Selasa, 11 Juli 2023

Dapat 100 Ribu Pahala Sholat di Masjidil Haram, Pulang Haji Tidak Usah Sholat Lagi?

 

Usai menjelaskan tentang keutamaan sholat di Masjidil Haram, salah seorang jamaah haji bertanya, “Ustadz, kata ustadz tadi, keutamaan sholat di Masjidil Haram itu sama dengan 100 ribu sholat yang dilakukan di tempat lain. Saya sudah hitung ustadz, 100.000 : 5 waktu sholat = 2.000 hari = 666 bulan = 55 tahun. Nah, berarti boleh dong pulang dari umroh atau haji kita gak sholat lagi selama 55 tahun? Kan deposit pahala sholat di Masjidil Haram masih banyak yaitu sebanding 100 ribu kali sholat di tempat lain?.”

 “Sebelum saya jawab, boleh saya tanya tentang pribadi bapak?” Ustadz balik bertanya. “Mmmm, boleh, silakan ustadz.” Jawab jamaah.

 “Pekerjaan bapak apa?” Tanya ustadz.

 “Saya karyawan di sebuah BUMN ustadz.” Jawab jamaah.

 “Maaf, penghasilan bapak perbulannya berapa?.” Tanya ustadz lagi.

 “Yaaahh...sekitar 10 juta-an lah..” jawab jamaah.

“Selain untuk makan sehari-hari, berapa rupiah kebutuhan perbulan bapak? Katakanlah untuk bayar listrik, air, sekolah/kuliah anak, bensin kendaraan,  gaji pembantu, nabung dan lain-lain.?.” Tanya ustadz.

Sambil berfikir sejenak,  jamaah menjawab: “Mmmm..sekitar 6 jutaan, ustadz.”

“Berarti 4 jutaanya untuk kebutuhan makan sehari-hari selama sebulan?” tanya ustadz lagi.

 “Ya, kira-kira segitu lah..” jawab jamaah.

“Nah, jika suatu saat bapak makan bersama keluarga di sebuah restoran hotel mewah yang per pax-nya seharga Rp 1 jt dan jumlah keluarga bapak ada 4 orang. Berarti bapak menghabiskan uang untuk makan di tempat mewah itu Rp.4 juta untuk sekali makan?. Lalu apakah bapak dan keluaga bapak kuat tidak makan selama 1 bulan dikarenakan jatah 4 jutaan tadi dipakai untuk makan di restoran tersebut?” tanya ustadz.

“Maksudnya ustadz?” Jamaah minta diperjelas.

“Begini, tadi kan gaji bapak 10 juta/bulan, lalu kebutuhan selain makan 6 jutaan, dan untuk konsumsi makan perbulan 4 jutaan.. Lalu jika uang 4 jutaan jatah makan sebulan tadi dipakai makan di restoran mewah untuk sekali makan, sehingga uang bapak habis, lalu apakah bapak tidak makan sebulan ke depan. Lalu apakah bapak dan keluarga bapak kuat tidak makan selama sebulan?” tanya ustdaz.

“Kalau tidak makan selama sebulan, mana kuat kami ustadz?” Jawab jamaah.

“Nah, begitu juga dengan shalat di Masjidil Haram. Saat bapak shalat di Masjidil Haram, itu seperti jamuan Allah untuk bapak dalam beribadah, seperti bapak makan di restoran hotel mewah tadi. Tetapi kebutuhan spritual bapak sehari-hari atau shalat 5 waktu sehari-semalam, itu sama dengan  kebutuhan bapak terhadap makanan dan minuman. Kalau bapak bilang abis pulang haji atau umroh kita tidak usah shalat selama 55 tahun. Bapak mau gak? abis makan di hotel itu tidak usah makan minum lagi selama sebulan berturut-turut? Nah, pasti makan juga kan?. Itulah samanya kebutuhan batin kita terhadap gizi shalat sehari-hari.” Jelas ustazd.

