Rabu, 24 Oktober 2012

Adab Berdo’a


Bagaikan seseorang yang meminta suatu bantuan atau permohonan tertentu kepada orang lain, pasti memerlukan teknik dan cara agar permohonan bantuannya dapat dikabul. Demikian juga saat kita memohon suatu permohonan kepada Allah swt. Memohon kepada-Nya lebih harus diperhatikan cara dan adabnya agar doa-doa kita diterima oleh Allah swt.

Biasanya, seberapa besar dan penting sesuatu yang dimintanya, maka sebesar itu pula pembukaan dan “basa-basi”nya yang disampaikan kepada orang yang akan dimintai sesuatu itu. Misalnya, kita ingin meminjam uang sebesar Rp. 50 juta karena suatu keperluan, kemudian kita mendatangi teman kita untuk dimintai pinjamannya, pasti  kita tidak langsung to the point membicarakan inti malasah. Akan tetapi kita akan mengobrol dulu kesana kemari. Misalnya, kita akan bertanya dulu tentang kabar dia, kabar keluarganya, bahkan kita memuji dia dengan kesuksesannya. Setelah ngalor-ngidul berbincang, barulah kita menyampaikan inti masalah kita kepada dia yang ujung-ujungnya adalah ingin meminjam uang Rp.50 juta.

Berbeda halnya jika kita hanya akan meminjam uang sebesar Rp.5.000 misalnya. Dalam kondisi ini kita jarang basa-basi yang panjang, kita lebih sering to the poin ke inti masalah, seraya berkata, “Eh kawan!, pinjam uang Rp 5000 dong, aku gak punya uang ini mau naik angkot”.

Begitu pun jika kita akan meminta dan memohon kepada Allah swt, maka kita perlu mendahulukan pujian terlebi dahulu sebelum ke inti masalah. Karena itu merupakan adab kita memohon kepada Allah swt.

Coba perhatikan surat Al-Fatihah yang terdiri dari 7 ayat, hanya 2 ayat yang berisi inti permohonan, sedangkan 5 ayat pertama isinya adalah berupa pujian kepada Allah swt.

(1) Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

(2) Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam

(3) Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

(4) Yang menguasai di Hari Pembalasan

(5) Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan

(6) Tunjukilah kami jalan yang lurus

(7) (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat

 

Dari surat al-Fatihah ini kita dapat mengetahui bahwa, hanya ayat ke 6 dan ke 7 saja yang berisi permohonan, sedangkan ayat 1-5 berisi pembukaan, pujian dan pernyataan.

Oleh sebab itu, Allah swt menganjurkan kepada kita agar saat berdo’a kita menyebut asmaul-husna (nama-nama Allah yang baik). Firman Allah swt yang artinya, “Hanya milik Allah asmaa-ul husna[ maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu “ (QS. Al-A’raf: 180).

Selain memuji Allah swt sebelum berdo’a, para ulama juga men-sunnah-kan bershalawat kepada Nabi Muhammad saw. Hal itu dikarenakan Nabi Muhammad saw adalah hamba Allah yang dicintai-Nya dan bershalawat kepada beliau adalah merupakan perintah Allah swt. Firman Allah swt yang artinya: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS. Al-Ahzab: 56)

Rasulullah saw bersabda, “Setiap doa akan terhalang sampai orang tersebut membaca shalawat kepada Nabi saw” (HR: Thabrani)

Bahkan, pada masa Nabi saw, para sahabat menjadikan nabi sebagai wasilah (perantara) dalam memohon ampunan kepada Allah swt, dimana para sahabat memintakan istighfar dari Nabi saw agar beliau memohon ampun kepada Allah swt untuk para sahabat yang meminta istighfar kepada Allah dari beliau.  Allah swt menceritakan hal itu melalui firmanNya yang artinya, “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu (muhammad), lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisaa: 64)

Selain memuji Allah swt dan bershalawat kepada Nabi saw, agar do’a kita dikabulkan oleh Allah swt, kita dianjurkan untuk selalu berdoa setiap saat. Membiasakan doa, meskipun tidak dalam keadaan kesulitan, akan memudahkan diterimanya doa saat kita dalam, kondisi kesulitan. Rasuluillah saw bersabda, “Barangsiapa yang senang doanya dikabulkan saat kondisi kritis, maka hendaklah dia memperbanyak doa pada masa dia nyaman.”

Membiasakan berdoa di masa nyaman ibarat sebuah pisau yang selalu diasah, sehingga pada saat “pisau” itu digunakan kapan pun, maka pisau itu akan berfungsi dengan baik. Berbeda halnya jika suatu pisau dibiarkan tidak pernah dipakai dan diasah, maka pisau itu akan menjadi berkarat dan tumpul, sehingga pada saat kita akan mengguinakannya lagi, pisau itu tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Demikian juga dengan do’a. Jika kita hanya berdoa pada saat ada suatu kebutuhan saja, maka sulit doa itu akan cepat terkabul. Namun, jika kita sering beribadah dan berdoa kepada Allah, maka pada saat kritis dan membutuhkan, maka doa kita akan cepat terkabul. Dalam suatu hadits lainj, Rasulullah saw perna bersabda yang artinya, “Ingatlah kepada Allah pada saat nyaman, maka Allah akan mengingatmu pada saat sulit.”

Syair lagu Bimbo berkata, “Aku jauh engkau jauh, aku dekat engkau dekat, hati adalah cermin, tempat pahala dan dosa berpadu...”

Jamhuri

 

Jumat, 12 Oktober 2012

Arafah dan Persatuan Umat


Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'aril-haram Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat (QS.Al-Baqarah: 198)


Wukuf di padang Arafah bagi jamaah haji merupakan inti dari prosesi ibadah haji. Tanpa wukuf di Arafah, maka haji seseorang dianggap tidak sah. Rasulullah saw bersabda, “Haji adalah Arafah”, maksudnya adalah inti ibadah haji ada pada wukuf di Arafah.
Para ulama berbeda pendapat tentang sebab tempat ini dinamakan Arafah. Sebagian mengatakan bahwa nama Arafah diambil dari ‘Arafa—Ya’rifu yang artinya mengenal. Hal ini disebabkan karena saat nabi Adam as dan Hawa dikeluarkan dari surga, mereka saling mencari. Nabi Adam as berjalan dari India mencari Siti Hawa, sedangkan Siti Hawa berjalan mencari suaminya dari daerah Jeddah. (Kata “Jeddah” berasal dari kata “Jaddah” yang berarti nenek moyang). Akhirnya mereka saling bertemu di padang Arafah, Adam as bertanya pada Siti Hawa, “Hal ‘aroftini?”, (apakah engkau mengenal aku?). Demikian juga Siti Hawa bertanya pada Adam as, “Hal ‘aroftani?” (apakah engkau mengenal aku?)
Sebagian ulama ada pula yang berpendapat, bahwa kata Arafah berasal dari kata ‘i’tiraf” yang artinya “pengakuan”. Dinamakan demikian, karena jamaah haji saat berwukuf di padang Arafah, mengaku segala kesalahan dan dosanya selama ini. Mereka menangis mengadukan segala kesalahannya kepada Allah swt.
Rasulullah saw pernah berwukuf pada saat melaksanakan ibadah haji, yang kemudian disebut juga haji wada’(perpisahan), karena beberapa bulan setelah melaksanakan ibadah haji tersebut, Rasulullah saw dipanggil ke haribaan Allah swt.
Pada saat berwukuf, Rasulullah saw sempat menyampaikan khutbahnya, yang berisi pesan kepada persatuan dan persaudaraan umat serta menjaga kehormatan sesama manusia. Salah satu isi khutbah beliau adalah, “Sesungguhnya jiwa-jiwa kalian, harta-harta kalian, dan kehormatan kalian adalah suci, sebagaimana sucinya tempat ini, dan sucinya hari ini, dan sucinya bulan ini”
Khutbah ini berisi pesan universal dari Rasulullah saw, bahwa kita dilarang saling menghilangkan jiwa, dilarang mengambil harta dan hak orang lain, serta dilarang menistakan kehormatan orang lain. Oleh sebab itu jika kita mengaku sebagai umat nabi Muhammad, maka kita tidak boleh mencela saudara seimannya, mengkorupsi harta rakyat melalui jabatannya, dan tidak boleh saling tawuran yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia.
Saat itu, Rasulullah saw sangat serius menyampaikan khutbahnya, sehingga di akhir khutbahnya Rasulullah saw bertanya kepada para jamaah haji yang hadir pada saat itu, “Bukankah kini aku telah menyampaikan kepada kalian.?” Para sahabat yang hadir pada saat itu menjawab serentak, “Benar, wahai Rasulullah”. Kemudian Rasulullah saw berpesan kepada para sahabat seraya bersabda, “Yang hadir saat ini agar menyampaikan pesan ini kepada yang tidak hadir”. Kemudian beliau mengarahkan wajahnya ke atas langit seraya berkata, “ Allahumma fasyhad” (Ya, Allah saksikanlah ini).
Pada peristiwa wukuf di padang Arafah itu juga turun wahyu yang terakhir yang amat penting, yaitu surat Al-Maidah ayat 3, yang artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu “ (QS. Al-Maidah: 3)
Ayat ini juga memberi pesan persatuan kepada segenap umat Islam, bahwa Islam itu satu. Tidak ada Islam tradisonal atau islam modern, tidak islam politik dan islam non politik, tidak ada islam radikal dan islam santun, tidak ada islam lokal dan islam internasional. Islam ya Islam, islam yang mengatur dan menyentuh seluruh bidang kehidupan; mulai dari masalah bersuci hingga mengurusi urusan negara dan internasional (dunia), bahkan mengurus urusan kehidupan pasca dunia, yakni akhirat.
Agama Islam adalah agama yang menyentuh seluruh bidang kehidupan, dia mengajarkan kita aqidah dan ibadah sebagaimana dia juga mengajarkan politik dan mengatur negara. Semuanya sama sebagai ajaran Islam yang tidak boleh dipisah-pisah secara parsial
Penyebutan kata lain setelah kata Islam, hanyalah pengkerdilan agama Islam yang bersifat universal, integral dan sempurna. Dengan pengkotakan itulah timbul perpecahan, saling curiga dan pertikaian antar kelompok muslim yang seharusnya tidak terjadi. Apalagi jika kita merenungi isi khutbah Arafah yang disampaikan Rasulullah saw seperti yang tersebut di atas. Betapa menodai kehormatan sesama muslim, merampas harta muslim dan membunuh sesama muslim adalah sama saja dengan menodai tempat-tempat yang suci, menodai hari yang suci dan menodai bulan yang disucikan Allah swt.
Selain khutbah Nabi saw dan turunnya ayat Allah swt di Arafah yang menyerukan persatuan umat, ada puka isyarat lain yang memberi pesan kepada persatuan umat, yakni keberadaan jamaah haji di hari itu (tanggal 9 Dzulhijjah) harus berada di padang Arafah. Hal ini pula memberi pesan kepada kesatuan dan persatuan umat.
Betapa tidak? Di Padang Arafah saat pelaksanaan wukuf, telah berkumpul kaum muslimin dari berbagai ras dan suku bangsa, mereka datang dari berbagai penjuru dunia, dengan warna kulit dan bahasa yang berbeda, namun mereka telah disatukan dalam satu akidah (keyakinan), satu ibadah, satu tujuan, dan satu ketaatan pada satu perintah.
Adakah di dunia ini satu kelompok agama atau organisasi yang dapat mengumpulkan jutaan massa dalam satu tempat dengan sukarela dan pengorbanan dengan harta dan jiwa sendiri, selain Islam? Dalam wukuf, mereka datang dengan sukarela, berbekal dengan harta sendiri, dan rela mengorbankan jiwa jika perlu, untuk berkumpul di suatu tempat pada hari yang telah ditentukan. Bahkan jika saja tidak ada sistem kuota haji, mungkin jumlah yang datang ke Arafah akan lebih membludak dari yang ada sekarang.
Ini semua, tentu saja, mengandung pesan bahwa sebenarnya umat Islam dapat bersatu, jika tujuan hidup dan perjuangannya adalah untuk mencari ridho Allah. Namun jika tujuan perjuangan adalah selain ridho Allah maka yang timbul adalah pertikaian dan perpecahan, karena hati manusia pada saat itu telah tercemar dengan tujuan lain, meskipun dia berkata bahwa dia berjuang berdasarkan kitab dan sunnah. Ketika kaum Khowarij yang dikenal sebagai kelompok yang sudah keluar dari jalur ahlussunnah wal jamaah, mengangkat semboyan “La hukma illallah” (tiada hukum selain hukum Allah). Imam Ali bin Abi Thalib berkomentar, “Kalimatu haqqin uirda biha al-bathil” (itu adalah kalimat kebenaran namun yang diinginkan darinya adalah kebatilan)
Sudah letih rasanya sesama umat islam saling menghujat, sudah habis energi rasanya mencaci maki masalah furuiyyah yang tidak seirama dengan dirinya, sudah penat rasanya umat ini menyaksikan perdebatan para pemimpinnya, padahal di hadapan mereka masing banyak masalah-masalah utama yang harus dicarikan solusinya. Akan tetapi karena kita sibuk membahas dan meributkan persoalan cabang daripada persoalan pokok, maka yang terjadi adalah kemunduran demi kemunduran pada tubuh umat ini.
Ada baiknya kita merenung perkataan Mustofa Masyhur, dia berkata, “Nata’awan fimaa ittafaqna wa natasaamah fimaa ikhtalafna” (Marliah kita saling bekerja sama pada sesuatu yang kita sepakati bersama, dan marilah saling bertoleransi pada sesuatu yang masih kita perselisihkan)
Masalah yang kita sepakati bersama solusinya adalah; masalah keterbelakangan umat, kesejahteraan umat, kebodohan umat, suksesi kepemimpinan dari kalangan umat. Hendaklah masalah-masalah itu bersinergi antar kelompok masayarakat muslim di dalam mencari solusinya. Dan janganlah hanya karena berbeda dalam masalah cabang (furu’) menyebabkan tersendatnya melakukan kerjasama dalam masalah-masalah yang disepakati bersama.
Bertoleransi dalam masalah furu’ sebenarnya juga telah dipraktekkan dan dirasakan oleh para jamaah haji saat di Makkah, namun entah mengapa jika pulang kembali ke tanah air rasa toleransi itu hilang lagi Sebagai contoh. Jamaah haji dari kalangan Muhammadiyah dan Salafi yang tidak menganut paham adanya adzan dua kali dalam sholat Jumat, namun mereka tidak pernah meributkan saat Masjidil Haram mengumandangkan adzan dua kali dalam shalat Jumat. Sebaliknya, Jamaah haji dari kalangan Nahdhiyin (NU) yang beranggapan bahwa shalat subuh harus diikutkan dengan sunnah doa qunut, namun mereka tidak pernah meributkan Imam shalat subuh di Masjidil Haram yang tidak membca do’a qunut dalam setiap shalat subuhnya. Tidak ada dari semua kalangan yang ikut shalat di Masjidil Haram menganggap bahwa shalatnya tidak sah. Semua tenang, nyaman dan saling bertoleransi.
Arafah telah memberi pesan kepada kita untuk bersatu padu dalam kebersamaan. Pesan itu bukan hanya untuk para jamaah haji saja yang berada di Padang Arafah. Akan tetapi pesan itu juga ditujukan kepada kita. Buktinya, Rasulullah saw mensyariatkan kita yang tidak pergi haji untuk melaksanakan puasa sunnah Arafah untuk menghormati orang yang berwukuf di pada Arafah. Semoga umat Islam semakin bersatu. Amin. )I(
   Jamhuri

Rabu, 10 Oktober 2012

Kisah “Qurban” Sepanjang Masa


“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!." Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Maidah: 27)


Kisah peristiwa “qurban” ternyata bukan hanya terjadi pada masa Nabi Ibrahim dan nabi Ismail as saja. Sejak era nabi Adam as pun terbukti ibadah qurban sudah terjadi.
Ayat di atas mengisahkan tentang dua putera nabi Adam as yang bernama Qabil dan Habil yang diperintahkan Allah swt melalui nabi Adam as agar kedua puteranya melaksanakan qurban sebagai ujian bagi keimanan mereka, segaligus menguji ketaatan mereka kepada Allah dan Rasulnya. Pada saat itu, hewan qurban yang dipersembahkan Habil diterima oleh Allah swt. Sedangkan hewan qurban yang dipersembahkan oleh Qabil tidak diterima oleh Allah swt . Salah satu sebab tidak diterimanya hewan qurban Qabil adalah lantaran kurangnya keikhlasan melaksanakan perintah Allah swt; berkurban bukan lahir dari rasa ketakwaan kepada Allah swt tapi karena merasa terpaksa diperintah ayahnya yang bernama nabi Adam as. Allah swt menjelaskan sebab diterimanya amal adalah karena lahir dari rasa taqwa “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Maidah: 27)
Sebagian riwayat menyebutkan, bahwa karena lahir dari rasa ketakwaan, Habil yang hewan qurbannya diterima oleh Allah swt telah mempersembahkan hewan qurbannya yang terbaik dan super. Sedangkan Qabil yang berqurban dengan tidak ikhlas hanya mempersembahkan hewan terburuknya, sehingga qurban beliau tidak diterima.
Oleh sebab itu, ada baiknya bagi kita kaum muslimin, saat akan berqurban, dapat mempersembahkan hewan yang super dan terbaik, kemudian dengan rasa ketakwaan kita persembahkan. Dengan begitu, diharapkan ibadah qurban kita diterima oleh Allah swt.
Kisah qurban lainnya adalah kisah yang sangat populer, yakni pengorbanan nabi Ibrahim as dan nabi Ismail as. Kisah ini telah diceritakan Allah swt dalam surat Ibrahim: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."  Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.”  (QS. Ibrahim: 102-106)
Para ahli sejarah menyatakan bahwa nabi Muhammad saw selain bergelar al-amin, khotamul anbiya wal mursalin, dan habiballah, beliau juga bergelar ibnu Dzabihain (anak dari dua orang yang nyaris disembelih). Siapa dua orang tua yang nyaris disembelih (dikorbankan)? Yang pertama, adalah nabi Ismail as. Beliau adalah nenek moyang nabi Muhammad saw. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah dari anak Ismail, dan memilih Quraisy dari Kinanah, kemudian memilih Hasyim dari Quraisy, dan memilihku dari Bani Hasyim “ (HR Muslim )
Jika nabi Ismail adalah “bapak” pertama nabi Muhammad saw yang nyaris disembelih, lalu siapakah bapak yang kedua yang hampir disembelih? Dia adalah Abdullah; ayahanda nabi Muhammad saw. Bagaimana kisahnya?
Konon, pada zaman dahulu, sebelum Rasulullah saw dilahirkan, penduduk Makkah melakukan kemusyrikan dan mengotori tata cara manasik haji yang merupakan peninggalan ajaran nabi Ibrahim as yang suci. Ka’bah yang semula suci, kini dikotori dengan berhala-hala yang jumlahnya mencapai ratusan. Orang yang pertama membawa berhala ke Ka’bah adalah ‘Amr bin Luhayy bin Qonaah, lalu berhala itu menjadi sesembahan bangsa Arab. Mereka memotong telinga hewan mereka untuk dipersembahkan kepada para berhala, sehingga dengan kedurhakaan mereka yang banyak itu, Allah swt menghentikan mengalirnya sumber air zamzam selama kurun waktu. Hingga pada suatu saat Abul Muthollib –yang merupakan kakek Rasulullah saw– bermimpi ditemukannya kembali sumber air zamzam itu. Namun, usaha mencari sumber air zam-zan itu tidak ditemukan.
Kemudian Abdul Muthollib bernadzar kepada Allah, bahwa jika ia mampu menemukan kembali sumber air zamzam, maka ia siap menyembelih salah satu dari sepuluh putera yang dimilikinya. Setelah beliau bernazar maka pada hari berikutnya beliau pun menemukan sumber air zamzam yang kini terus mengalir hingga zaman modern sekarang ini..
