Jumat, 21 Desember 2012

Tiga Karakter Utama Pribadi Muslim

 
Kitab al-Quran ini yang tidak ada keraguan didalamnya menjadi petunjuk bagi orang yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka (QS. Al-Baqarah: 2-3)

 
 
Menurut  ayat di atas, sifat  dan karakter Muslim yang bertakwa adalah memiliki aqidah dan keimanan (beriman kepada yang ghaib), melaksanakan ibadah (mendirikan shalat), serta berakhlak sosial yang baik (menafkahkan sebagian rezeki yang dianugerahkan). Adapun ayat berikutnya berupa keimanan kepada kitab-kitab sebelumnya dan kepada hari kiamat adalah penegas dari tiga karakter di atas.

Dengan demikian, karakter utama pribadi muslim dapat dikatakan ada tiga perkara:

Pertama, Salimul Aqidah (Aqidah yang benar). Yakni keyakinan kepada  kepada rukun iman dengan benar. Tidak dicampuri dengan kepercayaan di luar yang dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya serta para ulama yang istiqomah dan takut kepada Allah. Keimanan yang tidak disusupi dengan kesyirikan; kecil atau besar. Keimanan yang lurus yang menjadikan ridho Allah sebagai tujuan hidupnya, menjadikan aturan Allah sebagai satu-satunya aturan hidup (way of life). Keimanan kepada Allah yang dapat menggelorakan daya juang dan optimis dalam hidup. Sebagaimana firman Allah swt:  “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu” (QS. Fushilat: 30)

Banyak muslim yang belum salimul aqidah (benar aqidahnya). Sebagai contoh; mereka masih mempercayai ramalan bintang atau zodiak tentang rezeki, kekasih dan nasibnya, masih mempercayai ramalan yang diungkapkan paranormal/dukun, baik melalui media tv, koran maupun acara intertaitmen. Masih mendatangi dukun-dukun dan orang “pinter” untuk memohon petunjuknya tentang pesugihan maupun tanggal suatu kegiatan. Masih meyakini ada hari buruk dan bulan buruk. Masih ada yang meyakini bahwa benda-benda pusaka memiliki tenaga magis sehingga beriman pada benda tersebut, bahkan menggantungkan hidupnya pada benda tersebut. Semua perbuatan itu dapat mengikis aqidah kita, bahkan mengantarkan kepada perbuatan syirik, sehingga amal shaleh kita tidak akan diterima oleh Allah swt, wal iyadzu billah. Sebagaimana firman Allah swt: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An-Nisaa: 48)

Kedua, Shahihul Ibadah (benar ibadahnya). Ibadah yang benar adalah ibadah yang akan diterima oleh Allah swt. Para ulama menyatakan bahwa ibadah yang akan diterima Allah swt itu harus memiliki dua syarat. Pertama, ibadah itu dilakukan dengan ikhlas karena Allah swt. Kedua, ibadah itu dilakukan sesuai dengan petunjuk Nabi saw atau ajaran Islam yang benar. Jika salah satu dari kedua syarat itu tidak terpenuhi, maka ibadah kita tidak akan diterima. Sebagai contoh; seseorang melaksanakan suatu ibadah, shalat misalnya, bukan dengan niat ikhlas karena Allah, akan tetapi karena ingin dikatakan oleh manusia bahwa ia orang yang rajin shalat, atau ia ingin dipuji oleh orang lain, atau agar dikatakan sebagai orang shaleh, maka ibadah yang dia lakukan tidak akan diterima oleh Allah swt. Perbuatan ini disebut dengan riya (pamer) yang merupakan bentuk syirik kecil (al-syirk al-ashghor). Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan kepada kalian adalah syirik kecil”. Para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud syirik kecil?” Rasulullah saw menjawab, “Ketahuilah, dia adalah perbuatan riya (ingin dipuji orang)”

Ada pula orang yang beribadah dengan niat ikhlas karena Allah, akan tetapi cara ibadahnya tidak sesuai dengan petunjuk Nabi saw dan ajaran Islam yang benar, maka ibadah seperti ini pun tidak akan diterima oleh Allah swt. Misalnya menambah rakaat shalat zuhur menjadi lima rakaat, padahal bukan dikarenakan lupa, maka “tambahan” yang tidak diajarkan Nabi saw dan ajaran Islam yang benar itu membuat ibadahnya tidak diterima oleh Allah swt.

