Selasa, 26 Oktober 2010

Rahasia Sa'i

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur”
(QS, Ibrahim: 37)


Ayat di atas menjadi cikal bakal sejarah terjadinya prosesi ibadah sa’i yang kini dilakukan oleh para jamaah haji dan umroh.

Setelah Ibrahim as meletakkan Ismail yang masih bayi dan isteri Siti Hajar di Makkah yang tandus itu, beliau bergegas meninggalkan mereka kembali ke Syam melewati daerah Hujun (dekat Ma’la). Saat itu, Siti Hajar berlari mengikuti sang suami dan bertanya, “Hawai suamiku, mengapa engkau meletakkan kami disini?” Ibrahim as tidak mengindahkan pertanyaan isterinya, beliau tetap berjalan tanpa sedikit menoleh ke belakang. Kemudian isterinya kembali berteriak dan mengajukan pertanyaan yang sama. Nabi Ibrahim as tetap berjalan, meskipun hatinya sedih meninggalkan dua orang kekasihnya di tempat yang asing dan tandus tersebut. Jika beliau menoleh dan melihat kembali wajah kedua manusia yang dicintainya itu, pastilah akan timbul rasa iba sehingga akan urung melaksanakan perintahkan Allah untuk meletakkan kedua insan yang dicintainya itu.

Untuk ketiga kalinya, sang Istari kembali bertanya dengan kalimat yang lebih panjang lagi, “Wahai suamiku, apakah engkau meletakkan kami disini karena perintah Allah SWT?. Mendengar kata “Allah”, Nabi Ibrahim dengan perlahan menoleh ke arah isteri dan anaknya yang masih dibuai sambil wajahnya meneteskan airmata, seraya berkata, “Benar wahai isteriku, aku menempatkan kalian di sini karena perintah Allah SWT”.

Mendengar jawaban suaminya yang memang tidak pernah berbohong itu, sang isteri pun dengan segenap keyakinannya menjawab, “Wahai suamiku, jika iini adalah perintah Allah SWT, maka pergilah engkau dengan tenang, pasti Allah tidak akan menyia-nyiakan kami disni.”
Mendengar jawaban isterinya yang penuh keyakinan itu, Ibrahim as pun bertawakkal kepada Allah sambil memanjatkan doa seperti pada ayat di atas, yakni “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur” (QS. Ibrahim : 37)

Episode berikutnya, Siti Hajar dan puteranya yang masih bayi (Ismail as) pun tinggal di Makkah, beberapa waktu kemudian mereka kehabisan bekal. Air susu Siti Hajar pun tidak lagi berproduksi, sementara Ismail menangis kehausan. Di sinilah Siti Hajar memulai sa’i (usaha) nya untuk mencari apa saja yang dapat dimakan atau diminum.

Beliau berlari kesana kemari namun hasilnya nihil, hingga bolak-balik sebanyak tujuh kali antara bukit shafa dan marwah, dengan harapan ada sumber air atau ada kafilah yang melewati lembah tersebut. Namun hasilnya tetap nihil, hingga Allah SWT mengutus Jibril as mendatangi mereka, dan melalui hentakan kaki Ismail as yang masih bayi, terpancarlah air murni dan suci, yang kemudian air itu dinamakan dengan air Zamzam.

Kini, napak tilas sa’i ini dilakukan oleh para jamaah haji dan umroh. Sebuah reka ulang yang dilakukan di TKP (tempat kejadian perkara) langsung. Setiap yang berhaji atau berumroh tidak hanya menonton reka ulang ini, tapi ikut melakukannya, hingga benar-benar merasakann bagaimana penderitaan seorang wanita yang berjuang mempertahankan hidup keluarganya.
Sa’i, secara bahasa adalah usaha, sedang secara istilah adalah berjalan dan berlari kecil antara bukit shafa dan marwah sebanyak 7 (tujuh) kali. Jarak antara bukit Shafa dan Marwah adalah 405 meter, sehingga jika dilakukan 7 kali, maka akan ditempuh sejauh 2.965 m (3 km). Jika saja setiap permeter membutuh 3 (tiga) langkah kaki, maka sai ditempuh dengan 8895 langkah kaki. Belum lagi jika ditambah dengan ibadah Thawaf sebelumnya, maka akan ditempuh dengan 10.000 langkah kaki. Secara kesehatan hal ini tentu saja dapat membakar lemak, kolesterol serta memperkuat zat kapur pada tulang. Tidak heran, jika ada sebagian mahasiswa kita yang menempuh studi di Makkah, dalam setiap pekannya melakuan umroh sunnah. Menurutnya, dari pada sekedar olah raga, lebih baik olah raga yang plus ibadah, yakni dengan umroh.