 “Jadi, pahala 100 ribu shalat di Masjidil Haram tidak bisa menggugurkan shalat 5 waktu sehari-hari ustadz?” Tanya jamaah minta penegasan.

“Ya, betul !, Seperti makan 1 juta di restoran tidak menggugurkan kebutuhan makan kita sehari-hari” tambah Ustadz.

“Berarti kita gak boleh hitung-hitungan kaya perusahaan ya ustadz?” Tanya jamaah

“Boleh sih untuk semangat beramal, atau dalam bahasa Arabnya disebut ‘targhib’ (spirit) ibadah, tapi tidak sepenuhnya selalu diperhitungkan seperti hitungan perusahaan.” Jawab ustadz.

“Kalau ngelola negara seperti ngelola perusahaan, boleh gak ustadz?” tanya jamaah.

 “Sama, tidak selamanya ngelola negara seperti ngelola perusahaan. Perusahaan kan yang dipikirkan untung-ruginya, Jika negara seperti perusahaan atau produsen, sementara rakyatnya adalah konsumen, bisa-bisa yang dipikirkan keuntungan produsen tapi tidak memperhatikan daya beli konsumen/rakyat.” Jelas ustadz.

“Karena itu dalam negara, ada kebijakan subsidi. Kalau semua tanpa subsidi, lalu kemana hasil pajak yg dibayar rakyat dong? Apalagi jika premium mau dihapus, rakyat dipaksa beli pertamak?  Sudah gak dikasih subsidi, dipaksa pula beli pertamak lagi yg mahal...?”Ustadz  menambahkan.


Minggu, 09 Juli 2023

Mengapa Setelah Thawaf Wada’ Tidak Ada Sa’i-nya ?

Masya Allah, Nenek ini, baru dua hari dari pulang haji
 langsung "sa'i" (baca: usaha) di Tokonya di Tanah Abang
Usai thowaf wada’ dan akan bergegas berangkat ke Jeddah, seorang jamaah haji bertanya, “Pak ustadz, kenapa sih thawaf wada’ gak ada sa’i-nya?, padahal thowaf ifadhoh dan thowaf rukun ada sa’i-nya?”

“Siapa bilang gak ada sa’i-nya? Thowaf wada’ juga ada sa’inya, tau” jawab ustadz santai.

Lho?, tadi, saat ustadz bimbing kami berthawaf wada’,  kok gak ada sa’i-nya?” tanya jamaah menyanggah.

“Nanti !, sa’i-nya di Indonesia.” Jawab ustadz santai.

“Lho? Kok sa’i-nya di Indonesia ustadz? Oh ya, mungkin ustadz alirannya beda ya? Syiah ya ustadz? Yang tanah sucinya di Karbela? Atau Ahmadiyah yang tanah sucinya di Lahore? Atau aliran mazhab al-Zaytun yang tanah sucinya di Tanah Air? Bukankah thowaf dan Sa’i-kan cuma di Tanah suci Makkah ustadz?” Tanya jamaah.

“Huss....jangan nuduh sembarangan, nanti jadi fitnah !” sanggah ustadz.

”Jadi apa dong maksud perkataan ustadz sa’i-nya di Indonesia?” tanya jamaah penasaran.

“Sa’i itu arti bahasanya adalah usaha..kerja keras. Jamaah haji kalau sudah pulang dari ibadah haji, dan kembali ke Tanah Air, harus kerja lagi, harus sa’i. Jangan sampe sebelumnya macul, atau nyopir lalu menjual tanah atau kendaraan, lalu pulang haji nganggur, gak kerja lagi...itu bukan haji mabrur. Nah itulah makna sa’i di Tanah Air.” Jelas ustdaz.

“Ohh..gitu..saya kira sa’i antara Shofa dan Marwah seperti biasa..”celetuk jamaah.

“Memang betul, sa’i itu antara Shofa dan Marwah juga” Ustadz menimpali.

 Jamaah: “Lho? kan di Indonesia gak ada bukit Shofa dan Marwah nya ustadz?”  

Ustdaz: “Sa’i atau usaha itu ,harus dimulai dengan Shofa yang artinya di mulai dengan kejernihan, jernih niat, jernih cara dan jernih tujuan, maka akan berakhir di Marwah  (yang maknanya ‘kepuasan’).”

Jamaah: “Ah, ustadz bisa aja nih....Oh ya ustadz, kalau ada calon presiden pergi haji, apa sehabis tawaf wada’, dia juga sa’i-nya di Tanah Air?”

Ustadz: “harus...! Ingat ya, saí-nya harus bermula dari Shofa (kejernihan). Jernih niat, jernih cara atau proses, dan jernih tujuan. Tanpa itu maka tidak akan sampai ke Marwah (tujuan kepuasan lahir dan batin)

Jamaah: “Bagaimana dia dapat diketahui sa’i-nya bermula dari shafa”.

Ustadz: “Dari track record-sa'i-nya selama ini”.

Jamaah; “????!!!!!!?????”

 


 

Kamis, 06 Juli 2023

Inilah Ciri Haji Mabrur

Jamaah Haji Pasca Thawaf Wada' (thawaf perpisahan)
Tidak ada bentuk ibadah individual dalam Islam melainkan hasil yang diharapkan darinya adalah kebaikan secara sosial.  Saat seorang muslim patuh melaksanakan ibadah shalat, maka diharapkan dari perbuatan shalatnya itu adalah tercegahnya ia dari perbuatan keji dan mungkar. Saat kita menunaikan zakat, maka yang diharapkan dari kita adalah terhindar dari sifat kikir serta memberi efek kepeduliaan dan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar. Demikian juga saat kita melaksanakan ibadah puasa, diharapkan kita terhindar dari sifat emosi serta dapat menahan hawa nafsu yang akan merugikan pihak lain. Itulah inti dari risalah (misi) diutusnya Rasulullah saw. Sebagaimana beliau bersabda: "Tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak (perilaku) yang sempurna." (al-hadist)

Demikian pula dengan ibadah haji yang kita lakukan, hendaknya ibadah haji tersebut memberi efek positif secara sosial.

Para ulama sepakat bahwa salah satu indikasi kemabruran seorang jamaah haji adalah menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari pribadi sebelumnya.

Di antara ciri kemabruran seorang jamaah haji yang yang telah melaksanakan haji adalah:

  1. Thiibul Kalaam (طيب الكلام) tutur katanya menjadi baik, lembut dan ramah. Ucapannya  enak didengar oleh yang mendengarnya. Tidak kasar dan tidak menyakiti lawan bicaranya. Ini hanya bisa dilakukan oleh orang memiliki sifat sabar dan sopan santun kepada orang lain.
  2. Ithámut Thoám (اطعام الطعام) peduli kepada kaum lemah dan miskin . Berkali-kali melaksanakan umroh atau haji tidak akan berguna jika tidak memberi efek positif bagi lingkungannya, terutama kaum miskin dan dhuafa. Abdulllah bin Mubarok, seorang tabiín, ulama dan waliyullah pernah berhaji unuk kesekian kalinya. Saat berangkat bersama rombongan jamaah haji, rombongan beristirhat di sebuat perkampungan yang dilewatinya. Saat rombongan singgah bersitirahat, Abdullah bin Mubarok berkeliling desa. Didapatinya seorang janda yang memungut  hewan yang sudah mati menjadi bangkai lalu dimasaknya. Abdullah bertanya kepadaya, "Bukankah daging bangkai itu haram dimakan?" Sang Ibu janda menjawab, "Haram buat tuan, tapi halal buat kami, karena kami dan anak-anak kami sudah tiga hari belum menemukan makanan, sementara kami dalam keadaan darurat diperbolehkan mengkonsumsi bangkai agar kami dapat bertahan hidup." Seketika itu juga hati Abdullah bin Mubarok tertegun, ia pun menyerahkan seluruh harta perbekalan untuk melanjutkan perjalanan menuju Makkah, ia  serahkan semua harta perbekalannya kepada ibu janda beranak tersebut. Abdullah pun kembali ke kampung dan tidak ikut bersama rombongan kefilah haji  ke Tanah Suci. Singkat cerita, para jamaah haji kembali ke rumahnya setelah merampungkan ibadah haji mereka. Salah seorang jamaah haji bersilaturrahmi ke rumah Abdullan bin Mubarok, lalu berkata, "Alhamdulillah ya syaikh (tuan guru), kita sudah bersama-sama pergi haji tahun ini ya? Semoga haji kita haji yang mabrur." Abdullah terheran dan berkata, "ya aamiin. tapi saya tidak jadi berangkat ke Mekkah. Saya kembali ke rumah." Namun sang tamu itu bersikukuh dan yakin, bahwa Abdullah bin Mubarok ikut berhaji ke Tanah Suci. "Saya melihat Anda dan kita sama-sama berthowaf dan berwukuf kan?" Abdullah hanya bisa terdiam. Saat malam tiba dan Abdullah tertidur beliau bermimpin bertemu dengan Rasulullah saw. Dalam mimpi itu Rasulullah mengabarkan bahwa hajinya Abdullah telah dibadal hajikan  (digantikan) oleh malaikat karena harta yang diperuntukkan berhaji diberikan kepada sang janda dan anak-anak yatim yang sedang kelaparan dan membutuhkan pertolongan. Kisah ini menunjukkan pentingnya kepedulian dari pada berkali-kali umroh atau haji namun masih tidak peduli kepada kaum miskin dan dhuafa.
  3. Shilatul Arham (صلة الأرحام) menjadi agen perekat umat. Ciri lain dari kemabruran seorang jamaah haji adalah menjadi unsur perekat umat. Menjadi penyatu dan mendamaikan antara umat Islam. Baik di lingkungan keluarga terdekat, masyarakat serta di tengah-tengah umat. Jamaah haji tidak diperbolehkan menjadi provokator yang memecah belah keluarga, masyarakat dan umat. Sebaliknya ia harus menjadi unsur perekat umat dan bangsa.
Jika para jamaah haji memiliki ciri-ciri tersebut, insya Allah bukan hanya mabrur hajinya, namun menjadi alumni-alumni haji yang dirindukan oleh semua makhluk Allah. Bahkan dirindukan Allah, malaikat, Rasul dan semua kaum muslimin, bahkan seluruh makhluk  yang ada.

Semoga para jamaah haji yang telah melaksankan haji-nya tahun ini benar-benar menjadi haji yang mabrur dengan indikasi dan ciri di atas. Sehingga mereka pulang bagaikan seorang bayi yang baru dilahirkan, bersih dari segala dosa, dan orang-orang yang melihatnya merasa gembira dengan kelahirannya...Amin


Senin, 03 Juli 2023

Wakaf Ahly Sebagai Solusi

Gedung wakaf berupa hotel di Madinah
Pada gedung ini tertulis WAQAF ABDUL BARI AL-SYAWI yang menjelaskan bahwa gedung ini adalah sebuah waqaf dari seorang bernama Abdul Baari alSyawi.

Layaknya suatu waqaf, maka asset waqaf tidak boleh diperjualbelikan, dihibahkan dan diwariskan. Asset itu akan tetap wujud dan manfaatnya dapat digunakan.
Ada dua jenis waqaf: pertama, waqaf khoiry (sosial) yg manfaatnya digunakan untuk umat atau masyarakat secara umum. Kedua, ada pula Waqaf Ahly /Dzurriy yaitu waqaf yang manfaat assetnya dapat digunakan oleh keluarga pewaqaf hingga keturunan di bawahnya sesuai kesepakatan dan ketentuan.
Wakaf terakhir ini perlu dikenalkan di tengah-tengah kekhawatiran orang akan kehilangan assetnya jika diserahkan manfaatnya ke pihak lain, juga kekhawatiran akan kesejahteraan anak keturunannya setelah sang pewakaf wafat.
Dalam waqaf Ahly/Dzurry, manfaat asset wakaf dapat digunakan untuk keluarga dan keturunan pewakaf. Sehingga jika timbul manfaat atau keuntungan dari wakaf ahly/dzurry ini maka dapat dimanfaatkan oleh keluarga dan keturunan sang pewakaf, sehingga kekhawatiran di atas dapat tereliminir. Yang jelas, keluarga dan keturunannya tidak diperbolehkan menjual, mewariskan dan menghibahkan asset waqaf sebagaimana watak hukum wakaf. Akan tetapi mereka dapat menggunakan manfaat yang timbul dari asset wakaf tersebut.
Berbeda dengan wakaf khoiry (sosial) yang manfaatnya terbuka untuk semua pihak yang boleh jadi keluarga pewakaf tidak mendapat apapun. Meskipun assset wakaf sama dalam hal tidak boleh dijual, diwarisi dan dihibahkan.
Itulah sebabnya di Saudi Arab dan negara-negara Timur Tengah banyak wakaf seperti ini membantu pemerintah, setidaknya dalam mensejahterakan keluarga pewakaf sehingga tidak menjadi beban pemerintah. Bahkan jika dikelola secara profesional, kelebihan manfaat dapat menghasilkan zakat, pajak dan santunan sosial lain bagi pihak lain.
Foto:
Gedung Waqaf Abdul Bari alSyawi di halaman Masjid Nabawi - Madinah Saudi Arabia yang menjadi hotel bagi penginapan jamaah haji dan umroh

HUKUM BERFOTO YANG FLEKSIBEL

di Kantor Pusat Penyuluhan di Ji'ronah
Di bealakang saya pada foto ini, ada kantor resmi bertuliskan “Al-Markaz al-Maidani al- Tauiyi” Pusat Pemyuluhan Lapangan dengan lambang “Haiah al-Amri bil Ma’ruf wa al-Nahyi ‘anil Munkar” (Lembaga Amar Ma’ruf dan Mahi Mungkar)

Lembaga ini bertugas memberi penerangan dan penyuluhan kepada warga, termasuk warga asing dan Jamaah haji yang berada di Arab Saudi.
Singkat cerita, dahulu lembaga ini paling depan melarang jamaah haji berfoto-foto atau merekam gambar. Saya pernah mendampingi wartawan TV meliput beberapa tempat, dilarang hingga dikejarnya kami walau sudah masuk ke dalam bus dan dipaksanya wartawan menghapus objek gambar yang telah diliputnya.
Kemarin (20/6/2023), usai melaksanakan shalat sunat ihrom di Ji’ronah, kami malah mengajak pengurusnya berfoto. Mereka kini welcome dan ramah, bahkan siap berfoto bersama dengan kami.
Masalah hukum berfoto (menggambar) sudah selesai dibahas ulama. Bahkan kini gambar hidup seperti film, dijadikan sebagai alat dakwah dan menebar kebaikan. Dalam hukum Islam, ada masalah ushul (substansi) yang bersifat tsawabit (tetap). Ada juga yangg bersifat furu’ yang bersifat mutaghoyyirot (berubah). Ada pula yg memahami nash secara tekstual (manthuq), ada pula yang memaaminya dengan kontekstual (mafhum)
Di titik inilah para ulama mengambil jalan masing-masing sehingga timbul khilafiyah

HUKUM SUNAH TIDAK MEMOTONG KUKU DAN MENCUKUR RAMBUT DI 10 HARI PERTAMA DZULHIJJAH HANYA BERLAKU BAGI YANG BERQURBAN DAN TIDAK SEDANG BERHAJI

Saat memberi pengarahan manasik haji di Makkah
Tersebar pesan WA yang menjelaskan anjuran dan sunnahnya TIDAK MEMOTONG KUKU DAN RAMBUT mulai 1 Dzulhijjah hingga 10 Dzulhijjah membuat ragu para jamaah haji, baik yang berqurban maupun yang tidak niat berqurban.

Di sini kami mencoba menjelaskan:
1. Hadist-hadist dan penjelasan tentang anjuran dan sunnahnya TIDAK MEMOTONG KUKU DAN MENCUKUR RAMBUT tersebut berlaku bagi yang berniat dan bermaksud akan berqurban di hari raya Idul Adha dan/atau Ayyamutttasyriq nya (10-11-12-13 Dzulhijjah). Hikmahnya agar mereka merasakan hari-hari itu seperti jamaah haji yang sedang ihrom, karena kebanyakan di 10 hari awal Dzulhijjah adalah puncak jamaah haji berdatangan, baik dalam bentuk haji tamattu’, qiron atau ifrod. Dalam kondisi ihrom jamaah dilarang potong kuku dan cukur rambut. Sehingga orang yang berqurban di Tanah Air ikut merasa membersamai para jamaah haji, walau jika mereka melangggarnya tidak dikenai dam (denda pelanggaran). Karena sifatnya hanya sukarela (sunah/tathowwu')
2. Kesunnahan di atas tidak berlaku bagi orang yang tidak sedang atau akan berqurban. Sebab berqurban terjadi di tanggal 10 DUlhijjah atau setelahnya, juga dirasakan oleh jamaah haji yang telah wukuf dan mabit di Muzdalifah serta melontar jumroh atau tawaf ifadoh dan CUKUR RAMBUT (bertahallul) yang menandakan telah tahallul. Sedangkan orang yang tidak sedang berqurban tidak seperti bersama jamaah haji. Karena orang yang berhaji dapat memulai menyembelih kambingnya (qurban atau hadyu) pd hari nahar (10 Dzulhijjah) juga.
3. Kesunnahan TIDAK MEMOTONG KUKU DAN MENCUKUR RAMBUT di 10 hari pertama Dzulhijjah TIDAK BERLAKU juga BAGI JAMAAH HAJI. Karena ulama sepakat saat akan ihrom haji jamaah haji dianjurkan bersih-bersih dengan potong kuku, cukur rambut (bulu ketiak, bulu kemaluan) dan mandi.
4. Jamaah haji juga TIDAK DISUNNAHKAN BERPUASA DI HARI ARAFAH, bahkan para ulama sepakat bahwa hal ini menjadi makruh bagi jamaah haji, karena hal itu akan mengurangi kekhusyuan ibadah WUKUF yang menjadi INTI HAJI jika dilakukan dalam keadaan berpuasa.
5. Berpuasa Arafah disuannahkan bagi orang yg tidak sedang berhaji, baik dia sdg berqurban atau tidak, agar mrk ikut merasakan saudaranya yang berhaji dan sedang berwukuf di Arafah

Wallahu a’alam

Mahkota-nya Dia Relakan Terlepas: Keutamaan Cukur Gundul Ketimbang Memendekkan Rambut

dr. Wid dengan rambut gondrong
Namanya Dr. Widya Sista Prima dipangggil dokter wiwit. Sejak kecil belum pernah cukur gundul. Bahkan ia pelihara hingga rambutnya seperti dalam gambar kiri. “Dulu sejak kecil, ayah saya melarang menggundul kepala saya.” Kisahnya.

Tahun ini ia berhaji sebagai Petugas kesehatan di rombongan jamaah haji PT. Malika. Saya memprovokasi nya agar saat tahallul haji nanti rambutnya dicukur pelontos, karena jamaah haji yang cukurnya pelontos (muhalliqiina ru’usahum) didoakan nabi 3 x lebih dari pada cukur stik (muqosshirin). Ia pun bertekad memplontos kepalanya, bahkan bernadzar, kali ini, di haji ini, akan mencukur habis rambut kepalanya.
Dan benar, tepat setelah melontar jumroh Aqobah,?kami tidak kembali ke kemah tapi langsung menuju Barber Shop di Mina,. Dengan biaya cukur SR.35 rambut kami pun hilang..

لتدخلن المسجد الحرام ان شاء الله آمنين محلقين رؤوسكم ومقصرين لا تخافون
dr. Wid setelah tahallul botak gundul
Kamu akan masuk Masjidil Haram dengan damai insya Allah sambil mencukur dan memotong rambut kamu
Keutamaan Cukur Gundul Ketimbang Memendekkan Rambut Saat Tahallul.
عن عبد الله بن عُمر رضي الله عنهما عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: «اللَّهُمَّ ارحم الْمُحَلِّقِينَ. قالوا: والْمُقَصِّرِينَ يا رسول الله؟ قال: اللهم ارحم الْمُحَلِّقِينَ. قالوا: والْمُقَصِّرِينَ يا رسول الله؟ قال: اللهم ارحم الْمُحَلِّقِينَ. قالوا: والْمُقَصِّرِينَ يا رسول الله؟ قال: والْمُقَصِّرِينَ».
[صحيح] - [متفق عليه]
Dari Abdullah bin Umar -raḍiyallāhu 'anhumā- dari Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda, "Ya Allah! Rahmatilah orang-orang yang mencukur (menggundul rambutnya). Mereka berkata, "Dan yang memendekkan rambutnya, wahai Rasulullah?" Beliau mengucapkan, "Ya Allah! Rahmatilah orang-orang yang mencukur gundul." Mereka berkata lagi, "Dan orang-orang yang memendekkan rambutnya, wahai Rasulullah?" Beliau mengucapkan, "Ya Allah! Rahmatilah orang-orang yang mencukur. Gundul" Mereka berkata lagi, "Dan orang-orang yang memendekkan rambutnya, wahai Rasulullah?" Beliau mengucapkan, "Dan orang-orang yang memendekkan rambutnya." (Muttafaqun 'Alaih).
Gambar:
Kiri: Dr. Wiwiit sebelum dicukur berkacamata. Kanan: setelah dicukur

Seni Menjemput Kematian

Kematian pasti datang pada setiap manusia yang bernyawa. Namun bagaimana cara maut menjemput kita, atau kita menjemput kematian? Itu memiliki seni (baca: cara) tersendiri.

Sebagai contoh almarhum Paimin yang berangkat haji tahun ini (2023). Beliau wafat tepat setelah prosesi wukuf di Arafah usai. Setelah shalat zhuhur-Ashar jamak takdim, khutbah wukuf dan zikir wukuf selesai, dua jam setelah itu beliau dipanggil Allah swt.
Ketika saya melihat istrinya begitu tegar dan kuat menghadapi musibah ini. Isterijya bercerita, “Ini sudah menjadi cita-cita bapak sejak dahulu. Beliau pernah berkata ingin wafat di tempat yang mulia. Saat ibadah haji.”
Jenazah beliau saat dikafani tidak ditutup kepalanya seperti pocong umumnya jenazah, karena beliau dalam kondisi masih ihrom. Dan akan dibangkitkan di alam kuburnya dalam keadaan sedang ihrom. Suatu episode akhir yang baik (husnul khotimah).
Lain lagi dengan almarhumah ibu Narsi, beliau malah diwafatkan Allah setelah merampungkan semua prosesi ibadah hajinya. Tepat beberapa waktu seusai thawaf ifadhoh (rangkaian akhir ibadah haji) beliau pun dipanggil Allah. Sebenarnya, beliau seharusnya pergi haji sejak tahun kemarin bersama suaminya, tapi karena masih dalam keadaan sakit maka tidak bisa berangkat. Hanya suaminya yang bisa haji sendirian tahun lalu. Tahun ini bulat tekadnya untuk berhaji, dan suaminya pun merelakan berangkat tanpa didampinginya. “jannah.....jamnah..…insya Allah..” ujar satpam wanita Arab berpakaian merah kecoklatan di Mall Clock Tower yang membantu evakuasi almarhumah ke rumah sakit Ajyad di hotel Shofwah usai almarhumah thawaf ifadhoh di masjidil Haram dengan menggunakan roda dorong
Ya Allah ikhtim lanaa bi husnil khotimah..