng. Aku menikmati minuman khas Malaysia, yaitu teh tarik.. wow sedap. Walau pernah mencicipi teh tarik, tapi baru kali ini lah aku merasakan minuman khas Malaysia ini langsung di negerinya.

Di Kuala Lumpur (Sabtu, 28 Mei 2016), Hari Ketiga.
Sampai di hotel De Palma – Ampang kami harus menunggu kunci kamar, ternyata terdapat miss-understanding, karena kami datang di atas jam 10 malam, kamar hotel yang sudah diboking dijual ke tamu-tamu lain yang datang, akhirnya beberapa diantara kami harus tidur bertujuh atau bersembilan dalam satu kamar. Tidak mengapa, yang penting bisa meluruskan badan untuk rehat. Dan ternyata benar, baru saja para jamaah merebahkan badannya, mereka langsung tidur pulas.

Waktu sholat Subuh di Malaysia  pukul 05.42, sebagian ada yang bangun sebelum subuh dan sempat melaksanakan sholat tahajjud dan witir walaupun dengan membaca surat-surat pendek. Sebagian lagi ada yang bangun tidur pas waktu subuh dan tidak sempat qiyamullail.

Jam 07.00 pagi kami sarapan di lantai dasar hotel. Hampir semua menu yang disediakan di restoran cocok dengan lidah orang Indonesia.

Di Selangor (Sabtu, 28 Mei 2016), Hari Ketiga.
Setelah sarapan di hotel De Palma, kami chek out hotel melanjutkan perjalanan. Kali ini kami menuju Masjid Biru yang terletak di Selangor. Masjid ini juga dinamakan Masjid Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah. Tiba disana pukul 10.30. Segera kami turun dan berjalan melihat-lihat seluk beluk masjid. Masjid ini berwarna biru karena warna biru mendominasi seluruh bagian masjid, baik kubah, menara, maupun karpet dan ornamen dalam masjid.  Masjid ini diresmikan oleh Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah pada 11 Maret 1988. Masjid ini menjadi kebanggan warga Selangor. Ide pendirian masjid ini datang setelah ibukota Selangor yang semula Kuala Lumpur telah diserahkan kepada Pemerintah Pusat menjadi Shah Alam sebagai ibu kotanya pada 1 Pebruari 1974. Masjid ini dapat menampung jamaah sebanyak 24.000 orang. Ada yang menarik –menurut kami- karena tidak kita temukan di tanah air, yaitu kotak amal yang terletak dekat tempat wudhu pria dan tangga masjid. Disana terdapat kotak amal dalam bentuk brangkas uang. Ya, memang brangkas uang yang tingginya setinggi dada orang dewasa dengan bolong kecil di atasnya tempat kaum muslimin memasukkan dana sedekah ke dalam kotak amal brangkas tersebut.

Setelah melihat-lihat masjid biru, kami kembali menaiki bis dan meluncur menuju Museum Islam di Selangor yang jaraknya hanya sekitar 300 meter dari masjid Biru. Beruntung sekali, saat kami datang baru saja dilakukan pebukaan Pameran Warisan SalafusShalih yang memamerkan khazanah kesenian islam, teruatama mushaf al-Quran yang diterbitkan di Malaysia dan dunia serta karya-karya kalighrafi. Kami memasuki ruang pameran khusus dengan tiket masuk 10 ringgit bagi pengunjung dewasa. Sedangkan bagi pengunjung berusia 50 tahun keatas dan anak-anak hanya dikenakan 5 ringgit. Di antara replika peninggalan para orang terdahulu (salafus shalih) yang sangat berkesan adalah saat menyaksikan replika rumah Rasulullah saw. Tidak terasa, bulu terasa merinding mengingat kesederhanaan hidup Rasulullah saw. Juga saat kita memasuki replika rumah Rasulullah saw terasa seperti sedang bertamu ke rumah beliau. Selain replika rumah beliau juga terdapat replika masjid quba tempo dulu, jabal tsur tempat Nabi saw dan Abu Bakar bersemubnyi disana saat perjalanan hijrah.

