Jumat, 12 Oktober 2012

Arafah dan Persatuan Umat


Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'aril-haram Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat (QS.Al-Baqarah: 198)


Wukuf di padang Arafah bagi jamaah haji merupakan inti dari prosesi ibadah haji. Tanpa wukuf di Arafah, maka haji seseorang dianggap tidak sah. Rasulullah saw bersabda, “Haji adalah Arafah”, maksudnya adalah inti ibadah haji ada pada wukuf di Arafah.
Para ulama berbeda pendapat tentang sebab tempat ini dinamakan Arafah. Sebagian mengatakan bahwa nama Arafah diambil dari ‘Arafa—Ya’rifu yang artinya mengenal. Hal ini disebabkan karena saat nabi Adam as dan Hawa dikeluarkan dari surga, mereka saling mencari. Nabi Adam as berjalan dari India mencari Siti Hawa, sedangkan Siti Hawa berjalan mencari suaminya dari daerah Jeddah. (Kata “Jeddah” berasal dari kata “Jaddah” yang berarti nenek moyang). Akhirnya mereka saling bertemu di padang Arafah, Adam as bertanya pada Siti Hawa, “Hal ‘aroftini?”, (apakah engkau mengenal aku?). Demikian juga Siti Hawa bertanya pada Adam as, “Hal ‘aroftani?” (apakah engkau mengenal aku?)
Sebagian ulama ada pula yang berpendapat, bahwa kata Arafah berasal dari kata ‘i’tiraf” yang artinya “pengakuan”. Dinamakan demikian, karena jamaah haji saat berwukuf di padang Arafah, mengaku segala kesalahan dan dosanya selama ini. Mereka menangis mengadukan segala kesalahannya kepada Allah swt.
Rasulullah saw pernah berwukuf pada saat melaksanakan ibadah haji, yang kemudian disebut juga haji wada’(perpisahan), karena beberapa bulan setelah melaksanakan ibadah haji tersebut, Rasulullah saw dipanggil ke haribaan Allah swt.
Pada saat berwukuf, Rasulullah saw sempat menyampaikan khutbahnya, yang berisi pesan kepada persatuan dan persaudaraan umat serta menjaga kehormatan sesama manusia. Salah satu isi khutbah beliau adalah, “Sesungguhnya jiwa-jiwa kalian, harta-harta kalian, dan kehormatan kalian adalah suci, sebagaimana sucinya tempat ini, dan sucinya hari ini, dan sucinya bulan ini”
Khutbah ini berisi pesan universal dari Rasulullah saw, bahwa kita dilarang saling menghilangkan jiwa, dilarang mengambil harta dan hak orang lain, serta dilarang menistakan kehormatan orang lain. Oleh sebab itu jika kita mengaku sebagai umat nabi Muhammad, maka kita tidak boleh mencela saudara seimannya, mengkorupsi harta rakyat melalui jabatannya, dan tidak boleh saling tawuran yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia.
Saat itu, Rasulullah saw sangat serius menyampaikan khutbahnya, sehingga di akhir khutbahnya Rasulullah saw bertanya kepada para jamaah haji yang hadir pada saat itu, “Bukankah kini aku telah menyampaikan kepada kalian.?” Para sahabat yang hadir pada saat itu menjawab serentak, “Benar, wahai Rasulullah”. Kemudian Rasulullah saw berpesan kepada para sahabat seraya bersabda, “Yang hadir saat ini agar menyampaikan pesan ini kepada yang tidak hadir”. Kemudian beliau mengarahkan wajahnya ke atas langit seraya berkata, “ Allahumma fasyhad” (Ya, Allah saksikanlah ini).
Pada peristiwa wukuf di padang Arafah itu juga turun wahyu yang terakhir yang amat penting, yaitu surat Al-Maidah ayat 3, yang artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu “ (QS. Al-Maidah: 3)
Ayat ini juga memberi pesan persatuan kepada segenap umat Islam, bahwa Islam itu satu. Tidak ada Islam tradisonal atau islam modern, tidak islam politik dan islam non politik, tidak ada islam radikal dan islam santun, tidak ada islam lokal dan islam internasional. Islam ya Islam, islam yang mengatur dan menyentuh seluruh bidang kehidupan; mulai dari masalah bersuci hingga mengurusi urusan negara dan internasional (dunia), bahkan mengurus urusan kehidupan pasca dunia, yakni akhirat.
Agama Islam adalah agama yang menyentuh seluruh bidang kehidupan, dia mengajarkan kita aqidah dan ibadah sebagaimana dia juga mengajarkan politik dan mengatur negara. Semuanya sama sebagai ajaran Islam yang tidak boleh dipisah-pisah secara parsial
Penyebutan kata lain setelah kata Islam, hanyalah pengkerdilan agama Islam yang bersifat universal, integral dan sempurna. Dengan pengkotakan itulah timbul perpecahan, saling curiga dan pertikaian antar kelompok muslim yang seharusnya tidak terjadi. Apalagi jika kita merenungi isi khutbah Arafah yang disampaikan Rasulullah saw seperti yang tersebut di atas. Betapa menodai kehormatan sesama muslim, merampas harta muslim dan membunuh sesama muslim adalah sama saja dengan menodai tempat-tempat yang suci, menodai hari yang suci dan menodai bulan yang disucikan Allah swt.