Mengapa memulai sa’i dari bukit Shafa dan diakhiri di bukit Marwah? Kata “Shafa” berarti “kejernihan” sedangkan “Marwah’ adalah kepuasan (berasal dari kata rowiiya-yarwi). Ini mengisyaratkan bahwa suatu sa’i (usaha) harus dimulai dengan niat yang jernih (shafa) sehingga akan mendapat kepuasan (marwah). Usaha yang tidak diniatkan dengan niat jernih akan menimbulkan cara yang tidak baik, maka meskipun tujuan suatu usaha itu tercapai, dia tidak akan mendapat kepuasan yang hakiki dan sebenarnya. Bahkan tidak jarang, di penghujung tujuan itu, dia hanya mendapatkan penyesalan. Kasus-kasus korupsi yang belakangan merebak adalah buah dari niat dan cara yang tidak jernih.

Kemudian saat kita berada di atas kedua bukit teresebut disunnahkan membaca, Laa ilha illallah wahdu lasyarikah, lalu takbir “Allahu Akbar”. Sedangkan saat kita di bagian bawah antara kedua bukit itu (terutama antara dua lampu hijau)disunnahkan “Robbighfirham wa’fu watakarrom wa tajaawaz amma ta;lam innaka ta’lam ma na’lam innaka anta; aazzul akram” (Ya Tuhanku ampunilah, sayangilah, maafkankan, muliakanlah, hapuskanlah (kesalahan) yang Engkau ketahui. Sesungguhnya Engkau mengetahui sesuatu yang tidak kami ketahui. Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Mulia”.

Prosesi bacaan seperti ini mengisyaratkan kepada kita, bahwa pada saat kita berada di puncak, hendaklah selalu mengingat akan kebesaran Allah, bahwa Allah-lah yang mengangkat derajat kita, bukan karena usaha kita sendiri. Sedangkan pada saat kita sedang di posisi bawah, hendaklah kita mengingat Allah sambil memohon ampun atas segala kesalahan, bahkan kesalahan yang samar yang tidak sadar dan tidak kita ketahui.
Selanjutnya, ibadah sa’I memberi pelajaran kepada kita bahwa dalam hidup iini harus ada dua hal yang kita lakukan, yakni usaha zahir dan usaha batin. Dan setiap usaha yang kita lakukan pastilah akan di balas oleh Allah swt, baik langsung atau tidak langsung.

Usaha (sa’i) yang dilakukan Siti hajar membuahkan suatu hasil (yakni ari zamzam). Meskipun tidak langsung melalui tangan beliau, akan tetapi justru melalui kaki Ismail yang dihentak-hendatakan ke tanah saat menangis kehausan. Inipun menjadi ibrah (pelajaran) buat kita bahwa anak dan anggota keluarga kita telah dijamin rezekinya masing-masing oleh Allah swt, hanya saja sarana dan wasilah boleh jadi melalui orang tua yang berusaha. Sebaliknya orang tua yang ushanya mendapat hasil, jangan boleh melupakan isteri-anak dan keluarganya. Karena boleh jadi, kesuksesan orang tua adalah rezeki anak dan anggota keluarganya. Dalam suatu hadits diriwayatkan, “Dari Anas ra berkata, Ada dua orang bersaudara di masa Nabi saw, dan salah seorang dari mereka mendatangi Nabi, sedang yang lainnya bekerja, lalu orang yang bekerja ini mengadukan saudaranya kepada Nabi saw dan bersabda, “Boleh jadi kamu diberi rezeki karena dia” (HR: Tirmidzi dengan Sanad shahih menurut yang disyaratkan Imam Muslim) (Riyadush Shalihin Bab Yaqin dan Tawakkal hadits No.11)

Pelajaran dan hikmah lainnya adalah terkait peristiwa sebabnya sa’i, yakni ketaatan Ibrahim as melaksanakan perintah Allah untuk meletakkan anggota keluarganya di tempat asing, serta keyakinan beliau dan isterinya Siti Hajar akan jaminan rezeki Allah dalam melaksanakan perintahnya.

Hal ini sangat penting, terutama para da’i sebagai pengembang dan pewaris rislaah para Nabi.Tidak jarang mereka harus di tempatkan di suatu tempat yang asing, bahkan tidak jelas sumber penghasilan hidupnya. Namun jika mempnyai keyakinan tinggi bahwa rezeki di tangan Allah, terlebih sedang melaksnakan tugas suci. Maka Allah akan membuka pintu-pintu kemudahan baginya. Allah swt berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik “ (QS. Al-Ankabut: 69)
Pelajaran terakhir dari sai’I adalah sebuah jawaban dari sebuah pertanyaan, “Mengapa thawaf wada’ (thawaf perpisahan) tidak dilakukan dengan sa’i-nya?” Jawabanya adalah –wallahu a’lam– karena setelah pulang berpisah dengan ka’bah dan kembali ke tanah air, janganlah kita meninggalkan tugas pokok kita sebagai manusia, sehingga sa’I (usaha) masih tetap kita laksanakan, hanya saja sa’I (usaha) dalam bentuk lain., yakni berkerja dan berusaha mencari nafkah kembali dengan semangat mencari karunia Allah yang halal dan thayib. Jangan sampai pulang kembali ke Tanah Air, kita menjadi pengangguran, lahan tanah sebagai satu-satunya penghidupan habis, apalagi menjadi orang yang tangannya selalu di bawah (pengemis), naudzu billah.

Semoga para jamaah haji dan kita semua selalu mendapat taufiq dan hidayah dari Allah SWT, sehingga menjadi hamba yang pandai mengambil pelajaran dari setiapperistiwa untuk bekal kebahagian kita di dunia dan akhirat. Amin.

Muhammad Jamhuri

Rabu, 20 Oktober 2010

Rahasia Thawaf

“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud". (QS, Al-baqarah: 125)

Thawaf secara harfiyah berarti berputar. Sedang menurut syariat adalah mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh putaran dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Para jamaah haji dan umroh selalu melaksankan thawaf ini, karena ia merupakan rukun dari ibadah tersebut. Sebagaimana sabda Nabi saw, “Ambillah dari ku manasik kalian.

Berputar akan membetnuk sudut 360 derajat. Dan ternyata seluruh alam ini pun ikut berputar membentuk sudut 360 derajat. Bumi mengitari matahari membentuk putaran dan sudut 360 derajat. Demikian juga halnya planet-planet lain di angkasa. Mereka dalam porosnya masing-masing berputar dalam lingkaran galaksi. Dan arah putaran planet-planet pun sama dengan arah putaran thawaf, yakni berlwanan dengan arah jarum jam.

Bisa kita bayangkan, bagaimana jika bumi atau planet lain itu berhenti berputar? Boleh jadi akan terjadi kegoncangan dan ketidakstabilan. Demikian juga orang yang meninggal shalat. Mengapa? Karena orang yang menunaikan shalat pada dasarnya sedang membentuk sudut 360 derajat. Bagaimana penjelasannya?

Pada saat kita sedang tegak berdiri, maka posisi kita membentuk sudut setengah lingkaran atau sudut 180 derajat. Sedangkat pada saat kita sedang ruku’ maka posisi kita sedang membentuk segitiga siku-siku atau 90 derajat, Adapun saat kita sedang dalam keadaan sujud, maka akan terbentuk sudut 45 derajat, sedangkan sujud kita dalam satu rakaat berjumlah dua kali (45X2=90 derajat), sehingga jika kita jumlahkan antara posisi saat berdiri, ruku, dan sujud, maka berari 180+90+45+45= 360 derajat. Ini sama dengan bentuk putaran yang membentuk sudut 360 derajat.

Dengan demikian, “thawaf” adalah kebutuhan kita, kebutuhan alam, dan kebutuhan rohani kita.
Kemudian arah thawaf adalah mengelilingi ka’bah yang posisi ka’bah tesebut berada di sebelah kiri kita, bukan di sebelah kanan. Ini menunjukkan kesamaan arah putaran bumi dan galaksi. Ini juga yang menyebabkan tidak cepat lelahnya orang berthawaf karena seirama dengan arah putaran bumi. Jika kita melihat orang melakukan jogging atau lari kecil di sebuah area, akan kita dapati mereka yang berjoging akan berputar se arah orang yang sedang berthawaf. Sebagai contoh di lapangan olahraga Ahmad Yani Tangerang, atau di arena atletik Senayan, Mereka yang berolahraga mengelililingi lapangan pastilah searah dengan putaran orang berthawaf, padahal mereka tidak bermaksud meniru orang berthawaf.