Memasuki stand peninggalan mushaf Palestina dan Yaman, kami menyaksikan reruntuhan “bekas” roda dorong Syeikh Ahmad Yasin,  pemimpin kaum mujahidin di Palestina yang wafat saat keluar dari shalat subuh dan di tembak pesawat israel. Kami juga menyaksikan foto al-Habib Umar bin Hafizh yang sedang dialog bersama jamaahnya di Yaman.

Selesai menyaksikan pameran, kami menaiki bis dan meluncur menuju ke Thailand. Perjalanan memakan waktu sekitar 8 jam. Kami melaksanakan shalat zhuhur dan Ashar secara jama’ ta’khir di salah satu rest area di jalan tol antara Kuala Lumpur dan perbatasan Thailand. Yang unik, jalan-jalan tol di Malaysia bukan hanya diperuntukkan bagi kendaraan beroda empat atau lebih, namun kendaraan beroda dua pun diperbolehkan melintas di jalan tol.

Rest area yang kami singgahi merupakan rest area terluas sepanjang tol ini. Betapa tidak ? di dalamnya terdapat banyak restoran dan Mall, belum lagi toilet dan Surau (masjid), bahkan ada Mall yang khusus menjual hasil pertanian Malaysia. Agaknya, Malaysia sangat peduli terhadap nasib petani hingga pemasarannya pun difasilitasi negara. Ada pula taman bermain untuk anak-anak, sehingga masa menunggu istirahat dapat digunakan bermain untuk anak-anak.Setelah makan siang dan melaksanakan shalat di rest area, kami melanjutkan perjalanan.

Di Perbatasan Malaysia-Thailand
Sebelum masuk perbatasan Thailand, kami singgah di suatu tempat yang tidak jauh dari batas keluar negeri Malaysia, disana semua paspor didata dalam suatu invoice, kemudian tiap paspor pun dimasukkan datanya pada kertas imigrasi Thailand. Biaya jasa penulisan data adalah RM 2 per-paspor pada kantor agen travel yang ada disana. Di area ini juga terdapat Money Changer yang memberi pelayanan kepada wisatawan menukarkan uangnya ke mata uang Baht (mata uang Thailand).

Dari sana, kami lanjutkan perjalanan, dan tibalah di perbatasan keluar Malaysia, setiap kami diharuskan turun dari bis untuk urusan imigrasi, setiap paspor dicap oleh imigrasi Malaysia dan kemudian melanjutkan perjalanan menuju perbatasan Thailand. Di perbatasan Thailand kami kembali turun dari bis untuk mendapat izin masuk (visit permit) dari pihak Imigrasi Thailand. Nampak saat itu antrian panjang meskipun sudah hampir masuk tengah malam. Sebagian dari kami ada yang menju toilet di sana yang terkesan mengeluarkan bau yang tidak sedap.

Usai urusan di imigrasi, kami langsung disambut oleh sahabat karib Habib Ali bernama Babo Muhammad Adam yang merupakan warga Thailand. Beliau bahkan sudah menyalami kami saat antri di imigrasi. Dan beliau mengajak kami ke warung makan yang berjejer di kiri-kanan jalan setelah melewati perbatasan. Banyak di antar kami yang memesan “tom yam” masakan khas Thailand. 1 porsi tom yam beserta nasi dan air jeruknya seharga 100 Baht atau setara dengan Rp. 40.000. Lumayan masih murah dan terjangkau. Namun rasanya... mantap. Aku sendiri baru kali ini menikmati tom-yam langsung di negeri aslinya, Thailand.

Usai maka malam, kami langsung diantar ke hotel di Hat Yai, jarak dari perbatasan sekitar 20 km. Malam itu kami beristirahat di hotel tersebut.

Di Thailand (Ahad, 29 Mei 2016) Hari Keempat.

Pagi-pagi kami sarapan, menunya sangat minimalis, yakni kwetiau, roti, salad dan minuman hangat. Nasi tidak disediakan dalam menu  makan pagi di hotel ini. Usai makan, kami diajak ke pusat perbelanjaan cendramata Thailand yang berada di Hat Yai, yaitu Noora Plaza, disana terdapat berbegai cendramata khas Thalinad seperti gantungan kunci, T-Shirt, tas dan patung gajah serta lainnya.

Usai singgah di Noora Plaza, kami diajak mengunjungi madrasah atau sekolah yang di asuh oleh Babo Abdullah yang terletak di wilayah Pattani. Kata “Babo”  dalam bahasa Indonesianya mirip dengan kata “Kyai”.

Setiba di tempat Babo Abdullah, kami langsung disambut hangat dan ramah, bahkan menu  makanan khas Pattani telah tersedia untuk kami. Setelah dipersilahkan, kami langsung menyantapnya dengan lahap, karena saat itu jam sudah menunjukkan pukul 2 siang. Cita rasa masakan Thailand yang disediakan Babo Abdullah ini bukan main enaknya. Ada dua menu yang terasa paling nikmat, yakni tom yam dan sambel blaco. Kami makan secara lesehan dan digelari taplak plastik bundar, dan di atas taplak tersebut disediakan menu makanan. Setiap bundaran taplak diisi 4 sampai 6 orang yang akan makan.

Usai makan siang, kami melaksanakan sholat di Musholla Madrasah, lalu meninjau madrasah yang tidak jauh dari musholla dan rumah Babo. Madrasah itu bernama “Ma’had al-Dirosat al-Islamiyah Birutunahwu”  kata “biru” berarti tempat atau daerah, kata “tu” berarti ahli, dan kata “nahwu” berarti nahwu yakni salah satu bidang ilmu tata bahasa Arab. Dinamakan BIRURTUBAHWU karena sejak ratusan tahun lalu, daerah itu dikenal dengan ulama-ulamanya yang ahli di dalam ilmu nahwu.

Setelah meninjau kondisi sekolah, kami pun mengadakan tatap muka dan sambutan-sambutan. Babo Abdullah menyatakan kegembiraannya didatangi kami, demikian juga Habib Ali sebagai kepala rombongan kami menyampaikan kebahagiaannya dapat bersilaturrahim dan diterima oleh pihak madrasah. Lalu Habib Ali memberi kenang-kenangan berupa buku-buku agama dan biografhi ulama-ulama.

Sebelum acara ditutup, salah seorang rombongan kami bernama DR.KH. Masykuri Qurtuby berkenan memberikan ijazah aammah talqin dzikir “Laa Ilaaha illallah”. Beliau adalah menantu dari alm KH. Abdul Hamid yang merupakan murid terdekat dari Syeikh Ahmad Yasin al-Fadani yang digelari “Musnid al-Dunya” (orang yang ahli menelusui sanad-sanad di dunia abad ini).

Dari madrasah, kami menuju hotel islami yang berada di tengah kota Pattani. Disana kami chek-in dan sejenak berisitirhat. Saat kami chek-in kami menyaksikan banyak mahasiswa Indonesia yang tinggal di hotel ini. Setelah kami berkanalan dan berdialog, ternyata mereka sedang akan melakukan tugas PKL (Praktek Kerja Lapangan) dari kampus mereka masing-masing selama 6 bulan yang akan ditempatkan di sekolah dan madrasah yang tersebar di tiga daerah, diantaranya Pattani, Narithawa, dan Shongla. Mahasiswa-mahasiswi yang sempat kami tanyai mengaku berasal dari Univeritas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) dan Universitas Hasyim Ashari (UHAS), Jombang. Ketika kami menanyakan kepada salah seorang di antara mereka tentang biaya PKL selama di Thailand, mereka menjawab hanya Rp 6 juta, selain itu mereka pun mendapat Living Cost (Cash Back) dari pihak kampus sebesar 2000 Baht (setara dengan Rp 800.000). Dan salah satu keunikan hotel ini adalah alunan musik di ruang lobby serta lift adalah instrumen lagu-lagu sunda atau Jawa Barat. Jadi, saat itu kami serasa berada di Bandung.

Usai istirahat sejenak, kami meluncur ke sebuah masjid, bernama Masjid Muzhaffar Shah, dan masjid ini merupakan masjid pertama yang berdiri di Asia Tenggara. Jadi, sebelum ada masjid di Indonesia, Singapura, Malaysia dan Brunei, masjid Muzhaffar Shah lah yang pertama berdiri di Asia Tenggara dan letaknya di Pattani. Di depan mesjid tersebut ada gerobak pengangkut bom yang digunakan kesultanan Islam pada saat itu dalam menghadang penjajah. Saat di masjid itu waktu maghrib telah masuk, dan suara adzan sudah dikumandangkan dari masjid tersebut. Akan tetapi Babo Muhammad Ahmad mengajak kita menuju ke pesantrennya yang bernama Nurul Ilmi. Ternyata, kedatangan kami telah ditunggu para guru dan santri-santrinya. Mereka menunda shalat maghrib karena menunggu kami, sehingga kami dapat melaksanakan shalat berjamaah maghrib bersama santri-santri Babo Muhammad Adam. Sedangkan rombongan kaum wanita diajaknya shalat di rumah Babo yang ditemani oleh isteri beliau.

Usai melaksanakan shalat, kami diminta untuk memberikan tausiyah, KH Masykuri Qurtubi memberikan tausiyah pertamanya, kemudian dilanjutkan saya (KH. Muhammad Jamhuri) yang membahas tentang keutamaan ilmu. Usai shalat dan tausiyah, para santri yang berpakain jubah putih dan udeng-udeng kepala berwarna putih pula menyalami kami dengan berbaris. Terlihat sekali mereka sopan-sopan.

Dari masjid, kami menuju rumah kediaman Babo Muhammad Adam yang masih berada di kompek pesantren.  Rumah dan pesantrennya sangat sederhana, berupa bentuk panggung dan terbuat dari kayu-kayu. Namun kami menyaksikan mobilnya ada 5 yang sedang parkir di samping rumahnya, ada 2 mobil yang terlihat masih bagus, yang satu adalah mobil yang sedang dipakai, dan satunya lagi mobil yang sedang parkir di garasi. Menurut Habib Ali, orang sini memiliki rumah sederhana namun kendaraannya bagus, karena mereka ingin memuliakan tamu, sebab mobil digunakan selain untuk transportasi tapi juga untuk menjemput dan mengantar tamu, sedangkan rumah, karena dipakai sehari-hari untuk pribadi, maka cukuplah yang sederhana. Adapun mobil digunakan untuk mengantar dan memuliakan tamu yang mau keliling, sedangkan tempat tidur tamu adalah hotel. Subahanallah.. suatu perinsip yang sangat mulia.

Awalnya, dalam pikiran kami, pesantren yang dimiliki Babo Muhammad Adam adalah bangunan permanen dua lantai seperti yang kami saksikan di Ma’had Dirosah al-Islamiyah milik Babo Abdullah, akan tetapi ternyata, seluruh bangunan pesantrennya  dan termasuk bangunan rumahnya adalah berbentuk panggung yang sederhana terbuat dari kayu.

Di rumahnya yang sangat sederhana namun ruang dalamnya tertata apik itu, kami disuguhi makan malam dengan berbagai makanan khas Pattani. Kami lahap memakannya. Dan usai acara makan malam, kami pun kembali ke hotel untuk istirahat. Kali ini kami mendapat waktu cukup untuk istirahat, karena tiba di hotel pukul 09.00 dan acara esok hari pun dimulai pukul 08.30. Sebelumnya, setiap masuk hotel selalu di atas pukul 11.00 malam.