Sesuai dengan janjinya, bahwa biila sumber air zamzam dapat diketemukan maka ia akan menyembelih salah seorang puteranya, maka beliau pun berkonsultasi kepada pemuka agama yang ada saat itu. Kemudian, pemuka agama itu pun menyarankan agar Abdul Muthollib membuat undian dengan memasukkan sepuluh nama puteranya dalam sebuah bejana kemudian diundi, dan nama puteranya yang keluar dari bejana itu, maka itulah yang akan disembelih.
Setelah melaksanakan petunjuk pemuka agama itu, Abdul Muthollib pun mulai memasukkan 10 nama puteranya tersebut, termasuk di dalamnya adalah nama Abdullah (calon ayah Rasulullah saw). Dan setelah salah satu nama dikeluarkan dari dalam bejana, ternyata nama Abdullah –lah yang keluar. Ini berarti Abdullah-lah yang  akan disembelih.
Namun, karena Abdullah adalah putera Abdul Muthollib yang sangat disayang dan dicintainya, maka Abdul Muthollib enggan untuk melaksanakan nazarnya jika harus menyembelih Abdullah. Akhirnya, Abdul Muthollib pun berkonsultasi kembali kepada pemuka agama saat itu. Kemudian pemuka agama itu menyarankan untuk diganti dengan sepuluh ekor unta, dan diundi kembali. Akan tetapi saat undian dilakukan, justru nama Abdullah kembali yang keluar undian, lalu hal itu terjadi hingga 10 kali undian, dan nama Abdullah tetap yang keluar dalam undian. Sehingga Abdul Muthollib mengeluarkan sebanyak 100 ekor unta untuk menggantikan nyawa Abdullah, karena beliau tidak tega dan merasa sayang kepada Abdullah jika dia yang disembelih.
Setelah 100 ekor unta dikeluarkan sebagai ganti nyawa Abdullah, pemuka agama itu pun menyebut hal itu sudah cukup untuk menggantikan nyawa seorang yang akan disembelih, sehingga Abdul Muthollib tidak perlu lagi mengundi nama-nama puteranya untuk disembelih, dan Abdullah pun tidak perlu disembelih karena sudah cukup digantikan oleh 100 ekor unta yang akan disembelih dan disedekahkan kepada fakir miskin dan masyarakat sekitar.
Dan pada masa Islam, jumlah 100 ekor unta atau senilai dengannya, kini menjadi jumlah harta yang harus dibayar oleh seseorang yang terkena diyat qishos (denda tindakan pembunuhan) yang diberikan kepada keluarga korban pembunuhan.
Kisah di atas memperjelas, bahwa keberadaan Abdullah yang nyaris disembelih menjadi keberkahan bagi masyarakat sekitarnya, baik kepada saudara-saudaranya yang tidak disembelih disebabkan nama Abdullah yang keluar saat diundi. Sebab, boleh jadi jika nama lain dari saudara-saudaranya yang keluar, Abdul Muthollib langsung melaksanakan nazrnya, karena hanya Abdullah yang sangat dicintainya, sedang yang lainnya tidak seperti itu.
Yang kedua, dengan disembelihnya 100 ekor unta menggantikan nyawa Abdullah, berarti masyarakat sekitar mendapat keberkahan pesta santap daging unta, sehingga semua orang senang mendapatkan bagian daging unta tersebut.
Itulah sebabnya Rasulullah saw diberi gelar “Ibnu Dzabihaian” (Putera dari dua orang tua yang nyaris disembelih; yakni nabi Ismail as dan Abdullah bin Abdul Muthollib).
Perintah menyembelih hewan kini, bukan hanya terjadi pada bulan Dzulhijjah saja, akan tetapi disunnahkan pula pada saat hari ketujuh kelahiran seorang anak, yang kemudian disebut “aqiqah”. Hal ini memberi pelajaran secara filosofi, bahwa kehadiran anak di dunia memberikan keberkahan kepada masyarakat sekitar, sehingga diharapkan jika besar nanti, kehadirannya pun akan bermanfaat bagi orang lain. Belum lagi sunnah mencukur rambut bayi yang kemudian ditimbang dan dikonversi kepada beratnya perak atau emas, lalu perak seberat rambut yang dicukur itu atau harta yang senilainya  diisedekahkan kepada kaum fakir dan miskin.
Orang yang berkorban, adalah orang yang memberi manfaat kepada  orang sekitarnya. Namun berkorban bukan untuk dilihat darahnya agar dipuji si fulan telah berkorban, namun berkorban harus didasari ketakwaan. Allah swt berfirman: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik “ (QS. Al-Haj: 37).  Wallahu a’lam bish showab. )I(