Di samping itu putaran ke arah kiri juga sesuai dengan arah putaran baling-baling helicopter. Mengapa helicopter mempunyai baling-baling berputar se arah dengan putaran orang yang thawaf? Karena putaran seperti itulah yang dapat mengangkat badan pesawat ke atas. Ini sesuai dengan sebuah keterangan bahwa orang yang berthawaf, pahalanya akan diangkat seperti para malaikat yang bertahwaf mengleiilingi arsy dan kursinya Allah SWT di atas langit.

Adapun putaran thawaf yang berlawanan dengan arah jarum jam mengandung hikmah menapaki dan merenungkan waktu yang telah dilaluinya, apakah waktu yang kita lewati diisi dengan hal poistif atau negative?. Ini sesuai dengan anjuran Allah SWT yang berfirman: “dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok” (QS. Al-Hasyr: 18)

Jika kita melihat orang-orang yang sedang berthawaf dari layar televisi atau dari lantai tiga atap masjidil Haram, maka kita akan merasa nikmat melihat pemandangan itu. Namun jika kita masuk ke dalamnya dan ikut berthawaf, maka kita akan merasakan sesak dan sulitnya melakukan thawaf itu. Namun meski sulit dan berdesakan bahkan tersikut, kita tidak akan membalas sikutan atau menyakiti orang, bahkan kita tetap konsentrasi mengelilingi ka’bah hingga usai.

Ini sama dengan jika kita melihat kehidupan ini secara zahir. Begitu indahnya kita melihat dunia dan isinya. Akan tetapi jika kita hidup dan bergelut dii dunia ini, ternyata tidak seindah pandangan mata kita. Dalam kehidupan ini tidak jarang kita tersikut dan terdesak pihak lain. Akan tetapi jika kita memaknai hidup seperti thawaf, maka meskipun kita disikut orang, kita tidak akan sikut kanan sikut kiri. Kita harus konsentrasi menyelesaikan thawaf (putaran) hidup kita dengan husnul khatimah.

Sisi lain dari rahasia Thawaf adalah disunnahkannya kita idhtiba’, yakni membuka bagian bahu kanan serta berlari-lari kecil di tiga putaran pertama. Hal ini pernah dilakukan Rasulullah saw saat pertama umroh ke Makkah setelah beliau hijrah ke Madinah. Saat itu, Rasulullah saw mendapat berita dari malaikat Jibril bahwa kedatangan orang-orang muslim ke Makkah akan diejek oleh orang Quraisy dari arah Jabal Abu Qubais, bahwa orang-orang Muslim Madinah kurus-kurus dan berpenyakitan.

Mendengar berita itu, Rasulullah saw memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan idhtiba’ (membuka bagian bahu kanannya) dan berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama thawaf. Hal ini untuk menunjukkan izzah (kemuliaan) kaum muslimin, bahwa kaum kaum muslimin kekar dan sehat-sehat, tidak seperti yang disangka dan dituduhkan oleh orang Quraisy.

Subhanallah!, tidak ada suatu syariat dan harakat (gerakan) dalam ibadah, melainkan mempunyai hikmah dan tujuan yang Allah SWT rencanakan.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Muhammad Jamhuri

Kamis, 14 Oktober 2010

Tiga Keluarga Panutan

"Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia (QS.Al-Mumtahanah: 4)

Tidak ada Nabi yang disebutkan dalam al-Qur’an sebagai uswatun hasanah (panutan yang baik), melainkan Nabi Muhammad saw dan Nabi Ibrahim as.

Nabi Muhammad saw sebagai panutan yang baik tercantum dalam surat Al-Ahzab: 21, sedangkan Nabi Ibrahim as dan pengikutnya disebut sebagai panutan yang baik tercantum pada surat AL-Mumtahanah: 4 seperti yang tercantum di atas.

Oleh karena itu, keduanya patut kita jadikan tokoh panutan dan idola dalam kehidupan kita. Termasuk panutan dalam berkeluarga atau berumah tangga.
Sedangkan satu keluarga lagi yang patut menjadi rujukan dalam berkeluarga adalah keluarga Imran. Mengapa kita mengambil keluarga Imran sebagai panutan? Karena Allah mengabadikan keluarga Imran (Ali Imran) sebagai nama surat dalam al-Qurannya.

Nabi Ibrahim as beserta orang yang bersamanya (keluarga dan pengikutnya) adalah contoh model kekokohan berkeluarga. Meskipun dirinya dan anggota keluarganya tidak luput dari rayuan dan godaan iblis agar mengelak dari perintah Allah, namun semua anggota keluarganya (ayah, ibu dan anak) tetap teguh dan sabar menjalankan perintah Allah SWT. Mulai dari kesiapan bertempat tinggal di suatu lembah yang tidak ada tetumbuhan (Makkah) dengan bekal seadanya (jauh dari kesenangan dunia), hingga melaksanakan perintah penyembelihan putera Ibrahim as bernama Ismail as (penyerahan jiwa) sepenuhnya kepada Allah).

Saat ini kita seing menemukan seorang tokoh yang terkenal sukses, namun gagal dalam membina keluarganya. Dengan alas an kesibukan masing-masing, bahkan karena alasan berdakwah, keluarga kadang terbengkalai.

Namun Nabi Ibrahim as telah memberikan kepada kita contoh yang paripurna. Dia sukses dalam diri dan keluarganya, termasuk sukses dalam menghadapi segala rintangan dan cobaan hidup.

Sedangkan Nabi Muhammad saw adalah tokoh yang tidak disangsikan lagi sebagai panutan dalam segala hal, termasuk dalam berkeluarga. Dalam sebuah hadits beliau bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang terbaik kepada keluargaku”

Tauladan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw bukan sekedar teori, namun langsung dalam bentuk visual perilaku beliau. Baik sikap terhadap anak, isteri, orang tua, mertua, mantu bahkan cucunya,

Kepada isterinya misalnya, Rasulullah saw tidak segan-segan memanggil isterinya dengan panggilan yang dapat menyenangkan hati isterinya, seperti panggilan ya humairah terhadap Aisyah, yang artinya “Wahai pipi yang kemerahan” atau “ya Aisy” sebagai panggilan manja kepada Aisyah.

Bukan hanya itu, kadang canda pun beliau lakukan terhadap isterinya, meskipun beliau adalah pemimpin besar, yang selalu dikesankan orang sebagai pribadi yang serius terhadap pemimpin besar. Rasululllah saw pernah mengajak adu balapan berlari dengan Aisyah, pertama kali Aisyah menang, namun dalam perlombaan berikutnya Rasulullah saw yang menang. Beliau berkata “draw ya?” (Hadzihi li tilka).

Kepada cucunya, beliau membiarkan Hasan dan Husain bergelayut di atas pundak Rasulullah saw saat beliau bersjud, Hingga beliau bersujud panjang hingga kedua cucunya itu puas main “kuda-kudaan” di atas punggung Rasulullah saw.

Kepada mertua dan mantunya, seperti Abu Bakar, Utsman bin affan dan Ali bin Abi Thalib, beliau sering memuji mereka dalam kebaikan. Bahkan tidak jarang beliau memuji mereka di hadapan orang lain, dan orang lain itu yang menceritakannya kepada mereka yang bersangkutan, sehingga menimbulkan rasa kesan yang baik kepada mereka.

Hebatnya, perilaku beliau yang baik kepada keluarganya tersebut juga belaiu lakukan terhadap umatnya. Dengan kata lain, umatnya dianggap sebagai keluarga beliau sendiri, hingga dalam sebuah hadits, saat beliau akan berkurban, berkata, “Kurban ini untukku dan untuk umatku”.
Sosok lain yang menjadi panutan dalam berkeluarga adalah keluarga Imran atau Ali Imran.

Nama keluarga Imran diabadikan sebagai nama surat dalam al-Quran. Imran adalah orang yang shaleh, taat pada perintah Allah SWT serta sabar dalam mendidik putera-puterinya. Salah satu puteri beliau yang juga menjadi nama sebuah surat al-Quran adalah Maryam.

Imran telah sukses dalam mendidik Maryam sebagai wanita shalihah, yang dapat menjaga kesuciannya serta berbakti kepada Tuhan dan orang tuanya.

Betapa banyak para orang tua di zaman kini yang gagal menjaga anak wanitanya. Pendidikan yang salah serta gaya hidup bebas mengakibatkan anak-anak gadis mereka layu sebelum berkembang.

Keluarga Imran telah memberikan tauladan kepada kita dalam mendidik puterinya cinta kepada Tuhannya. Dia rajin beribadah serta taat kepada perintah Allah swt.