(Senin, 30 Mei 2016) Hari Kelima.
Agenda hari kedua di Thailand lebih berkesan lagi. Pagi itu setelah sarapan di CCPattani Hotel, kami menuju ke kantor Majelis Agama Pattani. Disana kami disambut oleh ketua Majlis dan Ketua Bagian Pendidikan. Namun karena ketua Majelis sedang ada acara pertemuan, kami dilayani oleh Ketua Bagian Pendidikan Majelis Agama Islam Pattani, bernama Tuan Guru Syihabuddin. Dalam pertemuan itu beliau menyampaikan program dan aktifitas majelis, teruatama yang menyangkut urusan kaum muslimin di Pattani, mulai dari advokasi, catat mencatat urusan perdata hingga melayani warga Thailand yang akan mau masuk agama Islam.

Setelah sekitar dua jam pertemuan yang diselingi dengan tanya jawab dan obrolan ringan, kami pun pamit akan menuju tempat lain. Sebelum berpisah, Habib Ali kepala rombongan jamaah memberikan cendramata berupa buku sejarah dan agama kepada Majelis Agama Islam Pattani. Dari sana, kami sudah ditunggu di markas tentara Pattani Thailand oleh komandan Jendral Pek. Beliau adalah tentara yang beragama Budha dan telah menjadi seorang muallaf beberapa tahun lalu. Saat keputusannya ingin masuk islam, beliau sempat mengajak istrinya untuk ikut mesuk Islam, namun isterinya menolak. Beliau pun tetap pada keputusannya ingin menjadi muslim, dan kini menikah dengan muslimah keturunan Pakistan. Jendral Pek kini juga bernama Hasan. Beliau sangat mencintai ulama dan kaum muslimin. Rombongan kami merasa tersanjung karena begitu datang, beliau dengan atasan dan bawahnnya berbaris menyambut kami sejak sedari tadi. Dan kami langsung dipersilakan duduk di depan meja yang sudah tersedia makanan khas Tailand berupa ketanfau (ketan santan) dengan menu lauknya berupa irisan mangga. Setelah berkata sepatah dua patah kata menyambut kedatangan kami, beliau pamit karena ada undangan lain.

Dalam sambutannya, beliau menyampaikan bahwa kami menjadikan muslim bersaudara dan hidup damai. Bahkan jika ada pemberontak pun kami tidak memenjarainya, tapi kami bina bersama dengan kaum muslimin di komplek ini, dan setelah insaf mereka dibebaskan seperti warga lainnya. “Kami tidak memperlakukan mereka musuh, dan kami tidak memenjarai mereka, karena tindakan itu hanya akan memelihara permusuhan dan ketegangan”. Ujarnya. Suatu pendekatan persuasif yang layak dicontoh oleh Densus yang ada di negeri kita.

Saat jamuan itu, hadir pula seorang yang pernah ikut gerombolan pemberontak dan sudah sadar, yang bernama Hasbullah, dia bersama guru pengasuhnya bernama Abdullah yang hampir seusia dengannya kini berdakwah ke pelosok-pelosok Pattani dan didukung oleh pemerintah Thailand.

Mungkin kekhawatiran kelompok separatis yang masih dinilai ada itulah, maka pemandangan jalan-jalan di setiap jarak 3 km terdapat pos pemeriksaan dengan pasukan tentara bersenjata. Meski demikian, kami saksikan kehidupan beragama di Pattani cukup bebas, bahkan lebih “islami” dari pada di Jakarta atau propinsi lain di Indonesia. Di Pattani, semua wanita yang keluar rumah tidak lupa memakai hijab, bahkan banyak kita saksikan kaum pria bersarung dan berpeci atau berjubah saat mengendarai motor atau mobil. Mesjid-mesjid pun jumlahnya ratusan di Pattani ini. Demikian pula jumlah masjid di sini. Beberapa pembangunan masjid dan madrasah bahkan dibiayai oleh pemerintah Thailand. Bahkan siswa-siswa sekolah dan madrasah dibebaskan dari biaya spp karena pemerintah mencanangkan program pendidikan wajib 12 tahun.

Saat kami memasuki komplek tentara, masih terpampang distu baleho ukuran besar ucapan selamat datang kepada Habib Umar bin Hafidz asal Yaman, yang beberapa bulan lalu mengunjungi Pattani Thailand. Terlihat pada baleho tersebut gambar Habin Umar bin Hafiz serta Panglima TNI Thailand.
Komplek tentara ini jauh dari kesan menyeramkan, lebih tepat lagi komplek ini mirip dengan pesantren. Selain masjid besar yang sedang dibangun dalam komplek ini, terdapat pula asrama, kantin dan toilet yang memadai.

Usai mengunjungi markas tentara, kami meluncur menuju area makam Syeikh Abdul Somad al-Falimbani. Jaraknya sekitar 20 km dari markas tentara. Di area ini nampak hanya satu makam. Awalnya tanah ini milik warga beragama Budha, namun kini telah menjadi milik umat Islam hasil gotong royong mereka membeli tanah tersebut. Saat masih menjadi milik warga Budha, pemilik tanah mempersilakan warga muslim berziarah ke makam ini. Kawasan ini ditemukan setelah kajian panjang, baik literatur Thailand maupun literatur lainnya. Adalah seorang peneliti dan tim yang dibentuk umat Islam menemukan hasil penelitiannya bahwa makam Syeikh Abdul Samad al-Falimbani adalah di area itu.

Syeikh Abdul Samad al-Falimbani termasuk ulama dan pahlawan yang terkenal di kawasan asia pada zamannya. Beliau kelahiran Palembang Indonesia, tumbuh besar di Kedah Malaysia, dan berdakwah dan berjuang di Pattani Thailand. Oleh sebab itu pintu masuk ke kawasan makam beliau melalui jalan lain tertancap tiga bendera, yakni bendera Indonesia, Malaysia dan Thailand. Selain itu, dalam pribadi beliau pun terdapat tiga sosok keutamaan. Yakni, beliau adalah seorang  ulama, waliyullah dan syahid. Sebagai seorang ulama beliau memilki banyak karya, di antaranya adalah kitab Hidayatus Salikin. Ssebagai waliyullah karena beliau dikenal memiliki banyak karomah disamping dikenal juga sebagai seorang sufi.  Sebagai syahid, karena beliau wafat di tengah-tengah berjihad melawan penjajah.

Dalam ziarah tersebut, Habib Ali Yahya yang memimpin rombongan menuntut jamaah membaca al-Fatihah, kemudian dilanjutkan oleh KH. Musthofa Helmy memimpin tahlil dan doa. Beliau adalah salah satu rombongan yang ikut dalam program ziarah di tiga negara asean ini.

Usai melaksanakan ziarah di makam Syeikh Abdul Somad al-Falimbani kami meluncur ke perbatasan Thailand – Malaysia, namun di rest area kami berisitirahat terlebih dahulu untuk melaksanakan shalat zhuhur dan ashar jama’ takdim. Lalu makan siang di rest area dan belanja di supermarket rest area untuk bekal perjalanan menuju Malaysia. Sebelum melanjutkan perjalanan ke perbatasan, Babo Muhammad Adam berpamitan di dalam bis kepada para jamaah. Sampai di rest area inilah beliau mengantarkan para jamaah, sebab perbatasan Thailand – Malaysia sudah dekat. Sebelum mohon diri, beliau memberi ijazah doa yang beliau dapat dari Habib Umar bin Hafiz asal Yaman saat kunjungan beliau di Pattani, bahkan doa ini yang beliau ingatkan padanya pada saat Babo Muhammad Adam bertemu lagi di Aceh. Doa itu adalah “Robbisyrohli sodri wa yassirli” dibaca 100 kali sehari. Menurutnya, dengan doa ini, maka segala permasalahan yang dihadapi akan diselesaikan segera oleh Allah swt. Setelah memberii ijazah doa, beliau pun menyalami satu-satu para jamaah di dalam bis.