Jamhuri

Jumat, 05 Oktober 2012

Antara Cinta Allah dan Cinta Keluarga


Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”  (QS. Al-Baqarah: 124)


Kisah tentang ujian Ibrahim as begitu banyak, mulai dari persoalan anak dan keluarga hingga kepada hukuman dibakar hidup-hidup oleh raja Namruz.,
Dalam hal persoalan anak dan keluarga, kita dapat mengambil ibroh dan pelajaran, betapa ujian kepada beliau dan keluarganya datang bertubi-tubi. Tentu saja semua itu untuk menguji nabi Ibrahim as, apakah dia lebih mencintai keluarganya, ataukah lebih mencintai Allah swt? Akan tetapi, ayat di atas jelas menggambarkan bahwa Nabi Ibrahim telah menunaikan  segala ujian itu dengan penuh sempurna.
Sebenarnya, pada juz pertama al-Qur’an mengisahkan tiga tipe manusia yang telah diberi ujian oleh Allah swt. Yang pertama kisah Nabi Adam as yang mendapat ujian berupa sebuah larangan memakan sebuah pohon. Yang kedua, kisah Bani Israil yang diuji dengan sapi betina dan anak sapi. Dan yang ketiga adalah kisah nabi Ibrahim yang diuji dengan berbagai ujian termasuk perintah menempatkan keluarganya di sebuah lembah yang tidak ada tetumbuhan. Profil nabi Adam as adalah tipe yang tidak tahan akan ujian namun segera bertaubat kepada Allah swt. Profil Bani Israil adalah tipe yang suka membangkang kepada perintah Allah dan Rasul-Nya, sedangkan profil nabi Ibrahim adalah tipe yang selalu taat dan patuh terhadap segala perintah dan menunaikan segala ujian yang berat.
Tentu saja dari ketiga kisah itu kita diharapkan mencontoh nabi Ibrahim as. Oleh sebab itu Allah swt berfirman yang artinya: “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia ” (QS. Al-Mumtahanah: 4)
Ujian nabi Ibrahim as yang berkaitan dengan keluarga antara lain:
Pertama, dalam memasuki usia senja, nabi Ibrahim as belum juga dikaruniai seorang anak, padahal beliau beristeri Siti Sarah sudah puluhan tahun lamanya. Hingga suatu saat nabi Ibrahim diizinkah menikah dengan pembantunya bernama Siti Hajar. Ini tentu saja menjadi ujian bagi Ibrahim sekaligus juga bagi seorang Siti Sarah.  Bagaimana tidak? Seorang isteri yang telah berkeluarga hidup bersama puluhan tahun dengan penuh cinta, lalu cinta itu harus dibagi dua dengan seorang pembantunya. Akan tetapi ujian itu dilewatinya dengan penuh sabar dan keridhoan.
Kedua, setelah menunggu keturunan yang tidak kunjung tiba juga, kemudian setelah menikah dengan Siti Hajar  dikaruniai seorang putera yang diberi nama Ismail, datanglah ujian yang memberatkan hati seorang ayah yang sejak lama menunggu kelahiran seorang putera. Beberapa hari setelah lahirnya Ismail, Allah memerintahkan nabi Ibrahim as untuk meletakkan isteri dan puteranya di sebuah tempat yang sepi dan tandus yang tidak ada pepohonan. Saat itu, sebagai seorang ayah yang baru saja dikaruniai seorang anak, merasa bersedih meletakkan mereka di sebuah tempat yang sangat asing.
Dalam suatui riwayat, setelah nabi Ibrahim meletakkan mereka di sana (Makkah), beliau meninggalkan mereka lewat jalan Hujun. Saat seperti itu, sang isteri berteriak memanggil, “Wahai suamiku, mengapa engkau meninggalkan kami berdua disini?” . Mendengar pertanyaan itu nabi Ibrahim tetap berjalan meskipun airmatanya terus bercucuran karena merasa iba kepada mereka. Beliau kuatkan jiwanya untuk tidak menengok ke arah mereka karena khawatir akan lebih iba sehingga tidak jadi melaksanakan perintah Allah itu.
Ibrahim as terus berjalan, suara isterinya terdengar kembali, “Wahai suamiku, mengapa engkau meninggalkan kami berdua disini?”, Lagi-lagi nabi Ibrahim tidak mengindahkan pertanyaan itu meskipun air matanya terus berderai menahan rasa iba meninggalkan keluarganya di sana.
Kemudian terdengar panggilan ketiga kalinya, “Wahai suamiku, apakah engkau meninggalkan kami disini karena perintah dari Allah swt?”. Mendengar kata perintah Allah, barulah Ibrahim menoleh ke arah mereka seraya berkata, “Benar, wahai isteriku, aku tinggalkan kalian disini karena melaksanakan perintah Allah swt.”
