Usai menjelaskan tentang keutamaan sholat di Masjidil Haram, salah seorang jamaah haji bertanya, “Ustadz, kata ustadz tadi, keutamaan sholat di Masjidil Haram itu sama dengan 100 ribu sholat yang dilakukan di tempat lain. Saya sudah hitung ustadz, 100.000 : 5 waktu sholat = 2.000 hari = 666 bulan = 55 tahun. Nah, berarti boleh dong pulang dari umroh atau haji kita gak sholat lagi selama 55 tahun? Kan deposit pahala sholat di Masjidil Haram masih banyak yaitu sebanding 100 ribu kali sholat di tempat lain?.”
“Sebelum saya jawab, boleh saya tanya tentang
pribadi bapak?” Ustadz balik bertanya. “Mmmm, boleh, silakan ustadz.” Jawab
jamaah.
“Pekerjaan bapak apa?” Tanya ustadz.
“Saya karyawan di sebuah BUMN ustadz.” Jawab jamaah.
“Maaf, penghasilan bapak perbulannya berapa?.”
Tanya ustadz lagi.
“Yaaahh...sekitar 10 juta-an lah..” jawab jamaah.
“Selain
untuk makan sehari-hari, berapa rupiah kebutuhan perbulan bapak? Katakanlah untuk bayar
listrik, air, sekolah/kuliah anak, bensin kendaraan, gaji pembantu, nabung dan lain-lain.?.” Tanya ustadz.
Sambil
berfikir sejenak, jamaah menjawab: “Mmmm..sekitar 6 jutaan,
ustadz.”
“Berarti
4 jutaanya untuk kebutuhan makan sehari-hari selama sebulan?” tanya ustadz
lagi.
“Ya, kira-kira segitu lah..” jawab jamaah.
“Nah,
jika suatu saat bapak makan bersama keluarga di sebuah restoran hotel mewah
yang per pax-nya seharga Rp 1 jt dan jumlah keluarga bapak ada 4 orang. Berarti
bapak menghabiskan uang untuk makan di tempat mewah itu Rp.4 juta untuk sekali
makan?. Lalu apakah
bapak dan keluaga bapak kuat tidak makan selama 1 bulan dikarenakan jatah 4 jutaan tadi dipakai untuk makan di
restoran tersebut?” tanya ustadz.
“Maksudnya
ustadz?” Jamaah minta diperjelas.
“Begini,
tadi kan gaji bapak 10 juta/bulan, lalu kebutuhan selain makan 6 jutaan, dan
untuk konsumsi makan perbulan 4 jutaan.. Lalu jika uang 4 jutaan jatah makan
sebulan tadi dipakai makan di restoran mewah untuk sekali makan, sehingga uang bapak
habis, lalu apakah bapak tidak makan sebulan ke depan. Lalu apakah bapak dan keluarga bapak kuat tidak makan selama sebulan?” tanya
ustdaz.
“Kalau
tidak makan selama sebulan, mana kuat kami ustadz?” Jawab jamaah.
“Nah,
begitu juga dengan shalat di Masjidil Haram. Saat bapak shalat di Masjidil
Haram, itu seperti jamuan Allah untuk bapak dalam beribadah, seperti bapak
makan di restoran hotel mewah tadi. Tetapi kebutuhan spritual bapak sehari-hari
atau shalat 5 waktu sehari-semalam, itu sama dengan kebutuhan bapak terhadap makanan dan minuman.
Kalau bapak bilang abis pulang haji
atau umroh kita tidak usah shalat selama 55 tahun. Bapak mau
gak? abis
makan di hotel itu tidak usah makan minum lagi selama sebulan berturut-turut? Nah, pasti
makan juga kan?. Itulah samanya kebutuhan batin kita terhadap gizi shalat
sehari-hari.” Jelas ustazd.
“Jadi, pahala 100 ribu shalat di Masjidil Haram tidak bisa
menggugurkan shalat 5 waktu sehari-hari ustadz?” Tanya jamaah minta penegasan.
“Ya,
betul !, Seperti makan 1 juta di restoran tidak menggugurkan kebutuhan makan
kita sehari-hari” tambah Ustadz.
“Berarti
kita gak boleh hitung-hitungan kaya perusahaan ya ustadz?” Tanya jamaah
“Boleh
sih untuk semangat beramal, atau dalam bahasa Arabnya disebut ‘targhib’
(spirit) ibadah, tapi tidak sepenuhnya selalu diperhitungkan seperti hitungan
perusahaan.” Jawab ustadz.
“Kalau
ngelola negara seperti ngelola perusahaan, boleh gak ustadz?” tanya jamaah.
“Sama, tidak selamanya ngelola negara seperti
ngelola perusahaan. Perusahaan kan yang dipikirkan untung-ruginya, Jika negara
seperti perusahaan atau produsen, sementara rakyatnya adalah konsumen,
bisa-bisa yang dipikirkan keuntungan produsen tapi tidak memperhatikan daya
beli konsumen/rakyat.” Jelas ustadz.
“Karena
itu dalam negara, ada kebijakan subsidi. Kalau semua tanpa subsidi, lalu kemana
hasil pajak yg dibayar rakyat dong? Apalagi jika premium mau dihapus, rakyat
dipaksa beli pertamak? Sudah gak dikasih
subsidi, dipaksa pula beli
pertamak lagi yg mahal...?”Ustadz
menambahkan.