Di Perbatasan Thailand dan Malaysia
Perjalanan kami lanjutkan ke perbatasan Thailand dan Malaysia. Sesampai disana kami turun dari bis untuk mendapat cap keluar dari Thailand dari kantor imigrasi Thailand. Antrian pun terjadi, namun tidak begitu banyak dan kami berada di dalam ruang ber-AC. Berbeda saat kami memasuki Thailand. Antrian berada di tempat terbuka dan bau tidak sedap sangat tercium sehingga terasa tidak nyaman. Usai mendapat cap exit dari imgrasi Thailand, kami masuk kembali ke wilayah Thailand dengan berjalan kaki untuk berbelanja. Karena meskipun kami sudah dua hari berada di Thailand, tetapi hampir tidak waktu untuk belanja oleh-oleh khas Thailand. Maka kami pun berhamburan menuju “pasar perbatasan”. Akhirnya kami peroleh beberapa oleh-oleh khas Thailand, di antaranya T-shirt bertuliskan Thailand atau Hat Yai,  gantungan kunci, patung-patungan gajah, buah leci dan salak Thailand yang ukurannya unik, kecil dan panjang.

Usai berbelanja, kami lanjutkan perjalanan ke perbatasan Malaysia, kendaraanpun padat merayap. Tiba di kantor imigras kami turun dari bis dan membawa semua tas, baik tas kecil maupun besar. Bis diperiksa oleh petugas bea dan cukai, sementara kami antri di imigrasi untuk mendapat cap izin masuk ke Malaysia. Setelah melewati imigrasi Malaysia, kami pun kembali mengemas tas ke dalam bis, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Kuala Lumpur.

Di Kuala Lumpur yang Kedua (Selasa, 31 Mei 2016) Hari Keenam.
Bis terus melaju, dan jalan tol di tengah malam pun agak lengang. Bis kami melaju dengan cepat, sebagian dari kami sudah terlelap tidur di dalam bis. Sekitar 5 jam perjalanan, bis kami singgah di suatu rest area. Di sana istirahat dan melaksanakan shalat maghrib dan isya secara jama’ ta’khir. Bukan itu saja, karena selama perjalanan kami belum makan malam, maka di tengah malam itu kami menyantap makanan yang ada di kedai-kedai di rest Area. Setelah cukup istirahat, kami melanjutkan perjalanan menuju mesjid Negara. Saat tiba di masjid Negara jam di bis menunjukkan pukul 04.30 pagi. Sedangkan waktu subuh pukul 05.45. Kami pun menuju toilet dan kamar mandi yang ada di masjid Negara tersebut. Masjid ini luas dan menjadi salah satu tujuan wisata gratis para wisatawan. Selain tandas atau toilet dan tempat wudhu, masjid ini juga dilengkapi dengan kamar mandi shower. Sehingga membuat jamaah yang musafir nyaman singgah di masjid ini. Selain itu tersedia juga air mineral dan kursi pijat. Hanya saja keduanya tidak gratis. Air mineral dijual dengan harga RM 1 dan dijual secara self service, ambil sendiri airnya dan uangnya diletakkan di kotak seperti kotak amal.

Alunan azan subuh membuat hati kami sejuk. Setelah shalat sunnah qobliyah, kami shalat berjamaah dengan imam yang masih berusia muda. Demikian pula sang muadzin. Segar rasanya melihat para petugas shalat tersebut masih muda. Di bagian estalase depan masjid terpampang profil tokoh imam besar masjdi negara, mulai imam pertama hingga imam saat ini.