Jadi, ibadah yang benar adalah ibadah yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah, serta sesuai dengan petunjuk Nabi saw atau ajaran Islam yang benar.

Ketiga, Matinul Khuluq (Akhlak yang kokoh). Seorang muslim tidak cukup berakidah dan beribadah yang benar saja. Namun dia juga harus berakhlak baik kepada semua makhluk Allah. Hal itu agar akidah dan ibadah yang dia persembahkan kepada Allah swt dapat memberi efek poistif bagi perilaku terhadap makhluk-makhluk Allah. Oleh sebab itu, Islam telah mengajarkan dan mengatur adab dan akhlak terhadap orang tua, sanak saudara, suami/isteri, kaum miskin, anak yatim, terhadap hewan, bahkan terhadap pepohonan dan alam seluruhnya.

Sebagian cendekiawan muslim memberi tamsil pohon untuk tiga kriteria di atas; yakni; aqidah laksana akar yang menghujam kuat ke dalam bumi, ibadah bagaikan batang dan ranting pohon yang memberi kesejukan, sedangkan akhlak bagaikan buah yang dapat dinikmati oleh orang lain. Oleh sebab itu, Allah swt memberi perumpamaan kalimat thoyibah laksana Syajaroh Thoyibah (pohon yang baik). Allah swt berfirman yang artinya:

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim: 24-25)

Jamhuri

 

Senin, 03 Desember 2012

Urgensi dan Keunggulan Kalender Hijriyyah


“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus “ (QS: At-Taubah)
 Sudah maklum bagi kita, bahwa umat Islam mempunyai kalender  tersendiri, yaitu kalender Hijriyyah. Kalender ini diberlakukan pertama kali pada masa Amirul Mukminin Umar bin Khattab atas usul sahabat Ali bin Abu Thalib dan disepakati oleh seluruh sahabat.

Perhitungann Kalender Hijriyyah  dimulai pada peristiwa hijrah Rasulullah saw dan para sahabat dari Makkah ke Madinah. Sehingga pada peristiwa itu disebut sebagai tahun pertama hijrah. Dari peristiwa itu juga kalender ini dinamakan kalender Hijriyyah berasal dari kata hijrah. Perhitungan kalender ini berdasarkan pada perederan bulan.  Berbeda dengan kalender masehi yang berdasarkan pada peredaran matahari.

Jumlah bulan yang terdapat pada kalender hijrah sebanyak 12 bulan, mulai dari bulan Muharram dan berakhir pada bulan Dzulhijjah. Sedangkan jumlah hari dalam setiap bulannya tidak ada yang berjumlah 28 atau 31 hari. Akan teteapi Jumlah harinya dalam sebulan hanya 29 atau 30 hari.

Permulaan tanggal pada kalender hijriyyah pun berbeda dengan permulaan tanggal yang terdapat pada kalender Masehi. Jika pergantian tanggal pada kalender masehi dimulai pada jam 00.00 tengah malam, maka dalam kalender hijryyah permulaan tanggal dimuali pada saat waktu maghrib tiba.

Meskipun kalender hijriyyah sudah menjadi maklum bagi umat Islam, akan tetapi masih banyak umat Islam yang belum mengenalnya, bahkan untuk menyebutkan nama-nama bulan yang terdapat dalam kaelnder ini saja masih banyak yang belum mengetahuinya, apalagi menghafalnya. Tidak seperti kalender masehi yang sejak usia masih kecil kita sudah menghafalnya. Ketidaktahuan sebagian umat Islam tentang kalender hijriyyah disebabkan kurangnya sosialisasi kepada umat Islam. Selain itu, penanggalan masehi yang menjadi penanggalan resmi negara ikut menyebabkan umat iIslam tidak mengenal penanggalan hijriyyah. Namun, ada pula sebab lain yang membuat umat Islam tidak peduli dengan kalender hijriyyah, yaitu kurangnya pengetahuan tentang urgensi dan pentingnya kalender hijriyyah.