Namun, meskipun beliau dikenal dengan wanita suci, cercaan dan tuduhan busuk tetap saja mengenai beliau, terutama saat melahirkan nabi Isa tanpa suami dengan kekuasaan dan kehendak Allah. Akan tetapi segala tuduhan itu telah dipatahkan oleh puteranya sendiri yang masih bayi, Isa as yang masih bayi –dengan izin Allah– dapat berkata-kata menjelaskan kepada manusia bahwa dirinya adalah utusan Allah swt.

Jika awal surat al-Baqarah dimulai dengan penyebutan tiga tipe manusia, yakni Muttaqin, Kafirin dan Munafiqin, maka surat Ali Imran seakan menegaskan kepada kita bahwa golongan yang dipilih dalam hidup ini adalah golongan Muttaqien, yang salah satu episode panutannya adalah keluarga Imran atau Ali Imran. Itulah sebabnya, surat itu dinama surat Ali imran. Wallahu a’lam bish-shawab. )I( M. Jamhuri

Sabtu, 09 Oktober 2010

Antisipasi Diri Terhadap Bencana Alam

“Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun” (QS.Al-anfal: 33)

Saat ini, datangnya bencana sulit diprediksi. Baik berupa gempa bumi maupun banjir bandang atau pun angin puting beliung. Jika bisa diprediksi kapan dan dimana bencana itu akan datang, barangkali tidak akan terjadi korban yang jumlahnya begitu banyak jatuh bergelimpangan. Kenyataannya, korban banjir bandang, gempa bumi, dan angin puting beliung telah memakan korban yang tidak sedikit.

Sulitnya memprediksi datangnya bencana ini memerlukan kewaspadaan setiap kita, minimal diri kita sendiri. Antisipasi datangnya bencana ini perlu dilakukan agar bencana itu tidak datang ke kita, atau meskipun datang tiba-tiba, kondisi kita dalam keadaan baik sehingga mendapat posisi husnul khotimah.

Oleh karena itu ada beberapa langkah yang mungkin bisa kita ambil dalam mengantisipasi datangnya bencana yang tidak dapat diprediksi:

Pertama, agar bencana alam itu tidak datang, maka kita harus mengambil dua tindakan: tindakan zahir dan tindakan batin. Tindakan zahir mencakup pemeliharaan keseimbangan alam dan lingkungan. Suatu yang tidak bisa dibantah lagi bahwa bencana alam yang akhir-akhir ini terjadi adalah akibat ulah tangan manusia. Banjir bandang yang melanda Wasior Papua Barat adalah akibat pemalakan hutan yang berlebihan. Banjir di Jakarta adalah akibat kurangnya kesadaran warga membuang sampah serta pemanfaatan air tanah yang berlebihan. Karena itu, pemeliharaan keseimbangan alam adalah mutlak dilakukan. Hubungan kita dengan alam harusnya merupakan hubungan yang harmonis, bukan eksploitasi yang merusak. Rasulullah saw bersabda saat menyaksikan gunung Uhud: “Uhud adalah gunung yang mencintai kita dan kita pun mencintainya”. Belum lagi banyak ayat yang berbunyi “Janganlah melakukan kerusakan di atas bumi”.

Keseimbangan dan kelestarian alam akan banyak menahan faktor-faktor timbulnya bencana alam. Oleh sebab itu pemeliharaan alam dan lingkungan bukan sekedar kewajiban warga negara, akan tetapi tuntutan keimanan kita .

Adapun tindakan batin adalah dengan memperbanyak taubat dan istighfar. Allah SWT berfirman: “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun (istighfar)” (QS.Al-anfal: 33).

Abu Musa al-Asy’ari berkata, “Kami (para sahabat) dahulu memiliki dua penjagaan (dari bencana), yakni adanya Rasululllah saw dan kami sering beristighfar, sedangkan kalian kini hanya memiliki satu penjaga, yakni jika kalian masih beristighfar. Maka jika kalian sudah meninggalkan istighfar, tidaklah kalian memiliki penjaga dari bencana”.