Siti Hajar pun menjawab, “Jika memang ini perintah dari Allah, pergilah engkau dengan tenang, karena aku yakin, jika ini perintah Allah, maka Allah tidak akan menyianyiakan kami di sini.”
Seorang ayah mana yang kuat menahan ujian meninggalkan anak dan isterinya di sebuah tempat asing, tandus dan tidak ada pepohonan? Apalagi seorang anak itu sudah sejak lama ditunggu-tunggu kehadirannya?
Namun Ibrahim as tegar dalam keimanannya, hingga saat beliau meninggalkan tempat itu, beliau berdoa, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37)
Ketiga, saat Ismail as menginjak usia dewasa yang tumbuh dalam kondisi sehat, perawakan baik dan patuh pada orang tuanya, nabi Ibrahim as kembali diuji oleh Allah akan kecintaannya pada Allah dan keluarga. Ujian itu berupa diperintahnya beliau menyembelih putera kesayangannya. Allah swt mengisahkan mereka dalam ayatNya:
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."  Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.”  (QS. Ibrahim: 102-106)
Ayah mana yang akan tega menyembelih anak kandung sendiri, sementara anak itu adalah anak yang paling dicintai karena ketaatannya kepada orang tuanya? Mungkin jika anak itu orang brandal, suka tawuran, terlibat narkoba dan menjelekkan nama baik keluarganya, lalu diperintah untuk menyembelih anak itu mungkin tidak berkeberatan melaksanakannya. Akan tetapi Ismail adalah anak yang shaleh, baik, taat, dan baik rupawan. Namun demikian, nabi Ibrahim as sedikit pun tidak ragu untuk melaksanakan perintah Alah swt.
Bukan hanya nabi Ibrahim as yang bersikap dalam keteguhan iman, bahkan puteranya sendiri yang akan menjadi korban, tidak sedikitpun ragu melaksanakan perintah Allah swt tersebut. Demkian juga halnya dengan ibunyay yang melahirkan dan merawatnya selama ini; Siti Hajar.
Kisah keteguhan iman ketiga manusia utama ini tervisualisasikan dalam reka ulang pelontaran jumroh dalam  setiap ibadah haji. Mereka –dahulu kala– saat akan melaksanakan perintah berupa pengorbanan Ismail as harus mengahdapi godaan dari Iblis yang tidak rela jika manusia patuh terhadap perintah Allah swt. Mereka melakukan “perang” dengan Iblis hingga peristiwa pelontaran Iblis itu diabadikan dalam ritual ibadah haji tersebut.
Kisah nabi Ibrahim as di atas menggambarkan, betapa beliau mendahulukan cinta kepada Allah swt dibanding cinta kepada keluarga. Cinta kepada Allah bukan berarti beliau menghilangkan cinta pada keluarga, justru di tengah-tengah beliau melimpahkan cintanya kepada keluarga, Allah swt mengujinya dengan ujian meninggalkan keluarga dan menyembelih puteranya, untuk mengetahui apakah lebih mementingkan keluarga ataukah lebih mencintai Allah swt? Dan pada saat Allah swt sudah menganggap bahwa ujian itu sudah lulus, Allah pun memberi karunia yang besar sebagai pengganti atas keteguhan iman. Dalam peristiwa penyembelihan Ismail as, Allah swt memberi karunia seekor domba sebagai pengganti Ismail. Sedangkan dalam peristiwa peletakkan Siti Hajar dan Ismail as di Makkah yang tandus, Allah memberi karunia dan ganjaran atas ketabahannya berupa air zamzam yang tidak pernah habis dikonsumsi jutaaan manusia dari seluruh penjuru dunia.
Itulah potret sosok manusia yang mendahulukan cintanya kepada Allah dari pada keluarganya. Ganjaran dan pahala seta karunia datang seiring dengan lullusnya menjaga keteguhan iman dan ketaatan kepada Allah swt.
Adapun orang-orang yang mendahulukan cintanya kepada keuarganya dan hartanya diatas cintanya kepada Allah, maka Allah telah mengancamnya dengan siksanya dan menggolongkan mereka ke dalam golongan orang-orang fasik.
Allah swt berfirman, “Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik “ (QS. At-Taubah: 24)
Wallahu a’lam bish-showab
Jamhuri