Lalu apa urgensi dan keunggulan kalender hijriyyah? Berikut ini adalah alasan mengapa kalender hijriyyah itu amat sangat penting bagi umat Islam:

1. Kalender ini dilahirkan oleh orang-orang yang sangat mulia, yakni para sahabat Nabi saw, di antaranya Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Thlaib yang notebone mereka adalah para sahabat yang dijamin akan masuk surga. Kemudian disepakati pula oleh para sahabat-sahabat lainnya. Nabi saw bersabda, “sebaik masa adalah masaku kemudian masa setelah ku, kemudian masa setelahnya..”. Nabi saw pun bersabda, “Para sahabatku laksana bintang gemintang, kemana saja kalian mengambil petunjuk dari mereka, maka kalian akan mendapat petunjuk..”. Ini memberi isyarat kepada kita bahwa jika kita menggunakan kalender hijriyyah yang telah dilahirkan oleh para sahabat, maka kita sudah berjalan di atas jalan petunjuk.

2. Kalender hijriyyah adalah kalender yang resmi untuk menentukan moment-moment ibadah dan hari besar umat Islam. Sebagai contoh: hari raya Idul Fitri bukan jatuh  pada tanggal 1 Januari umapanya, tetapi jatuh pada tanggal 1 Syawal. Demikian juga hari raya Idul Adha terjadi setiap tanggal 10 Dzulhijjah, bukan  tanggal 25 Desember. Puasa sebulan penuh terjadi pada bulan Ramadhan, bukan pada bulan Mei. Ibadah haji terjadi pada bulan Syawal, Dzulqo’dah dan Dzulhiijjah. Puasa sunnah ‘Asyuro terjadi pada tanggal 10 Muharram, bukan 10 Januari. Puasa Sunnah Ayyamul Bidh terjadi pada tiga hari pertengahan bulan Hijriyyah, yakni setiap tanggal 13, 14, 15 setiap bulannya menurut kalender hijriyyah, Puasa sunnah Arafah terjadi pada tanggal 9 Dzulhijjah yang bertepatan dengan saat wukufnya Jamaah haji di padang Arafah.

3. Salah satu bulan hijriyyah disebutkan dalam al-Quran dan difirmankan oleh Allah swt, yakni bulan Ramadhan (syahru Romadhan). Dan beberapa bulan lainnya disebutkan oleh Rasulullah saw. Dan Allah dan Rasul-Nya tidak pernah menyebut nama bulan yang terdapat pada kalender masehi, baik Januari ataupun Desember..

4. Dalam kalender hijriyyah, hari terbagi dua ; siang (hari/yaum) dan malam (lail), dan permulaan malam dimulai maghrib, dan hal itu menjadi awal pergantian tanggal. Sehingga sejak maghrib hingga subuh disebut malam, sedangkan mulai subuh hingga maghrib disebut siang atau hari. Jika saat ini kita berada di malam hari pukul 01.00 misalnya maka disebut kita berada di malam jum’at umpamanya. Berbeda halnya dengan kalender masehi, maka jam 01.00 dianggap pagi hari, padahal saat itu masih malam hari. Oleh sebab permulaaan hari menurut kalender hijriyyah dimulai pagi hari dan berakhir saat maghrib, maka hal ini berkaitan dengan hukum puasa. Dimana puasa adalah menahan dari makan, minum dan jima’ sejak terbit matahari (subuh) hingga terbenam matahari (maghrib). Demikian juga halnya kewajiban zakat fitrah, terkait dengan hari terakhir Ramadhan dan malam Idul Fitri.

Dengan beberapa keunggulan kalender hijriyyah yang disebutkjan di atas, maka sudah sepantasnya umat Islam menghidupkan kembali kalender Islam yang telah ditetapkan oleh para sahabat Nabi itu. Jika bukan kita, siapa lagi? Wallahu a’lam.

 

 Jamhuri

 

Selasa, 20 November 2012

Watak Bani Israil


Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: "Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar” (QS. Al-Isra: 4)

 

Ayat di atas menegaskan bahwa Bani Israil (keturunan Israil) secara umum akan melakukan kerusakan di muka bumi ini. Kata “marrotain” (dua kali) bukan berarti hanya dua kali melakukan kerusakan itu. Akan tetapi kata itu mengandung pengulangan suatu perbuatan, sehingga maknanya adalah setelah melakukan kerusakan akan disusul dengan melakukan kerusakan kembali. Pennyataan ini dapat dikuatkan dengan kata “latufsidunna” (pasti melakukan kerusakan) dengan menggunakan kata kerja sedang berlangsung (fi’il mudhore’) yang di dalam gramatikal bahasa Arab mengandung makna “lil hadhir wa al-mustaqbal” (untuk masa kini dan masa yang akan datang). Atau dalam ilmu balaghoh (ilmu tata sastra bahasa) mengandung pengertian “li al-istimror wa al-tajaddud” (untuk makna kesinambungan , terus menerus dan baharu/up date).

Sehingga sudah merupakan ketentuan dari Allah swt bahwa watak kaum Bani Israil dari masa ke masa akan selalu melakukan kerusakan di atas muka bumi ini.

Beberaoa kerusakan yang pernah dilakukan Bani Israil di antaranya:

1. Membunuh para Nabi. Firman Allah swt: “Lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas” (QS. Al-Baqarah: 61). Sebagai bukti aktual, mereka mudah membunuh siapa saja, bahkan terhadap wanita dan anak-anak kecil. Jika para nabi saja mereka membunuhnya dengan tidak merasa berdosa apalagi hanya anak kecil dan kaum wanita? Mereka bahkan tidak peduli dapat kecaman dari para pemimpin dunia.

2. Bersikap sombong karena merasa sebagai bangsa yang dipilih Tuhan, dan menganggap bahwa bangsa lain adalah bangsa budak bagi mereka. Firman Allah swt: Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: "Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar” (QS. Al-Isra: 4). Sebagai bukti aktual, kini mereka menindas bangsa Palestina dan menjajah tanah air mereka. Kutukan dan himbauan dari dunia agar menghentikan kekejamannnya tetap saja tidak di dengar, karena mereka merasa telah menguasai mereka dengan mengusai para politikus di Amerika.

3. Selalu melanggar dan tidak menepati janji-janjinya. Firman Allah swt: yang artinya: “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling“ (QS. Al-Baqarah: 83). Sebagai bukti aktual, kini Israel sering melanggar perjanjuan dengan Palestina, baik perjanjian Osli, Madrid dan lain sebagainya, bahkan resolusi-resolusi PBB pun mereka langgar dengan seenaknya.

4. Bani Israil senang jika umat Islam kembali kepada kekafirannya, atau setidaknya islam hanya cuma nama dan tidak diamalkan oleh umatnya. Firman Allah swt yang artinya: “Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran”  (QS. Al-Baqarah: 109). Sebagai bukti aktual: Mereka banyak membiayai pemikiran liberal di tubuh umat Islam agar umat Islam tidak berakidah kuat, demikian juga mereka melalui LSM-LSMnya menyokong aliran-aliran sesat dan sempalan di tubuh umat Islam agar akidah umat Islam melenceng dari kebenaran.

5. Jika berperang, mereka tidak berani face to face,(berhadapan langsung)  tapi menyerang lewat benteng yang kokoh dan membangun tembiok-tembok serta bersembunyi di balik tembok-tembok tersebut. Firman Allah swt:  “Mereka tidak akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok “ (QS. Al-Hasyr: 14). Bukti aktual saat ini adalah mereka banyak membangun tembok-tembok rasial, menyerang dengan kapal tanpa awak. Mereka takut dan selalu kalah jika berperang di tengah-tengah kota (face to face) seperti yang terjadi saat melawan pasukan Hamas di tengah kota Gaza  dalam city war (perang kota).