Beristighafar bukan hanya sekedar melantunkan kalimat astaghfirullah, namun juga ada semangat taubat secara massal. Taubat dari korupsi, taubat dari merusak alam, taubat dari keserakahan, taubat dari kemaksiatan, taubat dari meninggalkan perintah, taubat dari segala perbuatan yang merugikan. Dengan langkah ini, maka bencana tidak akan datang kepada kita.
Lalu, bagaimana jika musibah itu toh harus datang juga ke hadapan kita secara tiba-tiba dan tidak terprediksi, sehingga kita meninggal dunia tertimpa musibah itu? Tindakan antisipasi kita adalah berusaha agar kita mendapat husnul khatimah (kesudahan yang baik) di akhir hayat kita? Caranya?

Menjaga wudhu, adalah salah satu cara agar kita mendapat husnul khatimah. Karena dengan berwudhu dan menjaganya dalam setiap kondisi, maka bila kita meninggal dunia, meninggal dalam keadaan kesucian, dan mendapat kecintaan Allah SWT. Firman Allah SWT: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri” (QS. Al-Baqarah: 222)

Bebarapa sahabat dan ulama terdahulu banyak dikenal menjaga wudhu sepanjang hari, dan mereka melakukan itu puluhan tahun lamanya. Pantaslah jika mereka mendapat keridhoan Allah SWT.

Cara lainnya adalah dengan memperbanyak puasa sunnah. Puasa adalah salah satu ibadah yang dirasakan selama sehari penuh. Yakni sejak terbitnya matahari hingga terbenam. Sehingga jika kita wafat secara tiba-tiba akibat bencana alam atau karena akibat lainnya, maka kita akan wafat dalam keadaan sedang berpuasa. Dan hal itu merupakan salah satu tanda husnul khatimah.

Oleh sebab itu, ketika Nabi saw ditanya tentang puasa senin dan kamis, beliau menjawab, “Senin adalah hari kelahiranku, sedangkan hari kamis adalah hari dimana di setiap pekan catatan amal seorang hamba diangkat kepada Allah, dan aku menyukai jika amalku diangkat dalam keadaan sedang beramal baik.”

Karena itu, jika kita meninggal dunia dalam keadaan sedang beribadah, maka itu adalah pertanda kebaikan.

Dalam hadits lain,Nabi saw bersabda, “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah”. Sering kali kita salah kaprah dalam memahami hadits ini sehingga banyak orang yang berpuasa bukan memperbanyak ibadah malah memperbanyak tidur. Padahal maksudnya adalah saat kita tidur pun, kondisi kita masih dalam keadaan berpuasa, dalam keadaan beribadah.

Nah, bagaimana jika dalam keadaan sedang berpuasa kemudian datang bencana secara tiba-tiba dan kita wafat dalam keadaan berpuasa? Bukankah hal itu adalah tanda husnul khatimah? Bukankah suatu anugerah jika saat ajal kita dicabut dalam keadaan kita sedang beribadah?
Ringkasnya mari perbanyak taubat dan istighfar agar musibah tidak menimpa, dan seandainya musibah tetap datang, kita sudah mempersiapkan diri wafat dalam keadaan husnul khatima dengan menjaga wudhu dan puasa.. )I( M.Jamhuri

Sabtu, 02 Oktober 2010

Empat Kriteria Taqwa

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (QS. Ali Imran: 102)

Ayat di atas sering terdengar di setiap mimbar-mimbar Jumat, yakni saat sang khatib menyampaikan pembukaan khutbahnya. Taqwa adalah wasiat yang harus disampaikan setiap khatib dalam khutbah Jumatnya. Karena wasiat agar bertakwa adalah termasuk rukun khutbah Jum’at.

Namun, apa saja kriteria takwa itu? Imam Ali ra mendefinisikan taqwa dalam empat kriteria, yakni Al-khouf bil Jalil wal hukmu bit tanzil wal isti’dad li yaumil rahil war ridho bil qolil. (Takut kepada Allah yang Maha Mulia, berhukum dengan al-Quran yang telah diturunkan, bersiap diri untuk hari akhir, dan ridho dengan bagian sedikit)