Usai shalat, awalnya kami segera berangkat sambil mencari kedai untuk sarapan. Namun ternyata di depan masjid ini ada kedai menjual nasi lemak (nasi uduk) dan nasi ungu (menurut penjualnya warna ungu itu adalah campuran daun tertentu). Rasanya nikmat, dan harganya pun terjangkau 6-10 ringgit.

Dari masjid negara, kami langsung menuju hotel De Palma, disana kami hanya meletakkan tas koper, sementara panitia mengurus boking kamar. Selanjutnya, kami menaiki bis kembali dan menuju objek-objek wisata yang ada di Malaysia, di antaranya adalah kawasan pusat pemerintahan Putra Jaya. Semua perkantoran kementrian berada di area ini, termasuk kantor perdana menetri Malaysia, ia berada di kawasan ini yang letaknya berdekatan dengan masjid Putra. Di Masjid Putra kami menyaksikan wisatawan lainnya yang datang dari berbagai negara. Para wisatawan wanita yang berpakaian seronok “diwajibkan” memakai jubah yang disediakan pihak masjid Putra. Dan mereka hanya diperbolehkan berfoto di pintu pertama masjid. Sedangkan kaum muslimin di perbolehkan masuk lebih dalam dan diizinkan melaksanakan shalat.

Di sebelah selatan  masjid ini terdapat danau buatan yang besar, dan disediakan perahu mesin bagi wisatawan yang ingin merasakan keliling danau. Selain itu, terdapat juga kedai-kedai penjualan sovenir dan kantin-kantin.

Dari kawasan Putra Jaya, kami langsung menuju kota baru, disana kami singgah di restoran Padang untuk 
makan siang. Lalu sebagian kami melaksanakan shalat di masjid kota Baru yang berada tepat di depan restoran Padang. Sebagian lain ada yang akan melaksanakan sholatnya di masjid India, tempat kunjungan terakhir kami.

Dari kota Baru kami langsung meluncur ke kawasan Little India, disana terdapat masjid India yang telah berdiri ratusan tahun lalu. Kondisi masyarakat pun lebih banyak didominai oleh orang-orang asli India. Little India termasuk kawasan perbelanjaan yang ramai. Di sana terdapat berbagai jenis barang, mulai yang harga mall hingga harga kaki lima. Di sana kami diberi waktu tiga jam untuk berbelanja, makan atau sekedar berkeliling. Akhirnya kami berkumpul di depan sebuah toko pada pukul 18.30 sesuai arahan Tour Leader. Namun karena suasana semakin macet, bis yang kami tunggu tiba hampir mendekati pukul 21.00. Kami pun naik bis, dan meluncur menuju hotel De Palma  yang terletak di distrik Ampang.

Menuju Airport (Rabu, 1 Juni 2016) Hari Ketujuh.
Usai sarapan di hotel, kami bergegas untuk persiapan menuju KLIA (Kuala Lumpur International Airport). Sebelum ke airport kami sempat berfoto bersama di loby dan pintu hotel. Selanjutnya bis kami mengantarkan kami ke airport. Perjalanan dari hotel ke airport memakan waktu dua jam. Kami turun membawa tas bagasi masing-masing dan chek-in pesawat di kounter L. Setelah itu kami menuju imigrasi dan menuju gate  C11. Gate  ini hanya dapat ditempuh dengan train (kereta) yang disediakan airport secara gratis. Setiba di di gate C11, kami langsung naik pesawat Lion dan tiba di Bandara Soekarno Hatta pukul 17.00

Demikianlah catatan perjalanan kami, semoga perjalanan ini diridhoi oleh Allah swt dan membawa keberkahan. Dan semoga kami dapat berziarah lagi di masa yang akan datang.
Wa shollallahu ‘ala sayyidina muhammadin wa ‘ala alihi wa sohbihi ajma’in
Wal hamdulillahi robbil ‘alamin..

Muhammad Jamhuri
2 Juni 2016 M
26 Sya’ban 1437 H