6. Tetap mempraktekkan sistem riba dalam ekonomi mereka, bahkan menyebarkannya ke negara-negara lain untuk mengisap ekonomi negara tersebut, terutama negara-negara berkembang. Allah swt berfirman yang artinya: “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisa: 160-161). Bukti aktual saat ini adalah, bahwa pada perang dunia II saat negara-negara sibuk berperang, justri mereka mendirikan bank, dan pada saat perang dunia II usai, negara-negara membutuhkan pinjaman untuk membangun negara mereka, lalu bank-bank yang didirikan Yahudi memberi pinjaman dengan membebankan bunga (riba), sehingga negara-negara miskin atau berkembang sulit untuk maju karena ekonomi mereka dikendalikan bangsa Yahudi melalui bank dunia, IMF dan lain sebagainya.

Dan masih banyak watak asli Bani Israil yang diterangkan Allah swt dalam al-Qur’annya. Sehingga tiga perempat al-Quran berisi kisah nabi Musa dan umatnya (Bani Israil).# Jamhuri

 

Sabtu, 17 November 2012

Kedahsyatan Energi Ruhiyah (Spritual)


Dan (dia berkata): "Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa." (QS. Hud: 52)

 

Ayat di atas menegaskan bahwa kekuatan ruhiyah (spritual) yang dicapai melalui itighfar dan taubat dapat mengundang dua kedahsyaratan yang akan Allah swt berikan, yakni Kedahsyatan Eksternal yang berasal dari alam dengan turunnya hujan yang dapat menyuburkan tanah sehingga mendatangkan kesejahteraan. Dan Kedahsyatan Internal yang akan lahir dari diri kita berupa kekuatan.

Kata “quwwatan” (kekuatan) pada ayat itu menggunakan bentuk “nakiroh” yang berarti mengandung pengertian bahwa kekuatan itu bersifat umum. Artinya semua kekuatan dalam segala bentuknya, baik kekuatan tubuh dan kesehatannya, kekuatan ekonomi, kekuatan intelektual, kekuatan menganalisa, dan kekuatan kemampuan dan lain sebagainya. Sebagaimana hal nya kata “Quwaah” (kekuatan) bersifat umum yang terdapat pada surat Al-Anfal ayat 58 yang memerintahkan kita untuk mempersiapkan segala kekuatan dalam menghadapi musuh. Firman Allah swt: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi’ (QS. Al-Anfal: 60)

Oleh sebab itu, seorang murid Hasan al-Bashri merasa heran dengan jawaban gurunya yang yang ketika ditanya berbagai persoalan oleh masyarakatnya, jawabannya tetap satu “perbanyaklah istighfar”.

Kisahnya begini, Ketika Hasan al-Bashri sedang mengajar murid-muridnya, tiba-ba beliau kedatangan tiga orang tamu dengan membawa masalah yang berbeda-beda untuk meminta nasehat kepada Hasan al-Bashri. Orang pertama berkata, “Wahai syaikh (guru), saya adalah seorang petani yang sering gagal panen, sehingga kami sering merugi. Apa nasehat tuan kepada kami agar pertanian kami berhasil dan dapat memetik panen dengan baik?.” Hasan al-Bashri menjawab, “Hendaklah engkau perbanyak membaca istighfar”

Orang kedua berkata, “Wahai Syaikh (guru) !, kalau saya adalah seorang pedagang (bisnisman), belakangan ini saya sering merugi dalam bisnis saya, apa nasehat tuan agar usaha saya sukses dan mendapat keuntungan besar?” Hasan al-Bashri menjawab, “Hendaklah engkau perbanyak membaca istighfar”

Lalu orang ketiga berkata, “Wahai Syaikh, kalau saya mempunyai masalah yang berbbeda, saya sudah lama berkeluarga, namun hingga kini, saya belum juga dikaruniai seorang anak. Apa nasehat tuan buat kami agar kami segera dikarunai keturunan?.” Hasan al-Bashri menjawab hal sama, “Hendaklah engkau perbanyak membaca istighfar”

Saat itulah salah seorang murid Hasan al-Bashri bertanya kepada beliau. Katanya, “Ya Syaikhi (Wahai guruku), mengapa orang bertanya tentang solusi dari masalah-masalah yang berbeda, namun syaikh tetap menjawab dengan satu solusi: istighfar?” Apa dasarnya?”

Hasan al-Bashri kemudian menjawab, “Bacalah olehmu surat Nuh ayat 10-12 disana Allah menjelaskan bahwa, “maka aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu” (QS. Nuh; 10-12)

Amal perbuatan seperti shalat, puasa dan dzikir serta ibadah-ibadah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah swt akan menambah nilai ruhiyah (spritual) seseorang. Dan semakin seseorang bertambah nilai ruhiyahnya, maka akan mendapatkan kedahsyatan-kedahsyatan positif yang tidak terjangkau oleh kekuatan logika.

Kedahsyatan yang terkadang tak terjangkau oleh logika itu bisa saja datang dari salah satu atau kedua sisi: dari alam dan diri sendiri. Sebagai contoh, pada saat Nabi saw dan Abu Bakar bersembunyi di Gua Tsur dari kejaran orang Quraisy saat akan berhijrah ke Madinah, mereka hampir saja terendus oleh rombongan pasukan Quraisy. Mereka sudah berada di depan mulut gua Tsur tempat Nabi saw dan sahabatnya bersembunyi. Namun, kekauatan alam berpihak kepada Nabi saw dan sahabatnya, sehingga datanglah laba-laba dan burung merpati yang membuat sarangnya tepat di depan mulut gua tersebut. Sehingga kaum Quraisy dibuat ragu memasuki gua tersebut.

Adapun kekuatan internal atau yang berasal dari diri kita adalah dapat berupa kewibawaan, kenikmatan hidup serta kesehatan tubuh. Syaikh Ahmad Yasin sang pemimpin Hamas di jalur Gaza Palestina adalah orang yang serba kekurangan dari sisi fisik. Namun, gelora dan semangat perjuangan beliau mengalahkan orang-orang yang masih sehat dan normal fisiknya. Meskipun lengan dan kakinya sudah lumpuh, beliau tetap berjuang dari atas kursi dorongnya melawan penjajah Israel. Suaranya yang sudah serak-parau, namun pidato-pidatonya dapat menggetarkan hati para pembesar Israel yang ketakutan.

Kesyahidan belaiu merupakan bukti bahwa beliau adalah yang memiliki tingkat ruhiyah yang tinggi. Kesyahidan adalah kemulian yang Allah berikan pada kematian hamba yang dikasihiNya. Menjelang kesyahidannya di suatu pagi hari yang diserang oleh pesawat helikopter Israel, beliau bangun di sepertiga malam terakhir hari itu, kemudian beliau melaksanakan shalat tahajjud, kemudian melaksanakan sahur puasa sunnah, kemudian berangkat ke Masjid untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah, kemudian setiba di masjid beliau shalat tahiyatul masjid, kemudian shalat sunah qobliyah subuh (shalat sunat fajar), kemudian shalat fardhu subuh dengan berjamaah, kemudian berzikir hingga datang waktu syuruq, kemudian beliau melaksanakan shalat sunnah syuruq, saat keluar dari masjid menuju rumahnya, saat itulah pesawat Israel menembeakinya hingga beliau syahid menemui Tuhannya. Allahu Akbar....alangkah indahnya jiwa (ruh)yang dekat dengan Allah swt. Mati dalam kemuliann yang tinggi.

Contoh lain adalah kisah puteri Rasulullah saw yang bernama Fatimah.

Suatu saat beliau mengeluh tentang lelah melakukan pekerjaan rumah yang dilakukan seorang diri. Untuk meringankan pekerjaannya, Fatimah mengusulkan kepada suaminya Ali bin Abii Thalib untuk mengambil seorang pembantu. Tapi apa dinyana, penghasilan Ali bin Abi Thalib tidak cukup untuk mengupah seorang pembantu. Jangankan memberi nafkah kepada pembantu, memberi nafkah kepada keluarganya seperti senin-kamis. Bahkan pernah Ali dan Fatimah tidak menemui makanan selama tiga hari lamanya.

Akhirnya, Fatimah mengusulkan agar suaminya memohon kepada Rasulullah saw akan seorang pembantu. Tentu saja Ali merasa malu meminta pembantu kepada Rasulullah saw yang merupakan mertua beliau. Fatimah pun akhirnya memberanikan diri mendatangi rumah Rasulullah saw untuk meminta seorang pembantu. Namun, saat itu Rasulullah saw sedang tiada, dan Fatimah diterima Aisyah. Fatimah pun menceritakan kepada Aisyah tentang kondisi keluarganya dan memohon kepadanya agar Rasululllah saw dapat memberi seorang pembantu untuknya.

Setelah Fatimah pamit pulang, datanglah Rasulullah saw dan Aisyah ra segera menceritakan pertemuannya dengan Fatimah yang baru saja berlalu. Mendengar cerita Aisyah, Rasulullah saw pun segera mendatangi rumah puteri tercintanya Fatimah. Sesampai di rumah Fatimah dan bertemu dengannya, Rasulullah saw berkata kepada puterinya itu, “Wahai Fatimah puteriku, maukah engkau aku tunjukkan sesuatu yang lebih baik dari pada apa yang engkau pinta dariku (pembantu)?”. Fatimah menjawab, “Ya, mau wahai Ayahanda.” Rasulullah saw bersabda, “Bacalah oleh mu Subhanallah, alhamdulillah dan Allahu Akbar, masing-masing tigapuluh tiga kali, kemudian dilanjutkan dengan Laa ilaa illahu wahdahu laa sayriika lah, lahul mulku walahul hamdu yuhyi wa yunitu wa huwa ‘ala kulli syain qodir:. Maka itu lebih baik dari apa yang engkau pinta (pembantu)”.

Fatimah pun senang mendapat sesuatu yang lebih baik dari yang ia pinta dan beliau mengamalkan pesan itu.

Dari kisah ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dzikir-dzikir dan kalimat thayyibah yang diajarkan Nabi saw dapat menggantikan tenaga seorang pembantu, bahkan lebih baik dari itu. Ini menunjukkan bahwa fisik kita akan diberikan lebih kuat dan lebih sehat sehingga mampu melaksanakan tugas-tugas seperti kita mendapat tenaga ekstra senilai tenaga seorang pembantu atau lebih baik dari itu.

Ketahuilah, bahwa bagi Allah swt segala yang ada di langit dan di bumi serta seisinya. Mudah saja bagi Allah untuk memberikan apa saja yang Dia miliki kepada hamba-hambaNya, terlebih jika hamba-hambanya itu melaksanakan perintah Allah dengan segala ketaatan. Rasa ketaatan ini lah yang akan meninggikan derajat ruhiyah orang yang beriman. Karena itu perbanyaklah ketaatan, baik yang wajib maupun yang sunnah. Wallahu a'lam

Jamhuri

 

 

Jumat, 09 November 2012

Persaudaraan: Solusi Masalah Ekonomi


“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat “ (QS.Al-Hujurot: 10)
 
Ketika Nabi saw berhijrah dari Makkah ke Madinah, beliau  menghadapi  persoalan ekomomi  yang berat sebagaimana yang dihadapi suatu komunitas yang melakukan migrasi dari satu tempat ke tempat lain. Apalagi tempat itu merupakan tempat pertama kalinya dihuni oleh komunitas tersebut. Sehingga, para Muhajirin yang berasal dari Makkah dapat dikatakan sebagai para pengungsi yang ingin mendapat kehidupan yang layak, tidak tertekan di tempat asalnya, apalagi dintimidasi.

Saking rumit dan kompleknya masalah yang ditimbulkan akan perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain atau dari negara ke negara lain, hingga organisasi dunia semacam PBB (Perserikatan Bangsa–Bangsa) perlu membentuk sayap organisasi yang khusus menangani permasalah pengungsi yang organisasi itu kemudian disebut UNHCR. Organisasi ini khusus menangani masalah pengungsi, baik yang berkaitan dengan hak hidup, sosial, ekonomi, serta status kewarganegaraan mereka.

Di antara masalah yang timbul akibat pengungsian adalah masalah ekonomi, baik berupa distribusi, pengangguran, serta kebutuhan akan sandang (pakaian), pangan (makanan) dan papan (tempat tinggal). Hal itu pun dirasakan oleh Nabi saw dan para sahabatnya yang berasal dari Makkah.

Akan tetapi, berkat kenabian Rasulullah saw, beliau dapat keluar dari krisis ekonomi itu dengan satu cara yang unik, yakni dengan mempersaudarakan kaum Muhajirin yang berasal dari Makkah dan kaum Anshar yang berasal dari Madinah.

Berkat langkah yang diambil Rasulullah saw berupa persaudaraan sesama Muslim itulah, semua masalah ekonomi yang diakibatkan perpindahan penduduk, dapat diatasi. Pada saat itu Kaum Anshar mempersilakan kaum Muhajirin untuk menetap di rumah kaum Anshar, menikmati makanan yang dimakan oleh mereka, serta memakai pakaian yang dipakai mereka. Singkatnya, sikap kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin seperti saudara kandung sendiri. Bahkan sebelum turunnya ayat tentang hukum warisan, mereka menyangka bahwa diantara mereka dapat saling waris-mewariskan meskipun tidak ada hubungan nasab atau perkawinan.

Keindahan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar itu dilukiskan Allah dengan sangat indahnya melalui firman-Nya:

“Bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.  Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 8-9)

Namun demikian, meskipun kaum Muhajirin ditawari dengan berbagai fasilitas, akan tetapi mereka tetap ingin hidup berdikari dan tidak bersandar kepada saudaranya. Seperti yang terjadi pada sahabat Abdurrahman bin Auf. Ketika beliau ditawari segala fasilitas hidup, beliau malah bertanya dimana pasar? Lalu beliau mencari beberapa kayu bakar dan dijual di pasar,, atau sekedar menjadi kuli panggul. Namun dalam perjalanan hidupnya, beliau tercatat sebagai salah satu dari sahabat yang kaya raya.

Begitulah keindahan berukhuwah (bersaudara) sesama kaum muslimin pada masa Rasulullah saw dan para sahabat. Jika saja jiwa persaudaraan ini tetap melekat di dalam sanubari tiap kaum muslimin, pastilah tidak ada masalah ekonomi yang tidak bisa terselesaikan. Mengapa justru jiwa  seperti ini ada di kalangan etnis tertentu yang note-bone tidak beragama Islam?. Etnis Tionghoa misalnya, betapa persaudaraan ekonomi di antara mereka begitu kuat? Bahkan dapat dikatakan perekonomian Indonesia mayoritas dikuasai oleh etnis tersebut? Kita harus belajar kesuksesan jaringan persaudaraan bisnis mereka memang.

Padahal, secara konsep, Islam telah mendudukkan persaudaraan sesama muslim sebagai masalah keimanan, masalah aqidah, bukan sekedar masalah fiqhiyyah. Perhatikanlah salah satu hadits Rasulullah saw berikut: “Tidaklah beriman seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya (seiman) seperti ia memcintai dirinya sendiri.”

Demikian juga perintah Allah swt dalam Al-Quran yang menyerukan kita untuk saling tolong menolong dalam kebaikan. Firman Allah swt: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya “ (QS. Al-Maidah: 3)

Persaudaraan sesama muslim juga dapat melahirkan persatuan, dan persatuan dapat mewujudkan pembangunan secara berkesinambungan. Bagaimana mungkin kita akan membangun jika masih terjadi tawuran dan bentrokan di antara kelompok masyarakat?

Allah swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum merendahkan kaum lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim “(QS. Al-Hujurot: 11)

Jamhuri