Pertama, Al-Kouf bil Jalil (Takut kepada Allah yang Maha Mulia). Yang dimaksud takut disini bukan seperti kepada algojo atau atasan yang jahat. Namun, yang dimaksud takut disini adalah takut karena kebesaran dan kemahabiajksanaan Allah SWT, sehingga dia takut jika melanggar aturan Allah SWT, bahkan dia takut padaNya meskipun manusia tidak melihatnya. Hal ini pernah tercermin pada seorang wanita yang meminta Nabi saw agar ia dihukum rajam karena perbuatannya, sebab dia takut akan siksa Allah di akhirat. Namun Rasulullah saw masih mengulur-ngulur waktu dalam menjatuhkan sangsi karena kehamilannya. Meskipun pelaksanaan sangsi diundur, namun wanita ini tidak sabar menunggu, dan pada waktunya ia pun dengan kesadaran sendiri mendatangi Nabi saw untuk dihukum. Setelah Nabi saw menjatuhkan hukuman rajam padanya hingga wafat, Nabi pun menshalatkan jenazahnya. Saat itu Umar bin Khattab ra bertanya memprotes Nabi, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau mau menshalatkan wanita penzina ini?” Nabi saw menjawab, “Wahai Umar, seandainya taubat wanita ini ditimbang dengan taubat sepuluh penduduk Madinah, pastilah taubatnya melampaui mereka”.
Perasaan takut kepada Allah inilah yang membuat manusia berhati-hati dalam melakukan segala kejahatan.

Kedua, al-hukmu bit tanzil (Berhukum kepada al-Quran yang diturunkan). Banyak di antara umat Islam yang ingin berhukum kepada Al-Quran, namun mereka masih memakai hukum kuffar. Mau bertuhankan Allah namun masih percaya dengan praktek klenik dan khurafat.
Suatu hari dua muallaf Yahudi telah resmi masuk Islam, namun dalam amalannya, mereka masih menikmati ritual agama Yahudi, dimana setiap hari sabtu masih melakukan ibadah cara Yahudi, maka turunlah ayat Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al-Baqarah: 208)

Ayat ini menunjukkan agar kita totalitas dalam berIslam serta hanya mengacu kepada tuntunan al-Quran dan sunnah Rasulullah saw, serta tidak mencampuradukkan ritual Islam dengan ritual agama lain.

Ketiga, Al-isti’dad li yaumil rahil (Menyiapkan diri untuk hari akhirat). Nabi saw pernah menyatakan bahwa orang yang cerdas adalah orang yang dapat menahan hawa nafsunya dan beramal untuk persiapan setelah meninggal dunia. Karena pada hakekatnya, hidup di dunia laksana menyebarang jalan. Artinya, dunia bukanlah tujuan akhir, melainkan alam akhirt-lah tujuan akhir hidup kita. Oleh karena menyiapkan diri untuk tujuan akhir adalah penting, agar selamat sampai tujuan.

Suatu hari, tatkala Umar bin Abdul Aziz menerima tampuk kekhalfihan, beliau bersitirahat sejenak setelah menghadiri upacara pemakaman khalifah sebelumnya. Baru saja umar rebahan untuk beristirhat, tiba-tiba ada orang yang berkata, “Wahai, tidakkah anda segera mengembalikan harta yang pernah diambil khalifah sebelummu secara zhalim?”. Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Tunggulah sebentar, aku akan beristirahat terlebih dahulu, nanti setelah zuhur akan aku serahkan harta yang pernah diambil secara zalim itu”. Namun kemudian orang itu berkata, “Siapakah yang menjaminmu tetap hidup setelah zuhur nanti?”. Mendengar kata-kata itu, segera saja Umar bin Abdul aziz tersentak dan tidak bisa tidur lagi, dan beliau segera mengembalikan harta yang pernah diambil secara zalim oleh khalifah sebelumnya.
Perasaan Umar seperti di atas adalah karena beliau ingin agar di akhirat tidak dituntut siapapun. Ini adalah penyikapan orang yang selalu mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat.

Keempat, al-ridho bil qolil (Ridho dengan bagian yang sedikit). Sikap ini sepadan dengan makna qona’ah (rasa puas dengan pemberian Allah). Sikap ini sangat sulit jika tidak didorong dengan sikap husnuzzhon (baik sangka) kepada Allah SWT, sebab sifat dasar manusia adalah selalu ingin lagi dan ingin lagi.

Keluarga pasangan Ali bin bi Thalib dan Fatimah adalah cermin manusia yang ridho dengan pembagian Allah, bahkan saat Allah telah memberi rezeki pada mereka, mereka harus memberikannya kembali kepada orang yang lebih tidak mampu dari mereka.
Itulah empat kriteria takwa yang didefiniskan Saidina Ali bin Abi Thalib. Adakah kriteria itu dalam diri kita? Jika belum, berarti ramadhan kita yang lalu harus dievaluasi, demikian juga fungsi wasiat takwa yang selalu disampaikan khatib setiap Jumatnya. Wallahu a’lam. )I(