Selain khutbah Nabi saw dan turunnya ayat Allah swt di Arafah yang menyerukan persatuan umat, ada puka isyarat lain yang memberi pesan kepada persatuan umat, yakni keberadaan jamaah haji di hari itu (tanggal 9 Dzulhijjah) harus berada di padang Arafah. Hal ini pula memberi pesan kepada kesatuan dan persatuan umat.
Betapa tidak? Di Padang Arafah saat pelaksanaan wukuf, telah berkumpul kaum muslimin dari berbagai ras dan suku bangsa, mereka datang dari berbagai penjuru dunia, dengan warna kulit dan bahasa yang berbeda, namun mereka telah disatukan dalam satu akidah (keyakinan), satu ibadah, satu tujuan, dan satu ketaatan pada satu perintah.
Adakah di dunia ini satu kelompok agama atau organisasi yang dapat mengumpulkan jutaan massa dalam satu tempat dengan sukarela dan pengorbanan dengan harta dan jiwa sendiri, selain Islam? Dalam wukuf, mereka datang dengan sukarela, berbekal dengan harta sendiri, dan rela mengorbankan jiwa jika perlu, untuk berkumpul di suatu tempat pada hari yang telah ditentukan. Bahkan jika saja tidak ada sistem kuota haji, mungkin jumlah yang datang ke Arafah akan lebih membludak dari yang ada sekarang.
Ini semua, tentu saja, mengandung pesan bahwa sebenarnya umat Islam dapat bersatu, jika tujuan hidup dan perjuangannya adalah untuk mencari ridho Allah. Namun jika tujuan perjuangan adalah selain ridho Allah maka yang timbul adalah pertikaian dan perpecahan, karena hati manusia pada saat itu telah tercemar dengan tujuan lain, meskipun dia berkata bahwa dia berjuang berdasarkan kitab dan sunnah. Ketika kaum Khowarij yang dikenal sebagai kelompok yang sudah keluar dari jalur ahlussunnah wal jamaah, mengangkat semboyan “La hukma illallah” (tiada hukum selain hukum Allah). Imam Ali bin Abi Thalib berkomentar, “Kalimatu haqqin uirda biha al-bathil” (itu adalah kalimat kebenaran namun yang diinginkan darinya adalah kebatilan)
Sudah letih rasanya sesama umat islam saling menghujat, sudah habis energi rasanya mencaci maki masalah furuiyyah yang tidak seirama dengan dirinya, sudah penat rasanya umat ini menyaksikan perdebatan para pemimpinnya, padahal di hadapan mereka masing banyak masalah-masalah utama yang harus dicarikan solusinya. Akan tetapi karena kita sibuk membahas dan meributkan persoalan cabang daripada persoalan pokok, maka yang terjadi adalah kemunduran demi kemunduran pada tubuh umat ini.
Ada baiknya kita merenung perkataan Mustofa Masyhur, dia berkata, “Nata’awan fimaa ittafaqna wa natasaamah fimaa ikhtalafna” (Marliah kita saling bekerja sama pada sesuatu yang kita sepakati bersama, dan marilah saling bertoleransi pada sesuatu yang masih kita perselisihkan)
Masalah yang kita sepakati bersama solusinya adalah; masalah keterbelakangan umat, kesejahteraan umat, kebodohan umat, suksesi kepemimpinan dari kalangan umat. Hendaklah masalah-masalah itu bersinergi antar kelompok masayarakat muslim di dalam mencari solusinya. Dan janganlah hanya karena berbeda dalam masalah cabang (furu’) menyebabkan tersendatnya melakukan kerjasama dalam masalah-masalah yang disepakati bersama.
Bertoleransi dalam masalah furu’ sebenarnya juga telah dipraktekkan dan dirasakan oleh para jamaah haji saat di Makkah, namun entah mengapa jika pulang kembali ke tanah air rasa toleransi itu hilang lagi Sebagai contoh. Jamaah haji dari kalangan Muhammadiyah dan Salafi yang tidak menganut paham adanya adzan dua kali dalam sholat Jumat, namun mereka tidak pernah meributkan saat Masjidil Haram mengumandangkan adzan dua kali dalam shalat Jumat. Sebaliknya, Jamaah haji dari kalangan Nahdhiyin (NU) yang beranggapan bahwa shalat subuh harus diikutkan dengan sunnah doa qunut, namun mereka tidak pernah meributkan Imam shalat subuh di Masjidil Haram yang tidak membca do’a qunut dalam setiap shalat subuhnya. Tidak ada dari semua kalangan yang ikut shalat di Masjidil Haram menganggap bahwa shalatnya tidak sah. Semua tenang, nyaman dan saling bertoleransi.
Arafah telah memberi pesan kepada kita untuk bersatu padu dalam kebersamaan. Pesan itu bukan hanya untuk para jamaah haji saja yang berada di Padang Arafah. Akan tetapi pesan itu juga ditujukan kepada kita. Buktinya, Rasulullah saw mensyariatkan kita yang tidak pergi haji untuk melaksanakan puasa sunnah Arafah untuk menghormati orang yang berwukuf di pada Arafah. Semoga umat Islam semakin bersatu. Amin. )I(
   Jamhuri

Tidak ada komentar: